Kamis, 24 September 2015

Warteg Juteg

Hasil gambar untuk gambar juru masak judes



Fiksi Fabina Lovers
Para pedagang masa kini berlomba-lomba menarik perhatian konsumen.  Ada yang memberi potongan harga, bonus, berikut sapaan ramah.  Sekalipun keramahan platonis ala restoran cepat saji yang mengusung menu khas Italia.  ‘Selamat datang!’ ‘Mohon ditunggu ya!’ ‘Terima kasih, semoga datang kembali!’ Rentetan kalimat itu meluncur tanpa emosi dari bibir bergincu tebal.  Persis  rekaman suara yang diputar berulang kali.

Lain halnya dengan Mbak Sugih, pemilik sebuah warung makan sederhana.  Mbak Sugih tak pernah beramah-tamah apalagi memberikan bonus kepada pembelinya.  Jadilah warungnya dijuluki Warteg (Warung Tegal) Juteg.  Padahal warung Mbak Sugih tak pernah menyajikan hidangan khas Tegal.

Hidangan Warteg Juteg selalu ludes beberapa menit setelah waktu istirahat siang.   Lokasi warungnya strategis, berdekatan dengan komplek kantor pemerintah daerah maupun kantor bank swasta.  Rasa masakannya mirip  hidangan restoran mentereng.  Istilah kerennya, rasa bintang lima harga kaki lima. 

Terkadang Mbak Sugih memasak untuk acara pesta maupun selamatan  yang diselenggarakan warga.  Beliau tak memungut tarif mahal, selama kami memenuhi persyaratan ini : tidak rewel ataupun bawel.  Apabila kami melanggar persyaratan itu, Mbak Sugih akan berhenti memasak.   Sayuran dan daging pun bergelimpangan laksana korban bencana alam.

Mbak Sugih memiliki seorang anak perempuan bernama Ayu.  Untunglah wajah gadis itu selaras dengan namanya.  Berbeda dengan Mbak Sugih, Ayu bertabiat ramah dan luwes bergaul.  Sungguh pun begitu, beberapa ibu melarang anaknya berteman dengan Ayu.

“Dia itu anak haram.  Ingat, asal-usul seseorang berpengaruh terhadap wataknya!” bisik Bu Warti pada Gina, puterinya.

“Apa iya, Bu?” Gina ikut-ikutan berbisik. 

Bila isi pembicaraan  mereka ketahuan Mbah Sugih,  pasti terjadi embargo oleh Warteg Juteg.  Hal itu merupakan penyiksaan, karena mereka tak dapat hidup damai tanpa rolade saus tomat buatan Mbak Sugih.

“Sejak mereka datang kemari sepuluh tahun lalu, ibu nggak pernah lihat bapaknya.”

“Siapa tahu bapaknya Ayu sudah meninggal, Bu.”

“Kalau bapaknya si Ayu sudah meninggal, Mbak Sugih nggak mungkin nolak lamaran Om Budi.  Padahal om kamu itu ganteng dan banyak duitnya.”

“Jadi, Ibu nuduh Ayu anak haram karena sakit hati sama Mbak Sugih, ya?” Suara Gina agak mengeras.

“Sst, jangan keras-keras, nanti ada yang dengar!  Pokoknya, ada rahasia kelam dalam keluarga mereka.  Ibu bisa merasakannya,” tukas Bu Warti dengan keyakinan seorang cenayang.

Sejak TK, aku merasakan ikatan kimiawi dengan Ayu.  Dia sangat memahami diriku, sebagaimana aku memahaminya.  Bila sudah berdua, kami serasa tinggal di pulau permai nan damai.  Kebersamaan kami adalah takdir indah dari Yang Kuasa.  Namun, aku tak pernah menceritakan kedekatan kami pada ibuku.  Beliau tidak menyukai Mbak Sugih.

Mbak Sugih tak ubahnya ibu kandungku sendiri.  Bila kelaparan, aku tak canggung meminta makanan kepadanya.  Rupanya Mbak Sugih pun telah menganggapku sebagai anaknya.  Wajahnya selalu berseri saat berjumpa denganku.  Ketika aku kelelahan usai latihan basket, ia tak sungkan mengurut tungkaiku. Wajarlah kalau kaum ibu mengosipkanku berpacaran dengan Ayu. 

“Hanif, kamu udah gede, ganteng pula.”  Ibu membelai rambutku saat aku menyimak siaran balap motor grand prix.

Aku menjauhkan kepalaku dari jangkauan ibu.  Huh, mengapa ibu masih memperlakukanku seperti anak TK?  Bukankah aku sudah berumur enambelas tahun?

“Udah punya pacar dong?” tanya ibu dengan nada riang.

Aku mendelik sewot.  “Belumlah, Bu!  Nggak enak punya pacar.  Jadi nggak bebas gaul ama cewek lain.”

“Gitu ya.  Kayaknya kamu sering main ke warung Mbak Sugih.  Anaknya memang kece sih.”

Aku terkesiap.  Sepeda motor jagoanku yang menyalip ke tempat kedua,  luput dari penglihatanku.  OMG, hari gini masih percaya gosip?”

“Ya, ibu hanya ingin memastikan.  Baguslah kalau kamu nggak pacaran dengan Ayu.  Karena ibu nggak mau berbesan dengan Mbak Sugih,” lirih ibuku.

Kali ini aku mematikan siaran TV kegemaranku dan menatap lurus ke manik mata ibuku.  “Ada apa sih, Bu?  Hanif kira ibu lebih bijaksana daripada para penggosip itu.  Rupanya ibu pun menganggap Ayu anak haram, ya?”  Aku nyaris berteriak.

Tiba-tiba ibuku menangis sambil memandangi foto almarhum ayahku.  “Sebaiknya kamu tidak menikahi dia, Nak!  Itu, itu tak akan baik bagimu.”

Aku penasaran.  Apakah ayahku pernah berhubungan dengan Mbak Sugih?   Benarkah aku dan Ayu se-ayah?  Ah, aku harus melakukan penyelidikan.

“Mbak pernah pernah akrab dengan almarhum ayahku?” tanyaku tanpa basa-basi.  Aku baru saja menghabiskan seporsi besar bistik lidah dan  kentang goreng.

Mbak Sugih menambahkan es teh lemon ke gelasku.  No comment!  Untunglah kamu yang bertanya.  Kalau orang lain, sudah aku usir dari tempat ini,” sergah Mbak Sugih.  Sorot matanya membara.

Wajahku sontak pias.  “Ma...maafkan saya.  Janji deh, nggak bertanya seperti itu lagi.”

“Anak pintar.  Saranku, kamu nggak perlu tahu semua hal yang bukan urusanmu!  Bisa jadi pengetahuan itu mengganggu ketenangan batinmu.”  Mbak Sugih menatap nanar piring bekas makananku.

“Ya Mbak.  Sekali lagi, maafkan saya!” 

Aku bertekad menjauhi Ayu.  Siapa tahu gadis cantik itu adalah saudara biologisku?  Melihat gelagat Mbak Sugih, aku yakin ayahku pernah ‘berhubungan’ dengannya, hingga  Ayu terlahir ke dunia yang kejam ini.  Ah, rupanya gosip itu benar.  Ayu memang anak haram.

Hari-hari berpilin menjadi minggu, minggu menjadi bulan, dan bulan menjadi tahun.  Tak terasa, genap lima tahun aku menjauhi Ayu.  Aku sengaja kuliah di luar kota agar tidak berjumpa dengannya.  Sejujurnya, aku mencintai Ayu sejak kanak-kanak.  Tak mudah mencerabut rumpun cinta di hatiku.  Setelah lima tahun, aku berhasil mengenyahkannya.  Meskipun sisa-sisa akarnya masih bersemayam di sana.

Kini, aku adalah pria kesepian berusia duapuluh satu tahun.  Alumnus diploma teknik mesin yang bekerja di sebuah perusahaan otomotif terkemuka.  Banyak wanita menggoda kelelakianku, tapi aku bergeming.  Terasa sulit menumbuhkan benih cinta di hatiku yang tandus.

“Hanif, pergilah ke rumah Mbak Sugih!” perintah ibuku pada minggu pagi yang cerah. 

“Hm, rupanya ibu berubah pikiran.  Bukankah aku harus menjauhi Ayu?”

“Ada yang ingin disampaikan Mbak Sugih padamu.  Cepatlah Nak, sebelum terlambat!”  Mata ibuku berkabut, menyiratkan sebuah tragedi.

“Apakah Mbak Sugih...”

“Ia menderita kanker rahim stadium empat.  Menurut perkiraan dokter, umurnya hanya beberapa bulan lagi.”  Ibuku mulai menangis.

“Oh, kalau begitu aku mau berangkat sekarang.  Pamit ya, Bu!  Assalamualaikum.”  Aku mencium tangan keriput ibuku dan bergegas mencari kunci motor.

Mbak Sugih terlihat kurus dan rapuh di atas pembaringannya.  Tapi, wajahnya sontak bercahaya saat menyadari kehadiranku. 

“Ah, anak lelakiku sudah kembali.” Mbak Sugih mengusap pipiku. 

Dadaku berdesir.  Apakah ini tanda persetujuan beliau atas hubunganku dengan Ayu?  Mungkinkah aku dan Ayu bukan saudara biologis?

“Anakku, bolehkah ibu minta tolong?”

Aih, Mbak Sugih meng-ibu-kan dirinya kepadaku.  Aku sudah resmi jadi kandidat menantu nih?

“Boleh, Bu,” jawabku, agak tersipu.

“Pertama, ibu minta tolong dihajikan olehmu.  Tentunya kamu harus berhaji terlebih dahulu.  Ongkos Naik Haji kita ada di brangkas itu.  Ini kuncinya.”  Mbak Sugih menyerahkan secarik kertas bertuliskan deretan angka padaku.

Aku menerima kertas itu dengan tangan gemetar.  “Kenapa bukan Ayu yang menghajikan ibu?”

“Kedua, jadilah wali nikah Ayu.  Beberapa bulan lagi dia akan menikah.” 

“Wa..wali nikah Ayu?”  Aku tergagap.  Diriku yang telah melambung sedemikian tinggi tercampak ke belukar berduri.

“Hanya kamulah yang berhak, karena kamu saudara kandung Ayu.”

“A..apaa?”  Aku nyaris pingsan.

“Maafkan kami yang menyembunyikan kenyataan itu darimu.  Cerita selengkapnya bisa kamu tanyakan pada ibu angkatmu.  Pulanglah, Nak!  Ibu mau istirahat dulu.”

Entah bagaimana caraku mencapai rumah.  Aku mengendarai motor seperti orang mabuk. Rupanya Yang Maha Kuasa menjagaku dari kecelakaan fatal.  Sesampainya di rumah, aku masuk ke dalam kamar sambil membanting pintu.  Aku melampiaskan segenap kecewaku dengan meninju-ninju bantal.  Kemudian aku tertidur selama beberapa jam.

‘Ibu’ beringsut mendekatiku yang sedang duduk di beranda rumah.  Sepasang tangan tuanya memegang gelas panjang berisi jus tomat. 

“Mudah-mudahan kamu masih menyukai jus tomat buatanku.”  Ibu meletakan gelas di meja lalu duduk di hadapanku.

“Kamu masih marah?”

Aku menggeleng lemah, lalu menyeruput jus tomat.  “Enak seperti biasanya,” pujiku, tulus.

‘Ibu’ menggenggam tanganku.  “Sebenarnya, ibu ingin memberi-tahu hal ini sejak kamu kecil, tapi ibu takut kehilangan kamu.”

“Jadi, ayah poligami?”

“Iya Nak, ibulah yang menyuruh ayahmu menikahi Mbak Sugih, sahabat ibu sejak kecil.  Kami harap Sugih bisa melahirkan anak yang akan menjadi pewaris harta peninggalan kakekmu.”

“Ibu pikir, akan menyenangkan punya madu sahabat sendiri.  Ternyata, semuanya berubah saat kalian lahir.”

“Maksudnya, aku dan Ayu kembar?”

“Betul, Nak. Ibu menghendaki kalian berdua.  Tapi, Sugih ingin kami berbagi anak.”

“Bukankah itu adil, Bu?”

‘Ibu’ menghela napas.  “Rasanya tidak adil bagi hati yang dengki.  Aku membenci Sugih karena dia mampu mempersembahkan anak bagi suamiku.  Aku minta suamiku menceraikan Sugih, lalu mengambil kedua anaknya.”

“Subhanallah, mengapa ibu bisa sejahat itu?”  Aku memelototi ‘ibu’.  “Apakah ayah memenuhi permintaan Ibu?”

“Tentu saja, karena aku mengancam akan melapor ke kantornya.  Bukankah Pegawai Negeri tidak diperkenankan berpoligami?”

'Ibu' terdiam sebelum melanjutkan ceritanya. “Ayah memutuskan kamu diasuh olehku, dan Ayu diasuh oleh Mbak Sugih.”

“Mengapa orang-orang di sini tidak tahu kalau ayah pernah menikahi Mbak Sugih?”

“Mereka menikah siri di kampungku.  Mbak Sugih menetap di sana sampai Ayu berumur enam tahun.”

“Lantas, Mbak Sugih menyusul ayah ke kota ini?”

“Sebenarnya tidak tepat kalau dikatakan menyusul.  Dia bekerja pada sebuah perusahaan katering di sini.  Ketika katering itu bangkrut, ia membuka warung makan.”

Aku terkesima.  “Maaf bu, aku pikir Mbak Sugih adalah wanita mandiri yang pandai menyimpan rahasia.”

Bulir-bulir air mata berjatuhan di pipi keriput ‘ibu’.  “Iya Nak, Mbak Sugih adalah wanita perkasa.  Ia tak menuntut nafkah untuk Ayu.  Dia juga pemaaf.  Tak pernah mengungkit kejahatanku di masa lalu.  Sekarang, kami bersahabat kembali.”

Aku menemukan persepsi baru tentang Mbak Sugih, ibuku.  Walaupun tampilan luarnya sangar, ibuku berhati mulia.  Belukar cinta yang baru mulai merimbuni hatiku.  Cinta bagi ibu dan saudara perempuanku.

“Apa yang kamu pikirkan, Nak?”  'Ibu' tampak khawatir.

“Hm, aku nggak akan berpoligami, insya Allah.”  Aku melangkah gontai ke dalam rumah. Meninggalkan ‘ibu’ dengan kemelut masa lalunya.

-      TAMAT –
Catatan :  OMG = Oh My God
Ilustrasi milik kuidamkan.blogspot.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar