Minggu, 22 Maret 2015

Cerbung Bagian 15 : Romansa

Karya Fiksi oleh Fabina Lovers


Image result for gambar nasehat
Ringkasan Cerita Bagian 14 : Chen tak bisa kembali lagi ke Kyoto.  Ratu sangat kehilangan pria itu.

Sejak pukul empat kurang sepuluh petang, Ratu menunggu Mas Widodo sambil duduk di bangku semen yang mengitari pohon berusia ratusan tahun.  Pohon besar itu terletak  di halaman depan Kampus Yoshida.  Tajuknya yang rindang serupa kanopi raksasan berwarna merah keemasan. 
Ratu mengenakan sweater cokelat yang serasi dengan warna daun musim gugur.  Rambutnya dipotong pendek ala Demi Moore saat membintangi film Ghost.  Semula rambut Ratu yang lebat dibiarkan panjang melewati bahu.  Tapi, Chen pernah menyatakan, ia menyukai wanita berambut pendek.   Maka, saat Chen mudik ke Bandung, Ratu memendekan rambutnya.   Ia ingin memberikan kejutan untuk Chen.   Sayang, Chen tak mungkin melihatnya berambut pendek.

Seperti kebanyakan orang Jepang, Ratu mengisi waktu senggang dengan membaca buku. Sialnya, Ratu tak bisa berkonsentrasi dengan bacaannya.  Wajah Chen memenuhi lembar demi lembar buku yang dibacanya.  Chen tersenyum.  Chen tertawa gembira.  Chen mengagumi situs bersejarah yang mereka kunjungi.  Chen sedang merenung.  Ah, mengapa susah benar melupakan Chen?

Akhirnya Ratu menyimpan buku dalam tas dan mengamati bangunan kampus secara cermat.  Gadis jelita itu berusaha memaknai arsitektur gedung kampus legendaris itu.  Bangunan kampus berbentuk kotak persegi warna cokelat gelap.   Kotak persegi adalah simbol perhitungan akurat dalam menetapkan berbagai aksioma.  Sedangkan cokelat adalah warna bumi, petanda kampus sebagai pusat riset untuk menyibak berbagai rahasia alam.  Tepat di bagian tengah kampus, terdapat menara jam, artinya seorang akademisi harus menghargai waktu.   Karena putaran waktu selalu menghempaskan orang-orang yang  enggan belajar untuk meningkatkan kualitas diri.

“Aku mulai lalai belajar untuk ujian masuk S2. Padahal waktuku di sini tinggal beberapa bulan lagi.  Bisa jadi aku pulang tanpa gelar dan ilmu,” keluh Ratu dalam hati.

“Assalamualaikum, Ratu.”  Suara  Mas Widodo mengejutkan Ratu.

“Hayo, pasti sedang memikirkan teman berwisatamu yang cool itu ya?” Mas Widodo tertawa jahil.

Ratu tersipu, pipi putihnya merona merah.  “Hm, bisa iya, bisa juga tidak,” jawab Ratu, diplomatis.

“Kita bicara di Kafe Kampus saja ya?  Udara sore di sini terlalu dingin,” kata Mas Widodo sambil bersidekap.  Padahal Mas Widodo sudah mengenakan jaket tebal.  Bagi kebanyakan orang melayu, suhu udara musim gugur terasa menggigilkan tulang.  Berbeda dengan beberapa gadis jepang yang keluar di sore musim gugur hanya mengenakan tank top dan rok mini.

“Mudah-mudahan masih ada bangku kosong, sekarang waktunya oyatsu,” kata Ratu.

“Kita lihat saja dulu.  Ayo bergegas!” Mas Widodo melangkah cepat ke kafe yang terdapat di bagian depan kampus, hanya sepelemparan batu dari menara jam.

Benar perkiraan Ratu.  Bangku-bangku di kafe penuh oleh pengunjung.  Untunglah sepasang pengunjung meninggalkan meja paling ujung.  Tampaknya mereka terburu-buru.  Mungkin hendak melanjutkan pekerjaan yang tertunda.

“Alhamdulillah, akhirnya dapat tempat duduk,” kata Mas Widodo, lega.

Seorang pelayan kafe menanyakan pesanan mereka.  Ratu memesan Ocha dan Takoyaki.  Sedangkan Mas Widodo memesan Moccacino dan Taiyaki.   Pelayan kafe mencatat pesanan mereka dan berjanji akan menghidangkannya kurang dari lima menit.

Taiyaki

“Pesan Taiyaki supaya beruntung ya?” goda Ratu.

“Halah tahayul.  Tepatnya aku pesan taiyaki karena rasanya sesuai seleraku.  Aku tak bisa menelan takoyaki berisi gurita.” Mas Widodo menunjukan ekspresi jijik.  Ratu tertawa melihatnya.

Takoyaki

“Orang Jepang pasti menolak makan belalang.  Mereka pikir hewan itu menjijikan,” timpal Ratu.

“Ya, tiap orang punya selera tersendiri.  Harus saling menghormati,” ujar Mas Widodo sambil tersenyum.

Sejurus kemudian, pesanan mereka tiba.  Ratu langsung memakan pesanannya.  Karena takoyaki lebih nikmat bila disantap saat masih panas.   Ocha  yang  bercita-rasa sepat menghilangkan aroma anyir khas gurita yang tertinggal di mulut.

“Hm, takoyaki jadi camilan kesukaanku di Jepang,” kata Ratu sambil mengelap mulutnya dengan serbet.

Mas widodo juga sudah menghabiskan pesanannya.  “Nah, sekarang kita sudah kenyang.  Kembali ke topik semula.  Mengapa semalam kamu menangis?”

Ratu seolah diingatkan kembali tujuan mereka bertemu di Kampus Yoshida.  Perasaannya kembali gundah.  Tapi, kegalauannya tak akan lenyap bila tidak berbagi  pada orang yang bisa dipercaya.

“Janji ya Mas, jangan bocorkan cerita ini pada kedua adikku.  Bisa habis aku digoda mereka.”

“I swear,” janji Mas Widodo. 

Ratu  menceritakan kemalangan nasib cintanya.  Bermula dari perkawinannya yang gagal dengan Beni, hingga patah hati karena ditinggal Chen.  “Agaknya aku ditakdirkan melajang seumur hidup,” kata Ratu di akhir ceritanya.

Mas Widodo menatap gadis jelita di hadapannya dengan perasaan iba.  “Well Ratu, sebenarnya ada satu hal yang perlu dibenahi dalam dirimu.”

“Maksudnya?”

“Jangan mencintai sesuatu yang tak pasti.”

“Tapi, Beni adalah suamiku.  Bagaimana mungkin aku tidak mencintai dia?” tanya Ratu dengan volume suara meninggi.

“Aku tidak melarangmu mencintai suami atau kekasihmu.  Tapi cintai mereka secukupnya saja.  Sama halnya dengan engkau mencintai rumah atau kendaraanmu.”

“Itu tak masuk akal.  Bagaimana mungkin menyamakan cinta pada mahluk hidup dan benda mati?” Ratu mengerucutkan bibirnya, tanda menentang pendapat Mas Widodo.

“Hakikatnya, manusia itu hanyalah benda milik Allah.  Suatu ketika, bisa  diambil kembali oleh pemiliknya.  Maka, salah besar bila cinta kita terhadap manusia melebihi cinta terhadap Allah,” kata Mas Widodo dengan intonasi pelan.

Ratu terdiam.  Tiba-tiba, dia sadar bahwa dirinya jarang berpikir tentang Sang Pencipta.  Shalat saja masih belang bentong.   Ratu baru mengingat Allah tatkala menghadapi musibah.  Sama halnya dengan kebanyakan manusia.

“Apakah Mas pernah jatuh cinta pada wanita?” selidik Ratu.  Gadis itu tak bersedia menerima pendapat Mas Widodo tanpa argumentasi yang jelas.

“Tentu saja pernah.  Tapi, aku tak mau memanjakan perasaan cintaku.  Sebenarnya cinta pada lawan jenis sama saja seperti gulma yang tumbuh di antara padi.  Tak akan berbiak subur bila kita segera mencabutnya.”

“Semudah itukah mencabut perasaan cinta?”

“Tentu saja tak semudah mencabut gulma.  Mencabut perasaan cinta harus secara perlahan.  Berupaya mengalihkan pikiran kita dari mengingatnya.  Berusaha tidak berinteraksi mendalam dengannya.  Melakukan banyak kegiatan positif untuk melupakannya.   Meningkatkan kualitas diri  agar kelak bisa berjodoh dengan lawan jenis berkualitas mumpuni.”

Ratu tertawa sumbang.  “Ah, sekarang aku paham kenapa Mas Widodo masih menjomblo hingga setua ini.”

“Oh, Ratu...Ratu...aku belum terlampau tua, masih tigapuluh dua tahun.”  Mas Widodo tertawa sambil menggelengkan kepalanya.

 “Aku percaya, Allah telah menyiapkan jodohku.  Dengannya aku akan saling melengkapi.  Kekurangannya adalah kelebihanku, demikian pula sebaliknya.  Begitulah perkawinan yang baik. Dua insan bersatu untuk berbagi. Karena cinta adalah saling berbagi, bukan saling menyakiti.”

Semua yang dikatakan Mas Widodo adalah kebenaran.  Ratu tak kuasa menyanggahnya.  Gadis itu terdiam.  Mulai merenungi perjalanan hidupnya selama duapuluh tujuh tahun.

“Aku harus banyak bertobat.  Aku akan berusaha mencintai Allah.  Semoga Allah berkenan menerima tobatku,” ujar Ratu dengan suara bergetar.  Matanya berkaca-kaca.

“Allah Maha Penerima Tobat.  Ada satu hal yang harus kamu lakukan bila ingin dicintai Allah."

“Apakah itu?”

“Belajar ilmu agama.”

“Dimana aku bisa belajar?”

“Setiap  minggu pagi, kaum muslim dan muslimah di Kyoto mengadakan pengajian di Islamic Cultural Center.    Apakah kamu tahu tempatnya?”

Ratu menggeleng seraya menunduk malu.

“Kamigyo-Ku.  Aku dan kedua adikmu sering menghadiri pengajian di sana.  Kamu belum tahu ya?”

Ratu kembali menggeleng.  Rasanya ingin menghilang di bawah meja kafe karena tak sanggup menanggung malu.

Mas Widodo tersenyum simpul.  Ia menahan diri untuk berkomentar tentang aktivitas akhir pekan Ratu bersama Chen.  “Kalau begitu, hari minggu nanti kamu bisa mencoba ikut kami,” tawar Mas Widodo.

Ratu mengiyakan tawaran Mas Widodo.  Tiba-tiba, ia teringat sesuatu.  “Mas, aku belum Sholat Ashar,” kata Ratu dengan suara pelan.

“Oalah, adikku yang cantik ini kok bisa lupa shalat sih?  Ya sudah, sekarang kita ke flat yang disewa temanku saja.  Dekat kok dari sini.  Kamu bisa pinjam mukena isterinya.”

Mas Widodo membayar makanan mereka.  Kemudian, mereka berangkat ke rumah teman Mas Widodo dengan sepeda masing-masing.  Ratu menghirup udara sore nan segar sambil mengayuh sepeda.  Ajaib, setelah berbincang dengan Mas Widodo, hatinya terasa lapang.  Ia mulai bisa melupakan Chen. 
____________________________________

Keterangan :

Oyatsu = kebiasaan penduduk Jepang untuk minum teh sambil menikmati camilan pada pukul tiga atau pukul empat sore.

Taiyaku = camilan manis berbentuk ikan, dipercaya oleh masyarakat jepang sebagai simbol keberuntungan.

Takoyaki = camilan bercitarasa gurih.  Terbuat dari adonan terigu berisi daging gurita. Memasaknya dengan cara dibakar


Tidak ada komentar:

Posting Komentar