Karya Fiksi oleh Fabina Lovers
Mas Widodo membayar makanan mereka. Kemudian, mereka berangkat ke rumah teman Mas Widodo dengan sepeda masing-masing. Ratu menghirup udara sore nan segar sambil mengayuh sepeda. Ajaib, setelah berbincang dengan Mas Widodo, hatinya terasa lapang. Ia mulai bisa melupakan Chen.
____________________________________
Keterangan :
Oyatsu = kebiasaan penduduk Jepang untuk minum teh sambil menikmati camilan pada pukul tiga atau pukul empat sore.
Taiyaku = camilan manis berbentuk ikan, dipercaya oleh masyarakat jepang sebagai simbol keberuntungan.
Takoyaki = camilan bercitarasa gurih. Terbuat dari adonan terigu berisi daging gurita. Memasaknya dengan cara dibakar
Ringkasan Cerita Bagian 14 : Chen tak bisa kembali lagi ke Kyoto. Ratu sangat kehilangan pria itu.
Sejak pukul
empat kurang sepuluh petang, Ratu menunggu Mas Widodo sambil duduk di bangku
semen yang mengitari pohon berusia ratusan tahun. Pohon besar itu terletak di halaman depan Kampus Yoshida. Tajuknya yang rindang serupa kanopi raksasan
berwarna merah keemasan.
Ratu mengenakan
sweater cokelat yang serasi dengan warna daun musim gugur. Rambutnya dipotong pendek ala Demi Moore saat
membintangi film Ghost. Semula rambut
Ratu yang lebat dibiarkan panjang melewati bahu. Tapi, Chen pernah menyatakan, ia menyukai
wanita berambut pendek. Maka, saat Chen
mudik ke Bandung, Ratu memendekan rambutnya.
Ia ingin memberikan kejutan untuk Chen. Sayang, Chen tak mungkin melihatnya berambut pendek.
Seperti kebanyakan
orang Jepang, Ratu mengisi waktu senggang dengan membaca buku. Sialnya, Ratu tak bisa berkonsentrasi dengan
bacaannya. Wajah Chen memenuhi lembar
demi lembar buku yang dibacanya. Chen
tersenyum. Chen tertawa gembira. Chen mengagumi situs bersejarah yang mereka
kunjungi. Chen sedang merenung. Ah, mengapa susah benar melupakan Chen?
Akhirnya Ratu
menyimpan buku dalam tas dan mengamati bangunan kampus secara cermat. Gadis jelita itu berusaha memaknai arsitektur
gedung kampus legendaris itu. Bangunan
kampus berbentuk kotak persegi warna cokelat gelap. Kotak persegi adalah simbol perhitungan
akurat dalam menetapkan berbagai aksioma.
Sedangkan cokelat adalah warna bumi, petanda kampus sebagai pusat riset
untuk menyibak berbagai rahasia alam.
Tepat di bagian tengah kampus, terdapat menara jam, artinya seorang
akademisi harus menghargai waktu.
Karena putaran waktu selalu menghempaskan orang-orang yang enggan
belajar untuk meningkatkan kualitas diri.
“Aku mulai lalai
belajar untuk ujian masuk S2. Padahal waktuku di sini tinggal beberapa bulan
lagi. Bisa jadi aku pulang tanpa gelar
dan ilmu,” keluh Ratu dalam hati.
“Assalamualaikum,
Ratu.” Suara Mas Widodo mengejutkan Ratu.
“Hayo, pasti
sedang memikirkan teman berwisatamu yang cool itu ya?” Mas Widodo tertawa
jahil.
Ratu tersipu,
pipi putihnya merona merah. “Hm,
bisa iya, bisa juga tidak,” jawab Ratu, diplomatis.
“Kita bicara di
Kafe Kampus saja ya? Udara sore di sini
terlalu dingin,” kata Mas Widodo sambil bersidekap. Padahal Mas Widodo sudah mengenakan jaket
tebal. Bagi kebanyakan orang melayu,
suhu udara musim gugur terasa menggigilkan tulang. Berbeda dengan beberapa gadis jepang yang
keluar di sore musim gugur hanya mengenakan tank top dan rok mini.
“Mudah-mudahan
masih ada bangku kosong, sekarang waktunya oyatsu,”
kata Ratu.
“Kita lihat saja
dulu. Ayo bergegas!” Mas Widodo
melangkah cepat ke kafe yang terdapat di bagian depan kampus, hanya
sepelemparan batu dari menara jam.
Benar perkiraan
Ratu. Bangku-bangku di kafe penuh oleh
pengunjung. Untunglah sepasang pengunjung meninggalkan
meja paling ujung. Tampaknya mereka
terburu-buru. Mungkin hendak melanjutkan
pekerjaan yang tertunda.
“Alhamdulillah,
akhirnya dapat tempat duduk,” kata Mas Widodo, lega.
Seorang pelayan
kafe menanyakan pesanan mereka. Ratu
memesan Ocha dan Takoyaki. Sedangkan Mas
Widodo memesan Moccacino dan Taiyaki. Pelayan kafe mencatat pesanan mereka dan
berjanji akan menghidangkannya kurang dari lima menit.
Taiyaki
“Pesan Taiyaki
supaya beruntung ya?” goda Ratu.
“Halah
tahayul. Tepatnya aku pesan taiyaki karena rasanya sesuai seleraku. Aku tak
bisa menelan takoyaki berisi gurita.” Mas Widodo menunjukan ekspresi jijik. Ratu tertawa melihatnya.
Takoyaki
“Orang Jepang
pasti menolak makan belalang. Mereka
pikir hewan itu menjijikan,” timpal Ratu.
“Ya, tiap orang
punya selera tersendiri. Harus saling
menghormati,” ujar Mas Widodo sambil tersenyum.
Sejurus
kemudian, pesanan mereka tiba. Ratu
langsung memakan pesanannya. Karena
takoyaki lebih nikmat bila disantap saat masih panas. Ocha yang
bercita-rasa sepat menghilangkan aroma anyir khas gurita yang tertinggal
di mulut.
“Hm, takoyaki
jadi camilan kesukaanku di Jepang,” kata Ratu sambil mengelap mulutnya dengan
serbet.
Mas widodo juga
sudah menghabiskan pesanannya. “Nah,
sekarang kita sudah kenyang. Kembali ke
topik semula. Mengapa semalam kamu
menangis?”
Ratu seolah
diingatkan kembali tujuan mereka bertemu di Kampus Yoshida. Perasaannya kembali gundah. Tapi, kegalauannya tak akan lenyap bila
tidak berbagi pada orang yang bisa dipercaya.
“Janji ya Mas,
jangan bocorkan cerita ini pada kedua adikku.
Bisa habis aku digoda mereka.”
“I swear,” janji
Mas Widodo.
Ratu menceritakan kemalangan nasib cintanya. Bermula dari perkawinannya yang gagal dengan
Beni, hingga patah hati karena ditinggal Chen.
“Agaknya aku ditakdirkan melajang seumur hidup,” kata Ratu di akhir
ceritanya.
Mas Widodo
menatap gadis jelita di hadapannya dengan perasaan iba. “Well
Ratu, sebenarnya ada satu hal yang perlu dibenahi dalam dirimu.”
“Maksudnya?”
“Jangan
mencintai sesuatu yang tak pasti.”
“Tapi, Beni
adalah suamiku. Bagaimana mungkin aku
tidak mencintai dia?” tanya Ratu dengan volume suara meninggi.
“Aku tidak
melarangmu mencintai suami atau kekasihmu.
Tapi cintai mereka secukupnya saja.
Sama halnya dengan engkau mencintai rumah atau kendaraanmu.”
“Itu tak masuk
akal. Bagaimana mungkin menyamakan cinta
pada mahluk hidup dan benda mati?” Ratu mengerucutkan bibirnya, tanda menentang
pendapat Mas Widodo.
“Hakikatnya,
manusia itu hanyalah benda milik Allah.
Suatu ketika, bisa diambil kembali oleh pemiliknya. Maka, salah besar bila cinta kita terhadap
manusia melebihi cinta terhadap Allah,” kata Mas Widodo dengan intonasi pelan.
Ratu terdiam. Tiba-tiba, dia sadar bahwa dirinya jarang
berpikir tentang Sang Pencipta. Shalat
saja masih belang bentong. Ratu baru mengingat Allah tatkala menghadapi
musibah. Sama halnya dengan kebanyakan
manusia.
“Apakah Mas
pernah jatuh cinta pada wanita?” selidik Ratu.
Gadis itu tak bersedia menerima pendapat Mas Widodo tanpa argumentasi
yang jelas.
“Tentu saja
pernah. Tapi, aku tak mau memanjakan
perasaan cintaku. Sebenarnya cinta pada
lawan jenis sama saja seperti gulma yang tumbuh di antara padi. Tak akan berbiak subur bila kita segera
mencabutnya.”
“Semudah itukah
mencabut perasaan cinta?”
“Tentu saja tak
semudah mencabut gulma. Mencabut
perasaan cinta harus secara perlahan.
Berupaya mengalihkan pikiran kita dari mengingatnya. Berusaha tidak berinteraksi mendalam
dengannya. Melakukan banyak kegiatan positif untuk melupakannya. Meningkatkan
kualitas diri agar kelak bisa berjodoh
dengan lawan jenis berkualitas mumpuni.”
Ratu tertawa
sumbang. “Ah, sekarang aku paham kenapa
Mas Widodo masih menjomblo hingga setua ini.”
“Oh,
Ratu...Ratu...aku belum terlampau tua, masih tigapuluh dua tahun.” Mas Widodo tertawa
sambil menggelengkan kepalanya.
“Aku percaya, Allah telah menyiapkan
jodohku. Dengannya aku akan saling
melengkapi. Kekurangannya adalah kelebihanku,
demikian pula sebaliknya. Begitulah
perkawinan yang baik. Dua insan bersatu untuk berbagi. Karena cinta adalah saling berbagi, bukan saling menyakiti.”
Semua yang
dikatakan Mas Widodo adalah kebenaran.
Ratu tak kuasa menyanggahnya.
Gadis itu terdiam. Mulai
merenungi perjalanan hidupnya selama duapuluh tujuh tahun.
“Aku harus banyak bertobat. Aku akan berusaha mencintai Allah. Semoga Allah berkenan menerima tobatku,” ujar
Ratu dengan suara bergetar. Matanya berkaca-kaca.
“Allah Maha
Penerima Tobat. Ada satu hal yang harus
kamu lakukan bila ingin dicintai Allah."
“Apakah itu?”
“Belajar ilmu
agama.”
“Dimana aku bisa
belajar?”
“Setiap minggu pagi, kaum muslim dan muslimah di Kyoto mengadakan
pengajian di Islamic Cultural Center. Apakah kamu tahu tempatnya?”
Ratu menggeleng
seraya menunduk malu.
“Kamigyo-Ku. Aku dan kedua adikmu sering menghadiri pengajian di sana. Kamu belum tahu ya?”
Ratu kembali
menggeleng. Rasanya ingin menghilang di
bawah meja kafe karena tak sanggup menanggung malu.
Mas Widodo
tersenyum simpul. Ia menahan diri untuk berkomentar tentang aktivitas akhir pekan Ratu bersama Chen. “Kalau begitu,
hari minggu nanti kamu bisa mencoba ikut kami,” tawar Mas Widodo.
Ratu mengiyakan
tawaran Mas Widodo. Tiba-tiba, ia
teringat sesuatu. “Mas, aku belum Sholat Ashar,” kata Ratu dengan suara pelan.
“Oalah, adikku
yang cantik ini kok bisa lupa shalat sih?
Ya sudah, sekarang kita ke flat yang disewa temanku saja. Dekat kok dari sini. Kamu bisa pinjam mukena isterinya.”
Mas Widodo membayar makanan mereka. Kemudian, mereka berangkat ke rumah teman Mas Widodo dengan sepeda masing-masing. Ratu menghirup udara sore nan segar sambil mengayuh sepeda. Ajaib, setelah berbincang dengan Mas Widodo, hatinya terasa lapang. Ia mulai bisa melupakan Chen.
____________________________________
Keterangan :
Oyatsu = kebiasaan penduduk Jepang untuk minum teh sambil menikmati camilan pada pukul tiga atau pukul empat sore.
Taiyaku = camilan manis berbentuk ikan, dipercaya oleh masyarakat jepang sebagai simbol keberuntungan.
Takoyaki = camilan bercitarasa gurih. Terbuat dari adonan terigu berisi daging gurita. Memasaknya dengan cara dibakar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar