Rabu, 04 Februari 2015

Cerbung Bag.2 : Romansa

Karya Fiksi oleh Fabina Lovers



Ringkasan cerita bagian 1 :

Ayah meminta Ratu berhenti kerja untuk menikah dengan Beni.  Pernikahan itu akan mengembalikan rumah keluarga mereka yang dijual pada Pak Hambali, ayah Beni.
 

Ratu tak menyangka ayahnya menganut kepercayaan kuno itu.  Kepergian mereka ke Tapanuli Selatan, dikiranya  hanya untuk mengundang keluarga besar ayah ke pesta pernikahannya.  Ya, Ratu menerima perjodohannya dengan Beni.  Sebentar lagi, keluarga besar Ratu akan menyelenggarakan pesta perkawinan termewah di kota mereka.  Biaya pesta tentu saja dari keluarga Hambali.

Di sela acara silaturahmi keluarga, ayah mengajak Ratu ke Candi Bahal II.  Situs abad ke-11  yang dibangun pada masa Kerajaan Pannai.  Candi ini terletak di Desa Bahal, Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Tapanuli Selatan.


Candi Bahal II

Seorang dukun bertampang seram telah menanti mereka di sana.  Dukun itu mengitari tubuh Ratu seraya menghunus tatapan sembilu.  Ratu bergidik geri.  Ia memegang lengan ayahnya untuk meminta perlindungan.  Tapi ayah malah menepiskan pegangan tangan Ratu.

“Gadis yang sempurna untuk persembahan Dewa Heruka,” desis Dukun sambil tersenyum puas. “Persembahan ini akan menyabut kutukan dewa pada keluarga kalian.  Kalian akan menerima anugerah  kesehatan, kekayaan dan kehormatan.”

“Tidaak,” pekik Ratu.  Ia hendak melarikan diri tapi kakinya seolah dipakukan ke tanah.  Agaknya ini efek mantera yang terus dirapalkan si dukun.

“Bawa dia ke altar persembahan,” perintah si dukun pada dua orang asistennya yang berpakaian serba hitam.

Kedua asisten dukun menyeret Ratu menuju meja batu yang terletak di pelataran candi.   Gaungan mantera dukun mendirikan bulu roma.  Ratu meronta-ronta tapi kekuatannya tak sebanding dengan energi setan  milik asisten dukun.

Ratu dibaringkan terlentang di meja batu.  Kedua kakinya dilipat ke sisi berlawanan.  Sementara tali laso mengikat tubuh Ratu melintangi dada dan perutnya.  Ratu tak bisa bergerak. Saputangan beraroma dupa menyumpal mulut Ratu agar gadis itu tak bisa berteriak.

Malam beranjak tua.  Api unggun mulai menyala.  Sekumpulan pria bertopeng mengitari api unggun sambil menyanyikan lagu pujian bagi Dewa Heruka dalam bahasa sansekerta.

"Tengah malam nanti, jasad anakmu akan aku masukan ke dalam kobaran api.  Asap yang membubung tinggi petanda ruh anakmu telah mencapai singgasana Dewa Heruka,” kata dukun sambil menguji ketajaman pedang yang akan digunakan untuk menghabisi nyawa Ratu.

“Saya akan mengikuti ritual ini sampai selesai.  Biarlah Ratu mengorbankan dirinya bagi kebaikan keluarga,” tandas ayah.

“Ratuu...Ratuu..” teriakan keras ibu mengguncang meja batu.

“Ratu, hudang manehKumaha sih sare wae,” teriak wanita berdarah Banten itu sambil mengguncang tubuh gadisnya.

Ratu terjaga dari tidurnya.  Sejenak ia mengamati sekeliling kamar untuk memastikan dirinya tak berada di meja persembahan.  Ratu lega karena kejadian barusan hanyalah mimpi buruk.

“Mandi sana,  abis itu dandan yang cantik!  Jangan biarkan Bi Elis kelamaan menunggumu di salon.” perintah ibu sambil beranjak keluar kamar.

“Bi Elis? Sekarang baru acara lamaran, kok didandani perias pengantin?”

“Kamu harus tampil cantik dalam acara lamaran ini, biar Kang Beni nggak kecewa.” Ibu berhenti sejenak di ambang pintu kamar.   Bibirnya menyunggingkan senyum menggoda.

Hati Ratu serasa disiram es sewaktu nama Beni disebut.  Jujur saja, dia belum ikhlas menerima perjodohan ini.  Seandainya ia tak memikirkan kebaikan keluarganya, tentu saja ia sudah kabur dari rumah.  Gajinya mencukupi kebutuhan hidup di Jakarta.  Tapi, sejak kecil Ratu dididik untuk memikirkan kepentingan keluarga.  Apalagi ayah berkata seperti ini : “Kalau kamu berani kabur dari rumah.  Aku tak akan pernah mengakuimu sebagai anak lagi.  Toh kami masih punya dua anak yang lain.”

“Ayo, jangan kebanyakan bengong, mandi sana!” teriak ibu dari luar kamar.

Ratu bersandar di dinding kamar mandi. Air mata membasahi pipinya. Tubuhnya berada di kamar mandi, tapi pikiran dan jiwanya berada di tempat lain.  Seminggu yang lalu,  Ratu mengundurkan diri dari pekerjaannya.  Keputusan itu disesali manajer dan para sejawatnya.  Ratu merupakan rekan kerja yang menyenangkan.  Berkat Ratu, timnya  berhasil  melampui target penjualan bulan lalu.  Ratu pun berat meninggalkan pekerjaannya.  Tapi, kehendak orang tua adalah kompas hidup Ratu.  Gadis itu tak akan pernah sanggup melawan orang tuanya.

“Teh  Ratu, mandinya cepetan dong, Sari mau buang air!” teriak adik bungsu Ratu yang masih berusia sepuluh tahun.

"Ratu segera menuntaskan mandinya.  Saat ia baru membuka pintu kamar mandi, adiknya memburu masuk dan berjongkok di kloset.

“Hih, jorok!” tukas Ratu sambil menutup pintu kamar mandi.

“Nak, semua ini tak akan terjadi kalau kita menempati rumah kita lagi.  Di sana ada dua kamar mandi,” kata ayah yang sedang duduk di ruang tamu. 

Rumah kontrakan mereka berukuran kecil.  Luasan rumah sekitar 42 m2.  Terdiri dari ruang tamu, dapur, dua kamar tidur, dan sebuah kamar mandi yang kesemuanya berukuran mungil.  Mereka tak mampu mengontrak rumah yang lebih besar.  Penghidupan mereka hingga dua bulan lalu tergantung dari laba penjualan kue buatan ibu di pasar.  Bulan lalu, perekonomian keluarga meningkat berkat kontribusi  Ratu.  Entah bagaimana nasib mereka setelah Ratu berhenti kerja?

“Pak Hambali berjanji akan membantu perekonomian keluarga kita.  Kata beliau, minggu depan kamu bisa mulai bekerja di kantor PEMDA DATI II Bogor.”  Ayah seolah bisa membaca kekhawatiran Ratu.

“Sekarang, berdandanlah secantik mungkin!  Berlakulah yang sopan di hadapan keluarga Hambali.  Aku yakin, mereka segera menyukaimu.  Apalagi Beni.  Sejak melihat fotomu, ia tak sabar ingin berjumpa denganmu,” ujar ayah.  Wajah tuanya tampak berbinar.

“Ratu akan menerima Beni, bagaimanapun rupanya,” kata Ratu, getir.

Ayahnya tertawa renyah.  “Nak, kemuliaan manusia dinilai dari hatinya.  Manusia yang rupa dan hatinya baik adalah anugerah terindah.  Berdoa saja semoga kamu mendapatkan anugerah itu.”

Ratu tak ingin lagi mendengar untaian kalimat ayah yang mengiris cuping telinganya.  “Maaf ayah, Ratu harus segera ke rumah Bi Elis.  Dia sudah menunggu dari tadi,” pamit Ratu.  Ia berangkat ke salon Bi Elis yang berselisih dua rumah dari kontrakan mereka.

Bi Elis mendandani Ratu dengan gesit.  Sejurus kemudian, Ratu pun tak mengenali bayangannya sendiri di cermin. “Alah Ratu, kamu mah pantasnya jadi artis.  Sumpah, kamu mirip pisan dengan Marissa Haque,” puji Bi Elis.

“Bibi bisa aja.” Ratu tersipu.  Namun,  ia membenarkan pendapat bi Elis dalam hatinya.

“Bi, Ratu mau ngaso di rumah bibi dulu ya.  Deg-degan kalau di rumah teh.  Boleh ya, Bi?” pinta Ratu dengan mimik memelas.

Euleuh, euleuh, pamali atuh, NengPiraku yang mau dilamar kalaka nanangga ka imah batur.  Kesannya tidak baik di mata calon mertua.  Besok kamu boleh seharian di sini.  Tapi, bibi harap kamu sekarang pulang ke rumah,” tegas Bi Elis sambil mendorong tubuh Ratu dengan lembut agar keluar dari salonnya.

“Iya deh.” Ratu bersungut-sungut saat keluar dari salon. 

Bi Elis menggeleng-gelengkan kepalanya. “Eta gadis, calon isteri orang tapi tingkahnya masih kekanak-kanakan,” gerutu Bi Elis. 

Kedua adik Ratu menyambut kedatangannya dengan meriah.  “Ayah, ayah, lihat, ada artis datang ke rumah kita!” ledek Amira, anak kedua dalam  keluarga  yang berusia sebelas tahun.

“Mbak Marissa, minta tanda tangannya dong!” Sari pura-pura menyodorkan buku dan pensil pada Ratu.

“Apa sih, gak lucu!” sergah Ratu sambil membanting pintu kamar di belakangnya.

“Yang mau dilamar kok galak banget ya?” bisik Sari pada kakaknya.  Amira hanya mengedikan bahunya.

“Eh, kalian masih acak-acakan begini.  Sana mandi!  Ganti baju kalian dengan yang bagus!  Kita mau kedatangan tamu agung,” perintah ibu pada dua gadis iseng itu.

“Mandi berdua aja biar cepat,” usul Amira. 

“Oke kakak.  Ayo kita cabut.” Sari menerima usul itu dengan gembira.  Tak lama kemudian terdengar  siraman air mandi ditingkah suara remaja menyanyikan Gelas-Gelas Kaca yang dipopulerkan oleh Nia Daniyati.

Pukul empat tepat, sebuah sedan mercedes warna putih berhenti di depan kontrakan mereka.  Ibu dan Ayah menyambut tamu mereka dengan wajah sumringah.  Sementara Ratu pura-pura mengecek minuman dan kue-kue yang telah disiapkan di dapur.

“Ratu, ayo kenalan sama Beni!” Ibu membimbing Ratu ke ruang tamu.

Ketika muncul di ambang ruang tamu, pandangan Ratu bersiborok dengan seorang pria tampan.  Detak jantungnya menjadi tak beraturan.  Tapi, Ratu enggan berharap bahwa pria tampan itulah jodohnya.

“Ratu, ternyata kamu lebih cantik daripada fotomu.  Beruntung sekali aku dijodohkan denganmu,” kata sang pria tampan sambil berdiri dan mengulurkan tangannya pada Ratu. 

Ratu salah tinggah.  Pipinya bersemu merah.  Ia tak tahu apakah ini cinta pada pandangan pertama? Gadis cantik itu berupaya meredakan gejolak perasaannya.  Ia mengingatkan dirinya sendiri akan komitmennya, tidak mudah terbujuk rayuan pria.  Dia belum mengenal Beni.  Ia perlu mengkaji sosok calon suaminya secara keseluruhan sebelum memutuskan jatuh cinta padanya.

(Bagaimanakah hubungan Ratu dan Beni selanjutnya? Semanis madu atau penuh onak duri? Nantikan kisah lanjutannya)

Keterangan :


  • Tradisi mengorbankan manusia merupakan kebiasaan pemeluk aliran Bhirawang.  Selanjutnya dapat dibaca di http://awamisme.wordpress.com
  • Cerita ini terjadi pada tahun 1980-an.  Tempat kejadian nyata.  Sedangkan para tokoh dan kisah hanyalah imajinasi penulis (Ibu Fabina).
  • Terjemahan bahasa sunda  : sare = tidur, hudang = bangun, pamali = tak pantas, kalaka nanangga ka imah batur = malah bertandang ke rumah orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar