Rabu, 26 Agustus 2015

Harga Sebuah Kejujuran



Karya Fiksi Fabina Lovers



“Tolong pikirkan sekali lagi keputusanmu itu, Pa!  Anak-anak kita masih sekolah.  Masih butuh banyak biaya.”   Yeni menatap Seno dengan pandangan memohon.

Seno bergeming,  tetap bergumul dengan buku yang baru dipinjamnya dari perpustakaan umum.

Yeni merebut buku dari tangan Seno.  “Gimana sih?  Diajak diskusi  malah baca buku.  Hargai aku dong!”

“Ma, keputusanku sudah final, nggak bisa berubah lagi,” tegas Seno.  Sorot matanya membara.

“Oh Tuhan.”  Yeni menghempaskan diri di sisi Seno lalu meremas-remas rambut indahnya.

Seno  merangkul bahu isterinya.  “Percayalah Ma, aku akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.   Yang lebih halal.  Karena aku tak mau menafkahi kalian dengan uang haram.”

Yeni menepis lengan suaminya.  “Terserah Papa deh,” ujar Yeni seraya berlalu ke kamar tidur mereka.

****
Telah lima bulan Seno menjadi pengangguran.  Kebanyakan orang akan mengatakan Seno bodoh.    Saat keluar dari pekerjaannya,  Seno tengah menduduki jabatan eselon empat di sebuah instansi ‘basah’.   Banyak orang  mengidamkan posisi Seno.  Bahkan bersedia menyogok demi mendapatkan posisi tersebut.  Tapi, Seno malah angkat kaki dari posisi strategis itu.

“Pa, Ulan udah dua bulan nunggak SPP,” lapor puteri sulungnya yang baru pulang sekolah.

“Papa tahu.  Saran papa,  kamu pindah aja ke SMP Negeri.  Toh pelajarannya sama dengan di sekolahmu.  Tapi, biayanya terjangkau.”  Seno mengusap kepala puterinya yang tertutup jilbab putih.

“Cape deh!  Kata teman SD-ku, guru sekolah negeri  malas ngajar.   Terus, ekskulnya nggak asik.  Ulan pasti BT kalau bersekolah di negeri,” ujar Wulan sambil mengernyitkan alisnya yang tebal.

“Ada apa sih?”  Yeni meninggalkan pekerjaannya di dapur untuk menghampiri mereka.

“Mama, kata Papa, Ulan harus pindah ke sekolah negeri.”  Wulan mengadu pada mamanya.

“Nggak bisa.  Kamu nggak boleh pindah sekolah.  Kalau Papamu nggak sanggup bayar SPP, biar mama yang cari uang,” tukas Yeni sambil mendelik sewot pada Seno.

“Emangnya Mama mau kerja apa?” Risa, si anak kedua,  bergabung dalam percakapan keluarga.

“Eh, eh, kalian  belum tahu ya?   Dulu mama pernah jadi model.  Sebentar,  mama mau menunjukan sesuatu.”

Yeni berlari ke dalam kamarnya.  Sejurus kemudian, Yeni keluar sambil membawa setumpuk majalah dan tabloid. “Nih, lihat, mama kalian pernah muda dan cantik!”  Yeni menunjukan foto-foto dirinya saat menjadi model iklan dan cover majalah dengan mimik bangga.

“Aih, Mama dulu nggak pake jilbab ya?” seru Risa dan Wulan, kompak.

“Ya ampun, Mama seksi banget.  Kok nggak malu sih berpose kayak gini?”  Wulan mengerucutkan bibirnya saat melihat gambar ibunya mengenakan pakaian renang.  Saat itu, Yeni menjadi model iklan  wahana wisata air.

Yeni menjadi salah tingkah.  “Itu  masih wajar, Nak.  Tahu nggak, sebenarnya mama diharuskan pakai bikini?  Tapi, mama nggak mau.  Bahkan mengancam akan mundur dari proyek pemotretan kalau harus pakai bikini.   Penata gayanya mengalah.  Mama boleh pakai baju renang.”

“Dulu, sewaktu mama masih remaja, jarang banget lihat wanita berhijab.  Uwaknya mama yang udah naik haji aja nggak berhijab kok,” jelas Yeni dengan suara terbata.

“Mama mau kerja jadi model berhijab?  Hm, menurut aku, saingan mama tuh banyak.  Ada Laudya, Inneke, Zaskia Sungkar, Natasha, Arzeti, haduh pokoknya banyak banget artis cantik yang berhijab,” kata Risa seraya memandangi mamanya dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. 

“Jangan salah, ada yang nawarin mama ikutan sinetron kejar tayang lho.  Mama diminta berperan sebagai ibunya bintang utama,” kata Yeni, jumawa.

“Boleh pake jilbab?”  Kali ini Seno yang bertanya.

Yeni mendesah.  “Itulah Pa.  Dalam sinetron itu, mama harus lepas jilbab.  Tapi, mama berperan sebagai ibu-ibu tua kok.  Rambut mama akan dibuat penuh uban.  Pokoknya penampilan mama nggak akan menarik perhatian pria.  Ijinkan mama jadi bintang sinetron itu ya, Pa? Please.”

Seno terdiam.  “Maaf Ma, Papa akan memberikan ijin hanya bila Mama berjilbab dalam adegan sinetron.  Sekarang ini produksi sinetron religi sudah banyak.  Bahkan artis yang kesehariannya nggak berjilbab pun, tampil berjilbab dalam adegan sinetron,” tandas Seno.

Yeni mengumpulkan majalah dan tabloid yang bertebaran di meja kopi sambil cemberut.  “Iya deh, tapi kalau sampai dua bulan ke depan Papa belum dapat pekerjaan, mama mau ambil semua tawaran sinetron yang datang.  Sekalipun harus berperan jadi kuntilanak.”

Wulan dan Risa tertawa geli.  “Aku punya ide, bagaimana kalau Mama berperan jadi pocong?  Sama-sama setan, tapi nggak mengumbar aurat,” usul Risa.  Seno  pun tertawa saat mendengar usulan puteri keduanya.

Yeni berderap menuju kamar tidurnya sambil membawa majalah dan tabloid kebanggaannya.  Tampangnya semasam belimbing wuluh.    Huh, bapak dan anak sama-sama kampungan,’ Yeni membatin.

****
Seno terbaring lemah di ranjangnya semasa bujangan.   Menurut dokter, Seno terserang typus dan radang tenggorokan.  Sebenarnya, sumber penyakit Seno adalah luka hati yang mendalam. 

“Jalani semuanya dengan ikhlas.  Inilah takdirmu.”  Suara wanita tua itu terdengar manis dan merdu.

“Maafkan aku yang selalu merepotkan Ibu,” gumam Seno.

“Sst, jangan bilang begitu!  Ketahuilah, ibu selalu bangga padamu.  Ibu angkat topi karena kamu keluar dari pekerjaanmu demi sebuah kejujuran.  Memanipulasi penerimaan negara adalah kejahatan besar.  Tak bisa dibenarkan dengan dalih apapun,” tegas Bu Hasanah.

“Tapi, harga kejujuranku terlalu mahal...terlalu mahal, Bu.”

Seno melirik taboid gosip yang tergeletak di meja belajar.  Tempo hari, kakak iparnya  membelikan tabloid itu.   Tentunya karena yang menjadi model cover tabloid  adalah mantan isterinya.  Tulisan besar berwarna jingga yang tercetak di bagian bawah tabloid seolah mengejek Seno. 

“PESINETRON YENI LUPITA HAMIL TANPA SUAMI.”

Seno meninju-ninju kasur dengan gemas.  “Aku menyesali keputusan pengadilan.  Harusnya hak asuh Wulan dan Risa diserahkan padaku.”  Lelaki malang itu terengah-engah menahan luapan emosi.

“Istighfar, Nak!” Bu Hasanah mengusap kepala anaknya sambil beristighfar.

Suara bel tamu berkumandang di seluruh penjuru rumah.  Bu Hasanah buru-buru ke ruang depan untuk membukakan pintu.   Sejurus kemudian, Bu Hasanah memasuki kamar Seno beserta seorang pria tua berkalung serban.

“Assalamu’alaikum Seno,” sapa pria tua itu.

“Wa’alaikumussalam.  Apa kabar, Ustadz Hasyim?”  Seno berusaha bangkit dari posisi tidur.  Bu Hasanah segera membantu Seno duduk lalu mengganjal punggung anaknya dengan beberapa buah bantal.

“Ananda sakit apa?” tanya Ustadz Hasyim dengan suara lembut.

“Sakit hati, Ustadz.  Tapi, saya sedang belajar ikhlas menerima suratan takdir.” 

Seno teringat akan rumah dan mobil yang dijual untuk memenuhi tuntutan Yeni.  Perempuan itu meminta harta gono-gini berikut nafkah bulanan bagi kedua anak mereka.  Karena Seno belum memiliki penghasilan tetap, ia rela tak kebagian hasil penjualan seluruh asetnya itu.  Bukankah ia  berkewajiban menafkahi kedua anak mereka?

“Bagaimana kabar anak-anakmu?”

Seno akan menitikan airmata bila ditanyakan perihal anak-anaknya.  Kedua puterinya melenceng jauh dari tuntunan agama yang mereka anut.  Tidak berhijab di hadapan pria yang bukan mahramnya. Melalaikan shalat lima waktu.  Bergaya hidup mewah.    Ah, Seno menyesali kegagalannya selaku manusia.  Gagal berkarir.  Gagal pula membina rumah tangga.  

“Jangan menangis, Nak!  Kamu nggak sendirian.  Nabi Nuh Alaihissalam pun tidak berhasil membimbing keluarganya.  Tetaplah mendoakan mereka.  Semoga Allah menyemaikan hidayah di hati mereka.”

Mereka terdiam saat mendengar suara pintu depan terhempas, dan derap langkah kaki di ruang tengah.  Tampaknya ada dua pasang kaki yang mendekati kamar Seno.

“Papa, oh papa...” Wulan dan Risa menghambur ke dalam kamar sambil menangis.  Kepala mereka mengenakan bergo yang belum disetrika.

“Wulan, Risa, papa rindu kalian.”  Seno memeluk kedua anaknya sambil menangis.

“Mana mama kalian?”  tanya Bu Hasanah sewaktu huru-hara pertemuan mereda.

“Kami kabur dari rumah, Oma.  Lelaki teman mama itu jahat sekali.  Dia...dia mau mem...” Risa terisak, tak sanggup meneruskan kalimatnya.

“Bolehkah kami ikut Papa?  Janji deh, kami nggak akan nyusahin Papa.  Bila perlu, kami akan bekerja sambil sekolah.   Asalkan kami bisa tinggal dengan Papa,” kata Wulan.

“Oh anakku.”  Seno kembali memeluk kedua anaknya sambil menangis.  “Papa menerima kehadiran kalian dengan tangan terbuka.  Sekarang papa punya bisnis kecil-kecilan.  Cukuplah untuk hidup sederhana bersama kalian.”

“Akan lebih memadai bila Ananda Seno bersedia mengajar di pesantren kami,” imbuh ustadz Hasyim.

“Mengajar di pesantren?” tanya Seno, bingung.

“Pesantren kami butuh guru matematika.  Saya tahu, Ananda Seno menguasai ilmu matematika.  Sejujurnya, kami tak sanggup memberi gaji besar.  Tapi, kami menyediakan tempat tinggal dan makanan sederhana bagi para guru.  Wulan dan Risa juga boleh bersekolah gratis di pesantren, bagaimana?”

“Terima aja Pa.  Kami ingin sekali masuk pesantren.  Biar kami ngerti agama.  Jadi, kelakuan kami nggak kacau lagi seperti waktu tinggal dengan Mama,” cetus Risa, antusias.

Seno memandang Ustadz Hasyim dengan mata berkabut.  “Jazakallah ya Ustadz Hasyim.  Semoga pekerjaan ini membawa kebaikan bagi kami.”

Nyanyian  kenari  yang bertengger pada pohon sawo di halaman belakang terdengar merdu.  Seiring alunan puja-puji ke hadirat Illahi nan meluncur dari lisan Seno.  Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan.

-TAMAT -

Catatan :

Bergo adalah kerudung yang bisa langsung dikenakan tanpa peniti.
Jazakallah artinya semoga Allah membalas kebaikanmu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar