Karya Fiksi Fabina Lovers
Malam beranjak tua. Kukuk burung hantu mendirikan bulu roma. Sesuatu yang menyerupai bintang berekor
terbang di keheningan malam, lalu menjatuhkan diri pada atap sebuah ruko. Bintang berekor menembus plafon ruko dan
merasuki tubuh Yanto. Pemilik bengkel
per mobil itu sontak terjaga. Ia
memegangi tenggorokannya yang terasa panas.
“Ma, Ma...bangun Ma, uhuk...uhuk...” Yanto terbatuk dan mengeluarkan darah segar dari mulutnya.
“Ya Tuhan, Papa kenapa?”
Btari panik saat melihat suaminya
bersimbah darah. Perempuan itu meraih
ponsel dari laci tempat tidurnya, lalu menelepon dokter langganan mereka.
“Sabar ya Pa, sebentar lagi
dokter datang.”
Btari membersihkan darah
yang menempel di mulut dan leher suaminya dengan handuk basah. Air matanya tak putus mengalir. Ia tak pernah membayangkan musibah ini
terjadi pada suaminya. Yanto tak punya
riwayat penyakit dalam. Mustahil dirinya
muntah darah.
Yanto terbatuk-batuk lagi. Kali ini darah yang dikeluarkannya lebih banyak. Untunglah Btari telah menyiapkan ember untuk
wadahnya.
“Asyhadu an-laa ilaa ha illallaah,
wa asyhadu anna Muhammadan-rasuulullaah...Ma, papa udah nggak kuat lagi.” Yanto terkulai di tempat tidurnya.
“Papa, Papa...tahan Pa... aduh Dokter Wijaya kok belum datang, sih.”
Btari
menyelimuti tubuh suaminya, dan berusaha menelepon lagi dokter mereka. Saat itulah bel tamu berdering. Btari buru-buru turun ke bagian bawah
bangunan yang berfungsi sebagai bengkel.
Ia berharap Dokter Wijaya yang datang. Btari menghembuskan napas lega saat melihat siluet Dokter Wijaya dari balik jendela.
“Ada apa Pak Yan...” Dokter Wijaya
nyaris berteriak sewaktu melihat kondisi Yanto.
Wajah dan sekujur tubuh pria itu membiru.
“Innalillahi...Bu Yanto, mohon
maaf, saya tak bisa menolong Bapak,” kata Dokter Wijaya seusai meraba nadi Yanto. Btari tak kuat lagi membendung duka
hatinya. Tubuh langsingnya berdebam di
lantai kamar.
*****
Telah dua bulan Yanto
meninggalkan dunia fana ini. Keluarga
besarnya berduka. Terlebih ibunya yang
berusia enampuluh lima tahun. Yanto berbakti pada ibunya, dan menyayangi saudara-saudaranya. Ia tak pernah menolak permintaan tolong dari
kerabatnya.
“Bu, saya mau pulang kampung
saja. Saya udah nggak betah tinggal
di ruko. Bayang-bayang Mas Yanto selalu
menghantui saya,” kata Btari dalam sebuah kunjungan ke rumah mertuanya.
“Btari, tinggallah bersama ibu
di rumah ini. Kamu sudah ibu anggap anak
sendiri,” pinta Bu Salim.
“Terima kasih, Ibu baik
sekali. Tapi, emak juga ingin ditemani
saya. Beliau merasa kesepian sejak Abah
berpulang setahun lalu.”
“Kalau begitu, ibu tidak bisa
memaksamu. Cuma ibu bingung, siapa yang
akan mengelola bengkel per mobil peninggalan suamimu?
Prospek bengkel itu bagus lho. Berapa omsetnya per hari, Nak?”
“Enam juta rupiah, Bu.”
“Masya Allah, besar tuh. Btari, apakah kamu benar-benar ingin pulang
kampung? Kamu mau kerja apa di sana? Apa
Rafi betah tinggal di rumah ibumu?
Bagaimana kalau dia ingin ke mall?”
“Saya mau bantu emak jaga warung. Tentang Rafi, dia akan segera
terbiasa tinggal di kampung. Anak kecil
mudah beradaptasi kok, Bu.”
Bu Salim menghembuskan napas berat. “Okelah kalau begitu. Biar Tora yang meneruskan usaha Yanto. Toh bengkel itu masih warisan ayah kalian.”
“Setuju Bu, Mas Tora pernah minta
ijin meneruskan usaha peninggalan almarhum.
Mbak Kenanga juga nggak keberatan tinggal di ruko.”
“Btari,” Bu Salim menggenggam tangan menantunya. “Sering-sering main kemari, ya!”
“Insya Allah, Bu.” Btari mencium punggung tangan mertuanya penuh
hikmat
*****
Wanita muda itu tampaknya sedang
menunggu seseorang. Ia mengenakan wig model
bob berwarna cokelat gelap dan kacamata hitam besar. Barangkali untuk menyembunyikan jati
dirinya.
“Ehem, lagi nungguin aku ya?”
sapa seorang pria berambut kribo dan berkacamata hitam.
“Marsel, kamu kok ikut-ikutan nyamar?”
tanya wanita itu, setengah berbisik.
“Honey, aku nggak mau keluargamu mengetahui hubungan kita. Bisa-bisa kematian misterius itu dihubungkan
dengan kebersamaan kita.” Marsel duduk di hadapan si wanita muda lalu memegang
tangannya.
“Kamu memang cerdik, sayang. Love
you so much.” Wanita muda meletakan tangan Marsel di pipinya. Sama sekali tak merasa risih. Dia yakin seluruh pengunjung kafe sibuk
dengan kegiatan masing-masing, dan tidak memerhatikan dirinya.
“So, kamu sudah berkunjung
lagi ke gurumu?” Marsel membelai pipi kekasihnya.
“Ya sayang. Sebentar lagi kita akan menjadi pasangan
milyarder paling romantis.” Wanita muda itu tersenyum manis. Lantas sebuah lagu lawas mengalun dari celah bibir sensualnya. ‘And
now, I do believe that even in the storm
we find some light. Knowing you beside
me I’m alright.’
“Honey, ayo segera ke mobilku.
Aku kangen kamu.” Marsel setengah
menyeret kekasihnya keluar kafe.
****
Kenanga tak menangis saat melihat
jenazah Tora dimakamkan. Rasanya seperti
bermimpi. Baru saja mereka merayakan
lebaran bersama keluarga besar suaminya.
Saat itu suaminya terlihat bugar dan bahagia.
Beberapa hari setelah lebaran, suaminya
mengeluhkan rasa sakit di dadanya. Saat
suaminya memeriksakan diri ke dokter, tak ditemukan kelainan apapun. Jantung dan paru-parunya berfungsi dengan
baik. Hasil pemeriksaan sampel darah pun
normal. Tak mengindikasikan keberadaan suatu
penyakit di tubuh suaminya. Anehnya, rasa sakit itu kian tak tertanggungkan. Hingga suaminya harus meregang nyawa saat
matahari muncul di cakrawala.
Dua hari setelah kepergian Tora,
keluarga besar Salim mengadakan rapat.
Anak, cucu dan menantu menghadiri
rapat keluarga, kecuali Kenanga.
“Kemana Kenanga?” tanya Bu Salim
yang bermata sembab. Kentara benar bila
dua hari terakhir ini Bu Salim sering menangis.
“Pulang kampung, Bu. Katanya, takut tinggal sendirian di
ruko. Dia dapat ancaman dari seseorang
yang tak dikenalnya,” kata Hendra, anak ketiga dari kelima anak keluarga Salim.
“Kok nggak pamitan ke Ibu?” tanya
Bu Salim sambil mengerutkan kening.
“Kayaknya Mbak Kenanga buru-buru.
Pamit ke saya pun lewat SMS. Mungkin
udah nggak tahan lagi tinggal di sana,” jelas Hendra.
“Nah, karena itulah ibu
mengumpulkan kalian di sini. Ibu pikir,
lahan ruko itu pembawa sial bagi keluarga kita.
Ibu nggak mau kehilangan anak lagi gara-gara tinggal di sana. Lama-lama, anak ibu bisa habis.” Bu Salim kembali menangis. Salah seorang menantunya memijat lembut
punggung Bu Salim.
“Bagaimana kalau ruko itu kita jual?”
usul Maya, si bungsu.
“Setuju,” ujar seluruh saudaranya, kompak.
“Masalahnya, sertifikat tanahnya
disimpan almarhum Tora. Sebentar, saya mau ngebel Mbak Kenanga dulu. Pasti dia tahu tempat penyimpanan sertifikat
itu.” Hendra memencet nomor kontak Kenanga di
ponselnya, dan menunggu nada panggil.
Namun, tak terdengar nada panggil di ponselnya. Hanya ada pesan suara semacam ini : ‘maaf, nomor yang anda panggil berada di luar
jangkauan’.
Keringat dingin mulai membanjiri
kening Hendra. “Ya Allah, Mbak Kenanga
kok nggak bisa dihubungi, ya?
Mudah-mudahan dia tidak dalam bahaya,” gumam Hendra, panik.
****
Kenanga bersandar di bahu
Marsel. Laut Tiongkok Selatan terbentang di hadapan mereka. Mereka tengah menyaksikan ‘pertunjukan’ ikan terbang berlatar birunya lautan.
“Sayangku, ternyata lautan lebih
menarik daripada daratan, ya?” desah Kenanga.
“Benar Honey, makanya aku jadi pelaut.” Marsel mengecup kepala kekasihnya
yang beraroma buah kiwi.
“Makasih Sayang, berkat bantuanmu,
aku berhasil menjual ruko dengan harga
fantastis.” Kenanga mengecup pipi pujaan hatinya.
“Oh, aku bangga jadi kekasihnya
milyarder pintar. Harusnya Agatha
Christie berguru padamu. Racun arsenik,
racun sianida, semua itu mudah dilacak polisi.”
Kenanga terkikik geli. “Santet guruku tepat sasaran. Yanto dan Tora pun KO dalam hitungan menit. Pantas saja guruku dijuluki Tyson.”
“Milyarderku yang manis, apakah
kamu sudah mengubah pin ATM-mu?”
“Tentu, Sayang. Pin-nya sama dengan tanggal lahirmu. Kamu
boleh ambil berapapun yang kamu mau.”
Kenanga menyodorkan sebuah kartu ATM pada Marsel.
“Hati-hati Sayang, nanti aku
jatuh ke laut!” jerit Kenanga saat Marsel membopong tubuhnya.
“Memang itu yang akan kulakukan,”
kata Marsel sambil melempar tubuh Kenanga ke laut. Tak seorang pun menyaksikan perbuatannya. Seluruh penumpang kapal pesiar tengah
menikmati makan siang nan mewah di restoran kapal.
Marsel buru-buru menuruni tangga
kapal untuk mencapai kabinnya di lantai tiga. “Sekarang, aku jadi milyarder,” gumam
Marsel, jumawa.
Kehilangan Kenanga akan diumumkannya sekitar pukul lima sore. Ia akan mengaku ketiduran sepanjang siang dan
terkejut saat menyadari ketiadaan Kenanga di sisinya. Bila perlu, Marsel akan menangis saat
memohon pencarian kekasihnya pada kapten kapal.
Ya, Marsel piawai berakting seperti itu.
Marsel tak menyadari, Pemilik
Semesta Raya melihat kejahatannya dan tengah merencanakan pembalasan sempurna
untuknya. Karena kejahatan sebesar biji zarah pun akan mendapatkan pembalasan.
-TAMAT-
Catatan :
Agatha Christie (1890 - 1976) adalah pengarang novel bertema
pembunuhan. Korban dalam cerita novelnya terbunuh akibat racun arsenik atau
sianida.
Tyson adalah panggilan untuk Mike
Tyson, petinju legendaris tahun delapanpuluhan yang mahir meng-KO lawannya.
Zarah adalah partikel seukuran atom.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar