Kamis, 31 Maret 2016

Fitrah


Fiksi by Fabina Lovers

Kamilah keluarga tikus paling bergaya.  Ibuku senantiasa menyelaraskan warna gaunnya  dengan warna mobil yang dikendarainya.  Bila ibuku bepergian dengan busana bernuansa ungu, mobilnya pun ungu.   Jumlah mobil kepunyaan ibu melebihi bilangan jemari, walaupun tak tergolong mobil mewah.  Ayahku lebih praktis, hanya memiliki sebuah mobil. Tapi, harga mobil ayah setara  gaji seratus orang guru  honorer SD selama sepuluh tahun.

Aku adalah mahluk paling bersahaja dalam keluarga.  Aku nyaman mengendarai mobil bernilai seperduapuluh dari harga mobil ayahku.  Meskipun demikian, hasil penjualan mobilku cukup untuk menggaji seorang buruh cuci selama duapuluh tahun.

Seperti umumnya bangsa tikus, orang tuaku berprofesi sebagai pencuri.  Bagi kami, mencuri tak sekadar pemenuhan kebutuhan hidup.  Mencuri adalah seni.  Seni melepaskan diri dari jerat hukum, sekaligus mencari tempat persembunyian yang aman.  Agar kebal hukum, pencuri perlu merajut jejaring pertemanan dengan penegak hukum.  Pencuri tak boleh pelit,  harus rela melepaskan sebagian hasil curiannya untuk biaya keamanan.

Tiga tahun lalu, aku bertransformasi menjadi macan betina.  Aku berpindah kebangsaan karena mengagumi falsafah hidup bangsa macan, yaitu: ‘keadilan sosial bagi seluruh masyarakat macan’.  Macan selalu bekerja sama dalam perburuan mangsa,  membagi hasil buruan secara adil,  lalu bersantai hingga waktu makan berikutnya.  Macan tidak serakus tikus, walaupun tubuhnya lebih besar.

“Para penumpang yang terhormat, lima menit lagi pesawat akan mendarat di Bandara Sultan Mahmud Badarudin II.  Mohon kenakan sabuk pengaman!”  kata seorang pramugari berwujud angsa cantik.  Suaranyanya sejernih Danau Singkarak.

Aku mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kabin.  Tak seorang penumpang pun berwajah manusia.  Dewasa ini, aku jarang bertemu manusia berwajah manusia.

Aku menanti penjemputku di selasar terminal kedatangan bandara.

Sial, sepagi ini harus berhadapan dengan bangsa tikus.

“Selamat datang di Bumi Sriwijaya!”  Bobi, lelaki usia tigapuluh dua tahun bertampang tikus, menjabat tanganku dengan erat.

“Mas Bobi memang bos yang rendah hati.  Sudi menjemput karyawati kroco macam saya.”  Aku menyunggingkan senyuman ular.

“Ah, di sini tak ada istilah bos.”  Binar wajah Bobi menggambarkan perasaan bangganya mendengar pujianku.

“Bagaimana kalau kita makan siang dulu?  Pindang iga di Restoran Yuk Rina hm...”  Bobi mengacungkan jempol sambil tersenyum lebar.

“Tak usah, saya masih kenyang.   Oh ya, apakah staf Mas Bobi berhasil mengundang mereka?”

“Satu jam lagi mereka akan menjumpai kita di lobi hotel tempat Mbak Rena menginap.”

“Oke, ayo berangkat ke Muba! Jangan biarkan mereka bosan menunggu kita!”

Kedua lelaki itu menemui kami di lobi Hotel Sekayu, hotel paling megah seantero Kabupaten Muba.  Aku terkesima saat bersitatap dengan mereka, manusia berwajah manusia.

“Perkenalkan, saya Kiagus Hasan dan ini Guru Lukman.”  Lelaki berusia akhir limapuluh tahun itu memperkenalkan rekannya yang berusia duapuluh tahun lebih muda.

“Saya Renata, utusan Mister Steve, GM perusahaan kami.”  Sebagai salam perkenalan, aku mengatupkan sepasang tangan di dada.  Aku paham, lelaki macam mereka enggan bersentuhan dengan wanita non muhrim (2).

“Silakan duduk, mau saya pesanan minuman?” tawarku, ramah.

“Tak usah repot Mbak, insya Allah kami berpuasa sunah,” tolak Kiagus Hasan seraya mengambil tempat duduk di hadapanku.  Guru Lukman memilih tempat duduk di sisi kiri Kiagus Hasan.

“Subhanallah, mohon maaf kalau begitu,” ujarku, santai.

Kedua lelaki terlibat perbincangan ringan denganku. Steve pernah memuji keluwesanku bergaul dengan berbagai kalangan manusia.  Dalam hal ini,  aku berhutang budi pada ibu.  Saat aku beranjak remaja, ibu memasukanku ke Sekolah Kepribadian berstandar internasional.

“Maaf, saya ingin tahu tujuan Bapak dan Ibu mengundang kami kemari,” kata Kiagus Hasan.

“Bangunan SD Negeri di kampung Bapak dalam kondisi rusak parah.   Bagaimana kalau kami membantu biaya perbaikannya?” usul Bobi.

Kiagus Hasan dan Guru Lukman saling berpandangan.

“Kami sudah mengajukan proposal perbaikan gedung sekolah dalam Musrenbang (3) Desa.  Mudah-mudahan dananya cair tahun depan,” ujar Guru Lukman.

“Terlalu lama kalau menunggu hingga tahun depan.  Gedung itu akan ambruk dalam waktu dekat.  Apakah Bapak tidak mengkhawatirkan keselamatan anak-anak yang bersekolah di sana?” tanyaku.

“Kami tak mau menerima bantuan bila harus menandatangani ijin penambangan gas alam.  Tambang kalian akan merusak hutan kami!  Menghilangkan daerah resapan air  kami!” tegas Kiagus Hasan.

“Pak, Menteri Kehutanan telah menerbitkan peraturan (4) yang mewajibkan perusahaan pertambangan menghijaukan lahan yang terletak satu Daerah Aliran Sungai dengan lahan hutan yang dieksploitasi.  Artinya kampung Bapak akan mendapatkan pengganti daerah tangkapan air.  Kebutuhan air untuk rumah tangga dan pertanian insya Allah tercukupi,” jelasku.

“Selain itu pertambangan kami akan membuka lapangan kerja bagi penduduk kampung.  Kami pasti membutuhkan jasa warung makan, pekerja kasar dan asisten rumah tangga,” imbuh Bobi.

“Mohon maaf Bapak dan Ibu yang terhormat,  pada kenyataannya Peraturan Pemerintah hanyalah literasi tak bermakna.  Masih ingat  banjir lumpur yang menenggelamkan beberapa desa di Sidoarjo?  Nah, kami tak ingin  mengalami tragedi serupa.”  Kiagus Hasan terdiam sejenak untuk menghela napas panjang.  “Tampaknya kita tak mungkin mencapai mufakat.  Daripada bicara panjang lebar tanpa hasil, baiknya kita sudahi saja pertemuan ini!”

“Tunggu Pak, tolong terima uang transportasi sekadarnya dari kami!”   Bobi menyelipkan ‘amplop’  ke dalam genggaman kedua pria itu.

Sepasang manusia berwajah manusia itu sontak berdiri seraya menjatuhkan amlop ke meja tamu.  Keduanya tampak gusar.  “Terima kasih.  Sekali lagi saya tegaskan, kami tak bersedia menerima apapun dari Ibu dan Bapak,” sergah Kiagus Hasan sebelum beranjak keluar ruangan.
***
Enam Bulan Kemudian

Sore itu, sekompi pasukan keamanan berwajah kerbau menggerebek rumah Kiagus Hasan. Mereka membangunkan Kiagus yang tengah tertidur di kursi malas, lalu menggelandangnya keluar rumah.

“Apa salah saya?” protes Kiagus sambil membenahi sarungnya yang melorot.

“Bapak kami tangkap karena memiliki seribu gram sabu-sabu,” kata Komandan Pasukan.

“Mana mungkin?  Jangankan punya sabu,  merokok pun aku tak pernah,” bantah Kiagus Hasan.

Beberapa orang petugas menggeledah rumah Kiagus Hasan.  Sejurus kemudian, mereka keluar rumah sambil menenteng kotak berisi serbuk putih mirip tepung maizena.

“Kotak ini punya Bapak, bukan?”  Komandan Pasukan mengangkat kotak berisi serbuk putih hingga sejajar wajah Kiagus Hasan.

“I..iya, itu paket salah alamat.  Saya tak paham isinya,” jelas Kiagus Hasan, terbata.

“Tapi paket ini ditujukan ke alamat Bapak.  Ayo, ikut kami ke kantor! Sampaikan saja keterangan Bapak pada  penyidik!.”

Sang komandan memborgol tangan Kiagus Hasan lalu mendorongnya naik ke atas mobil bak terbuka.  Mobil yang pernah mengangkut seorang pembunuh berdarah dingin.

Sebagian besar penduduk Kampung Kepayang (termasuk keluarga Kiagus Hasan) menangis saat menyaksikan peristiwa penangkapan itu.

Seorang remaja penggemar kisah konspirasi berbisik pada teman sebayanya : “Aku yakin, kejadian ini  rekayasa.  Pasti gara-gara Kiagus menentang penambangan gas alam di kampung kita.”

Seminggu kemudian, Guru Lukman menerima Surat Mutasi Tugas ke sekolah yang berjarak  puluhan kilometer dari Kampung Kepayang.  Para penduduk kembali kehilangan tokoh panutan.  Mereka bagaikan anak gajah ditinggalkan induknya. Siap menjadi mangsa kami, para macan kelaparan.

Sebuah Kamar Hotel Mewah di Jakarta

Aku dan Steve, seorang macan jantan keturunan Prancis tengah menonton televisi layar datar ukuran 32" yang menyajikan kegiatan pengeboran perdana di Kampung Kepayang, Kabupaten Muba.  Para insinyur berwajah macan kumbang memberikan komando pada pekerja kasar berwajah keledai.  Mereka tampak bersemangat.

“Sayangku, dirimu paket lengkap,” bisik Steve.  Hembusan napasnya terasa hangat di tengkukku.

“Bisa diperjelas?” Aku mengerling genit.

“Kamu cantik, seksi, dan cerdas.  Berkat strategimu, perusahaan kita berhasil membuka pertambangan baru.”

“Oh Steve...” Kalimatku terputus gara-gara Steve menarikku ke 'danau cinta'.

Kami berselancar menuju surga dunia.  Saat kami hampir mencapai pelataran surga, seluruh ruangan mendadak gulita. Aku terperosok dalam lubang hitam, lalu melayang-layang tak tentu arah.

Akhirnya aku terdampar di dasar sebuah lorong bercahaya temaram.  Aku membelalakan mata untuk mencermati keadaan sekelilingku.  Sekitar sepuluh ekor gorila berwajah menyeramkan tengah menatapku.  Aku melangkah mundur karena ketakutan.  Akibatnya bagian belakang kepalaku membentur dinding cadas.

 Selanjutnya aku tak ingat apa-apa lagi.
Saat siuman, aku dapati diriku berada di tengah lingkaran gorila.  Mereka mendekatiku sambil memamerkan geliginya yang runcing.    Kepalaku berdenyut-denyut.  Dadaku terasa sesak.  Aku pingsan kembali.  Peristiwa itu terjadi berulang kali.  Tubuhku kian melemah.  Aku pasrah bila harus meregang nyawa di lorong ini.

Suara apakah itu?

Sayup-sayup, terdengar  seorang pria mengaji Al Quran.  Suaranya menghantarkan energi ke sekujur tubuhku.  Mendadak tubuhku terasa kuat. Aku bisa berdiri, meloloskan diri dari barikade gorila,  lalu berlari kencang ke arah datangnya cahaya.  Sampailah aku di mulut terowongan.  Seberkas cahaya keemasan nyaris membutakan mataku.

 Dimanakah aku?

“Terima kasih Tuhan, kekasihku sudah bangun.”  Steve menciumi wajahku penuh haru.  Dia berhenti menciumku saat mendengar suara berdehem di belakang punggungnya.

“Alhamdulillah, Ananda sudah siuman,” kata pria sepuh berkopiah.  Seorang manusia berwajah manusia.

“Steve...?”  Aku menatap Steve dengan mimik bertanya.

“Bukankah kamu pernah beragama Islam? Jadi, aku minta tolong  Kyai Umar membangunkanmu,” jelas Steve.

“Agama apa yang Ananda anut saat ini?” tanya Kyai Umar.

“Sa-saya tidak punya agama,” jawabku, tergagap.

“Mengapa begitu?”  Kyai Umar menatapku sambil tersenyum.

“Agama adalah perwujudan ego manusia demi eksistensi diri.  Tuhan tak pernah menciptakan agama.”

“Saya meyakini ajaran agama, termasuk Islam, bersumber dari Tuhan, bukan buatan manusia.”

“Oh ya, kalau Pak Kyai bisa membuktikan Al Quran bukan karangan Muhamad, saya berjanji masuk Islam lagi!” tantangku.

“Apakah Ananda pernah mendengar kisah penyelam ulung bernama Yves Costeu.”

“Belum pernah.”

“Suatu ketika, Tuan Costeu menyusuri dasar Laut Cenota Angelita di Mexico.  Saat menyelami bagian laut terdalam, beliau menemukan sungai bawah laut yang ditumbuhi pohon dan dedaunan.  Lihatlah, aku punya gambarnya!“

Pak Kyai menunjukan sebuah gambar pada galeri ponsel pintarnya.

“Rasa air sungai itu tawar, tidak asin seperti air laut di sekitarnya.  Tuan Costeu terkesima, 'bagaimana mungkin dua air berbeda jenis tidak menyatu saat berada dalam satu tempat?', kata beliau.  Adapun Ulama Islam tak merasa heran dengan fenomena itu.  Karena fenomena itu dinyatakan dalam Al Quran Surat Al Furqon Ayat 53.”

Kyai Umar membuka kitab Al Quran lalu memintaku membaca sebuah ayat.  Aku  menelaah terjemahan berbahasa Indonesia dari ayat itu: 'Dan dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan), yang ini tawar lagi segar dan yang lain masin lagi pahit, dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi'.

“Mungkin Muhammad pun penyelam ulung?”

Aku belum bersedia mengakui kebenaran itu.

Kyai Umar tertawa.  “Anakku, Baginda Muhammad hidup seribu empat ratus tahun lalu.  Saat itu teknologi eksplorasi dasar laut belum canggih.   Mana ada manusia yang sanggup menyelam hingga ribuan meter di bawah laut tanpa alat bantu?”

“Ayo Renata, kamu harus menepati janji!” saran Steve yang berjiwa ksatria.

Aku terpaksa menepati janjiku.  Dengan bimbingan Kyai Umar, aku kembali ke pangkuan agama nenek moyangku.  Keharuanku membuncah bagai samudra saat purnama.  Aku bersujud sembari menangis.

“Renata, ada apa?” Steve merengkuh tubuhku.

“Oh Steve, aku ini pendosa.  Kiagus Hasan meninggal di penjara akibat ulahku.  Apakah diriku layak menjadi  muslimah?” ratapku dalam pelukan Steve.

“Bertobatlah Nak, pintu tobat terbuka bagi kita selama hayat dikandung badan,” nasehat Kyai Umar.

“Pak Kyai, apa yang harus saya lakukan sebagai wujud pertobatan?” Aku beranjak dari sujud, berusaha melepaskan diri dari pelukan Steve.

“Pelajarilah agamamu! Laksanakan semua ajarannya sekuat dayamu!  Sesungguhnya Allah Maha Pengasih dan Maha Pengampun.”

“Rena, kamu ingin masuk pesantren?” Steve bertanya dengan suara lirih.

“Tentu, Steve,” jawabku, lugas.

“Belajarlah di Pesantren Pertanian milik sahabatku.  Para santri di sana tak sekadar belajar ilmu agama, tapi juga teknologi pertanian ramah lingkungan.  Sesungguhnya manusia sejati tidak merusak lingkungan demi pemenuhan hajat hidupnya.  Hanya binatang yang berbuat demikian.”

“Baiklah Kyai, besok saya akan berangkat ke pesantren itu.  Boleh saya minta alamatnya?”

“Tentu saja, Nak.  Akan kukirimkan alamat serta peta lokasinya lewat pesan whatsapp.  Bisa minta  nomormu?”
Aku menyebutkan nomor kartu selularku sambil berkemas.

“Maaf Steve, aku harus meninggalkanmu.  Kembalilah pada isterimu! Selamat malam,” pamitku.

Steve tak menanggapi salam perpisahanku. Matanya berkabut.

Saat melewati meja rias, aku mencermati bayangan diriku di cermin.  Kejutan, aku mengalami perubahan wujud. Raut wajahku tak lagi menyerupai hewan.  Aku kembali pada fitrahku sebagai manusia.
                                 TAMAT
Bogor, 6 Pebruari 2016 pukul 16:32

Keterangan :
1)Fitrah berasal dari akar kata f-t-r dalam bahasa Arab yang berarti membuka atau menguak.  Fitrah mempunyai makna asal kejadian, keadaan yang suci dan kembali ke asal.

2)Muhrim adalah wanita yang tidak boleh dinikahi sebagaimana tercantuk dalam surat An Nur ayat 31.

3)Musrenbang singkatan dari Musyawarah Perencanaan Pembangunan, dilaksanakan dari tingkat desa hingga tingkat kecamatan untuk mengetahui kebutuhan masyarakat di suatu wilayah.

4)Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.12/Permenhut/2004 tentang pemanfaatan hutan lindung (tidak berlaku lagi).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar