Cerbung Fabina Lovers
Dor...terdengar suara letusan pistol. Philip tersungkur di bibir kolam renang. Pria
tampan itu sontak meraba pelipisnya.
Aneh, mengapa tidak ada
luka?
Alangkah
terkejutnya Philip sewaktu melihat Rosemary terbujur di sampingnya. Betisnya mengeluarkan darah segar, sedangkan tangannya terbelenggu borgol. Sebelum sempat bangkit dari posisi tengkurap, sepasang borgol telah membelenggu tangan
Philip. Saat pria tampan itu menolehkan
ke belakang punggungnya, ia melihat dua orang polisi tengah memandanginya
sambil menyunggingkan senyum kemenangan.
“Rose,
sudah kubilang, kau akan menyesal bila berniat membunuhku.”
Jack
tua telah berada di dekat mereka.
Rupanya ia berpura-pura mati.
“Maafkan
aku, Jack. Aku termakan hasutan dia.”
Rosemary
mengedikan dagu indahnya ke arah Philip.
“Bohong,
dia dalangnya,” elak Philip.
“Sudahlah
Rose, aku tahu semuanya. Aku menyewa
detektif untuk memata-mataimu. Bahkan
seluruh penjuru rumah ini telah dipasangi CCTV untuk memantau aktivitasmu,
termasuk saat kau menyeludupkan lelaki itu.”
Jack
mendekati istrinya sambil tersenyum sinis.
“Aku
pun melengkapi diri dengan kamera berbentuk kacamata yang terhubung ke layar TV
di markas polisi. Mereka mengetahui
orang-orang yang bertemu denganku, dan siap melindungiku bila ada yang hendak mencelakakanku.”
“Bunuh
saja aku, bunuh saja aku,” jerit Rosemary ketika petugas menggelandangnya ke
kantor polisi.
Philip
turut digelandang ke kantor polisi.
Lelaki itu tidak melawan. Matanya
berkaca-kaca. Sedih karena impiannya
kandas di tengah jalan.
Rupanya
dewi keberuntungan berpihak pada Philip.
Sebulan kemudian, terjadi aksi amuk massa di halaman penjara pria. Suasana penjara kacau. Beberapa orang narapidana, termasuk Philip,
berhasil melarikan diri. Berkat bantuas
Santos, teman senasib di penjara, Philip mendapatkan paspor palsu dan berhasil
memasuki Negara Kanada.
Philip
menetap di Kota Toronto, dan mengubah namanya menjadi Robert Brown, sebagaimana
nama di paspornya. Robert Brown telah
bertobat. Ia mencari nafkah secara halal
dengan menjadi pengajar kursus Bahasa Spanyol.
Suatu
hari, Robert mendapatkan murid cantik berambut cokelat, yang antusias mengikuti
pelajarannya. Rupanya mereka saling
tertarik. Seusai sesi kursus, mereka
kerap melewatkan senja di sebuah kafe. Padahal
murid wanita itu telah bersuami.
“Suamimu
tidak marah?” tanya Robert, suatu hari.
“Mungkin
tidak. Dia ingin mencarikanku donatur sperma.
Menurut hasil pemeriksaan dokter kandungan, aku subur, sedangkan dia
mandul,” jelas Gwendoline Prakoso.
“Kalau
begitu, aku mau mendaftarkan diri jadi donatur,” kata Robert dengan mata
berbinar nakal.
“Benarkah?”
Gwendoline Prakoso mencibirkan bibirnya nan sensual. “Apakah benihmu unggul?”
“Jadi,
kau meragukan kualitas lulusan Harvard, heh?”
“Tentu
tidak, hm...mari kita coba.”
Dua
bulan kemudian, Gwendoline dinyatakan hamil.
Prakoso menyambut berita kehamilannya dengan sukacita, seolah janin
dalam rahim Gwendoline berasal dari benihnya.
Sedangkan Gwendoline malah merasa geram saat melihat kebahagiaan
Prakoso.
“Apakah
kamu tahu, aku mendapatkan sperma tanpa bantuan dokter?” tanya Gwendoline,
sinis
“Masa
bodoh, yang penting aku punya anak,” ujar Prokoso seraya menciumi perut Gwendoline.
“Bagaimana
kalau aku jatuh cinta pada pendonor sperma itu?”
“Silahkan
saja, yang penting anak ini untukku.
Kamu tahu, cita-citaku sejak remaja adalah menjadi ayah.”
Gwendoline
langsung membenci janin yang dikandungnya.
Ia sadar, kelak Prakoso akan lebih memperhatikan anak itu daripada
dirinya. Padahal Gwendoline selalu haus
perhatian. Terutama perhatian dari
Prakoso, lelaki yang paling dicintainya.
Maka
dimulailah masa-masa paling aneh dalam kehidupan Gwendoline.
Wanita cantik itu seolah memiliki dua orang suami. Robert Brown, ayah biologis dari janin yang
dikandungnya. Juga Prakoso, lelaki asal
Indonesia yang masih menjadi suami sahnya.
“Mengapa
kau tidak menceraikanku?” tanya Gwendoline.
“Karena
aku sangat mencintaimu, Honey,” balas
Prakoso, kalem.
Saat
Gwendoline melahirkan bayinya, Robert memutuskan tinggal serumah dengan wanita
lain. Gwendoline terpukul. Ia terpaksa mengakui kebenaran perkataan
Prakoso : ‘hanya aku yang mencintaimu apa adanya’.
Bayi
perempuan itu mereka namai Minneapolis Prakoso.
Tentu saja nama belakangnya bukan Brown, karena Gwendoline tidak terikat
pernikahan resmi dengan playboy
itu. Minneapolis rupanya membawa
peruntungan baik bagi Keluarga Prakoso. Sejak
kehadiran bayi itu, Prakoso yang bekerja sebagai konsultan IT tak henti mendapatkan
proyek bernilai jutaan dollar. Bahkan, saat Minneapolis berusia sebelas tahun, Gwendoline
berhak mewarisi seluruh kekayaan Jack Stuard yang meninggal pada usia
tujuhpuluh lima tahun. Apakah hubungan
Jack dengan Gwendoline? Jack adalah saudara
kandung semata wayang dari mendiang ayahnya. Karena Gwendoline ditakdirkan menjadi anak
tunggal, ia tak perlu berbagi warisan dengan saudara kandungnya.
Sewaktu
mendengar Gwendoline mewarisi kekayaan Jack Stuard, Robert Brown menyesali
keputusan bodohnya tempo hari. Mengapa
ia meninggalkan Gwendoline? Padahal,
wanita itu ingin bercerai dari suaminya demi hidup bersama Robert
Brown. Tapi, Robert Brown tak kehabisan
akal. Bukankah Minneapolis adalah darah
dagingnya. Berarti, ia pun berhak
mendapatkan warisan dari anak perempuan itu.
Robert
memata-matai kediaman Keluarga Prakoso selama seminggu. Saat melihat Prakoso meninggalkan rumah
bersama anaknya, Robert segera mengetuk pintu
depan. Ia ingin berbicara empat mata
dengan Gwendoline.
“Masuklah
Robert, tumben datang kemari,” kata Gwendoline sambil membukakan pintu depan.
“Kamu
makin cantik saja. Tubuhmu tetap
langsing walau sudah melahirkan anak,” puji Robert.
“Hm,
rupanya kau sudah tahu tentang warisan itu.”
Gwendoline
menngerucutkan bibirnya sambil buang muka.
“Sejujurnya,
aku memang menginginkan warisan itu.”
“Tidak
mungkin, kamu bukan suamiku.”
“Mungkin
saja, aku ayah biologis anakmu.”
“Jangan
bodoh.”
“Please Gwen, apa perlu tes DNA untuk
mengakui keabsahanku sebagai ayah anak itu?”
“Kamu
pecundang yang ingin beruntung.”
“Jangan
berkata kasar padaku, Gwen.”
Gwendoline
membuka pintu tamu lebar-lebar sambil berteriak pada Robert, “Shit, keluar atau kupanggilkan polisi?”
“Aku
nggak suka dikasari wanita.”
Robert
mengangkat tubuh mungil Gwendoline, lalu mengikat tangan serta menyumpal
mulutnya dengan kecekatan seorang ahli.
Lelaki itu tak lupa menutup pintu ruang tamu sebelum membawa Gwendoline
ke kamarnya di lantai atas.
- BERSAMBUNG-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar