Jumat, 25 Maret 2016

Cerbung : Rainbow (II-3)

Cerbung Fabina Lovers


Dor...terdengar suara letusan pistol.  Philip tersungkur di bibir kolam renang. Pria tampan itu sontak meraba pelipisnya. 
Aneh, mengapa tidak ada luka?
Alangkah terkejutnya Philip sewaktu melihat Rosemary terbujur di sampingnya.  Betisnya mengeluarkan darah segar, sedangkan  tangannya terbelenggu borgol.  Sebelum sempat bangkit dari posisi tengkurap,  sepasang borgol telah membelenggu tangan Philip.  Saat pria tampan itu menolehkan ke belakang punggungnya, ia melihat dua orang polisi tengah memandanginya sambil menyunggingkan senyum kemenangan.
“Rose, sudah kubilang, kau akan menyesal bila berniat membunuhku.” 
Jack tua telah berada di dekat mereka.  Rupanya ia berpura-pura mati.
“Maafkan aku, Jack.  Aku termakan hasutan dia.”
Rosemary mengedikan dagu indahnya ke arah Philip.
“Bohong, dia dalangnya,” elak Philip.
“Sudahlah Rose, aku tahu semuanya.  Aku menyewa detektif untuk memata-mataimu.  Bahkan seluruh penjuru rumah ini telah dipasangi CCTV untuk memantau aktivitasmu, termasuk saat kau menyeludupkan lelaki itu.”
Jack mendekati istrinya sambil tersenyum sinis. 
“Aku pun melengkapi diri dengan kamera berbentuk kacamata yang terhubung ke layar TV di markas polisi.  Mereka mengetahui orang-orang yang bertemu denganku, dan siap melindungiku bila ada yang  hendak mencelakakanku.”
“Bunuh saja aku, bunuh saja aku,” jerit Rosemary ketika petugas menggelandangnya ke kantor polisi.
Philip turut digelandang ke kantor polisi.  Lelaki itu tidak melawan.  Matanya berkaca-kaca.  Sedih karena impiannya kandas di tengah jalan.
Rupanya dewi keberuntungan berpihak pada Philip.  Sebulan kemudian, terjadi aksi amuk massa di halaman penjara pria.  Suasana penjara kacau.  Beberapa orang narapidana, termasuk Philip, berhasil melarikan diri.  Berkat bantuas Santos, teman senasib di penjara, Philip mendapatkan paspor palsu dan berhasil memasuki Negara Kanada.
 Philip menetap di Kota Toronto, dan mengubah namanya menjadi Robert Brown, sebagaimana nama di paspornya.  Robert Brown telah bertobat.  Ia mencari nafkah secara halal dengan menjadi pengajar kursus Bahasa Spanyol. 
Suatu hari, Robert mendapatkan murid cantik berambut cokelat, yang antusias mengikuti pelajarannya.  Rupanya mereka saling tertarik.  Seusai sesi kursus, mereka kerap melewatkan senja di sebuah kafe.  Padahal murid wanita itu telah bersuami.
“Suamimu tidak marah?” tanya Robert, suatu hari.
“Mungkin tidak. Dia ingin mencarikanku donatur sperma.  Menurut hasil pemeriksaan dokter kandungan, aku subur, sedangkan dia mandul,” jelas Gwendoline Prakoso.
“Kalau begitu, aku mau mendaftarkan diri jadi donatur,” kata Robert dengan mata berbinar nakal.
“Benarkah?” Gwendoline Prakoso mencibirkan bibirnya nan sensual.  “Apakah benihmu unggul?”
“Jadi, kau meragukan kualitas lulusan Harvard, heh?”
“Tentu tidak, hm...mari kita coba.”
Dua bulan kemudian, Gwendoline dinyatakan hamil.  Prakoso menyambut berita kehamilannya dengan sukacita, seolah janin dalam rahim Gwendoline berasal dari benihnya.  Sedangkan Gwendoline malah merasa geram saat melihat kebahagiaan Prakoso.
“Apakah kamu tahu, aku mendapatkan sperma tanpa bantuan dokter?” tanya Gwendoline, sinis
“Masa bodoh, yang penting aku punya anak,” ujar Prokoso seraya menciumi perut Gwendoline.
“Bagaimana kalau aku jatuh cinta pada pendonor sperma itu?”
“Silahkan saja, yang penting anak ini untukku.  Kamu tahu, cita-citaku sejak remaja adalah menjadi ayah.”
Gwendoline langsung membenci janin yang dikandungnya.  Ia sadar, kelak Prakoso akan lebih memperhatikan anak itu daripada dirinya.  Padahal Gwendoline selalu haus perhatian.  Terutama perhatian dari Prakoso, lelaki yang paling dicintainya.
Maka dimulailah masa-masa paling aneh dalam kehidupan  Gwendoline.  Wanita cantik itu seolah memiliki dua orang suami.  Robert Brown, ayah biologis dari janin yang dikandungnya.  Juga Prakoso, lelaki asal Indonesia yang masih menjadi suami sahnya. 
“Mengapa kau tidak menceraikanku?” tanya Gwendoline.
“Karena aku sangat mencintaimu, Honey,” balas Prakoso, kalem.
Saat Gwendoline melahirkan bayinya, Robert memutuskan tinggal serumah dengan wanita lain.   Gwendoline terpukul.  Ia terpaksa mengakui kebenaran perkataan Prakoso : ‘hanya aku yang mencintaimu apa adanya’.
Bayi perempuan itu mereka namai Minneapolis Prakoso.  Tentu saja nama belakangnya bukan Brown, karena Gwendoline tidak terikat pernikahan resmi dengan playboy itu.  Minneapolis rupanya membawa peruntungan baik bagi Keluarga Prakoso.  Sejak kehadiran bayi itu, Prakoso yang bekerja sebagai konsultan IT tak henti mendapatkan proyek bernilai jutaan dollar. Bahkan, saat Minneapolis berusia sebelas tahun, Gwendoline berhak mewarisi seluruh kekayaan Jack Stuard yang meninggal pada usia tujuhpuluh lima tahun.  Apakah hubungan Jack dengan Gwendoline?  Jack adalah saudara kandung semata wayang dari mendiang ayahnya.  Karena Gwendoline ditakdirkan menjadi anak tunggal, ia tak perlu berbagi warisan dengan saudara kandungnya.
Sewaktu mendengar Gwendoline mewarisi kekayaan Jack Stuard, Robert Brown menyesali keputusan bodohnya tempo hari.  Mengapa ia meninggalkan Gwendoline? Padahal,  wanita itu ingin bercerai dari suaminya demi hidup bersama Robert Brown.  Tapi, Robert Brown tak kehabisan akal.  Bukankah Minneapolis adalah darah dagingnya.  Berarti, ia pun berhak mendapatkan warisan dari anak perempuan itu.
Robert memata-matai kediaman Keluarga Prakoso selama seminggu.  Saat melihat Prakoso meninggalkan rumah bersama anaknya, Robert segera mengetuk pintu depan.  Ia ingin berbicara empat mata dengan Gwendoline. 
“Masuklah Robert, tumben datang kemari,” kata Gwendoline sambil membukakan pintu depan.
“Kamu makin cantik saja.  Tubuhmu tetap langsing walau sudah melahirkan anak,” puji Robert.
“Hm, rupanya kau sudah tahu tentang warisan itu.”
Gwendoline menngerucutkan bibirnya sambil buang muka.
“Sejujurnya, aku memang menginginkan warisan itu.”
“Tidak mungkin, kamu bukan suamiku.”
“Mungkin saja, aku ayah biologis anakmu.”
“Jangan bodoh.”
Please Gwen, apa perlu tes DNA untuk mengakui keabsahanku sebagai ayah anak itu?”
“Kamu pecundang yang ingin beruntung.”
“Jangan berkata kasar padaku, Gwen.”
Gwendoline membuka pintu tamu lebar-lebar sambil berteriak pada Robert, “Shit, keluar  atau kupanggilkan polisi?”
“Aku nggak suka dikasari wanita.”
Robert mengangkat tubuh mungil Gwendoline, lalu mengikat tangan serta menyumpal mulutnya dengan kecekatan seorang ahli.  Lelaki itu tak lupa menutup pintu ruang tamu sebelum membawa Gwendoline ke kamarnya di lantai atas.
- BERSAMBUNG-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar