Karya Fiksi oleh Fabina Lovers.
Apakah
kamu pernah terbelit kemiskinan? Pernahkah kesengsaraan membuatmu kehilangan harapan? Aku sudah mengalami hal itu. Sedari kecil kesulitan hidup seolah menjadi
teman akrabku. Kelaparan melilit perutku, padahal tak sebutir pun beras menghuni
pendaringan. Berhutang ke warung tak
memungkinkan. Hutangku di warung seputar
rumah kami sudah over limit. Sementara berhutang ke tetangga ibarat
membuka aib sendiri. Alih-alih mendapat
bantuan, nama baik yang tergadaikan. Demikianlah nasib si miskin yang sebenarnya.
Sewaktu gadis, aku berkencan dengan para pria sebaya ayahku demi memenuhi kebutuhan keluarga. Untunglah aku berhasil menjaga keperawananku. Aku mengaku sedang ‘halangan’ pada mereka. Mereka tidak protes. Aku pandai memuji dan menyenangkan hati mereka. Aku paham, yang mereka butuhkan adalah rasa kagum dari gadis bau kencur. Dengan demikian mereka merasa muda dan gagah.
Aku
kehilangan sosok ayah saat berusia sembilan tahun. Lelaki itu pergi dengan selingkuhannya. Dia tega meninggalkan isteri dan empat orang
anaknya. Ibuku berusaha tegar menghadapi
berbagai kesulitan hidup. Ibu, aku dan
kakak sulungku berjuang mempertahankan kelangsungan hidup kami.
Kini, anak-anak ibu sudah dewasa. Kakakku sukses mengelola usaha kateringnya. Kedua adikku menjadi pekerjaan kantoran. Kehidupan ketiga saudara kandungku sudah
mapan. Hanya aku yang belum mandiri. Aku masih tinggal bersama ibuku walau telah
menikah dan dikaruniai dua orang balita.
Suamiku pekerja pabrik. Penghasilan suamiku hanya cukup untuk memenuhi
kebutuhan dapur keluarga kecil kami.
Ibu
yang tua renta bertingkah bagai anak kecil.
Keinginannya harus selalu dituruti.
Kemarin ibu minta dibelikan pizza seperti yang diiklankan televisi. Aku tak kuasa menolak keinginan ibu. Uang yang seharusnya untuk membeli beras
malah aku gunakan untuk membeli pizza.
Akibatnya hari ini keluarga kecil kami kelaparan.
Seandainya
aku bisa berkencan kembali dengan ‘om-om senang’ itu? Mudah bagiku untuk menghubungi mereka. Aku masih menyimpan nomor kontak mereka di ponselku. Tapi, aku takut dengan konsekuensinya. Bagaimana bila ketahuan suamiku lantas ia
menceraikanku? Sekalipun suamiku bergaji
minim, aku tak rela kehilangan dia.
Hari beranjak petang. Sebentar lagi suamiku
pulang. Alasan apa yang harus aku sampaikan bila suamiku tak menemukan nasi
dan lauk pauk di meja makan? Suamiku
pasti murka. Tak ada jalan lain. Aku harus menjual televisi 14 inchi,
satu-satunya barang berharga di rumah kami.
“Mama,
TV nya jangan dibawa! Kakak mau nonton
Marsha,” rengek anak sulungku.
"TV
nya mau mama betulkan dulu biar gambarnya lebih bagus,” kataku, berbohong. Aku mengemas televisi itu dengan sarung
bekas. Kemudian aku menuju warung Mbah
Inem untuk menjualnya dengan harga murah.
Di
warung Mbah inem, aku bertemu Mbak Rambo.
Perempuan berperawakan kecil dan kekar itu sedang menikmati segelas kopi
susu. “Oalah Atun, kamu kok bawa TV ke
warung?” tanya Mbak Rambo, heran.
“Saya
mau jual TV. Mbak mau beli, nggak?”
“Kenapa
harus jual TV? Kasihan anakmu, nanti
nggak ada hiburan.”
“Saya
nggak punya uang untuk beli beras,” gumamku sambil menahan air mata.
“Kasihan kamu, Cah Ayu. Sini, aku ceritakan sesuatu! Biar asik dengar ceritanya, temani aku minum
kopi susu, ya!” Mbak Rambo meminta Siti,
cucu Mbah Inem, untuk membuatkan segelas kopi susu lagi.
MBAK RAMBO :
Namaku
yang sebenarnya adalah Marsiyem.
Orang-orang menjulukiku rambo karena profil tubuhku yang kekar seperti
pria. Garis nasib mengharuskanku bekerja
layaknya pria. Suamiku meninggal saat
anak bungsuku dalam kandungan. Ketika anak
bungsuku lahir, aku sempat putus asa. Bagaimana caranya menafkahi keluarga
kecilku? Aku tak mungkin meninggalkan
anakku bersama ibuku yang buta. Tapi,
bila aku terus tinggal di rumah, siapa yang mencari nafkah?
Tuhan
selalu memberi jalan bagi hambaNya yang mau berusaha. Aku membawa bayi kecilku untuk berjualan
sayuran di pasar kecamatan. Kebetulan
ada rumah bersalin sekaligus penitipan anak di dekat pasar. Seorang bidan yang baik hati bersedia
mengasuh anakku selama aku berjualan.
Anakku tinggal di penitipan anak secara gratis. Menurut bidan itu, anakku menjadi berkah bagi
tempat penitipan anak mereka. Setelah
anakku dirawat di sana, penitipan anak kian populer. Pemasukan mereka meningkat.
Sewaktu anaku bungsuku bisa mengurus diri sendiri dan kakaknya bekerja di kota, aku merantau ke Jakarta. Aku dengar, tenaga PRT dibayar mahal di sini. Aku menjadi buruh cuci-setrika beberapa rumah tangga sekaligus. Sekarang aku memegang tujuh rumah
tangga. Bila satu rumah menggajiku
enamratus ribu rupiah, silakan hitung saja total penghasilanku dalam sebulan.
Penghasilanku bila digabung dengan anak sulungku cukup besar. Kami bisa membiayai sekolah dan
pondokan si bungsu di ibu kota kabupaten.
Saat ini, si bungsu sudah kelas tiga SMK favorit di kabupaten kami. Alhamdulillah, putera bungsuku itu selalu masuk
sepuluh besar. Konon siswa peringkat
sepuluh besar di SMK itu langsung mendapat pekerjaan setelah lulus sekolah.
Setahun
yang lalu, Allah menguji kami. Putera
sulungku menderita kanker kelenjar getah bening. Puteraku pulang kampung untuk menjalani pengobatan alternatif juga kemoterapi di rumah
sakit dengan fasilitas BPJS. Aku selalu
berdoa agar Allah menyembuhkannya.
Bagiku, lebih baik bersimbah
keringat daripada air mata.
Karena air mata tak akan memecahkan masalahku. Pertolongan Allah tidak jatuh dari langit. Kita harus berjuang mendapatkannya. Sekarang, aku bekerja keras untuk memenuhi
kebutuhan hidup keluargaku di kampung.
Aku tidak hanya mencuci-setrika, juga memijati tuan rumah yang
kelelahan. Lumayan untuk tambahan
penghasilan. Pokoknya, semua pekerjaan
aku lakukan, asalkan halal. Aku tak mau
menafkahi keluargku dengan uang haram.
AKU
Tetes air mata membasahi
pipiku saat Mbak Rambo selesai bercerita.
“Apakah Mbak Rambo bisa kasih jalan agar saya mampu beli beras dan
kebutuhan dapur tanpa harus jual TV?” rintihku.
“Untuk hari ini, aku akan
memberimu uang. Selanjutnya, kamu harus cari nafkah secara halal,” tegas Mbak Rambo.
“Mana mungkin saya bekerja? Siapa yang mengurus anak-anak? Ibu nggak bisa
diandalkan untuk mengurus mereka,” isakku kian menjadi.
“Kamu bisa bekerja tanpa perlu
lama meninggalkan anak. Mau aku ajari
memijat?”
“Mau, Mbak.”
"Kamu akan aku ajari pijat,
lulur dan totok wajah. Sekarang makin
banyak wanita sibuk yang nggak sempat ke salon.
Nah, kamu bisa jadi salon panggilan.
Terutama malam hari bila suamimu sudah pulang. Jadi kamu nggak perlu khawatir meninggalkan
anak-anak, bagaimana?”
Aku memeluk wanita perkasa itu. Lisanku tak henti memanjatkan syukur atas pertemuanku sore ini dengan Mbak Rambo, motivatorku.
Bagi orang kecil seperti aku,
motivator berjas mahal hanyalah pemberi harapan semu. Motivator kami adalah orang-orang semacam
Mbak Rambo yang memberikan teladan sekaligus solusi permasalahan kami.
Bogor,
20 Januari 2015
Terinspirasi
rubrik konsultasi Dra.Rieny Hasan
di sebuah tabloid wanita
--------------------------------------------------------------------------
Keterangan : Marsha adalah film kartun Marsha and The Bear.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar