Kamis, 15 Oktober 2015

Geng Pasar


Karya Fiksi Fabina Lovers



“Yo...yo...yo... geng pasar mulai berkemas.” 

Sumi dan ketiga anggota geng OKB tertawa heboh. Anting berbentuk hulahop yang tersemat di telinga mereka bergoyang-goyang. Gelang keroncong yang menutupi bagian bawah lengan mereka bergemerincing.  Heran, mereka ketawa atau senam?  Kok semua anggota tubuhnya bergerak?

Ratna dan keenam sohibnya tersenyum sinis.  “Memangnya Bunda belum tahu, ya? Pasar jaman sekarang nyaman untuk hangout,” jelas Ratna.

Tawa Geng OKB makin membahana. Terdengar hingga radius 100 meter.  Bunyi gemerincing perhiasan emas yang mengganduli tubuh mereka pun kian meriah.  Orang akan mengira ada pertunjukan kuda lumping.

Anggota geng pasar mengegas motornya.   Meninggalkan geng OKB yang misuh-misuh terkena asap knalpot motor.  “Motor atau alat fogging sih?  Dasar, kampungan!” rutuk Shaila.

“Udah, cuekin aja!  Kita kongkow di tempat biasa, yuk!  Pastinya lebih cozy daripada pasar.” Nira menenangkan gengnya.

Geng OKB konvoi dengan mobil masing-masing menuju sebuah kafe bertaraf internasional yang terletak di sebuah mall bergengsi.

Begitulah keseharian para mama muda yang mengantar-jemput anak mereka.  Ada yang memilih pulang untuk membereskan pekerjaan rumah.  Ada pula yang kongkow dengan gengnya di pasar atau mall.  Di sana, mereka saling curhat kesulitan mengurusi rumah tangga.  Maklum, rata-rata tak punya asisten rumah tangga.  Bukannya tak sanggup menggaji asisten.  Tapi, asisten jaman sekarang amat lihai menerapkan prinsip ekonomi.  Mengharapkan gaji besar dengan jam kerja sesingkat mungkin.   Capek deh!  Daripada capek hati, lebih baik capek fisik, bukan?

Setibanya di pasar, mereka menyambangi los pedagang sayuran dan daging.  Mereka amat kompak.  Kalau seorang mama ingin masak semur daging dan capcay, yang lain ikut-ikutan.    Besoknya, seorang mama ingin masak tumis kangkung dan ikar bakar, eh yang lainnya ikut-ikutan juga.   Ada untungnya ke pasar beramai-ramai.  Tak akan kehabisan ide menu masakan untuk keluarga tercinta.

Ponsel Maya, anggota geng pasar, berbunyi.  “Iya Mas, aku lagi di pasar nih,” jawab Maya.

Maya mendengarkan suaminya sejenak.  “Iya, pasti kubelikan.   Tapi, ganti uangnya lho.  Permintaan Mas nggak ada dalam anggaran bulanan,” kata Maya, tegas.  Maklum, Maya baru saja pensiun dari profesi akuntan publik.

Maya tersenyum penuh kemenangan usai memutuskan sambungan telpon.  “Suami gue nggak pernah marah kalau gue berjam-jam di pasar.  Malah titip macam-macam.  Tapi, doi nggak sudi gue lama-lama di mall.  Katanya ngabisin duit.  Helow, apa bedanya coba pasar dengan mall?”

“Bener banget.  Hubby lebih suka gue belanja ke pasar.  Untung sekarang ada pasar modern.  Tempatnya bersih, nggak bau, dan ada kafe yang kopinya betul-betul enak.  Sejak kenal kafe pasar ini, gue nggak pernah lagi nongkrong di st**b**k,” imbuh Weti.

“Iya, lebih mantap ngopi di sini.”  Anggota geng pasar yang lain mengamini.

Selepas belanja kebutuhan dapur, geng pasar mengunjungi kafe favorit mereka.  Pemilik kafe memperbolehkan pengunjungnya membawa makanan dari luar.  Para mama mengeluarkan kotak kue dari tas.  Mereka saling bertukar kue seraya menikmati kopi pesanan masing-masing.  Ah, bahagia itu sederhana.

Sayang, kebahagiaan mereka tak bertahan lama.  Suatu hari, Weti muncul di kafe sambil menangis.

“Kenapa Lu, Wet?” tanya Ratna, panik.

“Gue kena hipnotis di depan los ikan.  Perhiasan ama dompet gue hilang.  Aduh, gue harus buru-buru ke bank untuk non aktifin ATM.   Bodohnya, gue nulis pin ATM di selembar kertas yang ada di dompet.  Gue ‘kan pelupa.  Secara ATM gue ada lima.”

“Parah Lu, cepetan ke bank!  Biar gue anter.”  Maya menarik tangan Weti agar segera meninggalkan kafe.  Weti manut saja.  Dia belum ‘move on’ dari peristiwa kejahatan yang menimpanya.

Pasca kejadian hipnotis yang menimpa Weti, geng pasar bubar.   Hanya Ratna yang masih setia ke pasar.  Sementara anggota geng pasar lainnya memilih berdamai dengan geng OKB.  Mengantar anak ke sekolah pun tidak lagi mengendarai motor matic.  Melainkan dengan mobil mungil agar diakui sebagai geng OKB. 

Duh, Ratna jadi sedih.  Kini, dia sendirian belanja ke pasar.  Lantas terbengong-bengong kala menikmati bagel dan kopi di kafe langganan.  Bagaimanakah cara mengembalikan keutuhan geng pasar? 

Ting, sebuah ide cemerlang melintasi benak Ratna.  Dia menghabiskan kopi dalam sekali tegukan sebelum bergegas keluar kafe.

“Tunggu, Bunda belum bayar kopi!”  Pemilik kafe membuntuti Ratna.

Ratna menyerahkan selembar limapuluh ribuan sambil tersenyum malu.  “Ambil aja kembaliannya, Pak.  Saya buru-buru nih.”

“Makasih Bunda, biar rejekinya tambah banyak,”  teriak pemilik kafe.  Tapi, Ratna terlalu sibuk untuk mendengar terikan itu.
****
“Wet, penjahat yang hipnotis Lu udah ketangkep lho,” kata Ratna suatu hari.

“Ah, yang bener?”  Weti tampak tak percaya

“Bener, ini video penangkapannya.”  Ratna memutar video penangkapan si penjahat di ponselnya.  Tiba-tiba, alumnus geng pasar sudah merubungi Ratna dan Weti.

“Asik, penjahatnya udah ketangkep.  Bisa nongkrong di kafe pasar lagi dong!” sorak Maya dan teman-temannya yang lain.

“Hei, kalian ‘kan udah jadi anggota geng OKB?” sindir Ratna.

“Huh, nggak seru jadi geng mereka.  Omongannya kalau nggak tentang salon ya liburan keluar negeri.  Udah gitu, mereka nggak pernah masak di rumah.  Beli melulu di resto.  Nggak kreatif banget,” keluh Nunik.

“Ya udah, kalau mau jadi anggota geng pasar lagi, kalian harus diinisiasi dulu!”  Ratna memandang teman-temannya sambil tersenyum jahil.

“Bagaimana inisiasinya?” tanya Maya.

“Traktir gue minum kopi selama sebulan,” kata Ratna sambil berlari menjauhi teman-temannya. 

“Huuu...” beberapa ibu gaul melempari Ratna dengan koin seribuan.  Eh, Ratna malah kesenangan.  Dia memunguti koin-koin itu.  Lumayan, dapat empat ribu rupiah.

“Serius, ah!  Ratna, kok penjahatnya bisa ketangkep?” tanya Weti, penasaran.

“Karena aku yang jadi umpannya,” jawab Ratna.

“Apaa?”  Keenam ibu gaul menatap Ratna dengan mimik jerih.

“Lu kok nekad banget sih? Bagaimana kalo Lu kena hipnotis terus barang-barang Lu habis?” sergah Maya.

“Insya Allah, kita nggak bakal kena hipnotis selama batin kita menyebut nama Tuhan.  Buktinya, gue nggak kena tuh.  Walaupun gue pura-pura nyerahin barang ama si penjahat.  Maksudnya, biar polisi punya barang bukti kejahatan dia.”

“Oho gitu, ya?”  Para ibu gaul mengangguk-angguk serupa burung kakak tua. 

“Oke Sob, ayo ke pasar!  Jangan berpencar, ya!  Kalau terpaksa jalan sendirian, jangan ngelamun!  Nyebut Bun, nyebut!”  Ratna memimpin teman-temannya menuju pasar tradisonal nan bebas becek.  Tempat hangout kaum ibu muda yang peduli akan nasib pedagang kecil.

          TAMAT

Ilustrasi milik ekonomi.metronews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar