Cerbung Fabina Lovers
Debur
ombak bisa terdengar seperti nyanyian surgawi.
Gaungnya menelusup hingga palung hati.
Samudra berwarna safir membentang seluas jangkauan pandangan, hingga bercumbu dengan langit biru muda pada
garis horison. Seluruh alam membiru,
warna kedamaian dan kesetiaan. Seperti
Minny yang setia mengunjungi pantai perawan di kawasan Gianyar. Ia berharap kemolekan pemandangan pantai akan
mengikis laranya, sebagaimana air laut mengikis batu karang. Harapan yang belum terwujud hingga detik ini.
“Minny
sayang, tak baik berdiam diri macam ini.
Percayalah, kegiatan fisik akan melenyapkan trauma masa lalumu.”
Indi
berlutut di sebelah Minny, lalu membelai rambut cokelatnya nan lembut. Wanita berusia tigapuluhtahunan yang terlihat
eksentrik itu telah mengadopsi Minny sebagai anaknya.
“Aku
kangen Papa,” lirih Minny. Setetes air
bergelayut di sudut matanya.
“Papa
pasti nggak ingin lihat kamu bersedih.”
“Seandainya
aku bisa pergi ke tempat Papa?”
“Ssst,
jangan bicara begitu! Kamu belum
melaksanakan wasiat Papamu.”
Indi
berpindah ke hadapan Minny lalu mengangkat dagu gadis itu. “Lihatlah ke dalam mataku, Nak. Lihatlah cahaya kegembiraan yang memancar
dari sana. Kegembiraan yang kudapatkan
setelah mengadopsimu sebagai anak.
Apakah kamu tega menghancurkan kegembiraanku?”
Minny
tersungkur ke dalam pelukan Indy.
“Maafkan aku Bunda. Tapi, aku
nggak bisa melupakan Papa Prakoso.
Beliau sangat baik padaku, walaupun akhirnya aku tahu, dia bukan ayah kandungku.”
Indi
menciumi kepala anak angkatnya.
Pikirannya kembali pada kejadian tiga tahun silam di Kota Toronto,
Kanada.
“Indi,
tolong telpon polisi,” ucap Minny sebelum pingsan di dekat kaki Indi.
Indi
segera menelpon kantor polisi terdekat dengan tempat tinggalnya. Saat polisi menanyakan alamat Tempat Kejadian
Perkara, Indi menyadari bahwa dirinya belum
mengetahui alamat kediaman Keluarga Prakoso.
Sayang, Minny masih belum siuman, tak mungkin dimintai keterangan. Akhirnya, Indi menyebutkan alamat rumahnya
saja.
“Apa
yang terjadi?” tanya lelaki berseragam polisi yang mendatangi rumah Indi.
“Masuklah,
aku butuh pertolonganmu.”
Indi
menyeret petugas kepolisian agar segera memasuki ruang tamu.
“Tolong
sadarkan gadis ini!” kata Indi sambil menunjuk Minny yang terbaring di sofa.
“Anda
salah alamat, Ma’am. Harusnya Anda menelpon rumah sakit,” geram
petugas kepolisian.
“Sa-saya
tidak salah alamat. Sebelum pingsan, gadis
ini meminta saya menelpon kantor polisi.
Telah terjadi tindak kejahatan di rumahnya,” jelas Indi, terbata.
Bangunlah Minny,
katakan dimana alamatmu. Polisi ini
tampaknya tidak memercayai ceritaku.
Agaknya
suara hati Indi terdengar oleh Minny.
Sekonyong-konyong gadis itu merintih, padahal mata masih terpejam.
“Selamatkan
mama,” igau Minny.
Petugas
kepolosian meminta au de cologne
untuk diusapkan pada pelipis Minny. Rasa
dingin yang ditimbulkan oleh cairan kehijauan itu, sontak mengembalikan
kesadaran Minny.
“Indi,
ibuku dicekik pria bertato. Panggilkan polisi.”
Minny mendudukan diri di sofa saat mengenali sosok Indi.
Ia tampak ketakutan.
“Aku
sudah datang. Sebutkan saja alamatmu,
kami segera ke sana untuk menolong ibumu.”
Petugas
kepolisian mengusap kepala Minny guna menenangkan gadis itu.
“Braecrest Avenue nomor 18.”
“Ma’am, tolong jaga gadis ini, jangan
biarkan dia mengikutiku,” perintah petugas kepolisian sebelum bergegas meninggalkan
kediaman Indi.
Kejadian
demi kejadian berikutnya bagaikan film berdurasi cepat. Prakoso dilarikan ke rumah sakit. Ia menderita luka tusukan pada dada dan
pinggulnya. Sementara, Gwendoline
Prakoso meninggal akibat pendarahan otak.
Pembunuh bertato itu memukul bagian belakang kepala Gwendoline dengan
pemukul baseball setelah melumpuhkan suaminya.
“Harusnya
aku tidak meninggalkan papa dan mama.
Biar aku bisa ikut mereka ke surga,” ratap Minny.
“Dengar
Minny, Tuhan pasti memiliki rencana tertentu untukmu. Makanya kamu masih hidup hingga detik ini,”
hibur Indi.
“Apa
artinya hidupku tanpa kehadiran Papa?”
Minny
melepaskan diri dari pelukan Indi untuk menjambaki rambutnya.
“Ikutilah
aku. Akan kutunjukan sesuatu. Biar kamu tahu makna hidupmu.”
Indi
memapah Minny menuju mobilnya. Kemudian,
Indi mengemudikan sedan antik itu menuju
sanggar tari yang dikelola oleh teman baiknya.
Tepat seperti harapannya, seorang gadis seusia Minny tengah menari
diiringi tabuhan gamelan Bali.
“Lihatlah,
gadis itu tetap menari dalam keterbatasannya.”
Indi mengedikan dagunya ke arah sang penari.
Minny
terpukau sewaktu melihat pertunjukan tari di hadapannya. Seorang gadis tunanetra melakukan gerakan
Tari Pendet. Sang gadis melebur ke dalam
irama musik, hingga jiwanya pun ikut menari.
Gerakannya nan gemulai dan selaras dinamika musik gamelan, berhasil
menghipnotis penonton tarian sang gadis.
Minny
bertepuk tangan saat gadis itu selesai menari.
“Tarian hebat. Belum pernah aku
melihat orang menari seindah ini,” puji Minny sambil mendekati sang penari
tunanetra.
“Terima
kasih. Ngomong-ngomong, aku belum mengenali suaramu.”
Gadis
penari itu memiringkan kepalanya sambil menghadapkan wajahnya ke arah Minny.
“Tentu
saja, kita belum pernah bertemu. Oke,
namaku Minny, siapa namamu?”
“Ni
Made Retno Sukmandari. Panggil saja
Eno.”
Seulas
senyum manis menghiasi bibir mungil sang penari. Ah, andai dia tidak buta, pasti banyak pria
yang ingin menjadi kekasihnya.
“Eno,
kamu tinggal dengan siapa di desa ini?”
“Sendirian
saja. Ayah dan ibuku sudah meninggal,”
jawab Eno dengan nada riang, seolah menjelaskan ayah dan ibunya sedang
berpiknik.
“Kita
senasib,” ujar Minny, berusaha menegarkan diri.
“Tak
ada salahnya menjadi yatim piatu.
Tentunya Tuhan menganggap kita mampu mengurusi diri sendiri.”
Eno
mengisyaratkan Minny untuk mengikutinya ke sebuah ruangan kecil. Di sana ada sebuah meja yang dipenuhi
sesajen. Foto-foto hitam putih menghiasi
satu bagian dinding.
“Kata
Mbok Wati, itu foto ayah dan ibuku sewaktu menari Legong. Maukah kamu menjelaskan tampang mereka
untukku. Asal kamu tahu, aku buta sejak
lahir.”
“Mereka
sangat serasi. Ayahmu bertubuh tinggi dan
tampan. Sedangkan ibu bertubuh mungil
dan berwajah jelita. Kamu pasti bangga
punya orang tua seperti mereka,” jelas Minny dengan suara tercekat.
Minny
berbohong. Sebenarnya penampilan orang
tua Eno tidak seistimewa penjelasannya.
Ayah Eno bertubuh sedang dan memelihara janggut di dagunya. Sedangkan Ibu Eno berpostur pendek dan
gemuk. Tapi, sepasang insan berbeda
jenis kelamin itu tampak saling mencintai.
Kamera berhasil menangkap sorot mata dan bahasa tubuh mereka yang
menyiratkan cinta tak berkesudahan.
“Mereka
terlihat sangat bahagia,” gumam Minny, getir. Ia teringat hubungan ayah dan ibunya yang kurang harmonis.
"Oya Eno, namamu Made, berarti kamu punya kakak dong?"
"Mbok Wati itu kakakku, dia sudah menikah dan tinggal di Sanur. Hanya sesekali berkunjung kemari."
"Kenapa kamu nggak tinggal dengan kakakmu?"
Eno tertawa sumbang. "Minny, bagiku kemandirian adalah sebuah prestasi," tegas Eno.
"Oya Eno, namamu Made, berarti kamu punya kakak dong?"
"Mbok Wati itu kakakku, dia sudah menikah dan tinggal di Sanur. Hanya sesekali berkunjung kemari."
"Kenapa kamu nggak tinggal dengan kakakmu?"
Eno tertawa sumbang. "Minny, bagiku kemandirian adalah sebuah prestasi," tegas Eno.
“Hei,
rupanya kalian ada di sini,” kata Indi yang baru memasuki ruangan. Matanya berbinar ceria, senang melihat anak angkatnya tak lagi bermuram
durja.
“Kamu benar Indi, sekarang aku paham tujuan
hidupku,” sahut Minny. Suaranya
terdengar riang.
“Well,
apa tujuan hidupmu?” tanya Indi.
“Aku
ingin menemani Eno di rumahnya. Kasihan,
Eno tak bisa melihat. Mungkin aku bisa
membantunya memasak atau membereskan rumah.”
“Apa?”
Wajah Indi mendadak pucat. “Aku tak akan
mengijinkanmu tinggal berduaan dengan Eno.
Sangat berbahaya bagi kalian.”
“Come on, Bunda. Ijinkan aku mandiri,” rengek Minny.
“No
Minny. Ayo pulang,” ajak Indi seraya
meninggalkan ruangan.
Dalam
perjalanan pulang, mereka saling berdiam diri. Mereka tak menyadari sebuah jeep hitam membuntuti mobil yang dikendarai Indi, sejak persimpangan jalan di dekat Sanggar Tari. Pengemudianya adalah seorang pria bule berkaca-mata hitam.
- Bersambung-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar