Senin, 21 Maret 2016

Cerbung : Rainbow (II-1)

Cerbung Fabina Lovers

Debur ombak bisa terdengar seperti nyanyian surgawi.  Gaungnya menelusup hingga palung hati.  Samudra berwarna safir membentang seluas jangkauan pandangan,  hingga bercumbu dengan langit biru muda pada garis horison.  Seluruh alam membiru, warna kedamaian dan kesetiaan.  Seperti Minny yang setia mengunjungi pantai perawan di kawasan Gianyar.  Ia berharap kemolekan pemandangan pantai akan mengikis laranya, sebagaimana air laut mengikis batu karang.   Harapan yang belum terwujud hingga detik ini.
“Minny sayang, tak baik berdiam diri macam ini.  Percayalah, kegiatan fisik akan melenyapkan trauma masa lalumu.” 
Indi berlutut di sebelah Minny, lalu membelai rambut cokelatnya nan lembut.  Wanita berusia tigapuluhtahunan yang terlihat eksentrik itu telah mengadopsi Minny sebagai anaknya.
“Aku kangen Papa,” lirih Minny.  Setetes air bergelayut di sudut matanya.
“Papa pasti nggak ingin lihat kamu bersedih.”
“Seandainya aku bisa pergi ke tempat Papa?”
“Ssst, jangan bicara begitu!  Kamu belum melaksanakan wasiat Papamu.”
Indi berpindah ke hadapan Minny lalu mengangkat dagu gadis itu.  “Lihatlah ke dalam mataku, Nak.  Lihatlah cahaya kegembiraan yang memancar dari sana.  Kegembiraan yang kudapatkan setelah mengadopsimu sebagai anak.  Apakah kamu tega menghancurkan kegembiraanku?”
Minny tersungkur ke dalam pelukan Indy.  “Maafkan aku Bunda.  Tapi, aku nggak bisa melupakan Papa Prakoso.  Beliau sangat baik padaku, walaupun akhirnya aku tahu, dia bukan ayah kandungku.”
Indi menciumi kepala anak angkatnya.  Pikirannya kembali pada kejadian tiga tahun silam di Kota Toronto, Kanada.
“Indi, tolong telpon polisi,” ucap Minny sebelum pingsan di dekat kaki Indi.
Indi segera menelpon kantor polisi terdekat dengan tempat tinggalnya.  Saat polisi menanyakan alamat Tempat Kejadian Perkara, Indi  menyadari bahwa dirinya belum mengetahui alamat kediaman Keluarga Prakoso.  Sayang, Minny masih belum siuman, tak mungkin dimintai keterangan.  Akhirnya, Indi menyebutkan alamat rumahnya saja.
“Apa yang terjadi?” tanya lelaki berseragam polisi yang mendatangi rumah Indi.
“Masuklah, aku butuh pertolonganmu.” 
Indi menyeret petugas kepolisian agar segera memasuki ruang tamu.
“Tolong sadarkan gadis ini!” kata Indi sambil menunjuk Minny yang terbaring di sofa.
“Anda salah alamat, Ma’am.  Harusnya Anda menelpon rumah sakit,” geram petugas kepolisian. 
“Sa-saya tidak salah alamat.  Sebelum pingsan, gadis ini meminta saya menelpon kantor polisi.  Telah terjadi tindak kejahatan di rumahnya,” jelas Indi, terbata.
Bangunlah Minny, katakan dimana alamatmu.  Polisi ini tampaknya tidak memercayai ceritaku. 
Agaknya suara hati Indi terdengar oleh Minny.  Sekonyong-konyong gadis itu merintih, padahal  mata masih terpejam.
“Selamatkan mama,” igau Minny.
Petugas kepolosian meminta au de cologne untuk diusapkan pada pelipis Minny.  Rasa dingin yang ditimbulkan oleh cairan kehijauan itu, sontak mengembalikan kesadaran Minny.
“Indi, ibuku dicekik pria bertato. Panggilkan polisi.”
Minny mendudukan diri di sofa saat mengenali sosok Indi.  Ia tampak ketakutan.
“Aku sudah datang.  Sebutkan saja alamatmu, kami segera ke sana untuk menolong ibumu.” 
Petugas kepolisian mengusap kepala Minny guna menenangkan gadis itu.
“Braecrest Avenue nomor 18.”
Ma’am, tolong jaga gadis ini, jangan biarkan dia mengikutiku,” perintah petugas kepolisian sebelum bergegas meninggalkan kediaman Indi.
Kejadian demi kejadian berikutnya bagaikan film berdurasi cepat.  Prakoso dilarikan ke rumah sakit.  Ia menderita luka tusukan pada dada dan pinggulnya.  Sementara, Gwendoline Prakoso meninggal akibat pendarahan otak.  Pembunuh bertato itu memukul bagian belakang kepala Gwendoline dengan pemukul baseball setelah  melumpuhkan suaminya.
“Harusnya aku tidak meninggalkan papa dan mama.  Biar aku bisa ikut mereka ke surga,” ratap Minny.
“Dengar Minny, Tuhan pasti memiliki rencana tertentu untukmu.  Makanya kamu masih hidup hingga detik ini,” hibur Indi.
“Apa artinya hidupku tanpa kehadiran Papa?” 
Minny melepaskan diri dari pelukan Indi untuk menjambaki rambutnya.
“Ikutilah aku.  Akan kutunjukan sesuatu.  Biar kamu tahu makna hidupmu.”
Indi memapah Minny menuju mobilnya.  Kemudian, Indi mengemudikan sedan antik itu  menuju sanggar tari yang dikelola oleh teman baiknya.  Tepat seperti harapannya, seorang gadis seusia Minny tengah menari diiringi tabuhan gamelan Bali.  
“Lihatlah, gadis itu tetap menari dalam keterbatasannya.”  Indi mengedikan dagunya ke arah sang penari.
Minny terpukau sewaktu melihat pertunjukan tari di hadapannya.  Seorang gadis tunanetra melakukan gerakan Tari Pendet.  Sang gadis melebur ke dalam irama musik, hingga jiwanya pun ikut menari.  Gerakannya nan gemulai dan selaras dinamika musik gamelan, berhasil menghipnotis penonton tarian sang gadis.
Minny bertepuk tangan saat gadis itu selesai menari.  “Tarian hebat.  Belum pernah aku melihat orang menari seindah ini,” puji Minny sambil mendekati sang penari tunanetra.
“Terima kasih.  Ngomong-ngomong,  aku belum mengenali suaramu.” 
Gadis penari itu memiringkan kepalanya sambil menghadapkan wajahnya ke arah Minny.
“Tentu saja, kita belum pernah bertemu.  Oke, namaku Minny, siapa namamu?”
“Ni Made Retno Sukmandari.  Panggil saja Eno.”
Seulas senyum manis menghiasi bibir mungil sang penari.  Ah, andai dia tidak buta, pasti banyak pria yang ingin menjadi kekasihnya.
“Eno, kamu tinggal dengan siapa di desa ini?”
“Sendirian saja.  Ayah dan ibuku sudah meninggal,” jawab Eno dengan nada riang, seolah menjelaskan ayah dan ibunya sedang berpiknik.
“Kita senasib,” ujar Minny, berusaha menegarkan diri.
“Tak ada salahnya menjadi yatim piatu.  Tentunya Tuhan menganggap kita mampu mengurusi diri sendiri.”
Eno mengisyaratkan Minny untuk mengikutinya ke sebuah ruangan kecil.  Di sana ada sebuah meja yang dipenuhi sesajen.  Foto-foto hitam putih menghiasi satu bagian dinding.
“Kata Mbok Wati, itu foto ayah dan ibuku sewaktu menari Legong.  Maukah kamu menjelaskan tampang mereka untukku.  Asal kamu tahu, aku buta sejak lahir.”
“Mereka sangat serasi.  Ayahmu bertubuh tinggi dan tampan.  Sedangkan ibu bertubuh mungil dan berwajah jelita.  Kamu pasti bangga punya orang tua seperti mereka,” jelas Minny dengan suara tercekat.
Minny berbohong.  Sebenarnya penampilan orang tua Eno tidak seistimewa penjelasannya.  Ayah Eno bertubuh sedang dan memelihara janggut di dagunya.  Sedangkan Ibu Eno berpostur pendek dan gemuk.  Tapi, sepasang insan berbeda jenis kelamin itu tampak saling mencintai.  Kamera berhasil menangkap sorot mata dan bahasa tubuh mereka yang menyiratkan cinta tak berkesudahan. 
“Mereka terlihat sangat bahagia,” gumam Minny, getir.  Ia teringat hubungan ayah dan ibunya yang kurang harmonis.

"Oya Eno, namamu Made, berarti kamu punya kakak dong?"

"Mbok Wati itu kakakku, dia sudah menikah dan tinggal di Sanur. Hanya sesekali berkunjung kemari."

"Kenapa kamu nggak tinggal dengan kakakmu?"

Eno tertawa sumbang. "Minny, bagiku kemandirian adalah sebuah prestasi," tegas Eno.

“Hei, rupanya kalian ada di sini,” kata Indi yang baru memasuki ruangan. Matanya berbinar ceria, senang melihat anak angkatnya tak lagi bermuram durja.
“Kamu benar Indi, sekarang aku paham tujuan hidupku,” sahut Minny.  Suaranya terdengar riang.
“Well, apa tujuan hidupmu?” tanya Indi.
“Aku ingin menemani Eno di rumahnya.  Kasihan, Eno tak bisa melihat.  Mungkin aku bisa membantunya memasak atau membereskan rumah.”
“Apa?” Wajah Indi mendadak pucat.  “Aku tak akan mengijinkanmu tinggal berduaan dengan Eno.  Sangat berbahaya bagi kalian.”
Come on, Bunda.  Ijinkan aku mandiri,” rengek Minny.
“No Minny.  Ayo pulang,” ajak Indi seraya meninggalkan ruangan.
Dalam perjalanan pulang, mereka saling berdiam diri.  Mereka tak menyadari sebuah jeep hitam membuntuti mobil yang dikendarai Indi, sejak persimpangan jalan di dekat Sanggar Tari. Pengemudianya adalah seorang pria bule berkaca-mata hitam. 
- Bersambung- 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar