Selasa, 20 Oktober 2015

Layu

Hasil gambar untuk gambar bunga layu



Fiksi Fabina Lovers

Seandainya ada mesin waktu?  Oh seandainya mesin waktu benar-benar ada. Ia akan menyewanya untuk kembali ke masa lalu.  Tak peduli berapa pun besar biaya yang harus dikeluarkannya.  Kemudian ia akan menjumpai Ardi.  Berlutut di hadapannya.  Memintanya kembali ke rumah mereka.

‘Sayangnya mesin waktu belum berhasil diciptakan,' keluh Leoni dalam hati.

Leoni menyentuh foto ukuran 5R yang bingkainya telah lapuk dimakan usia.  Lelaki dalam foto itu menatapnya sambil tersenyum.  Senyuman yang pernah menggetarkan hati Leoni muda.

“Bang Ardi, putramu sekarat.  Sebentar lagi, ia akan menemani tidur panjangmu di palung bumi.  Ironisnya, akulah yang membuatnya menderita penyakit mematikan itu,” gumam Leoni, getir.
****
Amarah Leoni melesak ke ubun-ubun sewaktu melihat suaminya masih berkutat dengan naskah bukunya.

“Sampai kapan Abang berurusan dengan naskah buku nggak jelas itu?” cecar Leoni.

Ardi menengadahkan wajah sambil tersenyum.  Tak terpengaruh oleh kemarahan isterinya.  “Udah pulang, Yang?  Tuh, aku masakin cah kangkung kesukaanmu.  Makan bareng, yuk!” ajak Ardi. 

Pria muda itu berdiri.  Sejenak ia meregangkan tubuhnya yang terasa kaku karena seharian duduk di depan komputer.

“Aku udah makan.  Daripada kamu capek masakin aku, mending buka warung tenda aja!  Biar menghasilkan uang,” kata Leoni, ketus.

“Jangan salahkan aku kalau makanannya habis kubagikan pada pengemis atau pengamen yang datang ke warungku!  Kamu tahu bagaimana aku?”

“Tahu banget.  Kamu laki-laki palin irrasional yang pernah aku kenal.  Entah mengapa aku bisa jatuh cinta sama kamu?  Jangan-jangan, kamu melet aku?”

Ardi terbahak.  “Ngapain juga melet nenek lampir?   Ops, just kidding.  Namanya juga jodoh, Yang.  Sepasang manusia berjodoh karena saling melengkapi.”

Leoni melengos sambil mengedikan bahu.

“Kamu yang sulit banget bersedekah, berjodoh dengan aku yang kerap mengabaikan diri sendiri saat menolong kaum dhuafa.  Bukankah itu saling melengkapi?”

“Aku yang bekerja keras mengumpulkan uang, berjodoh dengan lelaki yang pintar menghamburkan uang.  Hah, perjodohan yang tidak adil.”  Leoni masuk kamar sambil membanting pintunya.

“Mama marah lagi ya, Pa?”  Soni kecil menghampiri ayahnya.  Agaknya dia baru berkubang di comberan. Bajunya kotor dan mengeluarkan bau busuk.

Ardi tampak ketakutan.  “Ayo, papa mandikan!  Mumpung mama belum lihat kamu.”

Saat mereka berada di depan kamar mandi, terdengar gaung bentakan Leoni di seluruh penjuru rumah mungil mereka.  “Bang Ardiiii, kenapa nggak jagain Soni?  Dasar, lelaki tak berguna!”

LELAKI TAK BERGUNA...LELAKI TAK BERGUNA...Suara itu bergema di kepala Ardi   selama seminggu.  Menghancurkan harga dirinya sebagai kepala keluarga.

“Leoni, aku hanya parasit di rumahmu,” kata Ardi saat mereka berbaring saling memunggungi di atas ranjang.

“Hm...aku ngantuk.”

“Aku mau keluar dari sini.”

Leoni terduduk di atas ranjang, lalu menonjok punggung suaminya.  “Jangan bicara sambil memunggungiku!  Nggak sopan, tahu!”

Ardi bangkit dari tidurnya lalu duduk berhadapan dengan Leoni.  “Aku mau pulang ke rumah orang tuaku.”

“Kamu mau menceraikan aku?” tukas Leoni.  Sorot matanya menyala-nyala.

Ardi menggeleng lemah.  “Aku hanya ingin menepi sejenak dari kehidupanmu.  Biar kamu bisa instrospeksi diri.  Memangnya enak hidup tanpa suami?”

“Oh, kamu pikir aku nggak bisa hidup tanpa suami?  Kamu salah, Bang!  Hidupku akan membaik tanpa kehadiranmu.  Aku bisa jadi ibu sekaligus ayah bagi Soni.  Kalau kamu emang niat cerai, ya udah, ceraikan saja aku!”

Enam bulan kemudian, mereka resmi bercerai.  Hak asuh Soni diserahkan pada Leoni.  Tragis, satu setengah tahun kemudian, Ardi menghembuskan napas terakhirnya.  Ardi sakit keras karena memendam kepedihan hati.  Tak bisa berjumpa dengan putera kesayangannya.

Soni yang baru berusia enam tahun mulai terbiasa hidup dengan orang tua tunggal.  Ia tak memedulikan ibunya yang sering pulang larut malam demi memupuk karir.  Bukankah ia telah mendapatkan kasih sayang ibu dari neneknya dan kasih sayang ayah dari Om Toni.

“Leoni, aku bersukur kita bertetangga dengan Nak Toni.  Dia pemuda yang baik.  Sangat perhatian pada Soni,” kata Bu Retno, ibunda Leoni.

“Ya Bu,” jawab Leoni singkat.  Matanya tak beralih dari organizernya. 

Bu Retno geleng-geleng kepala sambil berlalu dari hadapan putrinya.  Keterlaluan kamu, Oni. Lebih mementingkan pekerjaan daripada anak sendiri.’ Bu Retno membatin.  Tentu saja beliau tak berani menegur langsung anaknya.  Beliau tak mau bertengkar dengan Leoni.

Curahan kasih sayang Om Toni pada Soni bagai hujan di Kota Bogor.  Demikian derasnya hingga membentuk sungai kasih di palung hati bocah itu. Aliran sungai menderas seiring pertambahan usia Soni, lalu bermuara pada...hubungan kasih sejenis.
****
Ponsel Leoni berbunyi.  Dari Santosa, dokter pribadi Soni.  Leoni sudah meramalkan berita yang akan ia dengar.

“Ya, Dokter.”

“Mohon maaf Bu, kami tak bisa menolong Soni,” kata Dokter Santosa, sendu.

“Tak apa-apa.  Dokter bisa urus kremasi almarhum.  Nanti akan saya  transfer biayanya.  Tapi, saya tak bisa hadir di rumah duka,” tegas Leoni, tanpa nada pilu. 

Dokter Santosa keheranan.  Kok ada ya ibu macam ini?’ tanya Dokter Santosa dalam hati.

“Baiklah, Bu.  Kami akan mengurus jenazah anak ibu sebaik-baiknya.”

Leoni tergugu usai menerima berita kematian Soni. Ia merutuki dirinya sendiri.  Seandainya ia tak membiarkan Ardi pergi dari rumahnya, tentunya Soni tak akan mencari figur ayah pada orang lain.  Orang yang menjerumuskan Soni pada prahara hubungan sejenis.  Orang yang menularinya penyakit AIDS.

“Maafkan aku, Bang Ardi!  Harusnya aku tahu,  seorang anak membutuhkan figur ayah dan ibu,” jerit Leoni.   Air matanya membasahi foto Ardi yang selalu tersenyum.

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar