Fiksi Fabina Lovers
Seandainya
ada mesin waktu? Oh seandainya mesin
waktu benar-benar ada. Ia akan menyewanya untuk kembali ke masa lalu. Tak peduli berapa pun besar biaya yang harus
dikeluarkannya. Kemudian ia akan
menjumpai Ardi. Berlutut di
hadapannya. Memintanya kembali ke rumah
mereka.
‘Sayangnya mesin
waktu belum berhasil diciptakan,' keluh Leoni dalam hati.
Leoni
menyentuh foto ukuran 5R yang bingkainya telah lapuk dimakan usia. Lelaki dalam foto itu menatapnya sambil
tersenyum. Senyuman yang pernah
menggetarkan hati Leoni muda.
“Bang Ardi,
putramu sekarat. Sebentar lagi, ia akan
menemani tidur panjangmu di palung bumi.
Ironisnya, akulah yang membuatnya menderita penyakit mematikan itu,”
gumam Leoni, getir.
****
Amarah
Leoni melesak ke ubun-ubun sewaktu melihat suaminya masih berkutat dengan
naskah bukunya.
“Sampai
kapan Abang berurusan dengan naskah buku nggak jelas itu?” cecar Leoni.
Ardi
menengadahkan wajah sambil tersenyum.
Tak terpengaruh oleh kemarahan isterinya. “Udah pulang, Yang? Tuh, aku masakin cah kangkung kesukaanmu. Makan bareng, yuk!” ajak Ardi.
Pria
muda itu berdiri. Sejenak ia meregangkan
tubuhnya yang terasa kaku karena seharian duduk di depan komputer.
“Aku
udah makan. Daripada kamu capek masakin
aku, mending buka warung tenda aja! Biar
menghasilkan uang,” kata Leoni, ketus.
“Jangan salahkan aku kalau makanannya habis
kubagikan pada pengemis atau pengamen yang datang ke warungku! Kamu tahu bagaimana aku?”
“Tahu
banget. Kamu laki-laki palin irrasional
yang pernah aku kenal. Entah mengapa aku
bisa jatuh cinta sama kamu?
Jangan-jangan, kamu melet aku?”
Ardi
terbahak. “Ngapain juga melet nenek
lampir? Ops, just kidding. Namanya
juga jodoh, Yang. Sepasang manusia
berjodoh karena saling melengkapi.”
Leoni
melengos sambil mengedikan bahu.
“Kamu
yang sulit banget bersedekah, berjodoh dengan aku yang kerap mengabaikan diri
sendiri saat menolong kaum dhuafa.
Bukankah itu saling melengkapi?”
“Aku
yang bekerja keras mengumpulkan uang, berjodoh dengan lelaki yang pintar
menghamburkan uang. Hah, perjodohan yang
tidak adil.” Leoni masuk kamar sambil
membanting pintunya.
“Mama
marah lagi ya, Pa?” Soni kecil
menghampiri ayahnya. Agaknya dia baru
berkubang di comberan. Bajunya kotor dan mengeluarkan bau busuk.
Ardi tampak ketakutan. “Ayo, papa mandikan! Mumpung mama belum lihat kamu.”
Saat
mereka berada di depan kamar mandi, terdengar gaung bentakan Leoni di seluruh
penjuru rumah mungil mereka. “Bang
Ardiiii, kenapa nggak jagain Soni?
Dasar, lelaki tak berguna!”
LELAKI
TAK BERGUNA...LELAKI TAK BERGUNA...Suara itu bergema di kepala Ardi selama seminggu. Menghancurkan harga dirinya sebagai kepala
keluarga.
“Leoni,
aku hanya parasit di rumahmu,” kata Ardi saat mereka berbaring saling
memunggungi di atas ranjang.
“Hm...aku
ngantuk.”
“Aku
mau keluar dari sini.”
Leoni
terduduk di atas ranjang, lalu menonjok punggung suaminya. “Jangan bicara sambil memunggungiku! Nggak sopan, tahu!”
Ardi
bangkit dari tidurnya lalu duduk berhadapan dengan Leoni. “Aku mau pulang ke rumah orang tuaku.”
“Kamu
mau menceraikan aku?” tukas Leoni. Sorot
matanya menyala-nyala.
Ardi
menggeleng lemah. “Aku hanya ingin
menepi sejenak dari kehidupanmu. Biar
kamu bisa instrospeksi diri. Memangnya
enak hidup tanpa suami?”
“Oh,
kamu pikir aku nggak bisa hidup tanpa suami?
Kamu salah, Bang! Hidupku akan
membaik tanpa kehadiranmu. Aku bisa jadi
ibu sekaligus ayah bagi Soni. Kalau kamu
emang niat cerai, ya udah, ceraikan saja aku!”
Enam
bulan kemudian, mereka resmi bercerai.
Hak asuh Soni diserahkan pada Leoni.
Tragis, satu setengah tahun kemudian, Ardi menghembuskan napas
terakhirnya. Ardi sakit keras karena
memendam kepedihan hati. Tak bisa
berjumpa dengan putera kesayangannya.
Soni
yang baru berusia enam tahun mulai terbiasa hidup dengan orang tua
tunggal. Ia tak memedulikan ibunya yang
sering pulang larut malam demi memupuk karir.
Bukankah ia telah mendapatkan kasih sayang ibu dari neneknya dan kasih
sayang ayah dari Om Toni.
“Leoni,
aku bersukur kita bertetangga dengan Nak Toni.
Dia pemuda yang baik. Sangat
perhatian pada Soni,” kata Bu Retno, ibunda Leoni.
“Ya
Bu,” jawab Leoni singkat. Matanya tak
beralih dari organizernya.
Bu
Retno geleng-geleng kepala sambil berlalu dari hadapan putrinya. ‘Keterlaluan kamu, Oni. Lebih mementingkan pekerjaan
daripada anak sendiri.’ Bu Retno membatin.
Tentu saja beliau tak berani menegur langsung anaknya. Beliau tak mau bertengkar dengan Leoni.
Curahan
kasih sayang Om Toni pada Soni bagai hujan di Kota Bogor. Demikian derasnya hingga membentuk sungai
kasih di palung hati bocah itu. Aliran sungai menderas seiring pertambahan
usia Soni, lalu bermuara pada...hubungan kasih sejenis.
****
Ponsel
Leoni berbunyi. Dari Santosa, dokter
pribadi Soni. Leoni sudah meramalkan
berita yang akan ia dengar.
“Ya,
Dokter.”
“Mohon
maaf Bu, kami tak bisa menolong Soni,” kata Dokter Santosa, sendu.
“Tak
apa-apa. Dokter bisa urus kremasi
almarhum. Nanti akan saya transfer
biayanya. Tapi, saya tak bisa hadir di
rumah duka,” tegas Leoni, tanpa nada pilu.
Dokter
Santosa keheranan. ‘Kok ada ya ibu macam ini?’ tanya Dokter Santosa dalam hati.
“Baiklah,
Bu. Kami akan mengurus jenazah anak ibu
sebaik-baiknya.”
Leoni
tergugu usai menerima berita kematian Soni. Ia merutuki dirinya sendiri. Seandainya ia tak membiarkan Ardi pergi dari
rumahnya, tentunya Soni tak akan mencari figur ayah pada orang lain. Orang yang menjerumuskan Soni pada prahara
hubungan sejenis. Orang yang menularinya penyakit AIDS.
“Maafkan
aku, Bang Ardi! Harusnya aku tahu, seorang anak membutuhkan figur ayah dan ibu,”
jerit Leoni. Air matanya membasahi foto
Ardi yang selalu tersenyum.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar