Karya Fiksi Fabina Lovers
“Harap tenang. Bila kalian mengikuti perintah, kami tak akan menyakiti kalian!” kata pria
hitam itu. Matanya menjelajahi seluruh
kabin penumpang dan tertumbuk pada Mariana.
Sorot mata dingin itu. Senyum sinis
itu. Seolah hendak menghabisi
kebahagiaan Mariana.
“Maaf Mbak, harap kenakan sabuk
pengaman! Pesawat akan mendarat.” Suara lembut pramugari membangunkan Mariana.
Mariana memandang sekeliling
pesawat dengan waspada. Tak tampak sosok
pembajak berwajah keji. Hanya ada
pramugari cantik yang menatapnya sambil tersenyum. Mimpi-mimpi
buruk itu kembali lagi.
“Terima kasih, Mbak,” kata
Mariana sambil mengenakan sabuk pengaman. Pesawat menghampiri satu titik
di Bumi Cenderawasih. Laut biru jernih membentang sejauh mata
memandang. Dedaunan nyiur melambai,
seolah mengucapkan selamat datang pada Puteri Papua yang telah lama
meninggalkan tanah kelahirannya.
Bandara Sentani belum banyak
berubah. Kejutan, Pak Dekan dan beberapa rekan dosen menyambut
Mariana di terminal kedatangan.
“Welcome home, Bu Mariana. Bagaimana perjalanan dari Australia?
Lancar?” sambut Pak Barnabas, Dekan
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik pada PTN ternama di Jayapura.
“Selamat, doktor wanita pertama dari papua. Lulusan luar negeri pula.” Suara bariton itu mengejutkan Mariana.
Mariana menoleh bagai robot ke
empunya suara. Dia masih seperti yang
dulu. Tampan, gagah, kharismatik, tapi
berpotensi mematikan hati seorang gadis.
Dialah pria yang hadir dalam mimpi-mimpi buruk Mariana.
“Ka...kamu..” Lidah Mariana mendadak kelu.
Yoris, sang Pria tampan, memeluk
Mariana dengan hangat. “Ah Mariana, aku
senang melihatmu berhasil dalam pendidikan.”
Maria sontak melepaskan diri dari
pelukan Yoris. “Terima kasih,” kata
Mariana, kaku.
Maria menemui rekannya sesama
dosen, lalu menyalami mereka satu per satu.
“Senang sekali kembali ke kampung halaman. Saya tak sabar untuk segera mengajar,” ucap
Mariana dengan keriangan artifisial.
“Rekan-rekan, Pak Yoris
mengundang kita makan siang di rumahnya.
Ayo, jangan lewatkan kesempatan baik ini,” kata Pak Barnabas sambil
tertawa renyah.
Tubuh Mariana menuju rumah Yoris
bersama rekan sejawatnya, tapi pikirannya mengembara ke masa lalu.
-------
Yoris menanti Mariana di gerbang
sekolah. Ia merangkul Anne, gadis
cantik asal Manado.
“Selamat pagi,” sapa Mariana,
dingin.
“Hei Mariana. Nanti malam Anne akan mengadakan pesta di
rumahnya. Kamu datang, ya!” kata
Yoris. Tangannya kini beralih ke
pinggang Anne. Alih-alih merasa risih,
sang bidadari berkulit putih malah tertawa genit.
Mariana menundukan
kepalanya. Tak sanggup menatap
kemesraan mereka. “Maaf, nanti malam aku
ada acara,” ujar Mariana sambil beranjak pergi.
Sejak itu, hubungan Yoris dan
Mariana merenggang. Padahal mereka
selalu bersama sejak kanak-kanak. Mereka
tinggal di komplek perumahan yang sama.
Karena papa mereka bekerja di tempat yang sama pula, Kantor Pajak Jayapura.
Mariana menolak kesempatan masuk
tanpa tes di Universitas Cenderawasih.
Ia ingin pergi jauh dari Papua.
Bila perlu tak usah kembali lagi.
Puji Tuhan, Mariana lulus Seleksi
Bersama Penerimaan Mahasiswa Baru di
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Hasanudin. Ia diantar oleh
keluarga besarnya ke Bandara Sentani.
Para wanita mencucurkan air mata.
Maklum saja, Mariana adalah perempuan pertama dalam keluarganya yang
merantau ke pulau seberang.
“Hati-hati di Makassar! Jangan keluyuran tak menentu! Usahakan
dapat nilai bagus! Tunjukan bahwa
perempuan papua juga pintar!” nasehat papanya.
------
Mobil yang mereka tumpangi tiba di muka kediaman Yoris. Rumahnya megah dan asri. Mariana mendapat informasi dari rekan-rekannya bahwa
Yoris sukses mengelola bisnis kakao.
Beberapa bulan lalu, Yoris meraih penghargaan Wirausaha Muda Inspiratif dari sebuah stasiun
televisi swasta.
Bagaimanapun kehebatan Yoris,
Mariana tak ingin berada di rumahnya. Ia
tak siap berhadapan dengan Anne.
Tentunya Anne telah menjadi Nyonya Yoris.
Mariana terkejut saat mendapati
keluarganya dan keluarga Yoris telah berkumpul di ruang tamu yang luas. “Ada
apa ini?” Mariana membatin
“Ayo, segera makan! Kalian pasti lapar.” Mama Yoris menggiring para tamunya ke ruang
makan. Di meja makan telah terhidang
pepeda, aunu senebre dan ikan bumbu kunyit yang menggugah selera.
Mariana merasakan suatu
kejanggalan. “Kenapa Anne tak ada di
sini?” bisik Mariana pada Roberta, kakak perempuannya.
Roberta mengerutkan kening lantas
tertawa pelan. “Kamu pikir Yoris
menikahi Anne ya? Kamu salah, Dek! Yoris tak pernah mencintai wanita selain
kamu.”
Mariana terperangah. “Apa maksud Kakak?”
Roberta memanggil Yoris, lalu
memintanya menjawab pertanyaan Mariana.
“Maafkan aku Mariana. Aku pura-pura berpacaran dengan Anne agar
kamu fokus menyelesaikan pendidikan,” jelas Yoris. “Agaknya kamu belum tahu, Anne menderita AIDS
sejak SMP. Ia wafat enam tahun lalu.”
Mariana menatap Yoris dengan
mulut separuh terbuka.
-TAMAT-
Catatan :
Ilustrasi milik tribunnews.com
Pepeda = bubur sagu khas papua, aunu senebre = pepes teri khas papua.
Pepeda = bubur sagu khas papua, aunu senebre = pepes teri khas papua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar