Selasa, 21 April 2015

Kartini Papua



Karya Fiksi Fabina Lovers


“Harap tenang.  Bila kalian mengikuti perintah,  kami tak akan menyakiti kalian!” kata pria hitam itu.  Matanya menjelajahi seluruh kabin penumpang dan tertumbuk pada Mariana.  Sorot mata dingin itu.  Senyum sinis itu.   Seolah hendak menghabisi kebahagiaan Mariana.

“Maaf Mbak, harap kenakan sabuk pengaman!  Pesawat akan mendarat.”   Suara lembut pramugari membangunkan Mariana.

Mariana memandang sekeliling pesawat dengan waspada.  Tak tampak sosok pembajak berwajah keji.  Hanya ada pramugari cantik yang menatapnya sambil tersenyum.  Mimpi-mimpi buruk itu kembali lagi.   

“Terima kasih, Mbak,” kata Mariana sambil mengenakan sabuk pengaman. Pesawat menghampiri satu titik di Bumi Cenderawasih.   Laut biru jernih membentang sejauh mata memandang.  Dedaunan nyiur melambai, seolah mengucapkan selamat datang pada Puteri Papua yang telah lama meninggalkan tanah kelahirannya.

Bandara Sentani belum banyak berubah.  Kejutan,  Pak Dekan dan beberapa rekan dosen menyambut Mariana di terminal kedatangan.

Welcome home, Bu Mariana. Bagaimana perjalanan dari Australia? Lancar?”  sambut Pak Barnabas, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik pada PTN ternama di Jayapura.  

“Selamat,  doktor wanita pertama dari papua.  Lulusan luar negeri pula.”  Suara bariton itu mengejutkan Mariana.

Mariana menoleh bagai robot ke empunya suara.  Dia masih seperti yang dulu.  Tampan, gagah, kharismatik, tapi berpotensi mematikan hati seorang gadis.  Dialah pria yang hadir dalam mimpi-mimpi buruk Mariana.

“Ka...kamu..”  Lidah Mariana mendadak kelu. 

Yoris, sang Pria tampan, memeluk Mariana dengan hangat.  “Ah Mariana, aku senang melihatmu berhasil dalam pendidikan.”

Maria sontak melepaskan diri dari pelukan Yoris.  “Terima kasih,” kata Mariana, kaku.

Maria menemui rekannya sesama dosen, lalu menyalami mereka satu per satu.  “Senang sekali kembali ke kampung halaman.   Saya tak sabar untuk segera mengajar,” ucap Mariana dengan keriangan artifisial.

“Rekan-rekan, Pak Yoris mengundang kita makan siang di rumahnya.  Ayo, jangan lewatkan kesempatan baik ini,” kata Pak Barnabas sambil tertawa renyah.

Tubuh Mariana menuju rumah Yoris bersama rekan sejawatnya, tapi pikirannya mengembara ke masa lalu.
-------
Yoris menanti Mariana di gerbang sekolah.   Ia merangkul Anne, gadis cantik asal Manado. 

“Selamat pagi,” sapa Mariana, dingin.

“Hei Mariana.  Nanti malam Anne akan mengadakan pesta di rumahnya.  Kamu datang, ya!” kata Yoris.  Tangannya kini beralih ke pinggang Anne.    Alih-alih merasa risih, sang bidadari berkulit  putih  malah tertawa genit.

Mariana menundukan kepalanya.   Tak sanggup menatap kemesraan mereka.  “Maaf, nanti malam aku ada acara,” ujar Mariana sambil beranjak pergi.

Sejak itu, hubungan Yoris dan Mariana merenggang.  Padahal mereka selalu bersama sejak kanak-kanak.  Mereka tinggal di komplek perumahan yang sama.  Karena papa mereka bekerja di tempat yang sama pula, Kantor Pajak Jayapura.

Mariana menolak kesempatan masuk tanpa tes di Universitas Cenderawasih.  Ia ingin pergi jauh dari Papua.  Bila perlu tak usah kembali lagi.  
      
Puji Tuhan, Mariana lulus Seleksi Bersama Penerimaan Mahasiswa Baru di  Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Hasanudin.    Ia diantar oleh keluarga besarnya ke Bandara Sentani.  Para wanita mencucurkan air mata.  Maklum saja, Mariana adalah perempuan pertama dalam keluarganya yang merantau ke pulau seberang.

“Hati-hati di Makassar!   Jangan keluyuran tak menentu!   Usahakan dapat nilai bagus!  Tunjukan bahwa perempuan papua juga pintar!” nasehat papanya.

------

Mobil yang mereka tumpangi  tiba di muka kediaman Yoris.    Rumahnya megah dan asri.   Mariana mendapat informasi dari rekan-rekannya bahwa Yoris sukses mengelola bisnis kakao.   Beberapa bulan lalu, Yoris meraih penghargaan  Wirausaha Muda Inspiratif dari sebuah stasiun televisi swasta. 

Bagaimanapun kehebatan Yoris, Mariana tak ingin berada di rumahnya.  Ia tak siap berhadapan dengan Anne.  Tentunya Anne telah menjadi Nyonya Yoris.

Mariana terkejut saat mendapati keluarganya dan keluarga Yoris telah berkumpul di ruang tamu yang luas.  “Ada apa ini?”  Mariana membatin

“Ayo, segera makan!  Kalian pasti lapar.”  Mama Yoris menggiring para tamunya ke ruang makan.  Di meja makan telah terhidang pepeda, aunu senebre dan ikan bumbu kunyit yang menggugah selera.

Mariana merasakan suatu kejanggalan.   “Kenapa Anne tak ada di sini?” bisik Mariana pada Roberta, kakak perempuannya.

Roberta mengerutkan kening lantas tertawa pelan.  “Kamu pikir Yoris menikahi Anne ya?  Kamu salah, Dek!  Yoris tak pernah mencintai wanita selain kamu.”

Mariana terperangah.  “Apa maksud Kakak?”

Roberta memanggil Yoris, lalu memintanya menjawab pertanyaan Mariana.

“Maafkan aku Mariana.  Aku pura-pura berpacaran dengan Anne agar kamu fokus menyelesaikan pendidikan,” jelas Yoris.   “Agaknya kamu belum tahu, Anne menderita AIDS sejak SMP.  Ia wafat enam tahun  lalu.”

Mariana menatap Yoris dengan mulut separuh terbuka. 

“Duhai Kartini Papua,  selepas makan siang ini, keluargaku akan melamarmu.  Sudikah kau menjadi isteriku?”  Tatapan lembut Yoris melambungkan perasaannya.

-TAMAT-

Catatan :

Ilustrasi milik tribunnews.com

Pepeda = bubur sagu khas papua, aunu senebre = pepes teri khas papua.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar