Sabtu, 07 Februari 2015

Cerbung bag.3 : Romansa

Dipublikasikan pada   16:49 WIB
Karya Fiksi oleh Fabina Lovers



Ringkasan cerita bagian 2 :

Ratu setengah hati menerima perjodohannya dengan Beni.  Ia mengalami mimpi buruk di hari lamaran.  Sewaktu Beni dan keluarga berkunjung ke rumah Ratu,  gadis itu terpana melihat calon suaminya.  Ternyata  calon suaminya berwajah tampan.  Ratu gemetaran saat menatap pemuda itu.
-----------------------------------------------
Kamu pasti sering makan di sini,” tebak Beni sambil membaca buku menu. 

Ratu dan Beni menempati meja untuk dua orang  di pojok  kantin Kedai Asih.  Kantin itu adalah tempat makan  populer di kalangan kawula muda Bogor tahun delapanpuluhan.  Kedai Asih terletak di Mall Internusa.  Mall termegah milik Kota Bogor saat kisah ini terjadi.

“Baru sekali, itu pun ditraktir teman kuliah yang ulang tahun,” jawab Ratu.  Gadis itu tampak rikuh.  Baru kali ini ia melewatkan malam minggu bersama seorang pria.


Mall Internusa kini bernama Pangrango Plaza

“Oh ya, jadi kalau pacaran kemana aja?”selidik Beni dengan mata berbinar nakal.

“Sejujurnya, aku nggak pernah pacaran. Mohon tidak bicara hal itu lagi!” Ratu mengetuk-ngetuk jari tangannya ke meja dengan gusar.

“Sama dong, aku juga nggak pernah hangout dengan gadis.  Kamulah gadis pertama yang aku ajak kencan.  Nggak percaya?  Tanyalah  ibuku!” Beni menatap Ratu sambil tersenyum.

Ratu menaikan alisnya. “Lantas, dengan siapa Kang Beni bermalam minggu?”

Ratu tak perlu menunggu jawaban Beni.  Seorang pria berwajah arab menghampiri mereka.  Pria itu  memeluk Beni sambil menepuk-nepuk punggungnya.

“Selamat Sob,  akhirnya Elu laku juga,” kelakar sang pria arab  sambil melirik Ratu.  “Wuih, gebetan Lu kece banget, mirip artis.”

“Kenalkan, ini Ratu, calon isteri gue.  Ratu, ini Gibran, temen paling menyebalkan sedunia.” Beni tertawa sambil meninju bahu Gibran.  Ratu dan Gibran bersalaman.

“Ratu, sejak SMP, aku selalu melewatkan malam minggu bersama Gibran.  Maklum, sama-sama jomblo.  Tapi, sekarang kami nggak senasib lagi lho,” Beni berbicara seraya mengedipkan sebelah matanya.

“Iya deh,  gue ngaku kalo Lu lebih hebat  dalam hal ini.    Ngomong-ngomong, Ratu punya sahabat nggak?  Boleh dong dikenalkan padaku.” Gibran mengambil kursi lalu duduk di samping Beni.

Ratu tersipu.  “Hm, masa remajaku penuh kerja keras dan belajar.  Aku nggak punya waktu  untuk menjalin persahabatan.  Kami orang susah.  Tanpa bekerja keras, kami nggak punya uang untuk makan.  Tanpa prestasi, kami nggak bisa meraih beasiswa  demi kelanjutan pendidikan.”

Gibran menjadi salah tingkah.  Sungguh, ia tak bermaksud mengungkit masa lalu Ratu.  “Maaf, baiknya kita lupakan saja masalah jodohku.  Oh ya, kapan resepsi pernikahan kalian?  Kira-kira aku pantas nggak jadi ‘pagar bagus’?” Gibran menaikkan kerah jaket lalu mengusap rambut dengan gaya kocak.

Beni melempar gumpalan tissue ke kepala Gibran.  “Huh, sok cakep. Elu tuh cocoknya jadi ‘pager besi’.  Tapi, kalau grup band Lu boleh lah nyanyi di pesta Gue.  Jangan kelamaan ya.  Nanti tamu-tamu pada kabur.”

Ratu tertawa.  Suasana beku mencair.  “Udah, udah, Gibran boleh nyanyi sampai puas asalkan nggak minta bayaran,” canda Ratu.  “Resepsi kami dua bulan dari sekarang, tepatnya tanggal 14 Mei.  Catat tanggalnya ya, jangan lupa."

Kehadiran Gibran memeriahkan malam minggu mereka.  Diam-diam, Ratu mulai menyukai Beni.  Sekalipun terlahir dari keluarga kaya raya, Beni berperangai rendah hati.  Gaya bercanda Beni memancing tawa Ratu.  Padahal Ratu tergolong gadis yang susah tertawa.

“Hei, sudah jam sebelas malam. Nggak kerasa kalau ngobrol.  Padahal makanan pesanan kita sudah habis dari tadi.  Ayo cinderella, kamu harus pulang!” Beni meraih tangan Ratu dengan lembut untuk mengajaknya pulang.  Gibran berpamitan.   Mereka tak pulang bersama  karena pria macho itu membawa mobil pribadi. 

Beni dan Ratu bergandengan tangan hingga tiba di area parkir.   Beni membukakan pintu penumpang untuk Ratu.   Perlakuan Beni yang sopan dan lembut menyanjung perasaan Ratu.  Saat kijang super melaju, perbincangan dua sejoli mengalir tanpa jeda.  Tembang-tembang manis milik Diane Rose melatari perbincangan mereka.  Semerbak bunga asmara menguar di seputar kabin mobil.   Dalam hatinya,  Ratu berjanji akan menjadi penjaga hati Beni sampai maut memisahkan mereka.

Kijang super keluaran tahun 80-an

Dua bulan kemudian

Beni tergolek kelelahan di tempat tidur.  Resepsi pernikahan siang tadi menguras tenaganya.  Bayangkan saja, ia harus bersalaman dengan seribu undangan. Para undangan memenuhi Gedung Kemuning Gading yang terletak di dekat Balaikota Bogor.

Resepsi pernikahan mereka sangat mewah untuk  ukuran tahun delapanpuluhan.  Pak Hambali mengeluarkan uang duapuluh juta rupiah demi memanjakan para undangan.  Hampir semua undangan memuji kehebatan resepsi mereka.   Tentu saja mereka tak berhayal mengadakan resepsi serupa. Dana yang dikeluarkan Pak Hambali hampir menyamai nilai jual empat buah rumah tipe 70.

Pak Hambali termasuk jutawan kota Bogor.  Ia mewarisi kekayaan melimpah dari orang-tuanya.  Kekayaan itu berkembang berkali lipat berkat kemahiran bisnis Pak Hambali.  Hal ini menakjubkan, karena Pak Hambali memiliki jabatan pula di pemerintahan.  Beliau mampu menjalankan roda bisnis dan pemerintahan secara bersamaan.  Kepiawaian Pak Hambali dalam manajemen waktu hanya dimiliki segelintir  manusia di jagad ini.

Di antara semua undangan, Ratu terkesan dengan penampilan Kolonel Rajawali Putera, sang Komandan Kodim.  Pria bertubuh tegap itu tidaklah rupawan.  Pipinya penuh bopeng bekas cacar air.  Anehnya, bopeng  pipinya terlihat laksana lesung pipit saat beliau tersenyum.  Tentunya karena senyuman Pak Kolonel berasal dari lubuk hatinya yang murni.

“Bapak Kolonel Raja berkarakter tegas, cerdas, juga sholeh.  Papa berani taruhan, sebentar lagi dia akan dilantik menjadi Bupati Bogor,” kata ayah mertua Ratu. 

Pada masa itu, Bupati dipilih secara simbolis oleh DPRD Tk.II.  Mengapa dikatakan simbolis?  Karena nama Bupati telah ditetapkan sebelumnya oleh fraksi ABRI.  Tidak semua perwira ABRI bisa menduduki jabatan Bupati.  Para kandidat Bupati harus melalui serangkaian tes ujian kecakapan selaku pejabat publik.  Hanya kandidat dengan nilai terbaik yang ditetapkan menjadi Bupati.  Pada era delapan puluhan, Bupati dari kalangan militer merupakan perwujudan dogma dwifungsi ABRI.

“Belum tidur, Yang?” tanya Beni sambil membelai rambut isterinya.

Ratu mendaratkan ciuman ke bibir suaminya.  Sesungguhnya dia sudah tak sabar untuk bermesraan dengan suaminya.  “Belum, aku kangen Kang Beni.” Ratu membelai dada suaminya dengan telunjuknya nan lentik.

“Sabar ya Sayang, malam ini aku capek banget.” Beni berbisik di telinga isterinya.

Ratu pura-pura cemberut. ”Oke deh, pokoknya besok kita harus sudah berhubungan layaknya suami isteri.  Janji ya?”

Beni tergelak.  “Oh, aku senang sekali punya isteri penuh gairah seperti kamu.  Besok akan aku penuhi segenap hasratmu. Pokoknya,  kamu bakal kehabisan napas.  Sekarang, tidur yuk!” Beni mengecup kening isterinya lantas memeluknya. 

Ratu merasa damai dalam pelukan Beni.  Ia ingin meneriakan syukur pada Yang Kuasa.  Hidupnya tak lagi sepahit jadam.  Ratu yakin, riwayatnya esok akan berlumuran madu kehidupan.

(Apakah pernikahan Ratu berbahagia selamanya.  Ataukah bayang hitam tragedi menantinya? Simak kisah lanjutannya)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar