Karya Non Fiksi Fabina Lovers
Bagi anda yang tinggal di kota besar,
tentu asing dengan istilah buta aksara.
Karena semua orang di sekitar anda mahir membaca dan menulis. Para Asisten Rumah Tangga pun tak canggung
bersosialisasi di dunia maya. Artinya, kemampuan baca-tulis mereka sudah
memadai.
Tapi, masih ada lho saudara-saudara kita
di pedesaan yang buta aksara. Hal ini
saya temui sewaktu kantor saya melaksanakan
Sekolah Lapang (SL) bagi petani. Sebagaimana umumnya prosedur pelatihan, SL diawali pre-test dan diakhiri post-test. Agar menarik, kegiatan pre-test maupun post-test
dilaksanakan dengan metode ballot box. Bagaimana sih metode ballot box?
Para petani diberi beberapa lembar potongan
karton sesuai jumlah pertanyaan. Setiap potongan karton memuat nomor absen
petani. Kemudian, petani diminta berkeliling
area yang memajang tiang bermuatan kotak-kotak soal bertipe multiple choice. Jarak tiap
kotak pertanyaan sekitar 3 meter. Petani
menjawab pertanyaan dengan cara memasukan potongan karton pada bilah A, B atau
C yang terdapat pada kotak. Waktu
menjawab tiap pertanyaan dibatasi dua menit.
Penanda waktu habis adalah bunyi kentongan. Jawaban tiap peserta langsung dipaparkan di
sebuah karton setelah pelaksanaan test. Hm, asik sekaligus menegangkan.
Contoh kotak pertanyaan metode ballot box
Hingga saya lihat beberapa petani wanita
usia lima puluhan yang terpaku di dekat kotak pertanyaan. Ketika saya hampiri, mereka dengan malu-malu minta
dibacakan pertanyaannya. Dengan senang
hati, saya bacakan pertanyaan untuk mereka. Tentu saja jawabannya tidak saya beri
tahu. Kita harus berusaha jujur dalam
berbagai kondisi, bukan?
Kasus yang sama saya temukan juga di desa
lainnya. Ada petani wanita berusia di
atas limapuluh tahun yang belum lancar membaca.
Rupanya program pemberantasan buta aksara belum menyentuh mereka. Saya tidak menyalahkan pemerintah. Bisa saja para wanita itu sibuk bekerja di
sawah sehingga tak sempat mengikuti program Pemberantasan Buta Aksara.
Ketika kantor saya mengadakan test ala ballot box di Desa Purwasari, tak ada
petani wanita yang minta tolong dibacakan soal.
Ternyata semua petani wanita di sana sudah mahir membaca. Wow, pasti ada tokoh di balik kesuksesan
pemberantasan buta aksara di desa ini.
Usai melakukan investigasi kecil-kecilan, saya mengenal tokoh pemberantasan buta aksara tersebut. Siapakah dia?
Panggilannya Mbak Nurul. Beliau bukan warga asli Desa Purwasari, tapi
pendatang dari Jawa Tengah. Sekitar
duapuluh tahun lalu, Mbak Nurul mengikuti suaminya, hijrah ke sebuah desa yang berjarak 30 km dari
pusat Pemerintahan Daerah Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Suaminya akan mengajar siswa MTs di sana. Sang suami juga bertani dan memelihara ikan di lahan sewaan untuk tambahan penghasilan.
Sebagai alumnus sebuah pesantren, mbak
Nurul prihatin melihat kondisi kaum ibu di
sana yang umumnya buta aksara. Buta
aksara latin maupun arab. Mbak Nurul
teringat sebuah ayat dalam Al Quran yang berbunyi : sampaikanlah walau satu ayat.
Maksudnya setiap manusia berkewajiban menjadi pendidik, sekalipun hanya mengajarkan satu ayat.
Berbekal spirit ayat tersebut, Mbak Nurul
membuka kursus membaca dan mengaji bagi kaum ibu. Pelaksanaan kursus selepas sholat ashar. Sebagaimana waktu luang kaum ibu yang kebanyakan
berprofesi sebagai petani. Apakah mbak Nurul meminta bayaran
kursus? Jawabannya tidak. Mengapa demikian?
“Saya tak ingin pilih kasih dalam
mengajar. Bisa jadi saya akan mengistimewakan peserta yang membayar mahal,
sekaligus mengesampingan yang tak mampu membayar,” jelas Mbak Nurul pada
saya dengan wajah berbinar.
Mbak Nurul (berkerudung cokelat),
Sang Pemberantas Buta Aksara
Itu terjadi belasan tahun lalu. Kini kaum ibu di sana telah mahir membaca
hurup arab maupun latin. Ada kejadian
menarik sewaktu murid Mbak Nurul berada di terminal bus bersama suaminya. Mereka akan bersilaturahmi ke rumah
kerabatnya di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Sang isteri menghampiri sebuah bus dengan
percaya diri.
“Eh, jangan sok tahu, memangnya itu bus ke
Kuningan?” sergah suaminya.
“Ini bus ke Kuningan, Pak. Lihat, ada tulisannya di bagian depan bus!”
jawab isterinya.
Suaminya yang buta hurup membelalakan mata
agar bisa melihat tulisan di bagian depan bus lebih jelas. “Ah, apa benar bacaannya Kuningan?”
“Benar, pak. Ini bus ke Kuningan.” Kali ini kondektur bus yang menjawab. Sang isteri pun menatap suaminya sambil
menyunggingkan senyum kemenangan.
“Hebat euy, kamu jadi pinter baca karena
sekolah di Mbak Nurul,” puji suaminya.
Satu hal yang menjadi pelajaran berharga bagi
saya. Tekad Mbak Nurul untuk tidak
menerima bayaran kursus malah memakmurkan dirinya. Kini Mbak Nurul memiliki rumah dan
kebun. Padahal sewaktu tiba di desa itu,
Mbak Nurul dan suaminya tak memiliki aset apapun. Mbak Nurul juga membangun ruangan untuk
madrasah dan PAUD secara swadaya. Lokasi kedua bangunan tersebut di dekat rumahnya. Ruangan madrasah kerap dijadikan
tempat pelatihan pertanian.
Kini, Mbak Nurul dan beberapa rekannya
mengelola PAUD. Karena membutuhkan biaya
untuk pemeliharaan sapras PAUD maupun honor pengajar, Mbak Nurul memungut biaya
dari peserta didik. Besarannya
disesuaikan dengan kemampuan orang tua murid.
Bagi anak yatim atau kalangan dhuafa, diperkenankan tidak membayar.
Mudah-mudahan pengalaman Mbak Nurul
menginspirasi kita. Tentunya dalam
berbagi ilmu tidak harus melalui kursus atau sekolah formal. Menuliskan sesuatu yang bermanfaat termasuk berbagi
ilmu, bukan? Oke netter semua, selamat
Hari Pendidikan Nasional Tahun 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar