Sabtu, 02 Mei 2015

Wanita Pemberantas Buta Aksara

Karya Non Fiksi Fabina Lovers

Bagi anda yang tinggal di kota besar, tentu asing dengan istilah buta aksara.  Karena semua orang di sekitar anda mahir membaca dan menulis.  Para Asisten Rumah Tangga pun tak canggung bersosialisasi di dunia maya. Artinya, kemampuan baca-tulis mereka sudah memadai. 
Tapi, masih ada lho saudara-saudara kita di pedesaan yang buta aksara.  Hal ini saya temui sewaktu  kantor saya melaksanakan Sekolah Lapang (SL) bagi petani.  Sebagaimana umumnya prosedur pelatihan,  SL diawali pre-test dan diakhiri post-test.  Agar menarik, kegiatan pre-test maupun post-test dilaksanakan dengan metode ballot box.  Bagaimana sih metode ballot box?
Para petani diberi beberapa lembar potongan karton sesuai jumlah pertanyaan. Setiap potongan karton memuat nomor absen petani.  Kemudian, petani diminta berkeliling area yang memajang tiang bermuatan kotak-kotak  soal bertipe multiple choice.  Jarak tiap kotak pertanyaan sekitar 3 meter.  Petani menjawab pertanyaan dengan cara memasukan potongan karton pada bilah A, B atau C yang terdapat pada kotak.   Waktu menjawab tiap pertanyaan dibatasi dua menit.  Penanda waktu habis adalah bunyi kentongan.  Jawaban tiap peserta langsung dipaparkan di sebuah karton setelah pelaksanaan test. Hm, asik sekaligus menegangkan.
Contoh kotak pertanyaan metode ballot box
Hingga saya lihat beberapa petani wanita usia lima puluhan yang terpaku di dekat kotak pertanyaan.  Ketika saya hampiri, mereka dengan malu-malu minta dibacakan pertanyaannya.  Dengan senang hati, saya bacakan pertanyaan untuk mereka. Tentu saja jawabannya tidak saya beri tahu.   Kita harus berusaha jujur dalam berbagai kondisi, bukan?
Kasus yang sama saya temukan juga di desa lainnya.  Ada petani wanita berusia di atas limapuluh tahun yang belum lancar membaca.  Rupanya program pemberantasan buta aksara belum menyentuh mereka.  Saya tidak menyalahkan pemerintah.  Bisa saja para wanita itu sibuk bekerja di sawah sehingga tak sempat mengikuti program Pemberantasan Buta Aksara.   
Ketika kantor saya mengadakan test ala ballot box di Desa Purwasari, tak ada petani wanita yang minta tolong dibacakan soal.  Ternyata semua petani wanita di sana sudah mahir membaca.  Wow, pasti ada tokoh di balik kesuksesan pemberantasan buta aksara di desa ini.  Usai melakukan investigasi kecil-kecilan, saya mengenal tokoh pemberantasan buta aksara tersebut.  Siapakah dia?
Panggilannya Mbak Nurul.  Beliau bukan warga asli Desa Purwasari, tapi pendatang dari Jawa Tengah.  Sekitar duapuluh tahun lalu, Mbak Nurul mengikuti suaminya, hijrah ke sebuah desa yang berjarak 30 km dari pusat Pemerintahan Daerah Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.  Suaminya akan mengajar siswa MTs di sana. Sang suami juga bertani dan memelihara ikan di lahan sewaan untuk tambahan penghasilan.
Sebagai alumnus sebuah pesantren, mbak Nurul prihatin melihat kondisi  kaum ibu di sana yang umumnya buta aksara.  Buta aksara latin maupun arab.  Mbak Nurul teringat sebuah ayat dalam Al Quran yang berbunyi : sampaikanlah walau satu ayat.  Maksudnya setiap manusia berkewajiban menjadi pendidik,  sekalipun hanya mengajarkan satu ayat.
Berbekal spirit ayat tersebut, Mbak Nurul membuka kursus membaca dan mengaji bagi kaum ibu.  Pelaksanaan kursus selepas sholat ashar.  Sebagaimana waktu luang kaum ibu yang kebanyakan berprofesi sebagai petani.   Apakah mbak Nurul meminta bayaran kursus?  Jawabannya tidak.  Mengapa demikian?
“Saya tak ingin pilih kasih dalam mengajar. Bisa jadi saya akan mengistimewakan peserta yang membayar mahal, sekaligus mengesampingan yang tak mampu membayar,” jelas Mbak Nurul pada saya dengan wajah berbinar.

Mbak Nurul (berkerudung cokelat), 
Sang Pemberantas Buta Aksara

Itu terjadi belasan tahun lalu.  Kini kaum ibu di sana telah mahir membaca hurup arab maupun latin.  Ada kejadian menarik sewaktu murid Mbak Nurul berada di terminal bus bersama suaminya.  Mereka akan bersilaturahmi ke rumah kerabatnya di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat.  Sang isteri menghampiri sebuah bus dengan percaya diri.
“Eh, jangan sok tahu, memangnya itu bus ke Kuningan?” sergah suaminya.
“Ini bus ke Kuningan, Pak.  Lihat, ada tulisannya di bagian depan bus!” jawab isterinya.
Suaminya yang buta hurup membelalakan mata agar bisa melihat tulisan di bagian depan bus lebih jelas.  “Ah, apa benar bacaannya Kuningan?”
“Benar, pak.  Ini bus ke Kuningan.”  Kali ini kondektur bus yang menjawab.  Sang isteri pun menatap suaminya sambil menyunggingkan senyum kemenangan.
“Hebat euy, kamu jadi pinter baca karena sekolah di Mbak Nurul,” puji suaminya.
Satu hal yang menjadi pelajaran berharga bagi saya.  Tekad Mbak Nurul untuk tidak menerima bayaran kursus malah memakmurkan dirinya.  Kini Mbak Nurul memiliki rumah dan kebun.  Padahal sewaktu tiba di desa itu, Mbak Nurul dan suaminya tak memiliki aset apapun.  Mbak Nurul juga membangun ruangan untuk madrasah dan PAUD secara swadaya.  Lokasi kedua bangunan tersebut di dekat rumahnya. Ruangan madrasah  kerap dijadikan tempat pelatihan pertanian.
Kini, Mbak Nurul dan beberapa rekannya mengelola PAUD.  Karena membutuhkan biaya untuk pemeliharaan sapras PAUD maupun honor pengajar, Mbak Nurul memungut biaya dari peserta didik.  Besarannya disesuaikan dengan kemampuan orang tua murid.  Bagi anak yatim atau kalangan dhuafa, diperkenankan tidak membayar.
Mudah-mudahan pengalaman Mbak Nurul menginspirasi kita.  Tentunya dalam berbagi ilmu tidak harus melalui kursus atau sekolah formal.  Menuliskan sesuatu yang bermanfaat termasuk berbagi ilmu, bukan?  Oke netter semua, selamat Hari Pendidikan Nasional Tahun 2015.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar