Aida berdandan sambil bernyanyi.
Cermin retak memantulkan bayangan kabur dirinya. Seorang pelacur tengah baya yang berusaha
mempertahankan kemudaannya. Seharusnya
dia sudah pensiun. Namun apakah seorang
pelacur berhak pensiun? Lalu, siapakah kelak
yang menafkahinya?
Kembang api warna pelangi membuncahi langit kelam. Lengkingan suara terompet bersahutan. Manusia
tumpah ruah di taman kota untuk merayakan malam pergantian tahun. Aida
iri pada mereka. Seumur hidup, ia tak
pernah merayakan tahun baru. Sejak usia
belasan tahun ia bekerja di lokalisasi. Tanpa liburan.
Anehnya, uang hasil kerja kerasnya tak pernah mewujud benda
berharga. Padahal ia sudah lama tak
berkirim uang ke kampung. Semenjak
ibunya tiada lima tahun lalu.
“Aida mampir dulu ke sini.
Sudah makan malam, belum?” Mbak Ratmi yang berdagang gorengan di depan
taman kota menyeret Aida untuk duduk di selasar taman.
“Makanlah gorengan ini. Gratis.
Itung-itung hadiah tahun baru sekaligus tasyakuran.” Mbak Ratmi menyodorkan sepiring
gorengan dengan wajah sumringah.
“Tasyakuran?” Aida menatap Mbak Ratmi dengan kening berkerut.
“Insya Allah bulan depan saya umroh,” jelas Mbak Ratni sambil
bekerja. Tangannya gesit memasukan
adonan bakwan ke penggorengan.
“Mbak bisa umroh? Besar juga ya keuntungan dagang gorengan.”
“Besar sih nggak, tapi berkah,” jawab Mbak Ratmi, kalem.
Sesuatu menohok perasaan Aida.
Tanpa sadar, ia membuat resolusi berganti pekerjaan.
_____________________
Ilustrasi milik antibordil.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar