Sabtu, 31 Oktober 2015

Cinderella Terluka


Karya Fabina Lovers

Pria tampan itu menghampirinya dengan langkah perlahan.  Hentakan langkahnya bagai tinju yang menghantam ulu hati. Tangan sang pria yang halus namun kokoh menggenggam sebuah benda berbentuk persegi panjang.

Wida membeku di kursinya.  Sorot mata sang pria seolah mengutuknya jadi batu.
Wanita cantik itu memekik dalam hati. ‘Oh Tuhan, aku siap menerima hukuman.  Ia akan membunuhku.’

****

“Wida, dicariin pacarmu tuh!”  Mbak Imel berteriak di depan kamar kos Wida.

Wida misuh-misuh sewaktu bangkit dari ranjangnya. Kadang komentar Mbak Imel memancing kesalahpahaman.  Seenaknya saja mengatakan Wida punya pacar. Walaupun telah diwisuda sebagai Sarjana Teknik, Wida belum memiliki tambatan hati.  Ya, pacaran adalah suatu kemewahan bagi gadis dari keluarga prasejahtera seperti dirinya.

“Wida, cepetan ke depan!  Cowok ganteng kayak gitu jangan dibiarin nunggu lama.  Ntar aku samber lho!” Tiba-tiba Mbak Imel telah berada di sisi Wida yang sedang merapikan diri.

“Emang siapa yang datang?”  tanya Wida dengan suara malas.

“Luki, cowok terkeren abad ini.”   Mbak Imel mendekapkan sepasang tangannya ke dada karena begitu menjiwai perkataannya.

Wida tertawa geli.  “Ambil aja deh, asal si Luki mau sama Mbak!” celetuk Wida sambil berlari keluar kamar.  Sekarang, gantian Mbak Imel yang misuh-misuh.

“Hai Wid, sori mengganggu istirahatmu.”  Luki berdiri saat melihat Wida muncul di ruang tamu.

“No problem, Luki.  Duduk deh,  pegel kalau kelamaan berdiri!  Eh, kamu kok rapi amat?  Mau kondangan ya?”  Wida menatap kagum sosok Luki yang kian menawan dalam balutan kemeja bergaris kelabu dan celana jeans hitam.

“Orang tuaku tiba di Bandung sore ini. Kami janjian di Kafe Braga jam lima. Ikut aku, yuk!”

“Kenapa aku mesti ikut?”  Wida mengernyitkan alis yang terukir rapi di dahinya.

Luki menatap Wida penuh arti. “Karena kamu akan menjadi bagian masa depanku.”

Wida terkesiap.  Sontak ia mencubiti dirinya.  Mengira dirinya tengah bermimpi.

“Wid, kamu pasti lebih cantik kalau mandi dan sedikit dandan.  Aku siap menunggu kok.”

Suara lembut Luki mengembalikan kesadaran Wida.  “Tunggu ya, a..aku nggak akan lama!”

Wida beranjak ke kamar mandi dengan kepala kosong. Tak dipedulikannya Mbak Imel yang terus bertanya sambil membuntutinya. Seusai mandi, Wida memakai gaun terbaiknya yang berwarna kuning gading.  Tapi, Wida kebingungan sewaktu berhadapan dengan perlengkapan make-up.  Dia belum mahir merias wajah. Terpaksalah Wida meminta pertolongan si ceriwis.

“Warna jingga kecoklatan cocok untuk kulitmu yang sawo matang.  Nggak usah minder punya kulit gelap. Menurut penelitian, orang berkulit gelap daya tahan tubuhnya lebih kuat. Apalagi kulitmu bagus.  Mulus dan kenyal,” celoteh Mbak Imel sambil mendandani Wida.

“Jadilah diri sendiri saat berhadapan dengan orang tua Luki.  Nggak perlu berlagak jadi nona tata krama. Biarkan mereka menilai pribadimu yang sebenarnya.”

Wida menggumam tak jelas.  Dia malas mendengar kursus kepribadian gratis dari Mbak Imel.  Tapi, Mbak Imel terus berceramah.

“Wanita yang nyaman dengan dirinya sendiri selalu terlihat  cantik.  Ia tampil ceria dan penuh percaya diri.  Sekali lagi aku tegaskan, jadilah dirimu sendiri!”

Setelah lima menit yang terasa seperti lima jam, Mbak Imel melepaskan Wida ke ruang tamu sambil memuji-muji hasil karyanya sendiri.  Sementara Wida hanya menggumamkan terima kasih dan menolak saat diminta bercermin. 

“Aku kelihatan kampungan, ya?” Wida tertunduk malu di hadapan Luki.

Luki terpesona pada penampilan Wida hingga tak mendengar pertanyaan gadis itu.

“Luki, aku nggak jadi ikut deh.”

“Oh...eh...”  Luki kembali menjejakan kakinya di bumi.  “Sumpah Wid, kamu cantik. Kecantikan khas wanita Indonesia. Dan yang terpenting, keutamaan pribadimu memancar bagai kejora menjelang fajar.”

“Idih gombal!”  Wida mencubit lengan Luki.  “Berangkat yuk!  Nanti kita terlambat gara-gara kamu kebanyakan ngegombal.”

Setahun setelah pertemuan pertamanya dengan orang tua Luki, Wida resmi menyandang gelar Nyonya Luki. Pernikahan Cinderella, begitulah julukan yang disampirkan Mbak Imel. Memang benar, Wida bisa disebut cinderella masa kini.  Luki yang menjadi pangerannya.  Luki berdarah ningrat, pewaris tunggal harta keluarganya.    

“Orang tua saya hanya buruh tani. Rumah kami masih berlantai tanah,” keluh Wida sewaktu berkenalan dengan ibunda Luki. 

“Kami tak pernah memandang manusia berdasarkan status sosialnya, Nak. Kami salut atas keberhasilanmu menyandang predikat wisudawan terbaik.  Kecerdasan lebih bermakna daripada kekayaan. Kekayaan bisa dicuri, sedangkan kecerdasan tetap tinggal dalam dirimu,” hibur ibunda Luki.

Tahun-tahun awal pernikahan mereka bergelimang madu dunia.  Wida merasa dirinya adalah Cinderella sesungguhnya.  Hidup bahagia bersama pangeran impian. Puteri mereka yang cantik dan cerdas kian mempertegas rona bahagia dalam kehidupan mereka. Kesedihan seolah tak sudi singgah di istana mereka.

Suatu hari, Mang Eko menemui Wida di kantornya.  “Pinjami Amang1) Dua juta, Neng.  Erna nunggak SPP selama setahun.  Kalau bulan depan belum bayar SPP, Erna mau dikeluarin dari sekolah.  Kumaha atuh2)? Hasil jual sayuran tahun ini kurang bagus.  Boro-boro buat bayar sekolah, buat makan aja harus ngutang ke warung Ceu3) Eti.”

Wida segera memberikan uang yang dibutuhkan pamannya.  Ia tak tega membayangkan sepupunya putus sekolah.  Semasa SMA, Wida pernah terancam putus sekolah.  Untunglah ia mendapatkan beasiswa dari sebuah yayasan nirlaba.

“Hatur nuhun4), Neng.  Nanti Amang bayar kalau harga sayuran meningkat. Mudah-mudahan para tengkulak itu dapat hidayah.”

Demi mendengar cerita Mang Eko, sanak saudara yang lainnya berduyun-duyun meminjam uang pada Wida. Berbagai macam alasan mereka : untuk mengobati anak yang sakit parah, membeli kebutuhan pokok,  modal usaha, hingga biaya melangsungkan akad nikah.   Cek senilai dua ratus juta rupiah, hadiah ulang tahun dari orang tua Luki, menguap tanpa bekas.

“Kamu kok belum beli mobil?  Papa udah kasih cek sama kamu, ‘kan? Sebenarnya mereka mau beliin kamu mobil.  Tapi,  khawatir kamunya nggak suka,” kata Luki saat mereka makan malam di sebuah restoran jepang.

Wida gelagapan.  Alasan apa yang mesti ia sampaikan.  Konyol sekali kalau mengatakan uangnya habis untuk keperluan sanak saudaranya.

“Wida, are you OK?”  Luki menggenggam tangan isterinya dengan perasaan cemas.  Wajah isterinya tampak pias.

“Aku...aku baik-baik saja.”  Wida mereguk teh pahit ala Jepang yang terhidang di hadapannya.

Mendadak ponsel Wida menyanyi. Peneleponnya Uwak Memet, sepupu Ayahanda Wida.  “Maaf, saya nggak bisa memenuhi kebutuhan Uwak, uang saya habis,” gumam Wida seusai mendengar permintaan tolong Uwak Memet.

“Jadi, uangmu habis karena dipinjami saudara-saudaramu?”  Suara Luki terdengar dingin.

Wida menangguk lemah.  Matanya mulai berkabut.

Luki menggelengkan kepala.  Napsu makannya mendadak sirna. Pemborosan adalah hal tabu dalam keluarganya.  Meminjamkan uang tanpa kalkulasi yang baik termasuk pemborosan.

“Pahamilah, Yang!  Aku nggak tahan mendengar keluhan mereka.  Hidupku dulu sepahit mereka,” jelas Wida dengan suara bergetar.

Tapi, Luki tak pernah memahami Wida. Ia tak setuju dengan cara Wida mengelola keuangan pribadinya. Hubungan mereka pun mendingin. Mereka masih tidur sekamar, tapi tiada lagi kehangatan ranjang pengantin yang menyesapi darah muda mereka.  

Salahkah bila Wida membiarkan Mardi menghangatkan hati mudanya?

Suatu pagi,  Luki mendapati sederet kalimat mesra yang memenuhi kotak pesan di ponsel isterinya.  Sang pangeran murka.

Pria tampan itu menghampiri isterinya dengan langkah perlahan.  Hentakan langkahnya bagai tinju yang menghantam ulu hati.  Tangan sang pria yang halus namun kokoh menggenggam sebuah benda berbentuk persegi panjang, ponsel milik isterinya.

Wida membeku di kursinya.  Sorot mata sang pria seolah mengutuknya jadi batu. Wanita cantik itu memekik dalam hati. ‘Oh Tuhan, aku siap menerima hukuman.  Ia akan membunuhku.’

“Perempuan jalang!  Itulah sebutan yang pantas bagi perempuan bersuami yang bermesraan dengan lelaki lain,” sergah Luki sambil membanting ponsel milik Wida di meja makan.   

Wida berusaha menahan diri. Sebenarnya dia bisa membalas kemarahan Luki.  Ia punya bukti kebersamaan Luki dengan seorang wanita bertubuh sintal.  Tapi, dia tak mau pertengkaran mereka terdengar oleh Humaira kecil.

“Kalau sudah begini, lebih baik kita akhiri saja di pengadilan agama!” Suara keras Luki memantul di langit-langit ruang makan.

“Mama...papa...jangan belantem,  nanti celai kayak mama ama papanya Maudi lho!”  seru Humaira dari ambang pintu ruang makan .

“Nggak Humaira.  Percaya deh, mama dan papamu nggak akan bercerai.” Wida memeluk anaknya yang berusia 4 tahun.

Sang cinderella memberanikan diri menentang manik mata suaminya. "Luki, ada hati kecil yang mesti kita jaga.  Aku nggak mau kita bercerai. Lakukanlah semua yang ingin kamu lakukan, tapi biarkan aku tinggal di sini!  Aku ingin membesarkan Humaira bersamamu. Percayalah, aku tak akan berhubungan lagi dengan pria manapun.  Kamu bisa memegang janjiku.”

Wida mengayun-ayun Humaira dalam pelukannya sambil sesekali menciumi pipinya yang bulat.  Secercah kebahagiaan menyejukan jiwanya.  Ya, mengapa ia harus mencari kebahagiaan di luar rumah?  Bukankah Humaira adalah oase kebahagiaan dalam rumah tangga mereka?

Luki diam-diam meninggalkan ruang makan.  Wajahnya tanpa ekpresi. Entah apa yang ada dalam pikirannya?

TAMAT  -

Keterangan :
1)Amang = paman, adik ibu atau ayah kita.
2)Kumaha atuh = bagaimana ini.
3)Ceu = panggilan untuk kakak perempuan.
4)Hatur nuhun pisan = terima kasih banyak.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar