Senin, 16 November 2015

Mencuci Dengan Air Seni



Karya Fiksi Fabina Lovers

Konon doa anak yatim sangat mustajab. Seuntai doa anak yatim dijunjung dalam pinggan berhiaskan batu manikam oleh para malaikat.  Mereka akan terbang ke balairung Penguasa Semesta dengan kecepatan seribu tahun cahaya.  Kemudian para mahluk suci itu akan mengiba-iba pada Yang Maha Esa, memohon agar doa-doa itu dikabulkan.  Tak tahan oleh ratapan para malaikat, Sang Penguasa Jagad pun berseru, “Kun Fayakun1)!” Sontak permohonan anak yatim menjadi kenyataan.

Sentot dan Nita memercayai keampuhan doa anak yatim.  Mereka berniat menyantuni seratus anak yatim. Para yatim akan diminta berdoa bagi kelanggengan rejeki mereka agar tidak jatuh miskin seperti delapan tahun lalu.

Dulu, Sentot yang menjadi tulang punggung keluarga.  Sentot bangun tidur tatkala rona fajar mewarnai langit malam.  Usai salat subuh, lelaki berpostur tegap itu menyambangi pabrik kerupuk. Sentot  lantas mengantarkan kerupuk ke warung makan maupun toko kelontong yang menjadi langganannya.

Strata sosial keluarga mereka nyaris menyentuh garis kemiskinan. Penghasilan Sentot hanya memenuhi kebutuhan sehari-hari.  Gaji Nita selaku pegawai honorer tak bisa diandalkan, ludes untuk membayar sewa rumah petak dan cicilan motor.  

Dewi keberuntungan menaungi mereka ketika Nita diangkat menjadi pegawai tetap dan bertugas di ‘tempat basah’. Penghasilan Nita yang besar mengubah kondisi perekonomian mereka. Mereka berhasil membeli mobil dan rumah mewah.

“Dek, apa kamu nggak malu punya suami seperti aku?  Jelek.  Penghasilan pas-pasan,” gumam Sentot saat mereka berbaring di ranjang.

Nita mengecup pipi suaminya sambil tertawa menggoda.  “Halah, kemana perginya  Mas Sentot yang percaya diri itu?  Kok jadi minderan gini sih?”

Sentot menghadap ke arah isterinya sambil menopang kepalanya dengan lengan kiri. “Kamu punya penghasilan besar.  Sering bertemu dengan orang-orang hebat.  Suatu ketika kamu akan menyadari bahwa aku tak layak bagimu.”

Nita menatap garang suaminya.  “Apa maksud Mas?  Kok sembarangan nuduh?  Kita buktikan aja deh, apakah aku ini isteri brengsek seperti yang Mas kira!”  Nita turun dari ranjang lalu duduk di muka meja rias.  Ia menyisir rambutnya dengan kasar untuk melampiaskan amarah.

“Maafkan aku!  Aku janji nggak akan ngomong begitu lagi.” Sentot meremas lembut bahu isterinya.  Cermin di meja rias memantulkan wajah ayu nan sendu milik Nita.

Pertengkaran kecil itu terjadi sekitar enam tahun lalu.  Sekarang Sentot meyakini ketulusan cinta Nita.  Nita yang berbakti pada keluarga.  Nita yang tak pernah melarang suaminya berjualan kerupuk.  Suatu hal yang amat disyukuri Sentot.  Bagaimanapun, Sentot membutuhkan profesi demi eksistensinya di mata para tetangga. Siapa pula yang sudi disebut suami pengangguran?

“Eh, Papa kok ngelamun?  Ayo siap-siap ke panti asuhan! Katanya Era dan Mito mau jaga rumah aja.  Biarin deh. Maklum ABG, malu kalau masih ngintilin orang tua,”  celoteh Nita seraya membenahi pashminanya.

“Amplopnya udah disiapkan?”  tanya Sentot.

“Udah Pa.  Ada di sini.  Masing-masing anak dapat seratus ribu.”  Nita menunjuk tas besar yang dibawanya.

“Oke deh, ayo berangkat!”  Sentot mengamit mesra lengan isterinya.

****

Dalam sujud panjangnya Sentot menghujat Yang Maha Kuasa.  “Tuhan, aku telah menyantuni anak yatim hanya untuk mendapatkan ridhoMu, tapi mengapa Kau timpakan musibah yang tak tertanggungkan ini kepadaku?  Apa dosaku, Tuhan?”

Lelaki gagah itu bertelut seraya tersedu. Pasca prosesi santunan anak yatim, harta keluarga mereka malah berkurang drastis.  Pertama-tama rumah mereka terbakar. Lalu kedua anak mereka sakit parah hingga harus mengeluarkan biaya besar untuk perawatannya.  Usai kesembuhan kedua anaknya,  Nita didiagnosa gagal ginjal berikut diabetes.  Akibat penyakit yang dideritanya, Nita  mendapatkan pensiun dini.  

“Tuhan, kini kami tinggal di rumah kecil dan hidup pas-pasan.  Mengapa doa anak yatim tidak menambah rejeki kami? Apakah doa mereka tidak tulus?”

Deg, Sentot tersentak demi mendapatkan pemikiran itu.  Doa anak yatim yang tidak tulus. Ia bertekad mengunjungi panti asuhan untuk mempertanyakan hakikat doa anak yatim di sana.

***

Syam tekejut saat melihat penampilan Sentot yang berdiri di halaman panti asuhan miliknya.  Lelaki yang dahulu perlente itu terlihat kusut dan muram. Lebih menyedihkan lagi, Sentot kini mengendarai sepeda motor kadaluarsa. Para pembegal pun tak akan sudi mencuri sepeda motor macam itu.

“Assalamua’alaikum Pak Sentot, apa kabar?” sapa Syam, ramah.

“Kabar buruk, Pak Syam.  Isteri saya pensiun dini karena sakit,” gumam Sentot.  Matanya berkaca-kaca.

“Ayo duduk dulu di sini!”  Syam membimbing Sentot ke teras panti asuhan, lalu memintanya duduk pada kursi yang paling kokoh.

“Nah, saya akan membuatkan Anda teh manis.  Jangan ditolak, ya!”

Sejurus kemudian, Syam keluar dari bangunan panti sambil menanting baki berisi segelas teh.

“Ayo diminum Pak Sentot, mumpung masih hangat!”

Nada tulus dalam suara Syam membuat Sentot tak ragu menyeruput teh manis yang terhidang di meja beranda.  Teh paling nikmat yang pernah dirasakan Sentot.  Perpaduan manis dan pahitnya pas.  Hangatnya pun pas.  Tentunya Syam membubuhi tehnya dengan ramuan cinta.

“Oke, sudikah Anda menceritakan masalahnya pada saya?  Rahasia terjamin lho.” Syam tersenyum jenaka.

“Aneh ya, Pak, saya kok jatuh miskin setelah menyantuni anak yatim di sini. Apakah...”  Sentot terlihat ragu melanjutkan kalimatnya.

“Apakah doa mereka tidak dikabulkan?”  Syam melengkapi kalimat Sentot.

“Mm...bisa jadi doa mereka tidak tulus.” Sentot berbicara seolah sedang berkumur-kumur.

Syam tersenyum simpul.  “Maaf, bolehkah saya mengetahui sumber penghasilan Anda dan isteri?”

“Saya jualan kerupuk.  Kalau isteri saya sih mengurus sarana dan prasarana SD se-kabupaten. Isteri saya banyak berhubungan dengan pengusaha properti.  Mereka baik-baik. Sering memberi bonus puluhan juta rupiah pada isteri dan rekan-rekannya,”  jelas Sentot dengan nada bangga.

“Apa yang dikerjakan isteri Bapak hingga berhak mendapatkan uang puluhan juta?”

Sentot tercenung.  “Terus terang, saya kurang paham pekerjaan isteri saya.  Katanya sih, Bu Nita menomori Surat Perintah Kerja.  Tanpa surat itu, para pengusaha tak bisa mencairkan anggaran proyek.”

“Oh, apakah menomori surat pantas diganjar uang puluhan juta rupiah?”

Sentot mulai kesal dengan pertanyaan Syam.  “Bapak pikir isteri saya korupsi?  Tidak Pak, para pengusaha itu ikhlas memberi isteri saya,” sergah Sentot.

“Anda tahu darimana sumber uang itu?”

Sentot menggeleng lemah.  Wajahnya memucat.

“Mungkin Anda pura-pura tidak tahu. Para pengusaha memotong anggaran pembangunan gedung sekolah agar bisa memberi isteri anda dan rekan-rekan.  Anda tentunya tahu akibat pemotongan anggaran itu?  Gedung-gedung sekolah roboh hingga mencederai murid-murid yang sedang belajar.”

“Isteri saya tidak tahu sumber uang itu.  Isteri saya tak pernah meminta uang itu.”  Suara Sentot kini terdengar seperti cericit tikus.

“Tahu ataupun tidak, penghasilan isteri Anda tetap tidak halal.  Berderma dengan uang tidak halal seperti mencuci baju dengan air seni.”

Syam mengamati Sentot sambil tersenyum.  Sementara Sentot pura-pura mengagumi tanaman hias di beranda panti asuhan.  Lelaki itu kehabisan kata-kata penyangkalan.

“Sebenarnya Pak Sentot, doa anak yatim di sini sudah terkabul.  Waktu itu mereka berdoa agar keluarga Bapak dilimpahi rejeki halal.  Bukankah keluarga Bapak sekarang hanya menerima rejeki yang halal?  Rejeki dari pensiun Ibu dan hasil berjualan kerupuk.  Walaupun jumlahnya sedikit, harta halal mendatangkan berkah.”

Perkataan Syam merambat dalam hembusan angin senja, merobos ke lubang telinga Sentot untuk mengambil tempat di hatinya.

TAMAT

1)Kun Fayakun artinya terjadilah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar