Jumat, 11 Desember 2015

Prahara Teladan


Karya Fiksi Fabina Lovers

Kumprang!  Kaleng bekas susu melayang, lalu terjatuh di antara sekumpulan ayam yang  sedang menikmati dedak.  Para ayam berkotek riuh.  Pasti mereka memaki-maki dalam bahasa ayam.

Pak Hasan yang barusan menendang kaleng, terengah-engah bagai pendaki gunung pulang kampung.  Semburat ungu mewarnai pipi legamnya.  Lelaki itu murka.


“Istighfar Pak, tak baik mengumbar amarah!”  Bu Hasan mendekati suaminya sambil mengangsurkan sebuah mug alumunium berisi cokelat hangat.

“Diam!” Mug alumunium ditepis Pak Hasan hingga bernasib sama dengan kaleng bekas susu.  Isi mug yang berhamburan ke tanah menerbitkan liur para ayam.  Dalam sekejap, binatang-binatang itu menandaskan cairan cokelat  yang tergenang di tanah.

“Argh, aku tak sudi antar si  Firman ke statsiun.  Dia itu penipu, penipu!” Pak Hasan meninju-ninju batang pohon rambutan yang tumbuh di halaman rumahnya.

“Firman bukan penipu.  Dia hanya menuruti kehendak Pak Kepala.  Lagipula, Bapak tak mungkin jadi pegawai teladan.  Bapak ‘kan belum berstatus pegawai tetap?” Bu Hasan berusaha meredam amarah suaminya.

“Huh, enak benar kamu bicara!  Entah apa yang kamu lakukan kalau bernasib seperti aku?  Udah kerja keras bertahun-tahun, eh hasil kerjanya diakui orang lain.  Mana dia pampang pula semua karya plagiatnya di internet.   Pastilah seluruh dunia memuji dia,” geram Pak Hasan. Tampangnya mirip benar dengan incredible hulk.

Bu Hasan berlari ke dalam rumah saat mendengar suara ponsel.  Sebenarnya ponsel itu milik Pak Hasan, tapi lelaki itu tak lihai mengoperasikan ponsel.   Jadilah  Bu Hasan memposisikan diri sebagai sekretaris suami.   Tugasnya adalah membaca dan menuliskan pesan singkat bagi Pak Hasan.

“Pak, ada SMS dari Ria.  Bapak ditunggu di stasiun untuk menyampaikan sepatah dua patah kata.” Bu Hasan setengah berlari saat keluar rumah sambil membawa ponsel.

“Puh! Dasar, antek-antek Pak Kepala!  Bilang saja aku sakit kepala!  Tak bisa ke stasiun sekarang.”

“Pak, aku tak mau berbohong.  Aku balas begini aja deh, Bapak sedang ada urusan, tak bisa ke stasiun sekarang. Titip salam untuk Firman.  Semoga lancar perjalanannya.”  Bu Hasan berbicara sambil mengetik balasan pesan singkat untuk Ria.

“Eit, kamu udah berbohong tu!  Siapa pula yang titip salam dan mendoakan si penipu?  Jangan tulis macam itu!”  Pak Hasan mendelik sewot.

“Iya, iya, aku bilang Bapak tak bisa datang, titik, tak ada penjelasan lain.”  

Bu Hasan mengirim pesan singkat sekaligus menghapusnya.  Ia tersenyum dalam hati.   Sebenarnya, ia tetap menuliskan doa untuk Firman. Tak mengapa bukan, sesekali berbohong demi kebaikan?

Pak Hasan menghilang ke dalam rumah.  Sejurus kemudian, dia  keluar rumah dengan membawa pancing, ember dan kaleng berisi umpan.

“Aku mau mancing ya, Bu.  Biar perasaanku tenang.”

“Jangan tinggalkan shalat dzuhur, Pak!  Waktu dzuhur dua jam lagi.  Oh, tunggu sebentar!”  

Bu Hasan masuk, lalu keluar rumah kembali dalam bilangan menit.  Sebelah tangannya memegang kotak makanan. 

“Ada nasi dan ikan gabus balado.  Siapa tahu Bapak lapar tapi malas pulang.”

Pak Hasan menerima pemberian isterinya dengan perasaan riang. Amarahnya sedikit menguap.  Lelaki itu berjalan ke sungai sambil bersiul-siul. Sesampainya di sungai, Pak Hasan berjumpa dengan Rahman, sahabat masa kecilnya.  Pak Rahman juga hendak memancing.  Jadilah kedua lelaki itu memancing dan sesekali bertukar cerita.

Saat azan dzuhur berkumandang, kedua lelaki itu shalat di dangau dekat sungai.  Usai shalat, keduanya menikmati bekal makan siang dan kembali memancing.  Tak terasa, ember mereka telah dipenuhi ikan gabus. Matahari tengah meluncur ke ufuk barat saat kedua lelaki itu pulang sambil tersenyum gembira.  Kemarahan Pak Hasan menguap, tak berbekas.

“Pak, pak, ada berita duka.”  Bu Hasan menyambut suaminya dengan airmata berlinang.

“Kenapa, Bu?  Sesuatu terjadi pada anak-anak kita?”  Pikiran Pak Hasan langsung tertuju pada kedua anak mereka yang kuliah di ibukota propinsi.

“Firman, Firman meninggal dalam kecelakaan kereta api, Pak.”  Bu Hasan memeluk suaminya sambil menangis.  “Kalau Bapak yang terpilih jadi pegawai teladan mewakili kabupaten kita, pastilah aku sekarang jadi janda.”

Pak Hasan termangu.  “Pesing in digis1), Bu.”  Pak Hasan menggumamkan istilah berbahasa Inggris dengan pelafalan ngaco.

“Pesing, apanya yang bau pesing?” Bu Hasan melepas pelukannya, tampak kebingungan.

“Itu istilah dalam Bahasa Inggris.  Artinya ada kebaikan dalam keburukan,” jelas Pak Hasan, bangga.

“Oh suamiku memang hebat.”  Bu Hasan kembali memeluk suaminya. “Aku dan para petani di sini bangga padamu, Pak.  Berkat kerja kerasmu, kita mendapatkan sebidang tanah subur.  Berkat keikhlasanmu, anak-anak kita sukses meraih beasiswa. Begitu banyak hal berharga yang telah kita miliki.”

Pak Hasan tercenung.  Dalam hati, ia mengakui kebenaran pendapat isterinya.

- TAMAT –

Keterangan :
Pak Hasan hendak berkata Blessing in Disguise, artinya sesuatu yang tampak merugikan pada awalnya,  ternyata pada akhirnya malah menguntungkan. (dictionary.cambridge.org)

Gambar hanya illustratrasi.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar