Kamis, 31 Desember 2015

Tahun Baru Sina



Sina berguling-guling di kasur tipis ranjangnya.  Sakit pada perutnya tak tertanggungkan.  Seolah ada pisau tajam yang menggurat ususnya. Keringat sebesar popcorn bercucuran di keningnya.  Saat itulah terdengar ketukan keras di pintu kamar kosnya.

“Masuk,” kata Sina dengan suara lemah.

Pintu terkuak, sebentuk wajah tampan menyembul dari sela bingkainya.  

“Sina, kamu kenapa?” Pria tampan itu mengampiri Sina lalu menyentuh keningnya.  “Badanmu dingin sekali, kita harus segera ke dokter!”

Tanpa menunggu persetujuan Sina, sang arjuna membopong tubuh rampingnya keluar kamar.  Gadis jelita itu terlalu lemah untuk melawan.   Padahal dalam kesehariannya Sina berjulukan puteri salju.  Buah dari sikap dinginnya pada semua tipe pria.

“Tenang Sina, aku tak bermaksud memanfaatkan kelemahanmu!  Aku hanya ingin membawamu ke dokter,” jelas Arman sewaktu melihat mimik kesal Sina.

Sina pasrah sewaktu Arman membaringkannya di kursi belakang sebuah sedan keluaran tahun delapan puluhan yang melarikannya ke Klinik 24 jam.

“Ada kemungkinan Mbak terserang radang usus buntu.  Baiknya kita buktikan saja dengan rontgen dan tes darah,” kata dokter muda yang sedang piket.

Ternyata Sina menderita radang usus buntu dan harus menjalani tindakan bedah.  Untung ada Arman.  Pemuda itu mengabari keluarga Sina di Kuningan. Dia pula yang wara-wiri ke berbagai penjuru rumah sakit untuk memenuhi kebutuhan Sina.  Padahal antara mereka tak ada hubungan spesial.

“Kayaknya Arman naksir kamu,” bisik Ima, teman kuliah Sina, sewaktu menjenguknya di  rumah sakit.

Sina mengerutkan kening.  “Jangan GR, dia baik sama semua orang kok.”

“Omong kosong, dia baik ke kamu karena punya maksud tertentu.  Masak cewek sepintar kamu nggak paham?”  Ima mencibir.

“Hm, aku jamin dia nggak akan mendapatkan keinginannya.”  Sina menatap tajam pada Ima, seolah ingin menancapkan kebulatan tekadnya ke sanubari gadis itu.
***
Beberapa anak tetangga meniup terompet keras-keras.  Ledakan petasan bersahut-sahutan.   Bau manis ikan bakar menguar dari halaman rumah orang tua Sina.  

Seperti lima belas tahun baru yang telah berlalu, Sina enggan merayakan malam pergantian tahun.  Dia bukanlah penganut agama militan yang menafikan perayaan tahun baru masehi.  Bahkan Sina telah lupa caranya beribadah.  Dia membenci takdir Tuhan yang tertimpa padanya. Secara otomatis Sina mengabaikan keberadaan Tuhan.

“Mama, ini Raisa bawain ikan bakar dan sambalnya.  Rasanya maknyus abis. Buatan Om Miko.  Mudah-mudahan Om Miko jadi nikah ama Tante Maya.  Biar kita selalu makan enak.”  Anak gadis Sina yang berwajah peri tiba-tiba muncul dalam kamarnya.

“Hm, taro aja di meja!  Nanti Mama makan kalau nggak ketiduran,” jawab Sina, ketus.

Raisa mengedikan bahu lalu keluar kamar sambil tersenyum.  Sudah sejak lama Raisa menganggap ibunya sakit jiwa.  Tapi gadis itu tak pernah meratapi nasibnya yang miskin kasih sayang orang tua.  Ia bersyukur memiliki nenek, kakek, om dan tante yang sangat menyayanginya.  Ia bersyukur memiliki otak cerdas hingga menjadi tumpuan teman-temannya saat mengerjakan PR.  Sikapnya yang periang membuat gadis itu populer di lingkungan sekolah maupun rumah.

“Bagaimana, mama kamu suka masakan om?”  Miko menatap Raisa dengan mata berbinar jenaka.

Raisa menggeleng lemah.  Sekejap mendung menyaput wajah cantiknya. “Biarin aja Om, mama emang gitu orangnya.”

Miko menepuk bahu ‘calon’ keponakannya.  “Kamu gadis yang hebat.  Om yakin, kamu akan tetap menghargai mamamu bagaimanapun keadaannya.”

“Iya Om, Raisa berterima kasih pada mama karena udah mewariskan otak cerdas.”  Raisa kembali ceria.

“Nah, begitu lebih baik!  Sekarang kamu gabung deh dengan yang lain di halaman!  Om mau ngobrol sama mama kamu.”

“Hah!”  Raisa membelalakan matanya. “Hati-hati Om, mama bisa kayak gunung meletus kalau marah!”

Miko tergelak.  “Jangan khawatir, jelek-jelek gini om lulusan Fakultas Psikologi lho.”

Raisa menatap sangsi pada Miko sebelum memutuskan keluar rumah untuk bergabung dengan keluarga besarnya.  

“Selamat malam, saya mau ambil lagi piring ikannya kalau Mbak sedang nggak napsu makan.”  Demikian basa-basi Miko saat memasuki kamar Sina.

Alih-alih menjawab basa-basi calon iparnya, Sina malah menghujamkan tatapan sinis padanya.

“Oke, saya ambil piringnya sekarang.” Seraya mengambil piring dari atas meja, Miko melayangkan pandangannya pada piagam yang tergantung di kamar Sina.

“Luar biasa, ternyata Mbak pernah jadi siswa teladan SMP tingkat nasional.” Miko menatap Sina dengan kekaguman baru.

“Keluar dari kamar ini, kamu udah bikin saya nggak nyaman!”  hardik Sina.

“Maaf, Mbak nggak akan pernah mendapatkan kenyamanan sebelum bisa memaafkan diri sendiri.”  Miko tak beranjak dari kamar Sina.

“Kamu sama  kayak yang lain. Menganggap aku sebagai benalu di rumah ini." Sina menudingkan telunjuknya ke dada Miko.

“Orang pintar macam Mbak tak mungkin jadi benalu.”

“Bohong!  Kalau aku pintar, mana mungkin aku tertipu buaya macam Arman? Aku ini sama bodohnya dengan kucing betina, hanya pelampiasan napsu kucing garong.”

“Mbak nggak sendirian, saya kenal perempuan yang bernasib seperti Mbak.”

Sina terpana.  Dia menengadahkan kepalanya pada Miko.  “Siapa dia?” tanya Sina, intonasi suaranya menurun.

Miko menghela napas.  Ada kabut di matanya.  “Bahkan Maya pun belum tahu.  Perempuan malang itu adalah ibuku.”

“Apa?” Sina nyaris menjerit.

“Aku ini anak hasil hubungan gelap pemuda kota dengan ibuku.  Pemuda kota itu  meninggalkan ibuku untuk menikahi gadis pilihan orang tuanya. Kakek dan nenekku masih berpikiran kolot.  Mereka pikir ibuku yang hamil di luar nikah akan membawa sial. Ibuku diusir dari rumah bemodalkan sekeresek pakaian.  Tanpa uang sepeser pun.”  Miko berhenti bercerita untuk mengusap air matanya.

“Tragis sekali.  Ba..bagaimana cara ibumu membesarkanmu?” 

“Ibuku bekerja apa saja.  Jadi pembantu rumah tangga.  Jadi kuli.  Bahkan pernah jadi sopir angkot.  Tak pernah tercetus keluhan dari bibirnya.  Ibuku menerima takdirnya dengan lapang dada.  Ibuku memaafkan dirinya sendiri, juga kedua orang tuanya. Berkat doa dan dukungannya, aku berhasil meraih gelar sarjana dan mendapatkan pekerjaan yang baik. Sayangnya, beliau tak menikmati buah kerja kerasnya.  Ibuku meninggal sebulan setelah wisudaku.”  Miko tenggelam dalam tangis pilu.

Di luar kesadarannya, Sina turun dari ranjang lantas memeluk Miko.  “Dek, jangan bersedih!  Doakan saja ibumu! Beliau melihat keberhasilanmu dari alam sana.  Beliau bangga padamu.”

“Iya Mbak.”  Miko melepaskan pelukan Sina dengan canggung.  Sina pun tersipu.  “Oh ya Mbak, saya permisi keluar dulu.  Nggak enak sama Maya. Semoga sukses ya Mbak.”

Sepeninggal Miko, Sina memutar kaleidoskop hidupnya. Dia teringat peristiwa malam tahun baru bersama Arman yang semestinya menjadi kenangan indah.  Seandainya Arman tidak mengingkari janjinya. Itulah yang menyebabkan Sina membenci perayaan tahun baru. 

Tapi, Sina lebih beruntung daripada ibunda Miko.  Setidaknya orang tua masih menghargai keberaan Sina. Bahkan orang tua dan saudara kandungnya yang selama ini menghidupi Sina dan Raisa.  Karunia yang lalai diindahkannya.

Pagi-pagi sekali Sina menemui ibunya yang sedang menyiapkan sarapan di dapur.  “Bu, maafkan semua kesalahanku.” Suara Sina menyerupai bisikan.

Ibunya sontak mematikan kompor dan menatap Sina dengan mimik heran.  “Maaf untuk apa?”

“Aku telah meletakan aib di kening ayah dan ibu.  Aku juga membebani kalian karena tak kunjung dapat pekerjaan.”  Sina menunduk.  Tetesan air matanya jatuh di meja dapur.

Sepasang lengan keriput milik ibu menyentuh pipi Sina.  “Terima kasih, Nak.  Sudah lama ibu menunggu permintaan maaf ini.”  Ibu pun tak kuasa membendung air matanya.

“Sebenarnya, ibu tahu lowongan pekerjaan untukmu.  Jadi pengajar matematika di SMA punya temannya ibu.  Kamu pasti bisa.” Ibu menggenggam lembut tangan Sina.

Sina tampak ragu.  “Aku udah lupa pelajaran matematika SMA.”

“Ah, kamu pernah mendapatkan NEM tertinggi untuk pelajaran matematika. Ibu yakin ilmu matematika  itu masih tersimpat di bilik otakmu.  Hanya saja kunci bilik itu sudah berkarat karena lama tidak digunakan.  Kamu cukup meminyaki kuncinya.  Asal kamu tekun meminyaki, kunci tersebut dapat membuka pintu bilik otakmu, dan kamu bisa memanfaatkan isinya untuk kebaikanmu.  Paham maksudku?”  

“Iya Bu, aku akan berusaha.  Tetaplah berdoa untukku!” 

Entah mengapa, awan gelap yang menyaputi kehidupannya seolah lenyap.  Sina dapat melihat jalan terang yang akan dilalui bersama puterinya.
Bogor, 31 Desember 2015
 TAMAT -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar