Selasa, 15 Maret 2016

Cerbung : Rainbow (I)

Cerbung Fabina Lovers

Prolog :
Prakoso meninabobokan bayi dalam pelukannya.  Suaranya terdengar merdu, meski agak serak.  Maklum, lelaki itu pernah mencari nafkah sebagai penyanyi klub malam sewaktu menjadi mahasiswa.
“Dia sudah tidur, baiknya kau letakan saja di boks bayi,” saran Gwendoline Prakoso dengan suara dingin.

“Cantik sekali bidadari mungil ini.  Apakah kau tak ingin menciumnya, Gwen?”  Prakoso mencium pipi sang bayi sebelum meletakannya ke dalam boks bernuansa pink.
Alih-alih menjawab, Gwendoline malah meninggalkan kamar sambil menghentakan kaki.  Tingkahnya seperti bocah perempuan tidak dibelikan berbie.
Prakoso tertawa geli.  Dia paham, Gwendoline cemburu pada sang bayi. Sejak kehadiran bayi perempuan itu, Gwen kekurangan perhatian dari suaminya.  Ah Gwendoline, perempuan bertubuh sintal yang berjiwa kanak-kanak.   Hal itu menumbuhkan jiwa ksatria dalam diri Prakoso.  Lelaki itu ingin melindungi Gwendoline sepanjang hayatnya.
Dan sekarang, sosok mungil ini pun membutuhkan perlindungan Prakoso.  Tanpa sadar, Prakoso menggumamkan puisi karya William Wordswoth.  Puisi sentimental yang amat disukainya.
The Rainbow
My heart leaps up when I behold
A rainbow in the sky;
So was it  when my life began;
So is it now I am man;
So be it when I shall grow old,
Or let me die!
The child is father of the man;
I could wish my days to be
Bound each to each by natural piety.
Sepasang mata Prakoso berkabut sewaktu mengucapkan larik ‘The child is father of the man’.  Telah lama ia ingin menjadi seorang ayah.  Kini, cita-citanya terwujud. 
“Cepatlah besar, Nak.  Akan kutunjukan padamu keindahan pelangi.  Kita akan menari di bawah pita warna-warni hingga senja menguncup.”   Prakoso berbisik pada bayinya.
BAB I : Beo Peramal
Prakoso selalu berkata, Minny terlahir ke dunia tatkala alam berpesta.  Waktu itu pepohonan maple memamerkan aneka warna daunnya : hijau, merah, jingga, hingga kuning keemasan.  Langit warna biru keunguan menaungi seluruh kota.  Musik bernada riang menghangatkan alun-alun kota dimana penduduk bercengkerama bersama keluarga atau pasangannya.  Semuanya bergembira,  seolah tak pernah berkubang derita.
“Kamu bayi tercantik yang dilahirkan di klinik Dokter Marry,” puji  Prakoso.
“Tentu saja paling cantik, dia satu-satunya bayi perempuan yang dilahirkan saat itu,” sergah Gwendoline Prakoso yang sedang membuka pintu oven. 
“Oh Tuhan, mengapa aku tak pernah menghasilkan pie berwarna keemasan?  Selalu saja gosong.”  Gwendoline membanting loyang pie ke meja dapur.   Ia tampak putus asa.
Prakoso menghampiri istrinya, lalu memeluknya. “Sudahlah Gwen, aku nggak pernah menuntutmu jadi koki keluarga.  Bagaimana kalau kita makan siang di luar?”
“Tapi, aku belum menyelesaikan Bab Sepuluh.  Aku masih bingung, apakah Sandra akan menikahi  Harvey atau belajar seni rupa di Paris?” Gwendoline memandangi halaman belakang melalui jendela dapur.  Entah apa yang dipandanginya, bedeng tanaman blueberry atau tali jemuran?
Prakoso mengangkat bahu seraya melangkah ke pintu.  “Well, selamat bermesraan dengan tokoh novelmu.  Kami akan makan siang di luar.  Ayo Minny, segera pakai mantelmu! Suhu di luar mulai dingin.  Aku nggak mau kamu jadi Ratu Es seperti dalam dongeng Andersen.”
Minny buru-buru mengenakan mantel berbunga pink yang serasi dengan warna pipinya.  Rambut cokelatnya berkuncir satu dengan hiasan pita warna merah.  Dia tampak seperti Cinderella, cantik sekaligus rapuh. 
 “Sayangku, tampaknya beberapa tahun lagi aku harus menyewa bodyguard untuk melindungimu dari pria-pria iseng,”seloroh  Prakoso.
“Oh Pras, jangan kau puji terus anakmu.  Dia bisa tumbuh jadi gadis congkak!”  Nada bicara Mrs. Prakoso terdengar sinis.  Sejenak Minny merasa dirinya bukan anak kandung wanita berbibir sensual itu. 
See you Gwen.  Kami akan  kembali ke rumah sekitar jam lima sore.  Aku ingin membawa Minny ke perpustakaan kota,” kata  Prakoso sambil menggandeng  anak gadisnya.
Prakoso dan Minny menikmati makan siang di sebuah restoran Italia.  Lelaki gagah itu memesan pizza  daging asap dan limun jahe, sedangkan bidadari kecilnya memesan pasta saus bolognese dan english tea hangat.  Sebagai pencuci mulut, mereka sepakat  memesan puding cokelat saus jeruk.    Usai menikmati makan siang, mereka bertukar cerita.  Minny menceritakan kenakalan teman lelakinya di sekolah, sedangkan  Prakoso mengenang masa kecilnya di Indonesia.
“Hah, Papa berjalan kaki ke sekolah tanpa sepatu?  Apa kakinya nggak sakit?”  Minny membelalakan bola matanya yang berwarna cokelat.
“Tidak, kami telah bertelanjang kaki sejak bayi.   Bagi orang miskin macam kami, sepatu adalah barang mewah.”   
“Apakah orang-orang di Indonesia makan nasi setiap hari?” Minny mengalihkan topik pembicaraan karena tak tahan mendengar penderitaan ayahnya sewaktu kecil.
“Hanya orang kaya yang makan nasi dari beras.  Kami,  masyarakat miskin pedesaan, umumnya makan nasi tiwul.”
“Nasi tiwul?”
“Tiwul adalah olahan tepung singkong yang berbutir-butir seperti nasi.”
“Memangnya harga singkong lebih murah daripada beras?”
“Kami nggak pernah beli singkong,  hampir semua penduduk menanamnya di pekarangan rumah.”
“Oh gitu ya Pa, pasti rasa singkong nggak enak.”
“Siapa bilang?  Seandainya saat ini ada yang berjualan singkong, pasti papa beli, berapa pun harganya.”
Agaknya malaikat mendengar pernyataan Prakoso.  Tiba-tiba, duduklah seorang wanita  berwajah melayu di samping Minny.  Rambut wanita itu bercat silver.  Kepalanya berkilauan saat diterpa cahaya lampu.
“Selamat siang, Anda dari Indonesia?” tanya wanita itu pada Prakoso.
“Tebakan Anda amat jitu.  Senangnya bertemu rekan sekampung di negara dingin ini.” 
Prakoso menyalami wanita itu seraya tersenyum lebar.  Tak lama kemudian, mereka berbincang dalam bahasa yang tidak diketahui Minny.  Gadis itu seolah tersesat di planet asing.
Please Pa, berbicaralah dalam Bahasa Inggris!” seru Minny ketika Prakoso dan wanita asing itu telah bercakap-cakap selama sepuluh menit.  Sepuluh menit yang membosankan.
“Maaf Bu, aku melupakan gadisku.”  Kali ini Prakoso berbahasa Inggris.
“Cantik sekali kamu, Nak.  Siapa namamu?  Oh ya, namaku Indira Subagyo, kamu bisa memanggilku Indi.”  Wanita berwajah melayu itu menyentuh lembut lengan Minny.
“Namaku Minneapolis Prakoso, semua orang memanggilku Minny.”
Well Pras, tampaknya  Kota Mineapolis sangat mengesankan kalian.”  Indi mengedipkan sebelah matanya.
“Aku dan Gwen bertemu di Universitas Minneapolis.  Kami bertarung dalam acara debat kampus.  Pertarungan itu ternyata berlanjut hingga keluar ruangan debat.“  Prakoso terdiam sejenak. 
“Dan kalian memutuskan untuk menikah?” tanya Indi.
 “Sampai sekarang, aku masih takjub bila menyadari kami telah menikah selama tigabelas tahun.”  Prakoso tersenyum sambil menggelengkan kepala.
“Berbicara tentang singkong, aku punya banyak olahannya di rumah.  Sudikah kalian mampir ke rumahku?” Indi menatap pasangan bapak-anak itu dengan bola mata berbinar.
Prakoso melirik jam tangannya.  “Oke, dimana rumahmu? Jauhkan dari sini?  Kami berjanji tiba di rumah pukul lima sore,” kata Prakoso.
“Nggak jauh kok, hanya beberapa blok dari restoran ini.  Bisa ditempung dengan berjalan kaki.  Kalian nggak akan terlambat sampai di rumah.”
“Kalau begitu, kita bisa segera ke rumahmu.”  Prakoso bangkit dari kursinya, diikuti oleh Minny dan Indi.  Mereka langsung meninggalkan restoran karena telah membayar bon makanan usai pemesanan.
Rumah Indi terletak di sebuah lahan seluas setengah acre,  berhadapan dengan perpustakaan kota.  Halamannya berantakan.  Rerumputan tumbuh tak beraturan.  Semak-semak Hibiscus menjulang setinggi dada orang dewasa. 
“Tukang potong rumput langganan kami sedang sakit, dan aku tak mungkin merapikan halaman ini sendirian.  Tanganku terserang rematik,” jelas Indi, santai.
Prakoso menepuk lembut punggung Indi.  “Jangan khawatir, kami tak pernah mempermasalahkan hal kecil.  Nyonya rumah yang hangat dan bersahabat sudah cukup bagi kami.”
Indi tampak terharu mendengar pernyataan Prakoso. “Oh Pras, manis sekali kamu.  Pasti menyenangkan punya suami seperti kamu.”
 Prakoso mengangkat bahu.  Wajahnya mendadak muram.  “Hm, tidak semua wanita berpikiran begitu.”
Saat Indi membuka pintu depan, seekor beo terbang, dan hinggap di bahu Indi.  Burung berbulu hitam itu mematuk-matuk telinga Indi hingga menyadari kehadiran  Prakoso dan anaknya.
“Keluarga bahagia.  Aku melihat keluarga bahagia.”  Unggas itu berceloteh riang di atas pundak Indi.
“Diam, Borneo.  Ramalanmu ngaco.”  Indi menepuk kepala si beo.  Pipinya merona.
“Memangnya burung itu pandai meramal, ya?” tanya Minny.
“Masuklah dulu, banyak hal yang ingin kuceritakan.”  Indi membentangkan pintu depan rumahnya. Sementara Borneo terbang kembali ke sangkarnya.yang dibiarkan terbuka.
Tak seperti bagian luarnya, bagian dalam rumah Indi tertata rapi.  Lukisan-lukisan bertema batik menghiasi dinding ruangan, juga dinding di sebelah tangga menuju lantai dua.  Minny dan ayahnya menduduki sofa nyaman dengan bantal-bantal kursi bermotif songket Palembang.
“Aku jadi kangen Indonesia,” ujar Prakoso seraya mengamati perabotan ruang tamu.
“Tunggu ya, aku akan menyajikan camilan khas Indonesia untuk kalian.”
Indi menghampiri lemari dapur, lalu mengeluarkan sebuah toples berselubung manik-manik khas Kalimantan.  Ia juga membuat sirup berwarna jingga yang belum pernah dicicipi Minny.
“Cobalah Minny, ini keripik singkong dan sirup markisa.  Dulu, anak gadisku amat menyukainya.”  Indi membukakan tutup toples bagi Minny.
Minny mengambil sekeping keripik singkong, mengamatinya sejenak, lalu menggigitnya.  “Yummy, enak sekali, rasanya mirip keripik kentang,” puji Minny.  Gadis kecil itu tanpa sungkan memenuhi piring kertas dengan keripik singkong untuk dinikmati.
“Ambillah sesukamu, aku punya banyak kok,” ujar Indi sambil tersenyum senang.
“Kamu punya apa lagi?” tanya Prakoso.
“Mau coba tiwul instan?  Aku punya bermacam rasa.  Ada rasa cokelat, pandan dan nangka.  Kamu mau rasa apa?”
“Aku mau coba rasa nangka.  Ehm, untuk minumannya aku minta Kopi Aceh?”
“Ini minta atau merampok, ya?” Indi menatap Prakoso dengan sorot mata jenaka.
“Aku ingin merampok seluruh rumah ini berserta hatimu.” Prakoso balas menatap Indi dengan sorot mata jenaka.
“Huh, gombal.  Oke, aku mau menyiapkan hidangan pesananmu. Tapi, jangan lupa bayar makanannya sebelum pulang, ya.”  Indi mengedipkan sebelah matanya sebelum beranjak ke dapur.
Sejurus kemudian, Indi menghampiri mereka sambil menanting baki berisi sepiring tiwul panas dan secangkir kopi yang mengepulkan aroma nikmat.
“Oh Indi, rasanya seperti diterbangkan ke bulan,”  desah Prakoso setelah menandaskan hidangan khas Indonesia itu.  Ia bersendawa keras sambil menyandarkan diri ke bantalan sofa. 
“Oh Pras, kamu persis mendiang ayahku.”  Indi memandangi lukisan seorang lelaki gagah berkopiah hitam dengan wajah berbinar.
Prakoso ikut-ikutan memandangi lukisan itu.  “Wajah ayahmu mirip seseorang yang aku kenal,” kata Prakoso.
“Tentu saja, ayahku keturunan  salah seorang proklamator kita,” jelas Indi dengan suara bergetar.
Prakoso terperanjat.  “Apa aku salah dengar?”
“Kamu tak salah dengar.  Baiklah, aku akan menceritakan sedikit riwayat hidupku.”  Indi menangkupkan tangan di bawah dagu dan mulai bercerita.
Wulan berwajah ayu, dan luwes menarikan aneka tarian tradisional.  Karenanya, ia terpilih menjadi penari istana era orde lama.  Banyak pria menaruh hati padanya, tapi Wulan telanjur jatuh dalam pesona Sang Pimpinan Tertinggi Revolusi.  Ah, wanita mana yang sanggup mengabaikan pesona beliau?
Awalnya, mereka hanya berjalan-jalan di sekitar taman istana selepas acara kenegaraan.  Hingga suatu hari, sang proklamator melamar Wulan.  Sang gadis ayu  menerima lamarannya dengan sukacita.   Ia tak memedulikan kondisi laki-laki itu yang telah memiliki beberapa orang isteri, dan berusia sebaya bapaknya. 
Setahun setelah pernikahan mereka, Wulan melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Subagyo.  Tak lama kemudian, terjadi Pemberontakan G30S PKI.  Sang proklamator meminta kenalannya untuk melarikan Wulan ke Amerika.  Keselamatan Wulan terancam karena ia merupakan  anggota kelompok kesenian yang berafiliasi dengan PKI.    Sejak saat itu, Wulan tak pernah berjumpa lagi dengan suaminya.  Ia mendengar kabar kematian suaminya saat menari di sebuah pub.  Wanita rupawan itu terus menari dengan airmata bercucuran.
Subagyo kecil diterbangkan kembali ke Indonesia saat ibunya meninggal akibat penyakit diabetes.  Dia tinggal di Yogyakarta bersama neneknya sampai berumur delapan belas tahun.  Setamat SMA, Subagyo merantau ke Jakarta.  Ia mencoba peruntungannya di bidang perfilman.  Awalnya Subagyo hanyalah asisten produksi yang bertugas menggulung kabel atau membuatkan kopi.  Beberapa tahun kemudian, kariernya meningkat, ia menjadi Asisten Sutradara.  
Winona Maranatha, salah satu aktris pendatang baru di kancah perfilman Indonesia, terlibat dalam  film arahan Subagyo.    Sebagai pria bernaluri seni, Subagyo segera menyadari bahwa Winona tak berbakat akting.  Gadis itu hanya mengandalkan kemolekan wajahnya.
“Rese banget sih!” hardik Winona.  Ia murka karena Subagyo menghentikan adegan yang diperankannya sebanyak sepuluh kali. 
“Kalau begini terus, lebih baik aku  mundur saja!”  Winona meninggalkan mereka sambil menangis.
“Jangan terlalu idealis, Sob.  Gadis itu telah mengeluarkan akting terbaiknya,”  nasehat Suhdi, sang sutradara.
“Hah, akting bagus apaan? Menurutku, dia berakting kayak bintang ‘film biru’.  Aku curiga, kamu membela dia karena takut kehilangan uang bapaknya,  ya?” tuduh Subagyo.  Sorot matanya membara.
“Sejujurnya, iya.  Kita nggak bisa meneruskan produksi film ini tanpa uang ayahnya,” jawab Suhdi sambil menundukan kepala.
“Dasar dedengkot nepotisme!  Biar aku saja yang keluar.  Kamu bisa cari asisten lain.”  Subayo mengambil jaketnya yang tersampir di kursi sutradara, dan berlalu dari hadapan Suhdi. 
Beberapa hari kemudian, seseorang mengetuk pintu kamar kost Subayo.  Alangkah terkejutnya Subagyo ketika melihat Winona berdiri di depan kamarnya.
“Boleh aku masuk?” tanya Winona dengan suara memelas.
“Jangan, kamarku pengap dan berantakan.  Kita bicara di warteg saja.”  Subgyo meraih dompetnya, mengunci pintu kamar, lalu menggandeng Winona menuju warteg yang terletak di depan gang sempit.
Penampilan Winona bertolak belakang dengan pemandangan warteg.  Pakaiannya mahalnya,  wangi parfumnya, membuat warteg itu terlihat duakali lipat lebih kumuh.  Tak mengherankan bila Winona menolak semua makanan warteg.  Hanya Subgyo yang memesan kopi dan mie instan.
 “Jadi, kamu mau menyerahkan surat pemecatanku?” seloroh Subagyo.
“Kebalikannya, aku ingin kamu kembali.   Biar aku saja yang berhenti main film.  Kata ayahku, kamu dan Suhdi adalah sutradara bertangan dingin.  Film-film besutan kalian selalu laris di pasaran.”
“Baguslah, akhirnya kamu sadar diri,” kata Subagyo sambil menyeruput kopi.
“Ya, aku memang nggak berbakat main film.  Lebih baik, aku melanjutkan sekolah bisnis di Amerika, biar dapat ilmu untuk mengembangkan perusahaan film keluarga kami,” tegas Winona.
Subagyo menatap Winona penuh kekaguman.  Tiba-tiba saja mereka berpelukan.  Pelayan dan segenap pengunjung warteg  lainnya berseru protes.  “Nggak sopan, nggak sopan.”  Sementara kedua pemuda kasmaran itu seolah tuli.
“Ah Subagyo, jaketmu bau sekali.  Pasti jarang dicuci.”  Winona melepaskan diri dari pelukan Subgyo sambil mengernyitkan  hidungnya.
Subagyo tertawa sumbang.  “Jelas saja, nggak ada perempuan yang mengurusiku sih.”
Winona pun terjebak dalam perangkap Subagyo.  “Mulai sekarang, aku akan mengurusmu,” tandas Winona.
Deal?”
Deal.” Winona menautkan kelingkingnya ke jari Subagyo,  wujud komitmen mereka untuk perpacaran.
Indi berhenti bercerita untuk mereguk sirup markisa.  Bicara berkepanjangan membuat kerongkongannya kering.
“Jadi, Subagyo dan Winona akhirnya menikah?” tanya Minny, penasaran.
“Tentu saja, Sayang.  Akulah anak mereka,” jawab Minny sambil mengelus kepala Minny.
“Mengapa mereka pindah ke Amerika?” Minny kembali bertanya.
Prakoso melihat jam tangannya.  “My God, sudah hampir pukul lima.  Kita harus segera pulang.  Kalau kita telat, ibumu akan marah.”  Prakoso buru-buru menghampiri lemari penyimpanan mantel yang terletak di sisi pintu ruang tamu.  Ia membantu Minny memakai mantel, lalu memakai mantel miliknya.
See you Indi, suatu saat kami  akan mengunjungimu lagi,” pamit Prakoso.
Good bye Indi.”  Minny mencium pipi Indi sebelum mengikuti ayahnya keluar rumah.  Gadis itu menyukai Indi.  Ia berharap Indi dapat menjadi sosok ibu yang diinginkannya.
Mereka tiba di rumah saat bel berdentang empat kali.  Rupanya baru pukul empat sore.  Jam Prakoso lebih cepat satu jam karena ia baru saja mengunjungi negara bagian dengan zona waktu berbeda.
“Aha, kita terlalu cepat sampai di rumah.  Baiklah, kita kejutkan saja ibumu.  Dia pasti sedang menulis di lantai atas,” usul Prasetyo.
Mereka mengendap-endap ke dalam rumah, lalu menaiki tangga menuju lantai atas.  Minny menutup mulutnya untuk menahan tawa.  Keisengan macam ini amat menggairahkannya. 
“Lho, ibumu kok nggak ada di tempat biasa?” tanya Prakoso sewaktu mendapati ‘sudut Gwen’ kosong.
“Mungkin ibu sedang tidur di kamar.  Kita ke kamarnya saja, yuk,”  ajak Minny.
Gadis itu berjalan mendahului ayahnya ke kamar utama.  Setibanya mereka di muka pintu kamar,  terdengar jeritan Gwendoline.  Prakoso menumbuk pintu kamar dengan bahunya.  Pintu kamar terlepas dari engselnya hingga tampaklah pemandangan dramatis dalam kamar utama.  Pemandangan yang tak akan pernah dilupakan Minny seumur hidupnya.
-Bersambung-

Keterangan :

1 acre = 4000 m2 (ukuran luas di negara barat)

Hibiscus = kembang sepatu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar