Rabu, 09 Maret 2016

Fatamorgana

Fiksi Fabina Lovers

Hasil gambar untuk gambar fatamorgana
Semestinya Rano tak bersahabat dengan Hengki.   Gara-gara Hengki, Rano kerap dimarahi ibunya.  Apakah Hengki mengadukan kenakalan Rano atau memfitnahnya?  Tidak separah itu, kawan. 

Baiklah, mungkin perlu diceritakan sedikit latar belakang mereka.  Mama Rano adalah kakak kandung Mama Hengki.  Sejak kecil, mereka selalu bersaing dalam segala hal.  Suatu ketika, Tina (mama Rano) harus mengakui keunggulan Suti (mama Hengki).  Suti menikahi seorang pengusaha kaya,  sementara Tina bersuamikan pemilik toko kelontong di pasar.  Skor Kemenangan Suti atas  Tina kian bertambah berkat kehadiran Hengki, anak lelaki tampan, pemilik IQ very superior ‘sangat cerdas’.  Sedangkan Rano, anak Tina, hanyalah pemuda bertampang pasaran dengan IQ average ‘rata-rata’.

Setiap akhir pekan, Suti mengunjungi kakaknya sambil membawa oleh-oleh camilan mahal berikut kisah kehebatan putera tunggalnya.  Hal ini sangat mengesalkan Tina, apalagi dia tak kuasa menolak kehadiran Suti.  Penyebabnya, kedua anak mereka sangat menikmati kunjungan akhir pekan itu.   Rano dan Hengki terlibat permainan seru saat kedua orang tua mereka berbincang di ruang tamu.   Ah, sebenarnya tidak tepat kalau dikatakan berbincang, karena Suti memonopoli percakapan.  Sepanjang sore, Tina terpaksa mendengar ocehan Suti.  Sementara, Suti tak memedulikan mimik masam kakaknya.

Sebagai pelampiasan kekesalannya, Tina memarahi Rano ketika tamu mereka  pulang.  “Kamu sih, nggak rajin belajar,  mana bisa dapat rangking sepuluh besar?”  “Kamu tuh payah, nggak bisa diandalkan, persis ayahmu!” “Hih, ngapain juga nenek sihir itu bertamu sambil bawa piala?  Sayang, kamu nggak pernah menjuarai lomba apapun, mama jadi kayak ‘kambing congek’ di hadapan dia.”

Untunglah Rano memiliki sosok ayah yang bijaksana.  Malam hari, selepas salat tahajud,  ayah mendekati Rano yang terserang insomnia. 

“Kekayaan, kecerdasan dan ketampanan, hanyalah perhiasan dunia.  Hakikatnya, Allah mengukur kemuliaan manusia berdasarkan amal ibadanya.  Amal kebaikan apakah yang sudah kamu kerjakan hari ini?  Apakah kamu sudah melaksanakan ibadah wajib tepat pada waktunya?  Sudahkah kamu melaksanakan ibadah sunnah?  Apakah hari ini perbuatanmu bermanfaat bagi sesama mahluk Allah?” tanya lelaki berwajah teduh itu.

“Maaf Ayah,  Rano telat Salat Asar  gegara asik ngobrol dengan Hengki.  Salat sunah...mmm...belum sempat,” jawab Rano, tersipu.

“Ya sudah, masih ada waktu untuk bertahajud.  Salatlah!  Berdoalah agar Allah memperkenankan kita menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama.”

Rano melompat dari tempat tidurnya dengan perasaan ringan.  Nasehat ayahnya seolah sapu yang membersihkan kotoran hatinya. 
****


Tigapuluh tahun kemudian

Seperti kebiasaannya sejak puluhan tahun silam, Suti mengunjungi Tina di akhir pekan.  Setahun terakhir ini, kunjungannya tak lagi membawa cerita kecemerlangan putera tunggalnya.  Kini, Suti kerap menyesali takdir kehidupan Hengki.

“Beruntung sekali kamu, Kak, punya cucu secantik ini.”  kata Suti.  Ia mengembangkan sepasang lengannya,  isyarat agar Wafa berpindah ke pangkuannya.  Tapi, bocah lucu berusia empat tahun itu tetap bertahan di pangkuan Tina, neneknya.

“Oh ya, Rano dan istrinya sedang manasik haji.  Insya Allah mereka berangkat ke Mekkah bulan depan.  Nah, selama orang tuanyanya berhaji, Wafa dan kedua kakaknya tinggal di sini,” jelas Tina sambil menggelitik perut Wafa.  Bocah cantik itu tertawa geli.  Gelak tawanya memeriahkan suasana sore nan syahdu.

“Seandainya aku punya cucu.  Sayang, istri Hengki meninggal sebelum beranak.  Sekarang,  Hengki pun sakit.  Aku nggak tahu dia kena panyakit apa?  Mereka merahasiakannya dariku.  Keterlaluan sekali, aku ‘kan ibu kandung Hengki, hiks...” Setetes air mata membasahi sudut mata Suti.

Sangat manusiawi bila Tina menertawakan penderitaan Suti, mengingat Suti  kerap menyombongkan kehebatan puteranya di masa lalu.  Tapi,  Tina berusaha sekuat tenaga mengenyahkan kepuasan hatinya. 

“Sabarlah, Dek.  Setiap masalah ada solusinya.  Ini hanya ujian kecil.  Ingatlah, amat banyak karunia Allah bagimu.   Bunga deposito dan deviden saham peninggalan almarhum suamimu, bisa memenuhi tuntutan hidup kalian sampai tujuh turunan.  Lihatlah aku, sampai setua ini masih jualan di pasar.  Memang, Rano tiap bulan memberiku uang saku, cukuplah untuk biaya hidup selama sebulan.  Tapi, aku ‘kan ingin juga menginjak tanah suci. Kamu lebih beruntung, bisa ke tanah suci berkali-kali.”

Kali ini, Suti tak sanggup lagi membendung air matanya.  “Apa artinya harta berlimpah tanpa keturunan?  Anak tunggalku nggak punya anak, dan menderita penyakit parah.  Kalau dia menyusul istrinya,   siapa yang akan mewarisi harta kami?”   Suti  menangis sambil bersandar di bahu Tina.

Tina membelai kepala adiknya yang tertutup selendang produksi rumah mode ternama.  Hatinya mencelos.  Sebesar apapun kejengkelannya pada Suti, Tina tetap berempati padanya.  Itulah yang dinamakan solidaritas saudara kandung.

Dering ponsel Suti mengejutkan mereka.  Suti mengeluarkan ponsel dari tas Hermes-nya dengan mimik cemas.  “Ya, ya, bawa Bang Hengki ke rumah sakit langganan kita.  Ibu segera meluncur ke sana.”

Tangan Suti tampak gemetaran sewaktu memasukan ponsel ke dalam tas.  Wajahnya memucat.

“Aku pamit dulu ya, Kak.  Hengki pingsan.   Minta doanya, Kak,” kata Suti sambil mencium punggung tangan Tina.  Kini, Suti selalu mencium punggung tangan Tina bila berkunjung ke rumahnya.   Berbeda dengan kebiasaanya dulu,  bersalaman dengan Tina hanya dilakukannya saat lebaran.

“Sabar ya, Dek.  Insya Allah kamu naik kelas bila lulus ujian ini,” nasehat Tina seraya mengelus punggung adiknya.

Tina melambaikan tangannya pada Suti yang duduk di kursi belakang sebuah sedan mewah.  Setetes air mata membasahi pipi keriputnya.

“Nenek kok nangis?” tanya Wafa.

“Mata nenek kemasukan debu.  Ayo, kita main ular tangga lagi!”  Tina mengajak Wafa masuk ke dalam rumah. 

“Nek, ayah mau beliin aku cepeda balu.  Walnanya ungu...”

Tina tak sepenuhnya menyimak cerita Wafa.   Ia terkenang percakapannya dengan Rano tadi malam.

“Janji ya, Mama nggak akan membocorkan rahasia ini pada siapapun.”

“Iya, mama janji.”

 “Hengki sakit AIDS.”

“Kok bisa?”

“Pasti Mama belum tahu,  Hengki tuh  biseks. Ketularan guru olahraganya sewaktu SMP.”

“Masya Allah, nggak nyangka, ya?  Padahal terlihat normal luar-dalam.  Ngomong-ngomong, siapa yang menularinya penyakit AIDS?”

“Pacarnya, laki-laki  berkebangsaan Amerika.”

“Hih, ngeri lihat pergaulan anak sekarang.  Mudah-mudahan keluarga kita dijauhkan dari hal-hal semacam itu.”

“Menurut prakiraan dokter, sisa umurnya tinggal tiga bulan lagi.  Jadi, Hengki minta diajari cara bertobat.”

“Ya Tuhan,  apa mamanya  sudah tahu?”

“Belum, Ma.  Hengki nggak mau  Tante Suti kena serangan jantung dan meninggal duluan.  Ya, kita hanya bisa berdoa agar dosa-dosa Hengki diampuni Allah.”

Tina terkejut saat merasakan tarikan kuat pada ujung blusnya.  Wafa yang melakukannya.  Gadis kecil itu ‘ngambeg’ gara-gara tidak diperhatikan oleh neneknya.   Sebagai hukuman, Tina dijadikan ‘kuda tunggangan’.

Nenek lincah itu melakoni peran sebagai kuda tunggangan dengan penuh semangat.  Untuk pertama kali sejak puluhan tahun silam, Tina merasa dirinya lebih beruntung daripada Suti.  Tiba-tiba, dia teringat wejangan mendiang suaminya : ‘Jangan iri pada orang yang dilimpahi kemegahan dunia, karena kemegahan dunia hanyalah fatamorgana.’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar