Fiksi Fabina Lovers
Semestinya Rano tak bersahabat
dengan Hengki. Gara-gara Hengki, Rano
kerap dimarahi ibunya. Apakah Hengki
mengadukan kenakalan Rano atau memfitnahnya?
Tidak separah itu, kawan.
Baiklah, mungkin perlu
diceritakan sedikit latar belakang mereka.
Mama Rano adalah kakak kandung Mama Hengki. Sejak kecil, mereka selalu bersaing dalam
segala hal. Suatu ketika, Tina (mama
Rano) harus mengakui keunggulan Suti (mama Hengki). Suti menikahi seorang pengusaha kaya, sementara Tina bersuamikan pemilik toko
kelontong di pasar. Skor Kemenangan Suti
atas Tina kian bertambah berkat
kehadiran Hengki, anak lelaki tampan, pemilik IQ very superior ‘sangat cerdas’.
Sedangkan Rano, anak Tina, hanyalah pemuda bertampang pasaran dengan IQ average ‘rata-rata’.
Setiap akhir pekan, Suti
mengunjungi kakaknya sambil membawa oleh-oleh camilan mahal berikut kisah
kehebatan putera tunggalnya. Hal ini
sangat mengesalkan Tina, apalagi dia tak kuasa menolak kehadiran Suti. Penyebabnya, kedua anak mereka sangat
menikmati kunjungan akhir pekan itu.
Rano dan Hengki terlibat permainan seru saat kedua orang tua mereka
berbincang di ruang tamu. Ah,
sebenarnya tidak tepat kalau dikatakan berbincang, karena Suti memonopoli
percakapan. Sepanjang sore, Tina
terpaksa mendengar ocehan Suti.
Sementara, Suti tak memedulikan mimik masam kakaknya.
Sebagai pelampiasan kekesalannya, Tina
memarahi Rano ketika tamu mereka pulang.
“Kamu sih, nggak rajin belajar,
mana bisa dapat rangking sepuluh besar?”
“Kamu tuh payah, nggak bisa diandalkan, persis ayahmu!” “Hih, ngapain
juga nenek sihir itu bertamu sambil bawa piala?
Sayang, kamu nggak pernah menjuarai lomba apapun, mama jadi kayak
‘kambing congek’ di hadapan dia.”
Untunglah Rano memiliki sosok ayah yang
bijaksana. Malam hari, selepas salat
tahajud, ayah mendekati Rano yang
terserang insomnia.
“Kekayaan, kecerdasan dan
ketampanan, hanyalah perhiasan dunia.
Hakikatnya, Allah mengukur kemuliaan manusia berdasarkan amal
ibadanya. Amal kebaikan apakah yang
sudah kamu kerjakan hari ini? Apakah
kamu sudah melaksanakan ibadah wajib tepat pada waktunya? Sudahkah kamu melaksanakan ibadah
sunnah? Apakah hari ini perbuatanmu
bermanfaat bagi sesama mahluk Allah?” tanya lelaki berwajah teduh itu.
“Maaf Ayah, Rano telat Salat Asar gegara asik ngobrol dengan Hengki. Salat sunah...mmm...belum sempat,” jawab
Rano, tersipu.
“Ya sudah, masih ada waktu untuk bertahajud. Salatlah!
Berdoalah agar Allah memperkenankan kita menjadi manusia yang bermanfaat
bagi sesama.”
Rano melompat dari tempat tidurnya dengan perasaan ringan. Nasehat ayahnya seolah sapu yang membersihkan kotoran hatinya.
****
Tigapuluh tahun kemudian
Seperti kebiasaannya sejak
puluhan tahun silam, Suti mengunjungi Tina di akhir
pekan. Setahun terakhir ini,
kunjungannya tak lagi membawa cerita kecemerlangan putera tunggalnya. Kini, Suti kerap menyesali takdir kehidupan
Hengki.
“Beruntung sekali kamu, Kak,
punya cucu secantik ini.” kata Suti. Ia mengembangkan sepasang lengannya, isyarat agar Wafa berpindah ke
pangkuannya. Tapi, bocah lucu berusia
empat tahun itu tetap bertahan di pangkuan Tina, neneknya.
“Oh ya, Rano dan istrinya sedang
manasik haji. Insya Allah mereka
berangkat ke Mekkah bulan depan. Nah,
selama orang tuanyanya berhaji, Wafa dan kedua kakaknya tinggal di sini,” jelas
Tina sambil menggelitik perut Wafa. Bocah
cantik itu tertawa geli. Gelak tawanya
memeriahkan suasana sore nan syahdu.
“Seandainya aku punya cucu. Sayang, istri Hengki meninggal sebelum beranak. Sekarang,
Hengki pun sakit. Aku nggak tahu
dia kena panyakit apa? Mereka merahasiakannya
dariku. Keterlaluan sekali, aku ‘kan ibu
kandung Hengki, hiks...” Setetes air mata membasahi sudut mata Suti.
Sangat manusiawi bila Tina menertawakan penderitaan Suti, mengingat Suti kerap menyombongkan kehebatan puteranya di masa lalu. Tapi, Tina berusaha sekuat tenaga mengenyahkan kepuasan hatinya.
“Sabarlah, Dek. Setiap masalah ada solusinya. Ini hanya ujian kecil. Ingatlah, amat banyak karunia Allah bagimu. Bunga deposito dan deviden saham peninggalan
almarhum suamimu, bisa memenuhi tuntutan hidup kalian sampai tujuh turunan. Lihatlah aku, sampai setua ini masih jualan
di pasar. Memang, Rano tiap bulan
memberiku uang saku, cukuplah untuk biaya hidup selama sebulan. Tapi, aku ‘kan ingin juga menginjak tanah suci.
Kamu lebih beruntung, bisa ke tanah suci berkali-kali.”
Kali ini, Suti tak sanggup lagi membendung air
matanya. “Apa artinya harta berlimpah
tanpa keturunan? Anak tunggalku nggak
punya anak, dan menderita penyakit parah.
Kalau dia menyusul istrinya,
siapa yang akan mewarisi harta kami?”
Suti menangis sambil bersandar di bahu Tina.
Tina membelai kepala adiknya yang
tertutup selendang produksi rumah mode ternama.
Hatinya mencelos. Sebesar apapun
kejengkelannya pada Suti, Tina tetap berempati padanya. Itulah yang dinamakan solidaritas saudara
kandung.
Dering ponsel Suti mengejutkan
mereka. Suti mengeluarkan ponsel dari
tas Hermes-nya dengan mimik cemas. “Ya,
ya, bawa Bang Hengki ke rumah sakit langganan kita. Ibu segera meluncur ke sana.”
Tangan Suti tampak gemetaran
sewaktu memasukan ponsel ke dalam tas. Wajahnya
memucat.
“Aku pamit dulu ya, Kak. Hengki pingsan. Minta doanya, Kak,” kata Suti sambil mencium
punggung tangan Tina. Kini, Suti selalu
mencium punggung tangan Tina bila berkunjung ke rumahnya. Berbeda dengan kebiasaanya dulu, bersalaman dengan Tina hanya dilakukannya
saat lebaran.
“Sabar ya, Dek. Insya Allah kamu naik kelas bila lulus ujian
ini,” nasehat Tina seraya mengelus punggung adiknya.
Tina melambaikan tangannya pada
Suti yang duduk di kursi belakang sebuah sedan mewah. Setetes air mata membasahi pipi keriputnya.
“Nenek kok nangis?” tanya Wafa.
“Mata nenek kemasukan debu. Ayo, kita main ular tangga lagi!” Tina mengajak Wafa masuk ke dalam rumah.
“Nek, ayah mau beliin aku cepeda
balu. Walnanya ungu...”
Tina tak sepenuhnya menyimak cerita
Wafa. Ia terkenang percakapannya dengan
Rano tadi malam.
“Janji ya, Mama nggak akan membocorkan rahasia ini pada siapapun.”
“Iya, mama janji.”
“Hengki sakit AIDS.”
“Kok bisa?”
“Pasti Mama belum tahu, Hengki
tuh biseks. Ketularan guru olahraganya
sewaktu SMP.”
“Masya Allah, nggak nyangka, ya? Padahal terlihat normal luar-dalam. Ngomong-ngomong, siapa yang menularinya
penyakit AIDS?”
“Pacarnya, laki-laki berkebangsaan Amerika.”
“Hih, ngeri lihat pergaulan anak sekarang. Mudah-mudahan keluarga kita dijauhkan dari
hal-hal semacam itu.”
“Menurut prakiraan dokter, sisa umurnya tinggal tiga bulan lagi. Jadi, Hengki minta diajari cara bertobat.”
“Ya Tuhan, apa mamanya sudah tahu?”
“Belum, Ma. Hengki nggak mau Tante Suti kena serangan jantung dan meninggal
duluan. Ya, kita hanya bisa berdoa agar dosa-dosa
Hengki diampuni Allah.”
Tina terkejut saat merasakan
tarikan kuat pada ujung blusnya. Wafa
yang melakukannya. Gadis kecil itu
‘ngambeg’ gara-gara tidak diperhatikan oleh neneknya. Sebagai hukuman, Tina dijadikan ‘kuda
tunggangan’.
Nenek lincah itu melakoni peran sebagai kuda tunggangan dengan penuh semangat. Untuk pertama kali sejak puluhan tahun silam, Tina merasa dirinya lebih beruntung daripada Suti. Tiba-tiba, dia teringat wejangan mendiang suaminya : ‘Jangan iri pada orang yang dilimpahi kemegahan dunia, karena kemegahan dunia hanyalah fatamorgana.’
Nenek lincah itu melakoni peran sebagai kuda tunggangan dengan penuh semangat. Untuk pertama kali sejak puluhan tahun silam, Tina merasa dirinya lebih beruntung daripada Suti. Tiba-tiba, dia teringat wejangan mendiang suaminya : ‘Jangan iri pada orang yang dilimpahi kemegahan dunia, karena kemegahan dunia hanyalah fatamorgana.’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar