Karya Fiksi oleh Fabina Lovers
Di sela acara silaturahmi keluarga, ayah mengajak Ratu ke Candi Bahal II. Situs abad ke-11 yang dibangun pada masa Kerajaan Pannai. Candi ini terletak di Desa Bahal, Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Tapanuli Selatan.
Ringkasan cerita bagian 1 :
Ayah meminta Ratu berhenti kerja untuk menikah dengan Beni. Pernikahan itu akan mengembalikan rumah keluarga mereka yang dijual pada Pak Hambali, ayah Beni.
Ratu tak
menyangka ayahnya menganut kepercayaan kuno itu. Kepergian mereka ke Tapanuli Selatan, dikiranya
hanya untuk mengundang keluarga besar
ayah ke pesta pernikahannya. Ya, Ratu
menerima perjodohannya dengan Beni.
Sebentar lagi, keluarga besar Ratu akan menyelenggarakan pesta
perkawinan termewah di kota mereka.
Biaya pesta tentu saja dari keluarga Hambali.
Di sela acara silaturahmi keluarga, ayah mengajak Ratu ke Candi Bahal II. Situs abad ke-11 yang dibangun pada masa Kerajaan Pannai. Candi ini terletak di Desa Bahal, Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Tapanuli Selatan.

Candi Bahal II
Seorang dukun bertampang seram telah menanti
mereka di sana. Dukun itu mengitari
tubuh Ratu seraya menghunus tatapan sembilu.
Ratu bergidik geri. Ia memegang
lengan ayahnya untuk meminta perlindungan.
Tapi ayah malah menepiskan pegangan tangan Ratu.
“Gadis yang sempurna
untuk persembahan Dewa Heruka,” desis Dukun sambil tersenyum puas. “Persembahan
ini akan menyabut kutukan dewa pada keluarga kalian. Kalian akan menerima anugerah kesehatan, kekayaan dan kehormatan.”
“Tidaak,” pekik
Ratu. Ia hendak melarikan diri tapi
kakinya seolah dipakukan ke tanah.
Agaknya ini efek mantera yang terus dirapalkan si dukun.
“Bawa dia ke
altar persembahan,” perintah si dukun pada dua orang asistennya yang berpakaian
serba hitam.
Kedua asisten
dukun menyeret Ratu menuju meja batu yang terletak di pelataran candi. Gaungan mantera dukun mendirikan bulu
roma. Ratu meronta-ronta tapi
kekuatannya tak sebanding dengan energi setan milik asisten dukun.
Ratu dibaringkan
terlentang di meja batu. Kedua kakinya
dilipat ke sisi berlawanan. Sementara
tali laso mengikat tubuh Ratu melintangi dada dan perutnya. Ratu tak bisa bergerak. Saputangan beraroma
dupa menyumpal mulut Ratu agar gadis itu tak bisa berteriak.
Malam beranjak tua. Api unggun mulai menyala. Sekumpulan pria bertopeng mengitari api
unggun sambil menyanyikan lagu pujian bagi Dewa Heruka dalam bahasa sansekerta.
"Tengah malam
nanti, jasad anakmu akan aku masukan ke dalam kobaran api. Asap yang membubung tinggi petanda ruh anakmu
telah mencapai singgasana Dewa Heruka,” kata dukun sambil menguji ketajaman
pedang yang akan digunakan untuk menghabisi nyawa Ratu.
“Saya akan
mengikuti ritual ini sampai selesai.
Biarlah Ratu mengorbankan dirinya bagi kebaikan keluarga,” tandas ayah.
“Ratuu...Ratuu..”
teriakan keras ibu mengguncang meja batu.
“Ratu, hudang maneh! Kumaha
sih sare wae,” teriak wanita berdarah Banten itu sambil mengguncang tubuh
gadisnya.
Ratu terjaga
dari tidurnya. Sejenak ia mengamati
sekeliling kamar untuk memastikan dirinya tak berada di meja persembahan. Ratu lega karena kejadian barusan hanyalah
mimpi buruk.
“Mandi
sana, abis itu dandan yang cantik! Jangan biarkan Bi Elis kelamaan menunggumu di
salon.” perintah ibu sambil beranjak keluar kamar.
“Bi Elis? Sekarang
baru acara lamaran, kok didandani perias pengantin?”
“Kamu harus
tampil cantik dalam acara lamaran ini, biar Kang Beni nggak kecewa.” Ibu
berhenti sejenak di ambang pintu kamar.
Bibirnya menyunggingkan senyum menggoda.
Hati Ratu serasa
disiram es sewaktu nama Beni disebut.
Jujur saja, dia belum ikhlas menerima perjodohan ini. Seandainya ia tak memikirkan kebaikan
keluarganya, tentu saja ia sudah kabur dari rumah. Gajinya mencukupi kebutuhan hidup di
Jakarta. Tapi, sejak kecil Ratu dididik
untuk memikirkan kepentingan keluarga.
Apalagi ayah berkata seperti ini : “Kalau kamu berani kabur dari
rumah. Aku tak akan pernah mengakuimu
sebagai anak lagi. Toh kami masih punya
dua anak yang lain.”
“Ayo, jangan
kebanyakan bengong, mandi sana!” teriak ibu dari luar kamar.
Ratu bersandar
di dinding kamar mandi. Air mata membasahi pipinya. Tubuhnya berada di kamar
mandi, tapi pikiran dan jiwanya berada di tempat lain. Seminggu yang lalu, Ratu mengundurkan diri dari pekerjaannya. Keputusan itu disesali manajer dan para sejawatnya. Ratu merupakan rekan kerja yang menyenangkan.
Berkat Ratu, timnya berhasil
melampui target penjualan bulan lalu.
Ratu pun berat meninggalkan pekerjaannya. Tapi, kehendak orang tua adalah kompas hidup
Ratu. Gadis itu tak akan pernah sanggup
melawan orang tuanya.
“Teh Ratu, mandinya cepetan dong, Sari mau buang
air!” teriak adik bungsu Ratu yang masih berusia sepuluh tahun.
"Ratu segera
menuntaskan mandinya. Saat ia baru
membuka pintu kamar mandi, adiknya memburu masuk dan berjongkok di kloset.
“Hih, jorok!”
tukas Ratu sambil menutup pintu kamar mandi.
“Nak, semua ini
tak akan terjadi kalau kita menempati rumah kita lagi. Di sana ada dua kamar mandi,” kata ayah yang
sedang duduk di ruang tamu.
Rumah kontrakan
mereka berukuran kecil. Luasan rumah
sekitar 42 m2. Terdiri dari
ruang tamu, dapur, dua kamar tidur, dan sebuah kamar mandi yang kesemuanya
berukuran mungil. Mereka tak mampu
mengontrak rumah yang lebih besar. Penghidupan
mereka hingga dua bulan lalu tergantung dari laba penjualan kue buatan ibu di
pasar. Bulan lalu, perekonomian keluarga meningkat berkat
kontribusi Ratu. Entah bagaimana nasib mereka setelah Ratu
berhenti kerja?
“Pak Hambali
berjanji akan membantu perekonomian keluarga kita. Kata beliau, minggu depan kamu bisa mulai
bekerja di kantor PEMDA DATI II Bogor.” Ayah
seolah bisa membaca kekhawatiran Ratu.
“Sekarang,
berdandanlah secantik mungkin!
Berlakulah yang sopan di hadapan keluarga Hambali. Aku yakin, mereka segera menyukaimu. Apalagi Beni.
Sejak melihat fotomu, ia tak sabar ingin berjumpa denganmu,” ujar
ayah. Wajah tuanya tampak berbinar.
“Ratu akan menerima
Beni, bagaimanapun rupanya,” kata Ratu, getir.
Ayahnya tertawa
renyah. “Nak, kemuliaan manusia dinilai
dari hatinya. Manusia yang rupa dan
hatinya baik adalah anugerah terindah.
Berdoa saja semoga kamu mendapatkan anugerah itu.”
Ratu tak ingin
lagi mendengar untaian kalimat ayah yang mengiris cuping telinganya. “Maaf ayah, Ratu harus segera ke rumah Bi
Elis. Dia sudah menunggu dari tadi,”
pamit Ratu. Ia berangkat ke salon Bi
Elis yang berselisih dua rumah dari kontrakan mereka.
Bi Elis
mendandani Ratu dengan gesit. Sejurus
kemudian, Ratu pun tak mengenali bayangannya sendiri di cermin. “Alah Ratu,
kamu mah pantasnya jadi artis. Sumpah, kamu
mirip pisan dengan Marissa Haque,” puji Bi Elis.
“Bibi bisa aja.”
Ratu tersipu. Namun, ia membenarkan pendapat bi Elis dalam hatinya.
“Bi, Ratu mau
ngaso di rumah bibi dulu ya. Deg-degan
kalau di rumah teh. Boleh ya, Bi?” pinta
Ratu dengan mimik memelas.
“Euleuh, euleuh, pamali atuh, Neng! Piraku
yang mau dilamar kalaka nanangga ka imah batur. Kesannya tidak baik di mata calon
mertua. Besok kamu boleh seharian di
sini. Tapi, bibi harap kamu sekarang
pulang ke rumah,” tegas Bi Elis sambil mendorong tubuh Ratu dengan lembut agar
keluar dari salonnya.
“Iya deh.” Ratu
bersungut-sungut saat keluar dari salon.
Bi Elis
menggeleng-gelengkan kepalanya. “Eta gadis, calon isteri orang tapi tingkahnya
masih kekanak-kanakan,” gerutu Bi Elis.
Kedua adik Ratu menyambut
kedatangannya dengan meriah. “Ayah,
ayah, lihat, ada artis datang ke rumah kita!” ledek Amira, anak kedua dalam keluarga yang berusia sebelas tahun.
“Mbak Marissa,
minta tanda tangannya dong!” Sari pura-pura menyodorkan buku dan pensil pada
Ratu.
“Apa sih, gak
lucu!” sergah Ratu sambil membanting pintu kamar di belakangnya.
“Yang mau
dilamar kok galak banget ya?” bisik Sari pada kakaknya. Amira hanya mengedikan bahunya.
“Eh, kalian
masih acak-acakan begini. Sana mandi! Ganti baju kalian dengan yang bagus! Kita mau kedatangan tamu agung,” perintah ibu
pada dua gadis iseng itu.
“Mandi berdua
aja biar cepat,” usul Amira.
“Oke kakak. Ayo kita cabut.” Sari menerima usul itu
dengan gembira. Tak lama kemudian
terdengar siraman air mandi ditingkah
suara remaja menyanyikan Gelas-Gelas Kaca yang dipopulerkan oleh Nia Daniyati.
Pukul empat tepat,
sebuah sedan mercedes warna putih berhenti di depan kontrakan mereka. Ibu dan Ayah menyambut tamu mereka dengan
wajah sumringah. Sementara Ratu
pura-pura mengecek minuman dan kue-kue yang telah disiapkan di dapur.
“Ratu, ayo
kenalan sama Beni!” Ibu membimbing Ratu ke ruang tamu.
Ketika muncul di
ambang ruang tamu, pandangan Ratu bersiborok dengan seorang pria tampan. Detak jantungnya menjadi tak beraturan. Tapi, Ratu enggan berharap bahwa pria tampan
itulah jodohnya.
“Ratu, ternyata
kamu lebih cantik daripada fotomu.
Beruntung sekali aku dijodohkan denganmu,” kata sang pria tampan sambil
berdiri dan mengulurkan tangannya pada Ratu.
Ratu salah
tinggah. Pipinya bersemu merah. Ia tak tahu apakah ini cinta pada pandangan
pertama? Gadis cantik itu berupaya meredakan gejolak perasaannya. Ia mengingatkan dirinya sendiri akan
komitmennya, tidak mudah terbujuk rayuan pria.
Dia belum mengenal Beni. Ia perlu
mengkaji sosok calon suaminya secara keseluruhan sebelum memutuskan jatuh cinta
padanya.
(Bagaimanakah
hubungan Ratu dan Beni selanjutnya? Semanis madu atau penuh onak duri? Nantikan
kisah lanjutannya)
Keterangan :
- Tradisi mengorbankan manusia merupakan kebiasaan pemeluk aliran Bhirawang. Selanjutnya dapat dibaca di http://awamisme.wordpress.com
- Cerita ini terjadi pada tahun 1980-an. Tempat kejadian nyata. Sedangkan para tokoh dan kisah hanyalah imajinasi penulis (Ibu Fabina).
- Terjemahan bahasa sunda : sare = tidur, hudang = bangun, pamali = tak pantas, kalaka nanangga ka imah batur = malah bertandang ke rumah orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar