Karya Fiksi oleh Fabina Lovers

1 9 8 7
Cinta adalah kamuflase syahwat.
Kaum pria merayu wanita untuk memanjakan hasrat badaniahnya. Otak rasional pria bekerja demi keuntungan
duniawi. Wanita menjadi salah satu
perangkat kejayaan materi mereka.
Demikianlah prototipe pria dalam pemikiran Ratu Sofiana.
Pemikiran Ratu bukanlah prasangka tak berdasar. Semenjak remaja, Ratu lebih suka berteman
dengan pria. Ia menyimak diskusi kaum
adam perihal pesona fisik wanita.
Bagi mereka, wanita hanyalah mesin pencipta kenikmatan. Wanita tercipta selaku sosok indah tanpa hati
dan kecerdasan. Sungguh, perasaan Ratu
terluka saat mendengar ocehan pemeluk chauvinisme itu.
Tuhan menganugerahi Ratu berbagai talenta. Dia cantik, pintar, lihai berolah raga, juga pandai meracik masakan
nikmat. Banyak pria ingin melabuhkan
cinta di hati Ratu. Sayang, hati Ratu
tertutup bagi romansa. Ratu tak percaya
cinta. Baginya, cinta adalah
fatamorgana.
Hingga berulang tahun ke duapuluh tiga, Ratu tak pernah menjalin kasih
dengan pria. Kekasih sejatinya adalah
prestasi akademik. Ratu menjadi penyandang IPK terbaik jurusan
agribisnis setiap semester. Sebelum wisuda sarjana, Ratu berhasil menjadi
staff marketing sebuah perusahaan otomotif berskala nasional. Seleksi karyawan perusahaan tersebut melalui
tujuh tahap. Ratu menggungguli ratusan pelamar
dari berbagai universitas terkemuka di Indonesia.
Suatu hari minggu, ayah memanggil Ratu ke kamarnya. Ayah Ratu penderita gagal ginjal. Biaya pengobatan ayah menguras tabungan keluarga.
Rumah peninggalan almarhum kakek pun terjual demi pengobatan ayah di
rumah sakit.
“Ratu, ayah bangga dengan prestasimu.
Maafkan ayah yang selalu menyusahkan kalian.” Ayahnya terdiam
sejurus. “Hm, Ratu, ayah menginginkan
masa depan yang baik untukmu. Kamu
perempuan, Nak. Kelak kamu akan
berumah-tangga. Kalau kamu bekerja di kantor swasta, akan sulit membagi waktu
antara karier dan rumah tangga.
Bisa-bisa kamu berhenti di tengah jalan.
Menurut ayah, pekerjaan paling sesuai untuk perempuan adalah Pegawai
Negeri. Pekerjaannya ringan. Mudah ijin kalau ada keperluan keluarga.”
Ratu terkesiap. Hatinya meradang. Tega benar Ayah menyuruhnya berhenti kerja. Padahal Ratu sangat menyukai pekerjaan barunya. Ratu bertekad menjadi direktur perempuan pertama di perusahaan itu. Menikah bukanlah tujuan hidup Ratu. Gadis jelita itu siap melajang seumur hidup demi kelangsungan kariernya.
“Ayah, saya belum ingin menikah. Saya ingin membahagiakan ayah dan ibu dulu. Mudah-mudahan beberapa tahun ke depan kita bisa punya rumah lagi.” Susah payah Ratu mengatur intonasi suara agar tak meninggi.
Ratu terkesiap. Hatinya meradang. Tega benar Ayah menyuruhnya berhenti kerja. Padahal Ratu sangat menyukai pekerjaan barunya. Ratu bertekad menjadi direktur perempuan pertama di perusahaan itu. Menikah bukanlah tujuan hidup Ratu. Gadis jelita itu siap melajang seumur hidup demi kelangsungan kariernya.
“Ayah, saya belum ingin menikah. Saya ingin membahagiakan ayah dan ibu dulu. Mudah-mudahan beberapa tahun ke depan kita bisa punya rumah lagi.” Susah payah Ratu mengatur intonasi suara agar tak meninggi.
“Kita akan punya rumah lagi kalau kamu menuruti kehendak ayah.”
“Apa kehendak Ayah?” Ratu memandang ayahnya dengan kening berkerut.
“Menikahlah dengan putera Pak Hambali.
Kamu ingat Pak Hambali ‘kan? Dialah pembeli rumah kita. Nah, rumah itu akan menjadi miliki kita lagi bila
kamu bersedia menerima perjodohan ini.” Ayah menatap Ratu dengan pandangan
memohon.
Ratu mengalihkan pandangannya ke deretan obat di sisi ranjang tua
ayah. Perjodohan ala siti nurbaya tak
pernah menjadi impiannya. Bagaimana
mungkin ia menikah dengan lelaki yang tak pernah dikenalnya? Rumah tangga macam apa yang dibangun tanpa
cinta?
“Lihat sekeliling rumah kontrakan kita, Nak!” Ayah menunjuk plafon tua
yang lapuk di sekeliling kamar. “Apakah
kalian nyaman tinggal di tempat macam ini.
Kalau kamu tidak egois, kita berkesempatan menempati rumah lebih layak,
rumah kita sendiri.”
Dada Ratu terasa sesak. Seolah ada
gelembung udara besar hendak pecah. Otak
cemerlangnya tak mampu merangkai kata.
Kesedihan menyayat dinding hatinya.
Tanggul pertahanan Ratu akhirnya runtuh seiring membanjirnya air mata.
“Jangan menangis. Ayah tak
bermaksud menyakitimu. Dengar Nak,
pernikahan akan membuka pintu pekerjaan baru bagimu. Pak hambali adalah pejabat PEMDA DATI II. Dia berjanji akan menjadikanmu tenaga
honorer. Setelah menjadi
tenaga honorer selama setahun, kamu akan
diangkat jadi PNS. Percayalah, menjadi
PNS baik bagimu. Gajinya memang kecil,
tapi kamu punya jaminan hari tua.” Ayah terbatuk-batuk lalu minta diambilkan
minuman. Ratu menyerahkan segelas air
putih pada ayahnya. Perasaannya tak menentu.
“Dulu, kakek mendaftarkan ayah sebagai PNS sebuah departemen, tapi ayah
menolaknya. Ayah memilih kerja di swasta karena penghasilannya
berkali lipat gaji PNS. Ternyata, ayah
di-PHK gara-gara penyakit ini.
Seandainya ayah dulu menyetujui tawaran kakekmu. Ayah pasti punya pensiun. Biaya rumah sakit tidak mahal karena ada fasilitas
ASKES. Rumah kita tak perlu dijual, Nak.”
Ayah terdiam, matanya berkaca-kaca.
“Berpikirlah, Ratu! Perjodohan ini
adalah segala-galanya bagimu, bagi keluarga kita. Terimalah Beni, putera Pak Hambali, sebagai
suamimu! Omong kosong soal cinta-cintaan. Ayah dan ibu menikah tanpa pacaran, tapi rumah
tangga kami langgeng sampai puluhan tahun,”tegas Ayah.
Keterangan :Latar belakang peristiwa ini masa orde baru, saat pemerintahan masih bersistem sentralisasi. Nama tempat nyata. Namun seluruh kisah imajinasi belaka.
(Apakah Ratu menerima perjodohan itu? Silahkan tunggu kelanjutannya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar