Klik Lagu ini Biar Membacanya Lebih Syahdu
Karya Fiksi oleh Fabina LoversRingkasan bagian 13 : Romansa musim gugur bersama Chen di Kyoto
Sudah lebih dari
dua minggu Chen menghilang tanpa kabar.
Ratu mulai merindukan pemuda berwajah oriental itu. Setiap kali merindukan Chen, Ratu membaca
puisi Senryu gubahan Chen. Perbuatan
sia-sia. Kerinduan kian pekat
menyelimuti hatinya. Persis seperti
selimut jamur di tempe buatan Mas Widodo.
Bila rasa rindu
sudah tak tertanggungkan, Ratu akan
mengunjungi flat yang disewa kedua adiknya bersama Mas Widodo. Jaraknya tak terlalu jauh dari apartemen
Ratu. Cukup dengan bersepeda lima belas
menit. Di Kyoto, hampir semua orang
bersepeda untuk menempuh jarak beberapa kilometer. Bahkan
ibu yang baru melahirkan dua minggu saja sudah mengantar anaknya ke sekolah
dengan menggunakan sepeda.
“Asik, Teteh datang.
Tolong masak orek tempe buat makan malam dong! Kalau bisa seenak buatan Ibu, ya!” kata
Syarif yang baru pulang dari laboratoriumnya.
Reza tidak pulang. Ia harus
menginap di kampus. Tengat waktu proyek
yang dikerjakan Reza tinggal beberapa hari lagi.
“Ya... Teteh nggak
bisa masak seenak Ibu, kalau lebih enak sih bisa,” canda Ratu.
“Huuu...” Syarif
memonyongkan bibirnya.
Ratu mendelik
sewot. “Eh, kalo diejek aku mogok masak
nih.”
“Iya deh, buatan
Teteh lebih enak, kalau dibandingkan masakan ibu lagi ngelindur.” Syarif terbahak.
Syut, sebuah bantal kecil melayang ke arah Syarif. Untung saja Syarif berhasil menghindarinya.
Ratu beranjak ke
dapur sambil tertawa. Keributan kecil
bersama Syarif membuat perasaan Ratu terhibur. Kerinduan tak lagi menyakitkan serupa luka dibasuh cuka.
“Ealah, ada Mbak Ratu. Sore ini, saya bisa rehat masak nih,” kata
Mas Widodo yang sedang merendam Kacang Dal di dapur.
Mas Widodo adalah
mahasiswa tahun terakhir untuk program Strata Dua (S2) bidang IT di Universitas
Kyoto. Tapi, penampilannya tak menyerupai
akademisi. Mas Widodo tampak seperti
pedagang keliling. Sebenarnya, Mas
Widodo memang punya profesi sampingan sebagai pedagang keliling. Beliau
adalah produsen tempe terbaik di Kyoto.
Reputasinya sudah terdengar sampai ke seberang pulau. Tiap hari, Mas Widodo mendistribusikan tempe
ke swalayan-swalayan di Perfektur Kyoto.
Belum lagi puluhan mahasiswa asal Indonesia yang antri membeli tempe
setiap pagi. Bila tak memikirkan tengat waktu
beasiswa, Mas Widodo lebih memilih berdagang tempe daripada kuliah.
Keuntungan berdagang
tempe sangat menjanjikan kehidupan layak di Kyoto. Bayangkan saja, harga sekotak kecil tempe
lebih mahal daripada sekilo ayam halal.
Padahal modal membuat tempe tak sebesar beternak ayam. Tapi, membuat tempe di Kyoto tidak semudah membuat
tempe di Indonesia. Fluktuasi suhu di Kyoto
terbilang ekstrim. Tak seperti suhu di
Indonesia yang hangat sepanjang tahun.
Hanya Mas Widodo yang bisa mensiasati fluktuasi suhu Kyoto. Ragi dan kacang seolah berkonspirasi menolong
Mas Widodo menghasilkan tempe terbaik.
Beberapa
mahasiswa Indonesia pernah berusaha mengikuti jejak Mas Widodo menjadi pembuat
tempe. Mas Widodo dengan murah hati membagikan
resep dan trik membuat tempe yang baik.
Sayangnya, tak ada satu pun yang berhasil seperti Mas
Widodo. Mereka hanya memproduksi tempe
beberapa kali sebelum berhenti karena sibuk dengan tugas kuliah.
“Bagaimana cara
Mas Widodo membagi waktu antar bisnis tempe dan kuliah?” tanya seorang
mahasiswi pengelola Buletin Warga Indonesia di Kyoto. Profil Mas Widodo akan mengisi rubrik
Inspirasi dalam buletin bulanan tersebut.
“Biasa saja
kok. Pagi sampai sore kuliah. Istirahat. Merendam Kacang Dal. Belajar.
Tidur sebanyak dua jam.
Bangun. Tahajud. Lalu membuat tempe. Paginya mendistribusikan tempe sebelum
kuliah. Ya, begitu saja,” jawab Mas
Widodo, enteng.
“Mas hanya tidur
dua jam setiap hari?” tanya mahasiswi itu.
Matanya membulat karena kagum.
“Nikmatnya tidur
bukan karena kuantitas, tapi kualitasnya.”
Mahasiswi itu
manggut-manggut. Ia segera mengambil foto
Mas Widodo beserta perlengkapan membuat tempenya. Sebenarnya, Mahasiswi itu tak berminat
mengikuti gaya hidup Mas Widodo. Tidur
dua jam sehari? Puh, bisa-bisa dia
pingsan di kampus karena kurang tidur.
Kini, Mas Widodo
yang terbiasa sibuk, sedang mengamati Ratu.
Gadis itu mengolah orek tempe dengan kelincahan seorang koki. “Tampaknya,
Mbak Ratu sudah memasak sejak kecil.
Pasti ibunya cerewet,” kata Mas
Widodo, tanpa basa-basi.
“Kok tahu?” Ratu
mengerutkan keningnya. Agak tersinggung
dengan pertanyaan Mas Widodo.
“Ibu saya juga
cerewet. Makanya saya serba bisa. Menurut saya, seorang ibu yang memanjakan anaknya justru menjerumuskan anaknya
ke dalam jurang kesulitan,” jelas Mas Widodo sambil tersenyum.
“Benar, benar
sekali, Mas,” sambut Ratu, penuh semangat.
Kali ini ia setuju dengan pendapat Mas Widodo.
Ratu mencicipi
masakannya. “Hm, rasanya kok kurang enak
ya?” gumam Ratu sambil mengaduk-aduk orek tempe dengan spatula.
“Maaf, jangan
tersinggung ya. Coba kemarikan spatula itu! Biar saya yang melakukan finishing!” Mas Widodo
menerima spatula dari Ratu. Ia mencicipi orek tempe, lalu membubuhkan
sedikit garam dan gula ke dalam masakan itu.
“Nah, coba cicipi kembali orek tempe ini, bagaimana menurut Mbak?”
Ratu mencicipi orek tempe yang telah dibumbui Mas
Widodo. “Wah, cuma ditambah sedikit
garam dan gula saja kok rasanya bisa sangat berbeda ya?” seru Ratu, takjub.
“Perbedaannya
bukan karena saya lebih pandai masak daripada Mbak. Tapi, hari ini perasaan saya lebih damai
daripada Mbak. Benar, nggak?” Mas Widodo berbicara sambil mencuci peralatan
memasak yang kotor, tapi ekor matanya
menangkap kegelisahan Ratu.
“Maaf kalau saya
salah menebak. Ya sudah, mari kita
bersiap makan malam! Nasi di rice cooker tampaknya sudah matang. Oh ya, di kulkas ada terong. Baiknya kita buat kare terong ala Jepang saja
untuk temannya orek tempe,” kata Mas Widodo, mengalihkan topik pembicaraan.
“Terserah Mas
Widodo saja,” gumam Ratu. Gadis itu
berusaha menahan linangan air matanya.
Makan malam
berlangsung meriah. Mas Widodo berusaha
menghibur Ratu dengan rayuan gombalnya. “Ratu, Papa kamu
sopir angkot ya?” tanya Mas Widodo dengan mimik serius.
“Kok tahu?” Ratu
balas bertanya dengan mimik tak kalah serius.
“Soalnya kamu
bikin perasaan saya maju mundur kayak angkot,” kata Mas Widodo sambil
mengedipkan sebelah matanya.
“Dikira karena mata
Teteh bulat seperti spion angkot,” celetuk Syarif sambil tertawa jahil. Hampir saja Ratu menyumpal mulut adik tirinya
dengan terong. Tapi, Ratu harus jaga image supaya tidak dikategorikan kakak
tiri nan sekejam bawang merah.
“Nangis...nangis...nangis...”
goda Syarif. Pemuda jahil itu memandangi
kakak tirinya dengan mimik lucu.
Ratu menjulurkan
lidahnya pada Syarif. “Huh, mana bisa
Teteh nangis. Emangnya Teteh perempuan
cengeng?” sungut Ratu.
“Habis makan
malam, kita karokean yuk!” ajak Mas Widodo untuk melerai adu mulut yang bisa
menjurus pada pertengkaran.
“Ide bagus,”
sahut Syarif dan Ratu bersamaan.
Hingga jam sebelas
belas malam, mereka melewatkan waktu di sebuah karaoke bertarif mahasiswa. Aneka lagu jepang dan lagu barat populer era
sembilan puluhan mereka nyanyikan. Menyanyi
adalah obat penyembuh ‘sakit hati’ paling mujarab. Kegalauan hati Ratu musnah seketika. Ratu menyanyi dengan penuh penghayatan. Tak peduli akan suaranya yang sumbang. Untunglah, Syarif dan Mas Widodo tak mengejek
suara Ratu. Karena suara mereka pun
sumbang.
Ratu tiba
kembali di apartemennya pada pukul duabelas malam. Niken
dan Widya, teman seapartemen Ratu, telah terlelap di tatami masing-masing. Ratu mengendap-endap agar tak membangunkan
kedua temannya. Ia berwudhu lalu sholat
Isya. Kemudian Ratu membentangkan tatami
dan bersiap tidur.
Dering telepon
mengejutkan Ratu. Gadis itu segera
mengangkat gagang telepon agar deringnya tidak mengusik kenikmatan tidur rekan
seapartemennya.
“Moshi-moshi,” kata Ratu.
“Nemasu Ka?” Terdengar suara parau Chan
di ujung sana.
“Oh Chan, kemana
saja kamu? Aku belum tidur. Aku...aku selalu memikirkanmu,” kata Ratu. Pipinya bersemu merah. Perasaannya serupa lahan tandus tersiram hujan. Bunga aneka warna bermekaran di taman hati
Ratu.
“Aku juga selalu
mengingatmu di sini.” Chan terdiam
sejenak. “Sayangnya, aku tak bisa
kembali ke Kyoto.”
“Kenapa Chan?”
Ratu terkejut. Jantungnya mulai
berdentam liar.
“Ratu
percayalah, kau selalu di hatiku. Tapi, kita
tak mungkin bersama. Banyak hal yang harus aku lakukan untuk
mengembalikan kejayaan keluargaku. Sayangnya,
kamu tak bisa aku sertakan dalam perjuangan ini. Maafkan semua kesalahanku. Please,
Lupakan aku mulai sekarang!” Chen mengakhiri pembicaraan mereka sebelum Ratu
sempat berkomentar.
Ratu bertumpu di
meja telepon agar tidak jatuh. Tubuhnya
terasa limbung. Bunga-bunga di taman
hatinya telah berguguran. Musim gugur
segera berganti dengan musim dingin.
Salju mulai turun di taman hatinya.
Membekukan ranahnya nan merah.
Bisa jadi hatinya akan membeku sepanjang sisa umurnya.
Telepon kembali
berdering. Tapi, Ratu enggan
mengangkatnya. Ia masih trauma dengan
pembicaraan telepon barusan.
“Oh Ratu, kenapa
teleponnya nggak langsung diangkat?” tanya Widya yang terbangun karena suara
dering telepon. Ratu seolah tak
mendengar pertanyaan Widya. Hingga Widya
terpaksa mengangkat gagang telepon sambil terkantuk-kantuk.
“Telepon untukmu
dari Mas Widodo,” kata Widya seraya menyerahkan gagang telepon pada Ratu.
“Ada apa telepon tengah malam begini?” tukas Ratu, kesal.
“Entah kenapa,
aku susah tidur karena ingat kamu.
Apakah ada sesuatu yang terjadi padamu malam ini?” tanya Mas Widodo
dengan suara lembut.
Ratu berupaya
tidak menangis. Namun, sang gadis tak kuasa menahan gelombang kesedihan yang meruntuhkan
benteng harga dirinya. Gadis itu
menangis. Isak tangisnya terdengar oleh
Mas Widodo.
“Menangislah
Ratu, bila itu menenangkan hatimu. Aku
siap mendengar isak tangismu semalaman.”
Pernyataan simpatik Mas Widodo mengurangi kesedihan Ratu. Keberadaan seseorang yang peduli sangat
berarti bagi kita kala tertimpa duka tak terperi.
“Besok aku akan
bercerita. Temui aku di taman Kampus Yoshida pada pukul empat petang,” kata Ratu sebelum
mengakhiri pembicaraan telepon dengan Mas Widodo.
_______________________
Catatan :
Di Jepang sulit mendapatkan kacang kedelai. Para pengusaha tempe biasanya menggunakan Kacang Dal, kacang khas india yang teksturnya menyerupai kedelei
Nemasu ka = apakah kamu tidur?
Nemasu ka = apakah kamu tidur?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar