Rabu, 18 Maret 2015

Cerbung Bag.14 : Romansa

Klik Lagu ini Biar Membacanya Lebih Syahdu
Karya Fiksi oleh Fabina Lovers
Ringkasan bagian 13 : Romansa musim gugur bersama Chen di Kyoto
Sudah lebih dari dua minggu Chen menghilang tanpa kabar.  Ratu mulai merindukan pemuda berwajah oriental itu.  Setiap kali merindukan Chen, Ratu membaca puisi Senryu gubahan Chen.  Perbuatan sia-sia.  Kerinduan kian pekat menyelimuti hatinya.  Persis seperti selimut jamur di tempe buatan Mas Widodo.
Bila rasa rindu sudah tak tertanggungkan,  Ratu akan mengunjungi flat yang disewa kedua adiknya bersama Mas Widodo.  Jaraknya tak terlalu jauh dari apartemen Ratu.  Cukup dengan bersepeda lima belas menit.  Di Kyoto, hampir semua orang bersepeda untuk menempuh jarak beberapa kilometer. Bahkan ibu yang baru melahirkan dua minggu saja sudah mengantar anaknya ke sekolah dengan menggunakan sepeda.

“Asik, Teteh  datang.  Tolong masak orek tempe buat makan malam dong!  Kalau bisa seenak buatan Ibu, ya!” kata Syarif yang baru pulang dari laboratoriumnya.  Reza tidak pulang.  Ia harus menginap di kampus.  Tengat waktu proyek yang dikerjakan Reza tinggal beberapa hari lagi.

“Ya... Teteh nggak bisa masak seenak Ibu, kalau lebih enak sih bisa,” canda Ratu. 

“Huuu...” Syarif memonyongkan bibirnya.

Ratu mendelik sewot.  “Eh, kalo diejek aku mogok masak nih.”

“Iya deh, buatan Teteh lebih enak, kalau dibandingkan masakan ibu lagi ngelindur.” Syarif terbahak.  Syut, sebuah bantal kecil melayang ke arah Syarif.  Untung saja Syarif berhasil menghindarinya.

Ratu beranjak ke dapur sambil tertawa.   Keributan kecil bersama Syarif  membuat perasaan Ratu terhibur.  Kerinduan tak lagi  menyakitkan serupa luka dibasuh cuka.

Ealah, ada Mbak Ratu.  Sore ini, saya bisa rehat masak nih,” kata Mas Widodo yang sedang merendam Kacang Dal di dapur. 

Mas Widodo adalah mahasiswa tahun terakhir untuk program Strata Dua (S2) bidang IT di Universitas Kyoto.  Tapi, penampilannya tak menyerupai akademisi.  Mas Widodo tampak seperti pedagang keliling.  Sebenarnya,   Mas Widodo memang punya profesi sampingan sebagai pedagang keliling.   Beliau adalah produsen tempe terbaik di Kyoto.  Reputasinya sudah terdengar sampai ke seberang pulau.  Tiap hari, Mas Widodo mendistribusikan tempe ke swalayan-swalayan di Perfektur Kyoto.  Belum lagi puluhan mahasiswa asal Indonesia yang antri membeli tempe setiap pagi.  Bila tak memikirkan tengat waktu beasiswa, Mas Widodo lebih memilih berdagang tempe daripada kuliah.

Keuntungan berdagang tempe sangat menjanjikan kehidupan layak di Kyoto.  Bayangkan saja, harga sekotak kecil tempe lebih mahal daripada sekilo ayam halal.  Padahal modal membuat tempe tak sebesar beternak ayam.  Tapi, membuat tempe di Kyoto tidak semudah membuat tempe di Indonesia.  Fluktuasi suhu di Kyoto terbilang ekstrim.  Tak seperti suhu di Indonesia yang hangat sepanjang tahun.  Hanya Mas Widodo yang bisa mensiasati fluktuasi suhu Kyoto.  Ragi dan kacang seolah berkonspirasi menolong Mas Widodo menghasilkan tempe terbaik.

Beberapa mahasiswa Indonesia pernah berusaha mengikuti jejak Mas Widodo menjadi pembuat tempe.  Mas Widodo dengan murah hati membagikan resep dan trik membuat tempe yang baik.  Sayangnya, tak ada satu pun yang berhasil seperti Mas Widodo.  Mereka hanya memproduksi tempe beberapa kali sebelum berhenti karena sibuk dengan tugas kuliah.

“Bagaimana cara Mas Widodo membagi waktu antar bisnis tempe dan kuliah?” tanya seorang mahasiswi pengelola Buletin Warga Indonesia di Kyoto.   Profil Mas Widodo akan mengisi rubrik Inspirasi dalam buletin bulanan tersebut.

“Biasa saja kok.  Pagi sampai sore kuliah.  Istirahat.  Merendam Kacang Dal.   Belajar.  Tidur sebanyak dua jam.  Bangun.  Tahajud.  Lalu membuat tempe.  Paginya mendistribusikan tempe sebelum kuliah.  Ya, begitu saja,” jawab Mas Widodo, enteng.

“Mas hanya tidur dua jam setiap hari?” tanya mahasiswi itu.  Matanya membulat karena kagum.

“Nikmatnya tidur bukan karena kuantitas, tapi kualitasnya.”

Mahasiswi itu manggut-manggut.  Ia segera mengambil foto Mas Widodo beserta perlengkapan membuat tempenya.  Sebenarnya, Mahasiswi itu tak berminat mengikuti gaya hidup Mas Widodo.  Tidur dua jam sehari?  Puh, bisa-bisa dia pingsan di kampus karena kurang tidur.

Kini, Mas Widodo yang terbiasa sibuk, sedang mengamati Ratu.  Gadis itu mengolah orek tempe dengan kelincahan seorang koki. “Tampaknya, Mbak Ratu sudah memasak sejak kecil.  Pasti ibunya cerewet,”  kata Mas Widodo, tanpa basa-basi.

“Kok tahu?” Ratu mengerutkan keningnya.  Agak tersinggung dengan pertanyaan Mas Widodo.

“Ibu saya juga cerewet.  Makanya saya serba bisa.  Menurut saya, seorang ibu yang  memanjakan anaknya justru menjerumuskan anaknya ke dalam jurang kesulitan,” jelas Mas Widodo sambil tersenyum.

“Benar, benar sekali, Mas,” sambut Ratu, penuh semangat.  Kali ini ia setuju dengan pendapat Mas Widodo.

Ratu mencicipi masakannya.  “Hm, rasanya kok kurang enak ya?” gumam Ratu sambil mengaduk-aduk orek tempe dengan spatula.

“Maaf, jangan tersinggung ya.  Coba kemarikan spatula itu!  Biar saya yang melakukan finishing!”  Mas Widodo menerima spatula dari Ratu.  Ia mencicipi orek tempe, lalu membubuhkan sedikit garam dan gula ke dalam masakan itu.  “Nah, coba cicipi kembali orek tempe ini, bagaimana menurut Mbak?”

Ratu mencicipi  orek tempe yang telah dibumbui Mas Widodo.  “Wah, cuma ditambah sedikit garam dan gula saja kok rasanya bisa sangat berbeda ya?” seru Ratu, takjub.

“Perbedaannya bukan karena saya lebih pandai masak daripada Mbak.  Tapi, hari ini perasaan saya lebih damai daripada Mbak.  Benar, nggak?”  Mas Widodo berbicara sambil mencuci peralatan memasak yang kotor,  tapi ekor matanya menangkap kegelisahan Ratu.

“Maaf kalau saya salah menebak.  Ya sudah, mari kita bersiap makan malam!  Nasi di rice cooker tampaknya sudah matang.  Oh ya, di kulkas ada terong.  Baiknya kita buat kare terong ala Jepang saja untuk temannya orek tempe,” kata Mas Widodo, mengalihkan topik pembicaraan.

“Terserah Mas Widodo saja,” gumam Ratu.  Gadis itu berusaha menahan linangan air matanya.

Makan malam berlangsung meriah.  Mas Widodo berusaha menghibur Ratu dengan rayuan gombalnya.  “Ratu, Papa kamu sopir angkot ya?” tanya Mas Widodo dengan mimik serius.

“Kok tahu?” Ratu balas bertanya dengan mimik tak kalah serius.

“Soalnya kamu bikin perasaan saya maju mundur kayak angkot,” kata Mas Widodo sambil mengedipkan sebelah matanya.

“Dikira karena mata Teteh bulat seperti spion angkot,” celetuk Syarif sambil tertawa jahil.  Hampir saja Ratu menyumpal mulut adik tirinya dengan terong.  Tapi, Ratu harus jaga image supaya tidak dikategorikan kakak tiri nan sekejam bawang merah.

“Nangis...nangis...nangis...” goda Syarif.  Pemuda jahil itu memandangi kakak tirinya dengan mimik lucu.

Ratu menjulurkan lidahnya pada Syarif.  “Huh, mana bisa Teteh nangis.  Emangnya Teteh perempuan cengeng?” sungut Ratu.

“Habis makan malam, kita karokean yuk!” ajak Mas Widodo untuk melerai adu mulut yang bisa menjurus pada pertengkaran.

“Ide bagus,” sahut Syarif dan Ratu bersamaan. 

Hingga jam sebelas belas malam, mereka melewatkan waktu di sebuah karaoke bertarif mahasiswa.  Aneka lagu jepang dan lagu barat populer era sembilan puluhan mereka nyanyikan.  Menyanyi adalah obat penyembuh ‘sakit hati’ paling mujarab.    Kegalauan hati Ratu musnah seketika.   Ratu menyanyi dengan penuh penghayatan.  Tak peduli akan suaranya yang sumbang.  Untunglah, Syarif dan Mas Widodo tak mengejek suara Ratu.  Karena suara mereka pun sumbang.

Ratu tiba kembali di apartemennya pada pukul duabelas malam.   Niken dan Widya, teman seapartemen Ratu, telah terlelap di tatami masing-masing.  Ratu mengendap-endap agar tak membangunkan kedua temannya.  Ia berwudhu lalu sholat Isya.  Kemudian Ratu membentangkan tatami dan bersiap tidur.

Dering telepon mengejutkan Ratu.  Gadis itu segera mengangkat gagang telepon agar deringnya tidak mengusik kenikmatan tidur rekan seapartemennya.

Moshi-moshi,” kata Ratu.

Nemasu Ka?” Terdengar suara parau Chan di ujung sana.

“Oh Chan, kemana saja kamu?  Aku belum tidur.  Aku...aku selalu memikirkanmu,” kata Ratu.  Pipinya bersemu merah.  Perasaannya serupa lahan tandus tersiram hujan.  Bunga aneka warna bermekaran di taman hati Ratu.

“Aku juga selalu mengingatmu di sini.”  Chan terdiam sejenak.  “Sayangnya, aku tak bisa kembali ke Kyoto.”

“Kenapa Chan?” Ratu terkejut.  Jantungnya mulai berdentam liar.

“Ratu percayalah, kau selalu di hatiku.  Tapi, kita tak mungkin   bersama.   Banyak hal yang harus aku lakukan untuk mengembalikan kejayaan keluargaku.  Sayangnya, kamu tak bisa aku sertakan dalam perjuangan ini.  Maafkan semua kesalahanku.  Please, Lupakan aku mulai sekarang!” Chen mengakhiri pembicaraan mereka sebelum Ratu sempat berkomentar.

Ratu bertumpu di meja telepon agar tidak jatuh.  Tubuhnya terasa limbung.  Bunga-bunga di taman hatinya telah berguguran.  Musim gugur segera berganti dengan musim dingin.  Salju mulai turun di taman hatinya.  Membekukan ranahnya nan merah.  Bisa jadi hatinya akan membeku sepanjang sisa umurnya. 

Telepon kembali berdering.  Tapi, Ratu enggan mengangkatnya.  Ia masih trauma dengan pembicaraan telepon barusan.

“Oh Ratu, kenapa teleponnya nggak langsung diangkat?” tanya Widya yang terbangun karena suara dering telepon.  Ratu seolah tak mendengar pertanyaan Widya.  Hingga Widya terpaksa mengangkat gagang telepon sambil terkantuk-kantuk.

“Telepon untukmu dari Mas Widodo,” kata Widya seraya menyerahkan gagang telepon pada Ratu.

“Ada apa telepon tengah malam begini?” tukas Ratu, kesal.

“Entah kenapa, aku susah tidur karena ingat kamu.  Apakah ada sesuatu yang terjadi padamu malam ini?” tanya Mas Widodo dengan suara lembut.

Ratu berupaya tidak menangis.  Namun, sang gadis  tak kuasa menahan gelombang kesedihan yang meruntuhkan benteng harga dirinya.  Gadis itu menangis.  Isak tangisnya terdengar oleh Mas Widodo.

“Menangislah Ratu, bila itu menenangkan hatimu.  Aku siap mendengar isak tangismu semalaman.”  Pernyataan simpatik Mas Widodo mengurangi kesedihan Ratu.  Keberadaan seseorang yang peduli sangat berarti bagi kita kala tertimpa duka tak terperi.

“Besok aku akan bercerita.  Temui aku di  taman Kampus Yoshida pada  pukul empat petang,” kata Ratu sebelum mengakhiri pembicaraan telepon dengan Mas Widodo.
_______________________
Catatan :

Di Jepang sulit mendapatkan kacang kedelai.  Para pengusaha tempe biasanya menggunakan Kacang Dal, kacang khas india yang teksturnya menyerupai kedelei

Nemasu ka = apakah kamu tidur?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar