Rabu, 07 Januari 2015

Cinta Tak Berkesudahan


Karya Fiksi oleh Fabina Lovers.

"Ingat Mas, ini perjalanan terakhirku. Besok-besok aku akan lebih banyak di rumah."  Jayatri memelukku erat.  

"Tentu saja Dek, pergilah, jangan lupa sholat subuh sebelum pesawat mengudara!"

Sejenak aku mencium kepala istriku. Semerbak mawar menguar dari jilbab biru yang menutupi rambut indahnya.  Selama beberapa hari ini aku akan merindukan aroma khas pelita hidupku itu.

Azan shubuh  berkumandang dari masjid kampung kami.  Selimut kabut mengaburkan pandangan.  Udara dingin menyurutkan hasrat  insan untuk bangkit dari kehangatan peraduan.

Isteriku, Jayatri, tentu merasakan keengganan yang sama.  Namun kewajiban sebagai touring guide membuatnya bangun sejak pukul tiga dini hari untuk mempersiapkan keberangkatan ke bandara. Hari ini Jayatri harus mendampingi rombongan wisatawan asal Makassar yang hendak berlibur ke Singapura.  Pesawat  mereka akan lepas landas dari Bandara Juanda pukul setengah enam pagi. Rombongan harus melakukan boarding pass satu jam sebelumnya.

"Mas, sepeninggal aku nanti, tolong hitung biaya operasional gerobak ayam bakar kita, ya! Setelah pensiun dari touring guide, aku mau cepat-cepat buka lapak," ujar Jayatri.  Ia mendaratkan kecupan ringan ke pipiku sebelum berlari menuju mobil jemputan yang akan membawanya ke bandara.

Aku melambaikan tangan sambil tersenyum riang.  Diriku tak risau bila bulan depan kami kehilangan penghasilan Jayatri sebagai touring guide.  Usaha baru kami  belum tentu menghasilkan laba dalam waktu dekat.  Namun sebuah keyakinan terpatri dalam dada kami. Usaha kami akan maju. Karena kami pemilik cinta tak berkesudahan.  Cinta yang membangkitkan kami saat terjatuh.  Cinta yang membuat keluarga kecil kami selalu merayakan kedatangan hari baru.  Ah, selamat datang hari esok  penuh warna.

******

Perempuan muda itu meringkuk di sudut ruangan dengan bibir berdarah.  Baru saja aku menamparnya.  Aku benci upayanya membasuh tubuhku dengan air hangat.  Saat ini yang aku butuhkan adalah jarum suntik dan serbuk heroin.  Namun perempuan itu enggan mencarikannya.  Ia katakan aku akan pulih dalam tiga hari ini.  Huh, seandainya dia bisa merasakan kesakitan yang menderaku.

“Telepon Andri, suruh dia segera kemari!” teriakku.

“Tidak Mas, kamu tidak boleh bergaul dengan dia lagi!  Dia hanya membuatmu tergantung pada barang haram itu.  Bagaimana kalau mas mati karena overdosis.  Apa Mas nggak kasihan pada kami?”  Perempuan itu mengelus-elus perutnya yang mulai membuncit.

Aku tak mampu memikirkan untaian kata perempuan itu.  Otakku kebas.  Sekujur tubuhku mengeluarkan keringat dingin.  Sendi-sendiku nyeri.  Perutku mual.  Aku tak tahan lagi. Sejurus kemudian, aku memuntahkan seluruh isi perutku. Bila sudah demikian, tubuhku akan terasa lemas.

Perempuan itu memapahku menuju tempat tidur.  Dia basuh kembali tubuhku dengan air hangat.  Kemudian ia menyuapkan beberapa sendok air mineral ke mulutku. 

Demikianlah tabiat ‘sakau’ ku selama tiga hari.  Perempuan itu  sungguh penyabar.  Alih-alih mengeluh, perempuan itu malah menghadirkan wajah sumringah bagi suaminya.

Hari keempat adalah puncak kesakitanku.  Aku berontak. Berusaha melepaskan  tali yang menjerat sekujur tubuhku.  Hari ini aku ingin mendapatkan bubuk fantasi itu.  Entah bagaimana caranya?  Aku perlu mendapatkannya untuk mengurangi rasa sakit ini. 

Lantas perempuan itu datang beserta seorang perawat.  Wanita berseragam putih itu membawa jarum suntik.  Aku gembira melihatnya. Ternyata isteriku memahami kebutuhanku.  Saat jarum suntik menembus nadiku, aku menjerit kegirangan.  Selanjutnya, waktuku terasa berhenti berputar.

Hari kelima, rasa sakitku  berkurang.  Aku mulai berselera memakan sop dan sari buah yang disediakan isteriku.  Perawat  sesekali berkunjung untuk memastikan kondisiku kesehatanku. 

Pada hari kesepuluh, badanku terasa bugar.  Aku bangkit dari tempat tidur untuk mandi. Aroma ayam bakar taliwang menyergap diriku yang baru selesai mandi.  Dalam tempo singkat, ayam nikmat itu telah dilumati lambungku.

“Mas Beno bisa pulih tanpa bersentuhan dengan barang haram itu, alhamdulillah.”  Jayatri sambil memeluk tubuhku yang  kekenyangan.

“Omong kosong, aku sembuh karena bubuk heroin yang disuntikan perawat ke tubuhku.”

“Siapa bilang, itu obat penenang.  Hari keempat adalah puncak rasa sakit.  Mas mesti tertidur agar tidak merasakan siksaan itu.”  Perempuan itu memandangiku dengan  mata berbinar bahagia.

“Mas, kumohon, hindarilah bubuk haram itu! Masa depan kita masih panjang.  Lebih baik Mas lakukan hal-hal yang berguna.”

“Dan lebih baik lagi bila kau tinggalkan saja laki-laki tak berguna ini.  Bukankah kamu wanita mandiri.  Lelaki seperti aku hanya benalu dalam hidupmu,” kataku, kelu.  Aku menatap nanar foto pernikahan kami.
                                           
Jayatri mempererat pelukannya.  ”Kalau aku tidak benar-benar mencintaimu.  Tentu saja aku enggan mengikutimu hingga ke seberang pulau.  Mas, kamu punya bakat musik.  Sayang sekali bila tidak dikembangkan.  Aku menginginkanmu bekerja bukan demi limpahan harta.  Tapi,  bekerja akan meningkatkan rasa percaya dirimu.”

“Mas, salah seorang pemilik cafe sedang mencari pemain keyboard untuk pertunjukan malam.  Maukah kamu melamar pekerjaan itu?”

Aku tergugu.  Pikiranku belum tertuju pada pekerjaan yang layak untukku.  Aku baru mulai menata kehidupanku.

“Ayolah, Mas.  Kerjanya nggak berat kok.  Apalagi sesuai hobimu.” Jayatri mengecup lembut rambutku.

Akhirnya aku menjadi pemain keyboard di cafe milik teman Jayatri.  Pekerjaan yang menyenangkan, walau penghasilannya minim.  Namun, isteriku tak pernah mengeluhkan penghasilanku.  Dia selalu berucap sukur bila aku serahkan penghasilanku padanya.  Betapa Tuhan Yang Maha Pengasih telah menganugerahiku bidadari dunia. 

Aku mulai taat beribadah.  Terlalu banyak nikmat Tuhan yang aku abaikan.  Aku tak ingin melangkah jauh dari  koridor-Nya. 

Beberapa bulan telah berlalu.  Isteriku ingin benar melahirkan di tanah kelahiran kami.  Jayatri menabung sebagian gajinya sebagai touring guide untuk biaya melahirkan dan perjalanan Denpasar-Surabaya.

Saat sore menjelang, kami tiba di rumah orang tuaku.  Aku tidak berani berhadapan dengan orang tua Jayatri.  Pengalaman dicerca saat lamaran dulu masih membekas dalam benakku. Setidaknya aku perlu menata hati selama satu atau dua hari dulu sebelum berhadapan dengan orang tua Jayatri.

“Beno, benarkah ini Beno, subhanallah.”  Ibu memelukku sambil menangis terharu.

“Jayatri, terima kasih, Nak.  Kamu telah merawat Beno dengan baik.  Lihatlah, tubuh Beno sekarang lebih berisi.  Dia makin ganteng. Oh Beno, beruntung sekali kamu punya isteri seperti Jayatri,” celoteh ibuku sambil mengelus perut buncit menantunya.  “Dan sebentar lagi aku mau punya cucu.  Terima kasih Gusti Allah.”

Orang tua Jayatri malah tidak mengenaliku.  “Jadi kamu sudah pisah dengan Beno?” tanya ibunda Jayatri sambil melirikku melalui ekor matanya.

“Ini Beno, Bu.  Sekarang Beno makin ganteng, 'kan?”

Ibunda Jayatri mendengus.  Aku yakin, beliau merasa malu.  Tak lama kemudian, dua cangkir teh dan sepiring ongol-ongol telah terhidang di hadapan kami.

“Silakan dicicipi, Nak Beno!” tawar Ibunda Jayatri dengan kikuk.  Suasana kali ini jauh lebih baik daripada saat lamaran dulu.

Niat kami semula adalah numpang melahirkan di kampung halaman.  Namun pada kenyataannya kami memutuskan tinggal di sana.  Kami menempati paviliun di kediaman orang tuaku.

Usaha pestisida nabatiku kian berkembang.  Sementara karier Jayatri sebagai touring guide berjalan dengan baik. Keping demi keping kesejahteraan kami susun dengan keringat dan air mata.  Beribu doa melambung ke langit tertinggi.  Allah melihat segala upaya kami. Allah beri kami hadiah bagi segala pengorbanan kami. Alhamdulillah, kami kini  berada jauh di atas garis kemiskinan.  Kami telah memiliki rumah dan mobil pribadi

Meski telah berkecukupan secara materi, aku enggan membeli barang-barang haram itu.  Kejadian masa lalu menjadi pelajaran berharga bagiku.  Kepada kedua anakku yang sebentar lagi menginjak remaja, aku jelaskan bahaya narkoba.  Aku tak ingin anak-anakku kelak bersinggungan dengan si serbuk fantasi.

******

“Papa, pesawat yang ditumpangi mama jatuh,” teriak anak sulungku dari ruang keluarga.

Aku tengah memeriksa surel bisnisku, hingga tak fokus mendengar teriakan anakku.  "Yang benar, Mas Ipung?” tanyaku sambil mendekati pesawat televisi.

“Benar Pa, jatuhnya ke laut.  Oh, Mama gak bisa berenang, Pa.  Mama gak bisa berenang.” Anak sulungku menangis histeris.

“Mama kenapa, Mas?” Si bungsu keluar kamar dan menghampiri kami.

“Mama, mama meninggal, Dek.”   

Kedua anak kami bertanginsan.  Aku memeluk kedua buah hatiku untuk menenangkan perasaan mereka.  “Belum tentu, sayang.  Kita doakan saja agar Mama selamat,” hiburku, padahal hatiku remuk redam.

Kami terus berpelukan selama setengah jam.  Karena kelelahan secara emosional, kami serentak tertidur di karpet ruang keluarga.  Dalam tidurku, aku mimpi bertemu Jayatri.

“Mas, jangan risau tentangku.  Lihat, aku sekarang berada di tempat yang sangat bagus.” Jayatri menunjuk rumah yang luar biasa indah.  Aku belum pernah melihat rumah dengan tampilan semacam itu di dunia.

“Jayatri, bagaimana mungkin aku dan anak-anak hidup tanpamu?  Bolehkah kami ikut?”

“Belum waktunya, Mas.  Percayalah, suatu saat kita akan berkumpul di sini.” Jayatri tertawa lalu mengecup pipiku.

“Mas, aku selalu ada di hati kalian.  Aku akan ikut merasakan senang dan sedih kalian.  Cintaku pada kalian tak lekang oleh waktu.”

“Sebagian uang asuransi hendaknya dipakai untuk usaha ayam bakar, seperti yang aku cita-citakan.  Anggaplah usaha itu sebagai kenangan terakhir dariku,”pinta Jayatri.  Lalu istriku menggenggam erat tanganku.  Hangat genggamannya masih terasa di telapak tanganku saat aku terjaga.

Kedua anakku masih tertidur.  Aku kecup kening mereka satu per satu.  Sebuah tekad terpatri di dada.  Aku akan menjadi ayah sekaligus ibu yang  baik bagi mereka.  Aku percaya,  Jayatri senantiasa menyertai kami dalam cinta tak berkesudahan.

Bogor,  07 Januari 2015
Terinspirasi kisah ibu R, korban jatuhnya airasia QZ8501.
Semoga keluarga yang ditinggalkan beliau diberi ketabahan.
____________________________________________
Catatan : 
   
"Setiap istri yang meninggal dunia dan diridhai oleh suaminya, maka ia masuk surga." (HR At-Tirmidzi)

Ilustrasi milik ngesot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar