Karya Fiksi oleh Fabina Lovers
------------------------------------------------------------------
Keterangan :
Gambar milik Jalan_berdebu.blogspot.com
Amnesia = hilang ingatan, demensia = pikun
Orang Jepang tidak mengungkapkan perasaannya secara terang-terangan. Bila mencintai lawan jenis mereka akan mengatakan suki yo (oleh wanita) dan suki dayo (oleh pria) yang artinya aku menyukaimu.
Senryu adalah puisi jepang yang terdiri dari tiga baris. Proporsi jumlah suku kata perbaris adalah 5-7-5, seperti Haiku. Berbeda dengan Haiku yang lebih serius dan menggunakan kigo (kata musim), Senryu lebih santai karena cara mengekspresikan dirinya lebih bebas. Kadang puisi Senryu mengandung unsur humor. Pencipta senryu adalah pujangga bernama Karai Senryu. Kanji jepang yang digunakan untuk menulis senryu berjenis dedalu yang berarti sungai.
Ringkasan cerita Bag.12 : Ratu berhasil berangkat ke Jepang dengan restu kedua orang tuanya
Setahun lebih
lima bulan Ratu tinggal di Kyoto. Ia
telah mengalami empat musim sub tropis.
Diantara keempat musim itu, Ratu paling menyukai suasana musim gugur. Ketika daun-daun berubah warna menjadi merah
keemasan sebelum berguguran di sepanjang jalan.
Kota seolah dilapisi tikar bermotif daun aneka warna. Sore
hari adalah saat yang tepat mengamati keindahan warna daun musim gugur. Cahaya mentari sore memantul indah dari kilau merah keemasan aneka bentuk daun. Seorang
fotografer handal pasti suka mengabadikan pemandangan dramatis itu. Terutama bila berhasil menangkap moment daun
yang melayang di udara sebelum jatuh ke tanah.
“Kamu perempuan unik. Kebanyakan wanita menyukai musim
semi. Kamu malah suka musim gugur,” kata
Chen. Ia juga penerima beasiswa riset
monbusho. Pria berdarah tionghua yang sejak lahir tinggal di Bandung. Chen teman seperjalanan Ratu saat membedah belukar
beton Kyoto.
“Kamu orang
keseribu yang mengatakan aku perempuan aneh,” gurau Ratu. Matanya tak lepas dari pesona musim gugur yang terbentang di
hadapannya.
“Oke, jadi
sekarang kita mau jalan kemana?” tanya Chen.
“Kita belum
pernah ke Kuil Kinkakuji. Aku dengar
kuil itu terbuat dari emas. Pasti indah
pemandangan di sana saat musim gugur begini,” jawab Ratu dengan mata
bercahaya. Seolah ada pelangi yang
memancar dari sepasang bola matanya yang bulat sempurna.
“Sebagai pria
sejati, aku siap membahagiakan Ratuku.” Chen
merangkul sejenak pundak Ratu sambil tertawa.
Ratu ikut tertawa. Ia paham Chen
sedang memaknai namanya sendiri yang berarti pria sejati dalam bahasa mandarin.
“Eh tunggu
dulu.” Chen melihat jam tangannya.
“Ratu, kuil itu ditutup jam lima sore, sedangkan sekarang sudah jam empat. Cukupkah satu jam menempuh perjalanan dengan
bis sekaligus menikmati keindahan kuilnya?
Aku khawatir kita sudah harus pulang saat baru beberapa menit di sana,”
“Benar juga ya,”
kata Ratu dengan kening berkerut.
Mungkin ia sedang memikirkan tempat wisata lainnya untuk melewatkan
waktu senggang mereka.
“Ah Chen, aku
ada ide.” Ratu membisiki Chen.
Chen tampak
berpikir sejenak, lalu manggut-manggut.
“Oke, aku senang mencobanya. Lets go to Kinkakuji!” Chen meraih
tangan Ratu. Mengajaknya berlari menuju
halte bis. Mereka menanti bis nomor 205
yang jalurnya melewati Kuil Kinkakuji.
Tak lama
kemudian, bis nomor 205 tiba di halte.
Para penumpang menaiki bis dengan tertib. Tidak berebutan dan saling sikut seperti di Jakarta. Semua penumpang mendapatkan tempat duduk. Situasi di dalam bis nyaman dan bersih. Lukisan karya anak-anak ditempelkan di bagian atas bis. Para penumpang merasa ceria dan
bersemangat selama menempuh perjalanan.
Sesuai jiwa lukisan kanak-kanak itu.
Setengah jam
kemudian, mereka telah tiba di pintu gerbang komplek Kuil Kinkakuji. Setelah membayar tiket masuk, mereka berhak menikmati keindahan kuil meskipun dari luar
saja. Kuil adalah tempat beribadah nan
sakral bagi para pemeluk Shinto. Tak
sembarang orang boleh memasukinya.
Ratu berseru
tertahan saat melihat pemandangan spektakuler Kuil Kinkakuji di musim
gugur. Bangunan kuil yang terbuat dari
emas tampak berkilauan tertimpa cahaya lembayung senja. Pohon-pohon berdaun merah keemasan
mengelilingi kuil. Perpaduan warna merah
dan emas tampak megah laksana singgasana raja.
Danau sebening cermin mengitari kuil.
Air danau memantulkan keindahan kuil dengan sempurna. Sungguh, pelukis paling mahir pun tak akan
mampu memindahankan keindahan magis itu ke dalam sebidang kanvas.
Ratu dan Chen
mengelilingi komplek kuil dalam diam.
Mereka tak mau melewatkan keindahan pemandangan kuil di senja musim
gugur dengan pembicaraan sia-sia.
Rasanya baru beberapa menit mereka di sana, tapi waktu telah menunjukan
pukul lima sore. Para pengunjung harus
meninggalkan kuil.
“Maaf pak, isteri
saya sedang hamil. Dia ingin melihat sunset di kuil. Ada kepercayaan di negara kami, permintaan perempuan hamil
harus dituruti. Bila tidak, kelak bayinya
akan mengeluarkan liur terus menerus,” kata
Chen kepada petugas yang meminta mereka
meninggalkan wilayah kuil. Tentunya Chen
berbicara dalam bahasa Jepang. Pemuda itu
mahir berbahasa Jepang walau baru setahun tinggal di Kyoto.
Penjaga kuil
berpikir sejenak. Ia menjauhi mereka dan berbicara melalui handy talky dengan seseorang. Sejurus kemudian, pria itu menghampiri mereka. “Baiklah, anda kami ijinkan berada di kuil
sampai matahari terbenam. Tapi, setelah
itu harus keluar dari sini. Pahamkah
maksud kami?” tegas penjaga kuil.
“Kami
paham. Arigato Gozeimas. Terima
kasih banyak untuk pengertiannya.” Chen membungkukan badan saat berterima
kasih. Ratu pun mengikutinya. Pria penjaga balas membungkukan badan dan
tersenyum. Ia mengagumi kesopanan orang
asing di hadapannya.
Tibalah saat
sang surya beranjak ke peraduan.
Pemandangan kuil tak terlukiskan dengan kata-kata. Kuil tampak kian membara saat bola matahari
bersiap tenggelam di horison. Ketika
kuil berpijar sempurna laksana terbakar
api, surya pun tenggelam. Kegelapan
malam menyelimuti bangunan kuil.
Lampu-lampu kuil menyala secara otomatis karena memiliki sensor
cahaya. Kini, badan kuil berpendar-pendar lembut diterpa cahaya
lampu.
Ratu dan Chen
pulang dengan perasaan puas. Pengalaman
hari ini akan terpatri dalam ingatan mereka selama tidak menderita amnesia atau demensia. Saat melewati
penjaga yang baik hati itu, mereka sekali lagi membungkukan badan seraya
mengucapkan “Arigato. Sayonara.”
“Bagaimana kalau
kita makan malam di resto?” tawar Chen ketika mereka dalam perjalanan pulang
dengan bis.
“Nggak ah, aku hanya
bawa sedikit uang. Tahu sendiri bagaimana mahalnya harga makanan
di resto sini?” tolak Ratu.
“Aku yang
traktir,” kata Chen sambil menepuk lembut tangan Ratu yang duduk di sisinya.
“Thanks.
Baik banget kamu? Perayaan apa
nih?” Ratu menatap Chen dengan mimik sangsi.
“Perpisahan
sementara denganmu,” jawab Chen, sendu.
“Maksudmu?” Ratu
membelalakan matanya tanda terkejut.
“Aku mau mudik
sebentar ke Bandung. Kemarin ibu
memintaku pulang. Katanya ada urusan
keluarga. Nggak lama kok, paling cuma
seminggu.” Chen kembali menepuk tangan
Ratu.
“Jangan
lama-lama ya mudiknya! Kamu teman
berwisata yang asik,” kata Ratu dengan suara memelas.
“Tentu sweatheart, I promise.” Chen mengedipkan sebelah matanya. Tapi Ratu menangkap kegalauan hati pria itu.
Saat menikmati
makan malam di restoran yang khusus mengolah seafood, mereka hanya sedikit
bicara. Rasa masakan restoran terasa
hambar oleh mereka. Sebagian malam
mereka lewati dalam diam. Meskipun tak
saling berbicara satu dengan lainnya, mereka merasakan hal yang sama. Takut akan perpisahan selamanya.
Chen mengantar
Ratu hanya sampai di muka pintu
apartemennya. Walaupun kedua teman
seapartemennya sedang berlibur, Ratu enggan mengundang Chen masuk ke
dalam. Ratu menghindari kenikmatan
sesaat yang berdampak buruk seterusnya.
“Ratu, bacalah
puisi senryu ini selama aku mudik. Semoga kamu memahami perasaanku padamu.” Chen menyerahkan lipatan kertas warna lembayung
pada Ratu.
“Terima kasih
Chen,” gumam Ratu. Sepasang matanya mulai berkaca-kaca.
“Please, jangan menangis. Kelak kita akan bersama kembali.” Chen
memalingkan muka, tak tahan melihat Ratu menangis.
“Berjanjilah
untuk tetap mengingatku,” kata Ratu sambil tersedu.
“Aku tak akan
pernah melupakan gadis seaneh kamu.” Chen mencoba bergurau. Kali ini gurauannya tak mempan. Ratu tak bisa tertawa.
“Ratu mengapa kamu bersedih?” Chen mengusap
air mata Ratu dengan punggung tangannya.
Ia lantas menepuk pipi gadisnya dengan perasaan sayang.
Ratu tak dapat
menahan diri untuk berkata,”Suki yo.” Kemudian gadis itu menundukan kepala karena
malu.
“Suki dayo,” jawab Chen dengan suara
dalam, lalu membungkukan badan pada pujaan hatinya. Ratu balas membungkukan badan pada pria yang
dikasihinya.
“Sayonara,” kata Chen sambil bertabik,
kemudian berbalik meninggalkan Ratu.
Ratu masuk ke
dalam apartemennya. Gadis itu membersihkan diri di kamar mandi
lalu shalat isya. Seusai shalat, Ratu
membentangkan tatami dan menyusun
bantal. Di bawah penerangan lampu baca,
bersandarkan dua buah bantal empuk, Ratu mengeja rangkaian aksara gubahan pria
pemilik hatinya. Gadis itu membacanya
dengan perasaan haru bercampur pilu.
(1)
Daun memerah
semerah luka
hati
karna menanti
(2)
Senyuman dara
teman seperjalanan
punya rahasia
(3)
Senyum tuk
kawan
atau bermakna
cinta
itu tak pasti
(4)
Tak lagi
sabar
tuk ungkapkan
isi hati
pada sang
dara
(5)
Cinta seputih
salju di
musim dingin
kupersembahkan
(6)
Kirim jawabmu
Bersama
hembus bayu
Di pagi hari
(7)
Selembar
tilam
menunggu
balasanmu
membuai mimpi ------------------------------------------------------------------
Keterangan :
Gambar milik Jalan_berdebu.blogspot.com
Amnesia = hilang ingatan, demensia = pikun
Orang Jepang tidak mengungkapkan perasaannya secara terang-terangan. Bila mencintai lawan jenis mereka akan mengatakan suki yo (oleh wanita) dan suki dayo (oleh pria) yang artinya aku menyukaimu.
Senryu adalah puisi jepang yang terdiri dari tiga baris. Proporsi jumlah suku kata perbaris adalah 5-7-5, seperti Haiku. Berbeda dengan Haiku yang lebih serius dan menggunakan kigo (kata musim), Senryu lebih santai karena cara mengekspresikan dirinya lebih bebas. Kadang puisi Senryu mengandung unsur humor. Pencipta senryu adalah pujangga bernama Karai Senryu. Kanji jepang yang digunakan untuk menulis senryu berjenis dedalu yang berarti sungai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar