Minggu, 15 Maret 2015

Cerbung Bag 13 : Romansa

Karya Fiksi oleh Fabina Lovers

Ringkasan cerita Bag.12 : Ratu berhasil berangkat ke Jepang dengan restu kedua orang tuanya
Setahun lebih lima bulan Ratu tinggal di Kyoto.  Ia telah mengalami empat musim sub tropis.  Diantara keempat musim itu, Ratu paling menyukai suasana musim gugur.  Ketika daun-daun berubah warna menjadi merah keemasan sebelum berguguran di sepanjang jalan.  Kota seolah dilapisi tikar bermotif daun aneka warna.   Sore hari adalah saat yang tepat mengamati keindahan warna daun  musim gugur.  Cahaya mentari sore memantul indah dari kilau merah keemasan aneka bentuk daun.  Seorang fotografer handal pasti suka mengabadikan pemandangan dramatis itu.  Terutama bila berhasil menangkap moment daun yang melayang di udara sebelum jatuh ke tanah.
“Kamu perempuan unik.  Kebanyakan wanita menyukai musim semi.  Kamu malah suka musim gugur,” kata Chen.  Ia juga penerima beasiswa riset monbusho.  Pria berdarah tionghua yang sejak lahir tinggal di Bandung.    Chen teman seperjalanan Ratu saat membedah belukar beton  Kyoto.

“Kamu orang keseribu yang mengatakan aku perempuan aneh,” gurau Ratu.  Matanya tak lepas dari  pesona musim gugur yang terbentang di hadapannya.

“Oke, jadi sekarang kita mau jalan kemana?” tanya Chen.

“Kita belum pernah ke Kuil Kinkakuji.   Aku dengar kuil itu terbuat dari emas.   Pasti indah pemandangan di sana saat musim gugur begini,” jawab Ratu dengan mata bercahaya.  Seolah ada pelangi yang memancar dari sepasang bola matanya yang bulat sempurna.

“Sebagai pria sejati, aku siap membahagiakan Ratuku.”  Chen merangkul sejenak pundak Ratu sambil tertawa.  Ratu ikut tertawa.  Ia paham Chen sedang memaknai namanya sendiri yang berarti pria sejati dalam bahasa mandarin.

“Eh tunggu dulu.” Chen melihat jam tangannya.  “Ratu, kuil itu ditutup jam lima sore, sedangkan sekarang sudah jam empat.  Cukupkah satu jam menempuh perjalanan dengan bis sekaligus menikmati keindahan kuilnya?  Aku khawatir kita sudah harus pulang saat baru beberapa menit di sana,”

“Benar juga ya,” kata Ratu dengan kening berkerut.  Mungkin ia sedang memikirkan tempat wisata lainnya untuk melewatkan waktu senggang mereka.

“Ah Chen, aku ada ide.” Ratu membisiki Chen. 

Chen tampak berpikir sejenak, lalu manggut-manggut.  “Oke, aku senang mencobanya.  Lets go to Kinkakuji!” Chen meraih tangan Ratu.  Mengajaknya berlari menuju halte bis.  Mereka menanti bis nomor 205 yang jalurnya melewati Kuil Kinkakuji.

Tak lama kemudian, bis nomor 205 tiba di halte.  Para penumpang menaiki bis dengan tertib.  Tidak berebutan dan saling sikut seperti di Jakarta.  Semua penumpang mendapatkan tempat duduk.  Situasi di dalam bis nyaman dan bersih.  Lukisan karya anak-anak ditempelkan di bagian atas bis.  Para penumpang merasa ceria dan bersemangat selama menempuh perjalanan.  Sesuai jiwa lukisan kanak-kanak itu.

Setengah jam kemudian, mereka telah tiba di pintu gerbang komplek Kuil Kinkakuji.  Setelah membayar tiket masuk, mereka berhak  menikmati keindahan kuil meskipun dari luar saja.  Kuil adalah tempat beribadah nan sakral bagi para pemeluk Shinto.  Tak sembarang orang boleh memasukinya.

Ratu berseru tertahan saat melihat pemandangan spektakuler Kuil Kinkakuji di musim gugur.   Bangunan kuil yang terbuat dari emas tampak berkilauan tertimpa cahaya lembayung senja.  Pohon-pohon berdaun merah keemasan mengelilingi kuil.  Perpaduan warna merah dan emas tampak megah laksana singgasana raja.   Danau sebening cermin mengitari kuil.  Air danau memantulkan keindahan kuil dengan sempurna.  Sungguh, pelukis paling mahir pun tak akan mampu memindahankan keindahan magis itu ke dalam sebidang kanvas.




Ratu dan Chen mengelilingi komplek kuil dalam diam.  Mereka tak mau melewatkan keindahan pemandangan kuil di senja musim gugur dengan pembicaraan sia-sia.  Rasanya baru beberapa menit mereka di sana, tapi waktu telah menunjukan pukul lima sore.  Para pengunjung harus meninggalkan kuil.

“Maaf pak, isteri saya sedang hamil.  Dia ingin melihat sunset di kuil.  Ada kepercayaan  di negara kami, permintaan perempuan hamil harus dituruti.   Bila tidak, kelak bayinya akan mengeluarkan liur terus menerus,”  kata Chen  kepada petugas yang meminta mereka meninggalkan wilayah kuil.  Tentunya Chen berbicara dalam bahasa Jepang.  Pemuda itu mahir berbahasa Jepang walau baru setahun tinggal di Kyoto.

Penjaga kuil berpikir sejenak.   Ia menjauhi  mereka dan berbicara melalui handy talky dengan seseorang.   Sejurus kemudian, pria itu menghampiri mereka.  “Baiklah, anda kami ijinkan berada di kuil sampai matahari terbenam.  Tapi, setelah itu harus keluar dari sini.  Pahamkah maksud kami?” tegas penjaga kuil.

“Kami paham.  Arigato Gozeimas.  Terima kasih banyak untuk pengertiannya.” Chen membungkukan badan saat berterima kasih.  Ratu pun mengikutinya.  Pria penjaga balas membungkukan badan dan tersenyum.  Ia mengagumi kesopanan orang asing di hadapannya.

Tibalah saat sang surya beranjak ke peraduan.   Pemandangan kuil tak terlukiskan dengan kata-kata.  Kuil tampak kian membara saat bola matahari bersiap tenggelam di horison.  Ketika kuil berpijar  sempurna laksana terbakar api, surya pun tenggelam.  Kegelapan malam menyelimuti bangunan kuil.  Lampu-lampu kuil menyala secara otomatis karena memiliki sensor cahaya.  Kini, badan kuil  berpendar-pendar lembut diterpa cahaya lampu. 
  
Ratu dan Chen pulang dengan perasaan puas.  Pengalaman hari ini akan terpatri dalam ingatan mereka selama tidak menderita amnesia atau demensia.  Saat melewati penjaga yang baik hati itu, mereka sekali lagi membungkukan badan seraya mengucapkan “Arigato.  Sayonara.

“Bagaimana kalau kita makan malam di resto?” tawar Chen ketika mereka dalam perjalanan pulang dengan bis.

“Nggak ah, aku hanya bawa  sedikit uang.  Tahu sendiri bagaimana mahalnya harga makanan di resto sini?” tolak Ratu.

“Aku yang traktir,” kata Chen sambil menepuk lembut tangan Ratu yang duduk di sisinya.

Thanks.  Baik banget kamu?  Perayaan apa nih?” Ratu menatap Chen dengan mimik sangsi.

“Perpisahan sementara denganmu,” jawab Chen, sendu.

“Maksudmu?” Ratu membelalakan matanya tanda terkejut.

“Aku mau mudik sebentar ke Bandung.  Kemarin ibu memintaku pulang.  Katanya ada urusan keluarga.  Nggak lama kok, paling cuma seminggu.”  Chen kembali menepuk tangan Ratu.

“Jangan lama-lama ya mudiknya!  Kamu teman berwisata yang asik,” kata Ratu dengan suara memelas.

“Tentu sweatheart, I promise.”  Chen mengedipkan sebelah matanya.  Tapi Ratu menangkap kegalauan hati pria itu. 

Saat menikmati makan malam di restoran yang khusus mengolah seafood, mereka hanya sedikit bicara.  Rasa masakan restoran terasa hambar oleh mereka.  Sebagian malam mereka lewati dalam diam.    Meskipun tak saling berbicara satu dengan lainnya, mereka merasakan hal yang sama.  Takut akan perpisahan selamanya. 

Chen mengantar Ratu hanya sampai  di muka pintu apartemennya.  Walaupun kedua teman seapartemennya sedang berlibur, Ratu enggan mengundang Chen masuk ke dalam.   Ratu menghindari kenikmatan sesaat yang berdampak buruk seterusnya.

“Ratu, bacalah puisi senryu ini selama aku mudik.  Semoga kamu memahami perasaanku padamu.”  Chen menyerahkan lipatan kertas warna lembayung pada Ratu.

“Terima kasih Chen,” gumam Ratu.   Sepasang matanya mulai berkaca-kaca.

Please, jangan menangis.  Kelak kita akan bersama kembali.” Chen memalingkan muka, tak tahan melihat Ratu menangis.

“Berjanjilah untuk tetap mengingatku,” kata Ratu sambil tersedu. 

“Aku tak akan pernah melupakan gadis seaneh kamu.” Chen mencoba bergurau.  Kali ini gurauannya tak mempan.  Ratu tak bisa tertawa.

“Ratu mengapa kamu bersedih?” Chen mengusap air mata Ratu dengan punggung tangannya.  Ia lantas menepuk pipi gadisnya dengan perasaan sayang. 

Ratu tak dapat menahan diri untuk berkata,”Suki yo.”  Kemudian gadis itu menundukan kepala karena malu.

Suki dayo,” jawab Chen dengan suara dalam, lalu membungkukan badan pada pujaan hatinya.  Ratu balas membungkukan badan pada pria yang dikasihinya.

Sayonara,” kata Chen sambil bertabik, kemudian berbalik meninggalkan Ratu.

Ratu masuk ke dalam apartemennya.   Gadis itu membersihkan diri di kamar mandi lalu shalat isya.  Seusai shalat, Ratu membentangkan tatami dan menyusun bantal.   Di bawah penerangan lampu baca, bersandarkan dua buah bantal empuk, Ratu mengeja rangkaian aksara gubahan pria pemilik hatinya.   Gadis itu membacanya dengan perasaan haru bercampur pilu.

(1)
Daun memerah
semerah luka hati
karna menanti

(2)
Senyuman dara
teman seperjalanan
punya rahasia

(3)
Senyum tuk kawan
atau bermakna cinta
itu tak pasti

(4)
Tak lagi sabar
tuk ungkapkan isi hati
pada sang dara

(5)
Cinta seputih
salju di musim dingin
kupersembahkan

(6)
Kirim jawabmu
Bersama hembus bayu
Di pagi hari

(7)
Selembar tilam
menunggu balasanmu
membuai mimpi 

------------------------------------------------------------------

Keterangan :

Gambar milik Jalan_berdebu.blogspot.com

Amnesia = hilang ingatan, demensia = pikun

Orang Jepang tidak mengungkapkan perasaannya secara terang-terangan.  Bila mencintai lawan jenis mereka akan mengatakan suki yo (oleh wanita) dan suki dayo (oleh pria) yang artinya aku menyukaimu.

Senryu adalah puisi jepang yang terdiri dari tiga baris.  Proporsi jumlah suku kata perbaris adalah 5-7-5, seperti Haiku.  Berbeda dengan Haiku yang lebih serius dan menggunakan kigo (kata musim), Senryu lebih santai karena cara mengekspresikan dirinya lebih bebas. Kadang puisi Senryu mengandung unsur humor.  Pencipta senryu adalah pujangga bernama Karai Senryu.  Kanji jepang yang digunakan untuk menulis senryu berjenis dedalu yang berarti sungai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar