Kamis, 26 Maret 2015

Cerbung Bag.16 : Romansa

Karya Fiksi oleh Fabina Lovers
Ringkasan Bag.15 : Ratu berusaha melupakan Chen
Ratu memikirkan materi pengajian yang baru saja didengarnya.  Ia sedang  memasak makan siang di dapur flat sewaan kedua adiknya.  Sepulang dari pengajian, mereka mampir ke swalayan untuk membeli kebutuhan dapur selama seminggu.  Kebutuhan yang memadai untuk makan di rumah dan membuat bento.

Di Jepang,  makan di luar adalah suatu kemewahan.   Harga makanan di restoran sangat mahal.  Terlebih bagi mahasiswa program beasiswa seperti mereka.  Kebanyakan Orang Jepang membawa bekal makan siang bila beraktivitas di luar rumah hingga petang.  Bekal makan siang itu dihias semenarik mungkin dalam sebuah kotak.  Bento, demikianlah masyarakat jepang menamai bekal makan siang mereka.

Image result for gambar bento ala jepang
Bento

“Hm, tampaknya sang pangeran oriental  tak mudah hilang dari ingatanmu, ya?” goda Mas Widodo yang  mendadak muncul di sisi Ratu.
Ratu memonyongkan bibirnya.  “Huh, salah baca pikiran orang nih.  Aku lagi merenungi pengajian tadi.  Tentang keutamaan menolong sesama.  Kira-kira kegiatan apa yang bisa kita lakukan  untuk menolong penduduk kota ini, ya?”
“Wuih keren banget kamu.  Baru beberapa kali ikut pengajian sudah berniat melaksanakan ajarannya.  Nah, gitu dong.  Artinya sudah bisa move on.” Mas Widodo mengedipkan sebelah matanya sambil tertawa.
“Apaan sih Mas?  Move on.  Move on.”  Ratu melempar Mas Widodo dengan bawang putih.
Mas Widodo menjulurkan lidah lalu terbahak.  “Ayo, lempar lagi, lempar lagi!  Aku bukan vampire, nggak takut bawang putih.”
“Ada apa nih, pakai lempar-lemparan segala, boleh ikutan nggak?” Syarif menjulurkan kepala melalui  kusen dapur, dan Reza melongok dari balik bahu Syarif.
“Hei, kalian mau makan siang nggak?  Kalau diganggu terus, aku mogok masak nih!” seru Ratu dengan suara kesal bernada G minor.
Akhirnya para pengganggu iseng itu keluar dari dapur flat yang sempit.  Ratu melanjutkan kegiatan memasaknya sambil menggerutu.
Seusai shalat dzuhur berjamaah yang dilanjutkan makan siang, mereka duduk di ruang tengah sambil menonton siaran NHK.  Masing-masing memegang cangkir berisi matcha, teh hijau khas Jepang.  Rasa kantuk  menyerang mereka.  Syarif dan Reza tertidur di atas karpet sambil mendengkur.
“Aku pulang dulu ya, mau istirahat di rumah,” pamit Ratu.
“Ya, hati-hati di jalan!  Sebenarnya aku mau bicara tentang kegiatan menolong sesama tadi.  Nanti saja deh, kalau kamu ada waktu,” kata Mas Widodo sambil menguap.
“Minggu ini aku sibuk sekali, persiapan untuk ujian masuk S2 minggu depan.  Tapi, sabtu sore aku ada waktu.  Enaknya kita ngobrol di mana?”
“Bagaimana kalau di kafetaria kampus Yoshida?  Jam empat petang seperti kemarin.”
“Insya Allah.  Oke, met tidur ya Mas.  Assalamualaikum.”  Ratu memakai mantel dan topi wol lalu keluar ruangan flat.   Meninggalkan Mas Widodo dan kedua adiknya dalam tidur siang nan lelap.
*****
Ratu berusaha datang lebih awal ke kafetaria kampus Yoshida demi mendapatkan sebuah meja.  Ia tak mau kehabisan meja seperti saat pertemuannya dengan Mas Widodo beberapa bulan lalu.  Jam empat petang adalah saatnya penghuni kampus memenuhi meja kafe untuk menikmati oyatsu.
I’m sorry, may I sit here?”  Seorang pemuda Jepang duduk di hadapan Ratu seraya meletakan baki.  Di atas baki terlihat  secangkir kopi hitam dan piring kecil berisi dua buah muffin keju.
Well, my boyfriend will coming here for a few minutes.  It doesn’t matter if you can finish your’s oyatsu  at one minutes,” kata Ratu dengan suara dingin.  Dia kesal pada pemuda yang tak tahu sopan santun ini.  Biasanya pemuda Jepang sangat menjaga tata krama.  Mereka lebih sopan daripada Wong Solo.
Pemuda itu menghabiskan snack dan kopinya dalam sekejap, lalu bersendawa keras sekali.  Seolah sekarung angin musim dingin memenuhi rongga perutnya.  “Well, thaks for your kindness.  Have a good time,” kata si pemuda  sambil mengusap rambut gondrongnya yang berantakan.
Ratu hanya menganggukan kepala.  Dia enggan berbasa-basi dengan pemuda serampangan itu.  Saat sang pemuda beranjak dari kursinya, Mas Widodo menghampiri mereka sambil tersenyum jenaka.  Pemuda itu membalas senyum Mas Widodo dengan canggung,  lalu menghilang secepat angin.
“Wah, tampaknya ada romansa baru nih,” goda Mas Widodo.
Ratu mendengus kesal.  “Romansa?  Aku nggak kenal pemuda kasar itu dan tak ingin mengenalnya lebih jauh.”
“Benar nih?  Dia ganteng lho.  Bahkan lebih ganteng daripada teman berwisatamu itu.” Mas Widodo  nyengir, menampilkan giginya yang besar-besar.
Ratu melotot marah.  “Bisakah tidak menyebutnya lagi di hadapanku?”
“Oke...oke maafkan aku.  Janji deh, mulai sekarang nggak akan membahas hal itu lagi,” kata Mas Widodo dengan wajah memelas serupa pengemis.
Kemarahan Ratu perlahan lenyap saat melihat ekspresi memelas itu.  “Aku sudah pesan Taiyaki  kesukaan Mas.  Itu, pesanan kita datang,” Ratu menganggukan kepala ke arah pelayan yang menghampiri mereka.
Seperti pertemuan yang lalu, mereka mulai bicara setelah menghabiskan snack.  “Apa kamu sudah punya ide kegiatan sosial untuk penduduk kota ini?”  Mas Widodo membuka pembicaraan.
“Aku ingin membuka semacam biro konsultasi gratis bagi penduduk kota yang depresi.   Bukankah kita kerap mendengar pemuda jepang yang bunuh diri atau mencoba bunuh diri?  Apalagi di musim dingin seperti ini.”
“Ide cemerlang.  Pepatah Jepang yang berbunyi ‘paku menonjol harus dipalu’, kerap menuai frustasi.  Pemuda-pemuda Jepang tak bisa menjadi diri sendiri karena harus serba sama dengan teman-temannya.  Apalagi orang tua Jepang sangat menekankan keberhasilan akademik.  Anak-anak mereka harus lulus sekolah maupun perguruan tinggi bergengsi,” kata Mas Widodo, penuh semangat.
“Kita bisa memberikan pendampingan pada para pemuda itu.  Terutama bagi yang baru gagal ujian masuk sekolah atau perguruan tinggi,” usul Ratu, matanya yang bulat berbinar indah.
“Tampaknya pemuda yang barusan duduk di hadapanmu berpotensi jadi klien kita,” kata Mas Widodo sambil tersenyum ceria.
Ratu membelalakan matanya, siap melontarkan amarah.
“Tahan dulu amarahmu!” potong Mas Widodo.  “Lihatlah, pemuda itu bisa berbahasa Inggris.  Hanya pemuda Jepang berpendidikan tinggi yang menguasai bahasa Inggris.  Bila ditinjau dari penampilannya yang acak-acakan, pemuda itu sedang menghadapi masalah besar dalam hidupnya.  Ia bahkan mengabaikan sopan santun terhadap wanita yang tak dikenalnya.  Aku pikir, dialah klien pertama kita.  Akan besar sekali maknanya bagi kota ini bila kita berhasil mencegah pemuda itu bunuh diri.”
Ratu memandang kagum pada Mas Widodo.  Pria itu selalu mampu melihat permasalahan dari sudut pandang berbeda.  “Oke, bagaimana cara mengejar pemuda itu?  Apabila kita berhasil mengejarnya, apa dia sudi berbagi masalahnya dengan kita?”
“Serahkan semuanya padaku.  Ayo, kita kejar pemuda itu sekarang!”
Mas Widodo membayar pesanan mereka, lalu terburu-buru ke tempat parkir sepeda.  Mereka bersepeda selama beberapa menit ke arah taman kota.  Sesampainya taman kota, mereka turun dari sepeda.    Sambil menuntun sepeda, mereka menyusuri jalan setapak yang membelah taman.  Seluruh taman memutih, seolah ada tangan raksasa yang menumpahkan berkarung-karung kapas  ke semua bagian taman.
“Kita mau kemana, Mas?” tanya Ratu, penasaran.
“Sabarlah, sebentar lagi kita sampai,” kata Mas Widodo sambil tersenyum misterius.
Mereka sampai ke dekat kolam yang membeku.  Di tepi kolam, tepatnya di atas bangku taman berselimutkan salju, target mereka tengah memainkan klarinet.  Tampaknya ia memainkan lagu karangan sendiri.   Iramanya tidak familiar di telinga Ratu maupun Mas Widodo.  Lagunya terdengar sedih tapi manis.  Serasi benar dengan suasana muram musim dingin.
It was most wonderfull music I’ve ever heard,” puji Mas Widodo sewaktu sang pemuda  menyudahi permainan klarinetnya.  Pujiannya tidak berlebihan.
Thanks,” balas sang pemuda.  Ia tampak salah tingkah.
“Perkenalkan, saya Widodo.  Ini Adik saya, Ratu,”  kata Mas Widodo dalam Bahasa Jepang.
“Akira.” Pemuda itu menggumankan namanya.  Ia tampak salah tingkah saat mengenali Ratu.
“Jangan sungkan.  Saya tidak marah kok.  Wajar saja kamu duduk di meja saya untuk menghabiskan snackmu.  Bukankah semua meja kafetaria penuh?  Lagipula, kamu tidak bertindakan kurang ajar.”  Ratu berupaya menenangkan perasaan Akira.
“Saya tahu, tidak pantas duduk semeja dengan gadis yang belum saya kenal.  Tapi, seminggu terakhir ini perasaan saya kacau sekali.  Maafkan ketidaksopanan tadi.” Akira berdiri lalu membungkukan badan pada Ratu.
“Tak mengapa.   Sekarang kita sudah berkenalan.  By the way, lagu yang tadi kamu mainkan, karangan sendiri, bukan?” tanya Ratu.
Akira mengangguk kikuk.  “Permainan buruk,” keluh Akira dengan suara pelan.
“Sama sekali tidak.  Aku sangat menyukai lagumu.” Mas Widodo menepuk bahu Akira dengan kehangatan seorang penggemar sejati.
“Karena kamu suka musik, bagaimana kalau malam nanti kita berkaraoke?”  Mas Widodo menyebut tempat karaoke yang populer di kalangan akademisi Kyoto. 

Akira berpikir sejenak.   Tampak ragu menerima undangan Mas Widodo.   “Oke, kumpul jam berapa?” tanya Akira dengan kaku.
 “Jam delapan malam.  Bagaimana?”
 “Ya, saya bisa,” tegas Akira.
Mereka berbasa-basi sejenak sebelum berpisah.   Setelah mencapai jarak yang tidak terjangkau pendengaran Akira, Ratu menanyakan satu hal yang sedari tadi berpusar di benaknya.  “Bagaimana Mas tahu kalau Akira ada di sini?”
“Bagaimana aku tahu?” Mas Widodo terkekeh geli.  “Karena aku memperhatikan orang lain.  Tak hanya berpusat pada diri sendiri.
 “Oh begitu ya,” kata Ratu, ketus.  Ia merasa tersindir.
“Jangan marah, aku tidak bermaksud menyindir siapapun.”  Mas Widodo seolah bisa membaca pikiran Ratu.  “Aku sering melewati taman ini saat mendistribusikan tempe, atau sepulang dari mengambil tagihan.  Beberapa hari terakhir ini, aku mendengar permainan klarinet yang menyentuh hati.  Aku berusaha mengenali pemain klarinet itu, meski dari kejauhan.” 
 “Pantas saja, ternyata Mas pernah bertemu dengannya,” timpal Ratu.
“Sejujurnya, aku baru tertarik mengenalnya lebih jauh setelah berpapasan dengannya di kafetaria sore tadi.  Ekpresi wajahnya seperti orang mau bunuh diri.   Adalah gagasanmu yang membuatku berniat menolongnya.  Terima kasih Ratu, kamu memang cewek dasa darma.”
 “Dasa Darma?”  Ratu berhenti berjalan dan memandang Mas Widodo dengan kening berkerut.
 “Dasa Darma Pramuka.  Masak kamu lupa?  Salah satu poinnya adalah rela menolong dan tabah.   Sesuai benar dengan pribadianmu.”  Mas Widodo tertawa renyah.
“Aku ini anak orang susah.  Sejak kecil harus membantu ibuku berjualan kue.  Mana sempat ikut Pramuka?” Ratu tertawa sumbang.
“Ah, alasan!  Kamu memang malas ikut organisasi apapun kok.” Mas Widodo mengerling jenaka ke arah Ratu.
“Enak saja.”  Ratu mencubit keras lengan Mas Widodo.  Demikian kerasnya hingga menembus mantel tebalnya.  Mas Widodo meringis kesakitan.
“Rasain.  Emang enak dicubit?”  Ratu terkikik geli.  Tanpa menyadari sepedanya terjatuh ke dalam tumpukan salju.
Mas Widodo menjulurkan lidahnya.  “Kamu kualat sama aku.  Lihat tuh, sepadamu masuk ke dalam tumpukan salju.  Ambil sendiri, ya!”  Mas Widodo meluncur di atas sepedanya sambil tertawa-tawa.
Ratu melenguh keras.  Mengangkat sepada dari tumpukan salju bukanlah pekerjaan ringan bagi wanita.   Ia menyesali cubitannya pada Mas Widodo.   Cepat sekali balasan kejahilannya barusan.  Mungkin karena Mas Widodo taat menjalankan perintah-Nya.
Let me help you,” kata seorang pria.  Sejurus kemudian, pria bermantel hitam itu telah mengangkat sepeda Ratu dari tumpukan salju.  Ratu tertegun menatap penolongnya.  Akira balas menatap Ratu dengan seulas senyum tipis.
Thaks so much.” Ratu membungkukan badan saat berterima-kasih. 
Akira menyerahkan sepeda pada Ratu, lalu meninggalkannya tanpa sepatah kata pun.  Ia berjalan tanpa membawa klarinetnya.  Ratu menebak-nebak tempat Akira menyimpan klarinetnya.
“Hei, jangan lupa datang ke karaoke nanti malam!” teriak Ratu. 
Akira membalikkan badan, mengacungkan jempol dan melanjutkan perjalanannya tanpa menoleh lagi.  Ia melangkah cepat seperti kebanyakan orang Jepang.  Ratu  memandangi Akira hingga ia menghilang di kelokan jalan.  
“Misterius sekali pria itu.  Aku jadi penasaran, apa sih problema hidupnya?” Ratu menggumamkan pertanyaan yang memenuhi benaknya. 

-BERSAMBUNG-

Penasaran dengan lanjutan cerbung ini? Silahkan membeli novelnya, pesan ke 085310108182.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar