Karya Fiksi oleh Fabina Lovers
Ratu memikirkan materi pengajian yang baru saja didengarnya. Ia sedang memasak makan siang di dapur flat sewaan kedua adiknya. Sepulang dari pengajian, mereka mampir ke swalayan untuk membeli kebutuhan dapur selama seminggu. Kebutuhan yang memadai untuk makan di rumah dan membuat bento.Ringkasan Bag.15 : Ratu berusaha melupakan Chen
Di Jepang,
makan di luar adalah suatu kemewahan.
Harga makanan di restoran sangat mahal.
Terlebih bagi mahasiswa program beasiswa seperti mereka. Kebanyakan Orang Jepang membawa bekal makan
siang bila beraktivitas di luar rumah hingga petang. Bekal makan siang itu dihias semenarik
mungkin dalam sebuah kotak. Bento, demikianlah masyarakat jepang menamai
bekal makan siang mereka.
Bento
“Hm, tampaknya sang pangeran oriental tak
mudah hilang dari ingatanmu, ya?” goda Mas Widodo yang mendadak muncul di sisi Ratu.
Ratu memonyongkan bibirnya. “Huh, salah baca pikiran orang nih. Aku lagi merenungi pengajian tadi. Tentang keutamaan menolong sesama. Kira-kira kegiatan apa yang bisa kita
lakukan untuk menolong penduduk kota
ini, ya?”
“Wuih keren banget kamu. Baru beberapa kali ikut pengajian sudah
berniat melaksanakan ajarannya. Nah,
gitu dong. Artinya sudah bisa move on.”
Mas Widodo mengedipkan sebelah matanya sambil tertawa.
“Apaan sih Mas?
Move on. Move on.” Ratu melempar Mas Widodo dengan bawang putih.
Mas Widodo
menjulurkan lidah lalu terbahak. “Ayo,
lempar lagi, lempar lagi! Aku bukan vampire,
nggak takut bawang putih.”
“Ada apa nih, pakai lempar-lemparan segala,
boleh ikutan nggak?” Syarif menjulurkan kepala melalui kusen dapur, dan Reza melongok dari balik
bahu Syarif.
“Hei, kalian mau makan siang nggak? Kalau diganggu terus, aku mogok masak nih!”
seru Ratu dengan suara kesal bernada G minor.
Akhirnya para pengganggu iseng itu keluar dari
dapur flat yang sempit. Ratu melanjutkan
kegiatan memasaknya sambil menggerutu.
Seusai shalat dzuhur berjamaah yang dilanjutkan
makan siang, mereka duduk di ruang tengah sambil menonton siaran NHK. Masing-masing memegang cangkir berisi matcha,
teh hijau khas Jepang. Rasa kantuk
menyerang mereka. Syarif dan Reza
tertidur di atas karpet sambil mendengkur.
“Aku pulang dulu ya, mau istirahat di rumah,” pamit
Ratu.
“Ya, hati-hati di jalan! Sebenarnya aku mau bicara tentang kegiatan
menolong sesama tadi. Nanti saja deh,
kalau kamu ada waktu,” kata Mas Widodo sambil menguap.
“Minggu ini aku sibuk sekali, persiapan untuk ujian masuk S2
minggu depan. Tapi, sabtu sore aku ada
waktu. Enaknya kita ngobrol di mana?”
“Bagaimana kalau di kafetaria kampus Yoshida? Jam empat petang seperti kemarin.”
“Insya Allah.
Oke, met tidur ya Mas.
Assalamualaikum.” Ratu memakai
mantel dan topi wol lalu keluar ruangan flat.
Meninggalkan Mas Widodo dan kedua adiknya dalam tidur siang nan lelap.
*****
Ratu berusaha datang lebih awal ke kafetaria kampus
Yoshida demi mendapatkan sebuah meja. Ia
tak mau kehabisan meja seperti saat pertemuannya dengan Mas Widodo beberapa
bulan lalu. Jam empat petang adalah
saatnya penghuni kampus memenuhi meja kafe untuk menikmati oyatsu.
“I’m sorry, may
I sit here?” Seorang pemuda Jepang
duduk di hadapan Ratu seraya meletakan baki.
Di atas baki terlihat secangkir
kopi hitam dan piring kecil berisi dua buah muffin keju.
“Well, my
boyfriend will coming here for a few minutes.
It doesn’t matter if you can finish your’s oyatsu at one minutes,” kata Ratu dengan suara
dingin. Dia kesal pada pemuda yang tak
tahu sopan santun ini. Biasanya pemuda
Jepang sangat menjaga tata krama. Mereka
lebih sopan daripada Wong Solo.
Pemuda itu menghabiskan snack dan kopinya dalam
sekejap, lalu bersendawa keras sekali. Seolah
sekarung angin musim dingin memenuhi rongga perutnya. “Well,
thaks for your kindness. Have a good
time,” kata si pemuda sambil
mengusap rambut gondrongnya yang berantakan.
Ratu hanya menganggukan kepala. Dia enggan berbasa-basi dengan pemuda serampangan
itu. Saat sang pemuda beranjak dari
kursinya, Mas Widodo menghampiri mereka sambil tersenyum jenaka. Pemuda itu membalas senyum Mas Widodo dengan
canggung, lalu menghilang secepat angin.
“Wah, tampaknya ada romansa baru nih,” goda Mas
Widodo.
Ratu mendengus kesal.
“Romansa? Aku nggak kenal pemuda
kasar itu dan tak ingin mengenalnya lebih jauh.”
“Benar nih? Dia
ganteng lho. Bahkan lebih ganteng
daripada teman berwisatamu itu.” Mas Widodo
nyengir, menampilkan giginya yang besar-besar.
Ratu melotot marah.
“Bisakah tidak menyebutnya lagi di hadapanku?”
“Oke...oke maafkan aku. Janji deh, mulai sekarang nggak akan membahas
hal itu lagi,” kata Mas Widodo dengan wajah memelas serupa pengemis.
Kemarahan Ratu perlahan lenyap saat melihat ekspresi
memelas itu. “Aku sudah pesan
Taiyaki kesukaan Mas. Itu, pesanan kita datang,” Ratu menganggukan
kepala ke arah pelayan yang menghampiri mereka.
Seperti pertemuan yang lalu, mereka mulai bicara
setelah menghabiskan snack. “Apa kamu
sudah punya ide kegiatan sosial untuk penduduk kota ini?” Mas Widodo membuka pembicaraan.
“Aku ingin membuka semacam biro konsultasi gratis bagi
penduduk kota yang depresi. Bukankah
kita kerap mendengar pemuda jepang yang bunuh diri atau mencoba bunuh
diri? Apalagi di musim dingin seperti
ini.”
“Ide cemerlang.
Pepatah Jepang yang berbunyi ‘paku menonjol harus dipalu’, kerap menuai
frustasi. Pemuda-pemuda Jepang tak bisa
menjadi diri sendiri karena harus serba sama dengan teman-temannya. Apalagi orang tua Jepang sangat menekankan
keberhasilan akademik. Anak-anak mereka
harus lulus sekolah maupun perguruan tinggi bergengsi,” kata Mas Widodo, penuh
semangat.
“Kita bisa memberikan pendampingan pada para
pemuda itu. Terutama bagi yang baru
gagal ujian masuk sekolah atau perguruan tinggi,” usul Ratu, matanya yang bulat
berbinar indah.
“Tampaknya pemuda yang barusan duduk di
hadapanmu berpotensi jadi klien kita,” kata Mas Widodo sambil tersenyum ceria.
Ratu membelalakan matanya, siap melontarkan
amarah.
“Tahan dulu amarahmu!” potong Mas Widodo. “Lihatlah, pemuda itu bisa berbahasa
Inggris. Hanya pemuda Jepang
berpendidikan tinggi yang menguasai bahasa Inggris. Bila ditinjau dari penampilannya yang
acak-acakan, pemuda itu sedang menghadapi masalah besar dalam hidupnya. Ia bahkan mengabaikan sopan santun terhadap
wanita yang tak dikenalnya. Aku pikir,
dialah klien pertama kita. Akan besar
sekali maknanya bagi kota ini bila kita berhasil mencegah pemuda itu bunuh
diri.”
Ratu memandang kagum pada Mas Widodo. Pria itu selalu mampu melihat permasalahan
dari sudut pandang berbeda. “Oke,
bagaimana cara mengejar pemuda itu?
Apabila kita berhasil mengejarnya, apa dia sudi berbagi masalahnya
dengan kita?”
“Serahkan semuanya padaku. Ayo, kita kejar pemuda itu sekarang!”
Mas Widodo membayar pesanan mereka, lalu
terburu-buru ke tempat parkir sepeda.
Mereka bersepeda selama beberapa menit ke arah taman kota. Sesampainya taman kota, mereka turun dari
sepeda. Sambil menuntun sepeda, mereka
menyusuri jalan setapak yang membelah taman.
Seluruh taman memutih, seolah ada tangan raksasa yang menumpahkan
berkarung-karung kapas ke semua bagian taman.
“Kita mau kemana, Mas?” tanya Ratu, penasaran.
“Sabarlah, sebentar lagi kita sampai,” kata Mas
Widodo sambil tersenyum misterius.
Mereka sampai ke dekat kolam yang membeku. Di tepi kolam, tepatnya di atas bangku taman
berselimutkan salju, target mereka tengah memainkan klarinet. Tampaknya ia memainkan lagu karangan
sendiri. Iramanya tidak familiar di
telinga Ratu maupun Mas Widodo. Lagunya
terdengar sedih tapi manis. Serasi benar
dengan suasana muram musim dingin.
“It was
most wonderfull music I’ve ever heard,” puji Mas Widodo sewaktu sang
pemuda menyudahi permainan
klarinetnya. Pujiannya tidak berlebihan.
“Thanks,”
balas sang pemuda. Ia tampak salah
tingkah.
“Perkenalkan, saya Widodo. Ini Adik saya, Ratu,” kata Mas Widodo dalam Bahasa Jepang.
“Akira.” Pemuda itu menggumankan namanya. Ia
tampak salah tingkah saat mengenali Ratu.
“Jangan sungkan.
Saya tidak marah kok. Wajar saja
kamu duduk di meja saya untuk menghabiskan snackmu. Bukankah semua meja kafetaria penuh? Lagipula, kamu tidak bertindakan kurang
ajar.” Ratu berupaya menenangkan
perasaan Akira.
“Saya tahu, tidak pantas duduk semeja dengan
gadis yang belum saya kenal. Tapi,
seminggu terakhir ini perasaan saya kacau sekali. Maafkan ketidaksopanan tadi.” Akira berdiri
lalu membungkukan badan pada Ratu.
“Tak mengapa.
Sekarang kita sudah berkenalan. By the way, lagu yang tadi kamu mainkan,
karangan sendiri, bukan?” tanya Ratu.
Akira mengangguk kikuk. “Permainan buruk,” keluh Akira dengan suara
pelan.
“Sama sekali tidak. Aku sangat menyukai lagumu.” Mas Widodo menepuk bahu Akira dengan kehangatan seorang penggemar sejati.
“Karena kamu suka musik, bagaimana kalau malam
nanti kita berkaraoke?” Mas Widodo
menyebut tempat karaoke yang populer di kalangan akademisi Kyoto.
Akira berpikir sejenak. Tampak ragu menerima undangan Mas
Widodo. “Oke, kumpul jam berapa?” tanya
Akira dengan kaku.
“Jam delapan malam. Bagaimana?”
“Ya, saya bisa,” tegas Akira.
Mereka berbasa-basi sejenak sebelum
berpisah. Setelah mencapai jarak yang
tidak terjangkau pendengaran Akira, Ratu menanyakan satu hal yang sedari tadi
berpusar di benaknya. “Bagaimana Mas
tahu kalau Akira ada di sini?”
“Bagaimana aku tahu?” Mas Widodo terkekeh geli. “Karena aku memperhatikan orang lain. Tak hanya berpusat pada diri sendiri.
“Oh begitu ya,” kata Ratu, ketus. Ia merasa tersindir.
“Jangan marah, aku tidak bermaksud menyindir
siapapun.” Mas Widodo seolah bisa
membaca pikiran Ratu. “Aku sering
melewati taman ini saat mendistribusikan tempe, atau sepulang dari mengambil
tagihan. Beberapa hari terakhir ini, aku
mendengar permainan klarinet yang menyentuh hati. Aku berusaha mengenali pemain klarinet itu,
meski dari kejauhan.”
“Pantas saja, ternyata Mas pernah bertemu
dengannya,” timpal Ratu.
“Sejujurnya, aku baru tertarik mengenalnya lebih jauh
setelah berpapasan dengannya di kafetaria sore tadi. Ekpresi wajahnya seperti orang mau bunuh
diri. Adalah gagasanmu yang membuatku
berniat menolongnya. Terima kasih Ratu,
kamu memang cewek dasa darma.”
“Dasa Darma?”
Ratu berhenti berjalan dan memandang Mas Widodo dengan kening berkerut.
“Dasa Darma Pramuka. Masak kamu lupa? Salah satu poinnya adalah rela menolong dan tabah. Sesuai benar dengan pribadianmu.” Mas Widodo tertawa renyah.
“Aku ini anak orang susah. Sejak kecil harus membantu ibuku berjualan
kue. Mana sempat ikut Pramuka?” Ratu
tertawa sumbang.
“Ah, alasan! Kamu memang malas ikut organisasi
apapun kok.” Mas Widodo mengerling jenaka ke arah Ratu.
“Enak saja.”
Ratu mencubit keras lengan Mas Widodo.
Demikian kerasnya hingga menembus mantel tebalnya. Mas Widodo meringis kesakitan.
“Rasain. Emang
enak dicubit?” Ratu terkikik geli. Tanpa menyadari sepedanya terjatuh ke dalam
tumpukan salju.
Mas Widodo menjulurkan lidahnya. “Kamu kualat sama aku. Lihat tuh, sepadamu masuk ke dalam tumpukan
salju. Ambil sendiri, ya!” Mas Widodo meluncur di atas sepedanya sambil
tertawa-tawa.
Ratu melenguh keras.
Mengangkat sepada dari tumpukan salju bukanlah pekerjaan ringan bagi
wanita. Ia menyesali cubitannya pada
Mas Widodo. Cepat sekali balasan
kejahilannya barusan. Mungkin karena Mas Widodo taat menjalankan
perintah-Nya.
“Let me help you,” kata seorang pria. Sejurus kemudian, pria bermantel hitam itu
telah mengangkat sepeda Ratu dari tumpukan salju. Ratu tertegun menatap penolongnya. Akira balas menatap Ratu dengan seulas senyum
tipis.
“Thaks so much.” Ratu membungkukan badan saat
berterima-kasih.
Akira menyerahkan sepeda pada Ratu, lalu
meninggalkannya tanpa sepatah kata pun. Ia
berjalan tanpa membawa
klarinetnya. Ratu menebak-nebak tempat Akira menyimpan klarinetnya.
“Hei, jangan lupa datang ke karaoke nanti malam!”
teriak Ratu.
Akira membalikkan badan, mengacungkan jempol dan
melanjutkan perjalanannya tanpa menoleh lagi.
Ia melangkah cepat seperti kebanyakan orang Jepang. Ratu
memandangi Akira hingga ia menghilang di kelokan jalan.
“Misterius sekali pria itu. Aku jadi penasaran, apa sih problema
hidupnya?” Ratu menggumamkan pertanyaan yang memenuhi benaknya.
-BERSAMBUNG-
Penasaran dengan lanjutan cerbung ini? Silahkan membeli novelnya, pesan ke 085310108182.
Penasaran dengan lanjutan cerbung ini? Silahkan membeli novelnya, pesan ke 085310108182.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar