Senin, 06 April 2015

Sang Peramal

Image result for gambar peramal wanita

Karya Fiksi oleh Fabina Lovers
Dipublikasikan pada pukul 00:39 WIB.

Pukul duabelas malam, perempuan cantik itu menyanyikan Nina Bobo secara seriosa.  Suaranya mendirikan bulu roma.  Seperti  nyanyian kuntilanak saat meninabobokan bayi yang urung dilahirkannya ke  alam dunia.

Nina bobo oh Nina bobo
Kalau tidak bobo digigit nyamuk
Nina bobo oh Nina bobo
Kalau tidak bobo digigit nyamuk
Bobolah sayang oh anakku sayang
Kalau tidak bobo digigit nyamuk

Suster Peti, petugas jaga malam di Ruang Rawat Gangguan Kejiwaan, menutup telinganya dengan earphone.  Nyanyian pasien baru itu membangkitkan ketakutannya.  Demi menetralisir perasaan takut, Peti berkirim pesan WA pada Bang Rendi, tunangannya.

Peti      :    Bang, ngapain?  BT banget nih. 
                 Ada pasien perempuan nyanyi seriosa.
                 Bikin merinding aja. 
                 Sayang, nggak boleh disuntik penenang (icon cemberut)

Lima menit berlalu.  Tak ada balasan dari tunangannya.

Peti      :    Bang, kenapa pesanku nggak dibales (icon marah)
                 Awas ya, besok aku unjuk rasa @!#!!!

Sepuluh menit.  Setengah jam.  Belum juga ada balasan.

“Bersiaplah menerima kabar duka!” Sang Penyanyi Seriosa tiba-tiba telah berdiri di hadapan Peti.

Peti terkesiap.  Jantungnya berdentam riuh.  “Hm, tampaknya Ibu susah tidur.  Apakah perlu obat penenang?” Peti berusaha bersikap profesional.

“Aku tak perlu obat apapun.  Justru kamu yang kelak akan ketergantungan obat.” Pasien perempuan itu berbalik, lalu melangkah anggun ke kamar perawatannya. 

Tampaknya perempuan setengah baya itu berasal dari kalangan atas.  Ia menempati ruang rawat inap terbaik.  Biaya ruangan per-hari  lebih mahal daripada harga  single room hotel bintang lima. 

“Ada apa, kok bengong?” tanya Meri, rekannya sesama petugas jaga malam.  Ia baru saja keluar,  membeli mie dan kopi instan sebagai penghilang kantuk.

“Pasien baru itu, bikin aku merinding,” jawab Peti dengan suara gemetar.  Peti lantas menceritakan percakapannya dengan sang pasien pada Meri.

“Nggak perlu dipikirkan.  Namanya juga orang begini.” Meri menyilangkan telunjuknya di dahi sambil tersenyum.  “Lebih baik kita seduh kopi dan mie instan aja.  Kayaknya air dispenser udah panas tuh.”

Kedua wanita muda itu menyeduh kopi dan mie instan dengan air mendidih.  Sejurus kemudian, mereka menikmati kopi dan mie instan sambil berbincang ringan.  Tak terdengar suara maupun nyanyian dari kamar pasien baru.  Agaknya, perempuan cantik itu  sudah tidur.
 
Pukul 03.00 dini hari,  Peti terbangun oleh suara ringtone Hp-nya.  Di sisinya, Meri tertidur sambil menelungkupkan kepala di atas tangannya.  Mereka berdua tertidur di meja jaga.

“Hallo, ini siapa?” tanya Peti, ia masih separuh bangun. 

“Apakah Anda teman atau kerabat seorang pemuda bernama Rendi?” tanya suara berat di ujung sana.

“Saya tunangannya, Pak.  Ada apa dengan Rendi?”  Kini Peti sepenuhnya terjaga.

“Pertama-tama, ijinkan saya memperkenalkan diri dulu!  Saya Rohidi, petugas Polsek Sukmajaya.  Baru saja terjadi kecelakaan lalu lintas yang melibatkan Saudara Rendi di wilayah kerja saya.  Sekarang, Saudara Rendi berada di RSUD Cibinong.  Apakah Anda bisa ke sana?”

“Kebetulan saya sedang tugas malam, Pak.  Tampaknya baru bisa ke sana sekitar jam delapan pagi.  Oh ya, bagaimana kondisi tunangan saya?”

“Maaf, tampaknya tunangan Anda tak bisa tertolong...” Suara Pak Polisi kian samar terdengar.  Peti jatuh pingsan di lantai ruang jaga dengan suara bergedebug keras, membangunkan Meri dan seorang pasien.

“Perempuan malang.  Tak lama lagi ia akan menyusul kekasihnya,” kata pasien wanita itu sambil memandang Meri dengan perasaan iba.

*****

Bianca terlahir normal sebagaimana anak-anak lainnya.  Namun, ada kejadian aneh sewaktu Bianca berusia lima tahun.  Ia mengalami penglihatan gaib.  Neneknya terlihat berbaju putih lalu terbang ke langit.  Ia juga melihat ibunya pingsan dalam suatu upacara pemakaman.

“Tak lama lagi nenek terbang ke surga,” kata Bianca kecil.

“Hush, jangan ngomong sembarangan!  Kondisi kesehatan nenekmu sangat baik.  Lihat, nenekmu sedang berolah-raga di taman!” kata ibunya sambil mengikatkan pita pink pada sepasang kunciran Bianca. 

“Ayo, segera berangkat sekolah biar nggak terlambat!” Ibu menggandeng tangan Bianca.  Seperti biasa, ibu mengantar Bianca ke sekolah TK yang letaknya masih di komplek perumahan mereka.

“Nggak ah, hari ini mau libur dulu, aku kangen nenek.”  Bianca melepaskan pegangan tangan ibunya lalu duduk di kursi teras.

“Bianca, nanti dimarahi Bu Guru kalau bolos sekolah,” tukas ibu, tak sabar.

“Nggak bakalan.  Bu Guru nanti datang ke sini kok,” kata Bianca, keras kepala.

Ibu pun mengalah.  Bianca boleh tidak berangkat sekolah hari itu.  Sepanjang pagi, Bianca membuntuti neneknya.  Nenek yang biasanya galak, kini lebih ramah pada cucunya.  Bianca sering dielus dan diciuminya. 

Ramalan Bianca menjadi kenyataan  pada pukul sepuluh pagi.  Tiba-tiba, nenek pingsan.  Ketika dibawa ke Rumah Sakit Umum, nyawanya tak tertolong lagi.  Nenek wafat dalam usia limapuluh lima tahun.

Guru-guru TK dan para tetangga berdatangan ke rumah Bianca sebagai tanda turut berbela-sungkawa.  Kondisi ibunda Bianca sungguh memprihatinkan.  Wanita itu pingsan saat upacara pemakaman.  Persis seperti penglihatan Bianca.

Sejak saat itu, tak seorang pun mengabaikan peringatan Bianca.  Gadis kecil itu beberapa kali meramalkan kejadian yang akan datang.  Seperti bencana alam, kecelakaan, bahkan sosok Lurah yang akan terpilih dalam Pemilihan Kepala Desa.  Partai pemenang PEMILU tidak termasuk obyek ramalan Bianca.  Pada tahun delapanpuluhan, orang awam pun bisa meramal bahwa partai pemenang PEMILU berikutnya adalah GOLKAR. 

Bianca tumbuh menjadi gadis yang suka menyendiri.  Penyebabnya adalah mimpi-mimpi buruk yang sering dialaminya.  Bianca melihat manusia berjalan-jalan di sebuah lapangan dengan tubuh transparan.  Organ dalam tubuhnya terlihat jelas.  Membuat Bianca muntah-muntah saat terjaga dari tidurnya.

Kebanyakan orang mengira bahwa nilai-nilai bagus Bianca adalah hasil penerawangan soal ujian yang akan keluar.  Mereka salah sangka.  Bianca memang sering melihat peristiwa yang akan terjadi.  Namun, Bianca tak pernah diperlihatkan soal ujian yang akan keluar.  Hingga ia harus belajar dengan giat seperti siswa lainnya.  Bianca remaja belum mahir mengendalikan penerawangannya.

Bianca baru bisa mengendalikan penerawangannya setelah berkenalan dengan Bunda Grace, seorang Juru Ramal terkenal.  Saat itu, Bianca mengantar sahabatnya sejak TK untuk berkonsultasi dengan Bunda Grace.

“Lho, kenapa nggak konsultasi dengan Bianca saja?  Dia bisa seperti saya kok.” Bunda Grace mengerling pada Bianca yang duduk sambil membaca majalah di sofa.

Bianca mengalihkan pandangan dari bacaannya saat mendengar namanya disebut.  “Kenapa Bunda?” tanya Bianca, bingung.

“Kamu juga bisa meramal masa depan,” tegas Bunda Grace.

“Tapi, saya belum bisa mengatur penglihatan,” gumam Bianca.

“Kamu harus melihatnya dengan perantara.  Ada berbagai perantara sih.  Maukah kamu belajar denganku?”  Bunda Grace menatap Bianca dengan penuh kasih.

Sejak saat itu, Bianca menjadi murid Bunda Grace.  Ia mempelajari berbagai teknik penerawangan masa depan dengan kartu tarot, bola kristal dan serbuk teh.  Guna mempertajam mata batin, Bianca harus tirakat di tempat-tempat berenergi superanatural  tinggi, juga  berpuasa mutih.

Enam bulan setelah berguru pada Bunda Grace, kemampuan supranatural Bianca meningkat pesat.  Beberapa klien Bunda Grace dialihkan pada Bianca.  Umumnya klien tersebut puas dengan layanan Bianca.   Tabungan Bianca bertambah.  Akhirnya, Bianca malah keluar dari pekerjaannya di Biro Hukum.  Ia ingin fokus pada panggilan hidupnya sebagai Peramal.

Karir Bianca kian melejit sewaktu Bunda Grace wafat.  Seluruh klien Bunda Grace kini ditangani Bianca.  Sosok Bianca sering muncul di media massa maupun media elektronik sebagai pengganti Bunda Grace.  Maklum saja, Bunda Grace adalah penasehat spiritual beberapa artis ngetop.  Artis-artis yang kini kerap berkunjung ke rumah Bianca.

“Mama bisa ganti kerjaan nggak?  Diva malu dibilang anak dukun,” protes Diva, puteri sulungnya yang berusia tigabelas tahun.

“Jangan pedulikan ocehan temanmu!  Mama bukan dukun, tapi penasehat spiritual.  Berkat bantuan Mama, orang-orang dapat menentukan arah hidupnya di masa depan,” jelas Bianca sambil mengelus rambut panjang puterinya.

“Iya deh, kalau gitu Diva pamit dulu.”

“Pamit kemana?”

“Belajar kelompok di rumah Nadya.  Diantar pake motor sama Mang Ari.”

“Pokoknya kamu nggak boleh mengendarai motor sendiri!” tegas Bianca dengan suara bergetar.  Ia teringat mimpinya beberapa bulan belakangan ini.  Diva berlumuran darah akibat kecelakaan motor.

“Janji deh, hanya dibonceng aja!” Diva mengecup pipi mamanya lalu melambaikan tangan dengan riang.

Diva berbohong.  Siang itu Diva berkomplot dengan Mang Ari agar mengantarnya sampai ke depan komplek saja.  Setelah itu, Diva mengendarai sendiri motor maticnya.  Ia malu pada teman-temannya bila masih dibonceng Mang Ari.  Kebanyakan temannya sudah mahir mengendarai sepeda motor matic.

Pada sebuah pertigaan, Diva melanggar lampu lalu lintas.  Pelanggaran yang berakibat fatal.  Motor Diva dihantam angkot hingga gadis itu masuk ke bawah truk tronton.  Roda-roda truk menghentikan sejarah hidup Diva di usia tiga belas tahun. 

Bianca menangis histeris saat melihat jenazah anaknya yang berlumuran darah.  Ia marah pada dirinya sendiri.  Ternyata kemampuannya melihat masa depan tak mampu mengubah takdir.  Anak yang dicintainya, pergi dengan kondisi mengenaskan.

*****

“Aku membunuh anakku...aku membunuh anakku,” jerit Bianca. Ia meronta-ronta karena tubuhnya terikat di tempat tidur.  Bila tidak diikat, Bianca akan melukai dirinya sendiri.

“Buka, buka tali ini! Aku ingin matiii.”  Jeritan Bianca terdengar hingga beberapa blok dari Bagian Kejiwaan.  Mengganggu istirahat malam pasien lainnya.

Suster Meri menyediakan ampul berisi obat penenang dan menyerahkannya pada Dokter Sambas.  Dokter ahli jiwa itu kemudian menyuntikan obat penenang melalui selang infus yang tertancap di tangan Bianca.  Beberapa saat kemudian, pasien sakit jiwa itu tertidur.

“Kasihan Bu Bianca.  Kepandaiannya meramal justeru menyengsarakan dirinya,” gumam Dokter Sambas.

“Tapi ramalannya tepat, Dok.  Terbukti, Peti meninggal akibat over dosis obat penenang seperti ramalan Bu Bianca,” bantah Meri.

Dokter Sambas mengajak Meri keluar ruangan agar tidak mengganggu istirahat pasien mereka. 

“Kamu tahu, mengapa peramal bisa melihat masa depan?” tanya Dokter Sambas.

Meri menggelengkan kepalanya.  “Tidak tahu, Dok.”

“Karena peramal bekerja sama dengan jin.  Jin yang mencuri informasi dari buku catatan Allah di langit ketujuh.”

“Apaa, peramal bekerja sama dengan jin?”  Meri bergidik ngeri.

“Benar sekali.  So, masih mau berhubungan dengan juru ramal?”

“Nggak deh.”  Bulu kuduk Meri berdiri.  Tidaklah tepat membahas tentang jin pada pukul duabelas malam.

“Lagipula, sebuah ramalan jitu tak akan bisa mengubah takdir Allah,” kata Dokter Sambas sambil beranjak pergi.

“Jangan pergi, Dok!  Saya takut jaga sendirian di sini,” seru Meri yang ketakutan.  Sang Dokter senior pun tertawa geli.


TAMAT
_____________________________________

Ilustrasi milik antarariau.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar