Karya Fiksi oleh Fabina Lovers
Dipublikasikan pada pukul 00:39 WIB.
Pukul duabelas malam,
perempuan cantik itu menyanyikan Nina Bobo secara seriosa. Suaranya mendirikan bulu roma. Seperti
nyanyian kuntilanak saat meninabobokan bayi yang urung dilahirkannya ke alam dunia.
Nina
bobo oh Nina bobo
Kalau
tidak bobo digigit nyamuk
Nina
bobo oh Nina bobo
Kalau
tidak bobo digigit nyamuk
Bobolah
sayang oh anakku sayang
Kalau
tidak bobo digigit nyamuk
Suster Peti, petugas jaga
malam di Ruang Rawat Gangguan Kejiwaan, menutup telinganya dengan earphone. Nyanyian pasien baru itu membangkitkan
ketakutannya. Demi menetralisir perasaan takut, Peti berkirim
pesan WA pada Bang Rendi, tunangannya.
Peti
: Bang,
ngapain? BT banget nih.
Ada pasien perempuan nyanyi
seriosa.
Bikin merinding aja.
Sayang, nggak boleh disuntik
penenang (icon cemberut)
Lima
menit berlalu. Tak ada balasan dari
tunangannya.
Peti
: Bang,
kenapa pesanku nggak dibales (icon marah)
Awas ya, besok aku unjuk rasa
@!#!!!
Sepuluh
menit. Setengah jam. Belum juga ada balasan.
“Bersiaplah
menerima kabar duka!” Sang Penyanyi Seriosa tiba-tiba telah berdiri di hadapan
Peti.
Peti
terkesiap. Jantungnya berdentam riuh. “Hm, tampaknya Ibu susah tidur. Apakah perlu obat penenang?” Peti berusaha
bersikap profesional.
“Aku
tak perlu obat apapun. Justru kamu yang
kelak akan ketergantungan obat.” Pasien perempuan itu berbalik, lalu melangkah
anggun ke kamar perawatannya.
Tampaknya
perempuan setengah baya itu berasal dari kalangan atas. Ia menempati ruang rawat inap terbaik. Biaya ruangan per-hari lebih mahal daripada harga single
room hotel bintang lima.
“Ada
apa, kok bengong?” tanya Meri, rekannya sesama petugas jaga malam. Ia baru saja keluar, membeli mie dan kopi instan sebagai
penghilang kantuk.
“Pasien
baru itu, bikin aku merinding,” jawab Peti dengan suara gemetar. Peti lantas menceritakan percakapannya dengan
sang pasien pada Meri.
“Nggak
perlu dipikirkan. Namanya juga orang
begini.” Meri menyilangkan telunjuknya di dahi sambil tersenyum. “Lebih baik kita seduh kopi dan mie instan aja. Kayaknya air dispenser udah panas tuh.”
Kedua
wanita muda itu menyeduh kopi dan mie instan dengan air mendidih. Sejurus kemudian, mereka menikmati kopi dan
mie instan sambil berbincang ringan. Tak
terdengar suara maupun nyanyian dari kamar pasien baru. Agaknya, perempuan cantik itu sudah tidur.
Pukul
03.00 dini hari, Peti terbangun oleh
suara ringtone Hp-nya. Di sisinya, Meri tertidur sambil
menelungkupkan kepala di atas tangannya.
Mereka berdua tertidur di meja jaga.
“Hallo,
ini siapa?” tanya Peti, ia masih separuh bangun.
“Apakah
Anda teman atau kerabat seorang pemuda bernama Rendi?” tanya suara berat di
ujung sana.
“Saya
tunangannya, Pak. Ada apa dengan
Rendi?” Kini Peti sepenuhnya terjaga.
“Pertama-tama,
ijinkan saya memperkenalkan diri dulu!
Saya Rohidi, petugas Polsek Sukmajaya.
Baru saja terjadi kecelakaan lalu lintas yang melibatkan Saudara Rendi
di wilayah kerja saya. Sekarang, Saudara
Rendi berada di RSUD Cibinong. Apakah
Anda bisa ke sana?”
“Kebetulan
saya sedang tugas malam, Pak. Tampaknya
baru bisa ke sana sekitar jam delapan pagi.
Oh ya, bagaimana kondisi tunangan saya?”
“Maaf,
tampaknya tunangan Anda tak bisa tertolong...” Suara Pak Polisi kian samar
terdengar. Peti jatuh pingsan di lantai
ruang jaga dengan suara bergedebug keras, membangunkan Meri dan seorang pasien.
“Perempuan
malang. Tak lama lagi ia akan menyusul
kekasihnya,” kata pasien wanita itu sambil memandang Meri dengan perasaan iba.
*****
Bianca
terlahir normal sebagaimana anak-anak lainnya.
Namun, ada kejadian aneh sewaktu Bianca berusia lima tahun. Ia mengalami penglihatan gaib. Neneknya terlihat berbaju putih lalu terbang
ke langit. Ia juga melihat ibunya pingsan
dalam suatu upacara pemakaman.
“Tak
lama lagi nenek terbang ke surga,” kata Bianca kecil.
“Hush,
jangan ngomong sembarangan! Kondisi
kesehatan nenekmu sangat baik. Lihat,
nenekmu sedang berolah-raga di taman!” kata ibunya sambil mengikatkan pita pink
pada sepasang kunciran Bianca.
“Ayo,
segera berangkat sekolah biar nggak terlambat!” Ibu menggandeng tangan Bianca. Seperti biasa, ibu mengantar Bianca ke
sekolah TK yang letaknya masih di komplek perumahan mereka.
“Nggak
ah, hari ini mau libur dulu, aku kangen nenek.”
Bianca melepaskan pegangan tangan ibunya lalu duduk di kursi teras.
“Bianca,
nanti dimarahi Bu Guru kalau bolos sekolah,” tukas ibu, tak sabar.
“Nggak
bakalan. Bu Guru nanti datang ke sini kok,”
kata Bianca, keras kepala.
Ibu
pun mengalah. Bianca boleh tidak
berangkat sekolah hari itu. Sepanjang
pagi, Bianca membuntuti neneknya. Nenek
yang biasanya galak, kini lebih ramah pada cucunya. Bianca sering dielus dan diciuminya.
Ramalan
Bianca menjadi kenyataan pada pukul
sepuluh pagi. Tiba-tiba, nenek pingsan. Ketika dibawa ke Rumah Sakit Umum, nyawanya
tak tertolong lagi. Nenek wafat dalam
usia limapuluh lima tahun.
Guru-guru
TK dan para tetangga berdatangan ke rumah Bianca sebagai tanda turut
berbela-sungkawa. Kondisi ibunda Bianca
sungguh memprihatinkan. Wanita itu pingsan
saat upacara pemakaman. Persis seperti
penglihatan Bianca.
Sejak
saat itu, tak seorang pun mengabaikan peringatan Bianca. Gadis kecil itu beberapa kali meramalkan
kejadian yang akan datang. Seperti bencana
alam, kecelakaan, bahkan sosok Lurah yang akan terpilih dalam Pemilihan Kepala
Desa. Partai pemenang PEMILU tidak termasuk
obyek ramalan Bianca. Pada tahun
delapanpuluhan, orang awam pun bisa meramal bahwa partai pemenang PEMILU
berikutnya adalah GOLKAR.
Bianca
tumbuh menjadi gadis yang suka menyendiri.
Penyebabnya adalah mimpi-mimpi buruk yang sering dialaminya. Bianca melihat manusia berjalan-jalan di
sebuah lapangan dengan tubuh transparan.
Organ dalam tubuhnya terlihat jelas.
Membuat Bianca muntah-muntah saat terjaga dari tidurnya.
Kebanyakan
orang mengira bahwa nilai-nilai bagus Bianca adalah hasil penerawangan soal ujian yang
akan keluar. Mereka salah sangka. Bianca memang sering melihat peristiwa yang
akan terjadi. Namun, Bianca tak pernah
diperlihatkan soal ujian yang akan keluar.
Hingga ia harus belajar dengan giat seperti siswa lainnya. Bianca remaja belum mahir mengendalikan
penerawangannya.
Bianca
baru bisa mengendalikan penerawangannya setelah berkenalan dengan Bunda Grace,
seorang Juru Ramal terkenal. Saat itu,
Bianca mengantar sahabatnya sejak TK untuk berkonsultasi dengan Bunda Grace.
“Lho,
kenapa nggak konsultasi dengan Bianca saja?
Dia bisa seperti saya kok.” Bunda Grace mengerling pada
Bianca yang duduk sambil membaca majalah di sofa.
Bianca mengalihkan pandangan dari bacaannya saat mendengar namanya disebut. “Kenapa Bunda?” tanya Bianca, bingung.
“Kamu
juga bisa meramal masa depan,” tegas Bunda Grace.
“Tapi,
saya belum bisa mengatur penglihatan,” gumam Bianca.
“Kamu
harus melihatnya dengan perantara. Ada
berbagai perantara sih. Maukah kamu
belajar denganku?” Bunda Grace menatap
Bianca dengan penuh kasih.
Sejak
saat itu, Bianca menjadi murid Bunda Grace.
Ia mempelajari berbagai teknik penerawangan masa depan dengan kartu
tarot, bola kristal dan serbuk teh. Guna
mempertajam mata batin, Bianca harus tirakat di tempat-tempat berenergi superanatural tinggi, juga berpuasa mutih.
Enam
bulan setelah berguru pada Bunda Grace, kemampuan supranatural Bianca meningkat
pesat. Beberapa klien Bunda Grace
dialihkan pada Bianca. Umumnya klien
tersebut puas dengan layanan Bianca.
Tabungan Bianca bertambah.
Akhirnya, Bianca malah keluar dari pekerjaannya di Biro Hukum. Ia ingin fokus pada panggilan hidupnya
sebagai Peramal.
Karir
Bianca kian melejit sewaktu Bunda Grace wafat.
Seluruh klien Bunda Grace kini ditangani Bianca. Sosok Bianca sering muncul di media massa
maupun media elektronik sebagai pengganti Bunda Grace. Maklum saja, Bunda Grace adalah penasehat
spiritual beberapa artis ngetop.
Artis-artis yang kini kerap berkunjung ke rumah Bianca.
“Mama
bisa ganti kerjaan nggak? Diva malu
dibilang anak dukun,” protes Diva, puteri sulungnya yang berusia tigabelas
tahun.
“Jangan
pedulikan ocehan temanmu! Mama bukan
dukun, tapi penasehat spiritual. Berkat
bantuan Mama, orang-orang dapat menentukan arah hidupnya di masa depan,” jelas
Bianca sambil mengelus rambut panjang puterinya.
“Iya
deh, kalau gitu Diva pamit dulu.”
“Pamit
kemana?”
“Belajar
kelompok di rumah Nadya. Diantar pake
motor sama Mang Ari.”
“Pokoknya
kamu nggak boleh mengendarai motor sendiri!” tegas Bianca dengan suara
bergetar. Ia teringat mimpinya beberapa
bulan belakangan ini. Diva berlumuran
darah akibat kecelakaan motor.
“Janji
deh, hanya dibonceng aja!” Diva mengecup pipi mamanya lalu melambaikan tangan
dengan riang.
Diva
berbohong. Siang itu Diva berkomplot
dengan Mang Ari agar mengantarnya sampai ke depan komplek saja. Setelah itu, Diva mengendarai sendiri motor
maticnya. Ia malu pada teman-temannya
bila masih dibonceng Mang Ari.
Kebanyakan temannya sudah mahir mengendarai sepeda motor matic.
Pada
sebuah pertigaan, Diva melanggar lampu lalu lintas. Pelanggaran yang berakibat fatal. Motor Diva dihantam angkot hingga gadis itu
masuk ke bawah truk tronton. Roda-roda
truk menghentikan sejarah hidup Diva di usia tiga belas tahun.
Bianca
menangis histeris saat melihat jenazah anaknya yang berlumuran darah. Ia marah pada dirinya sendiri. Ternyata kemampuannya melihat masa depan tak
mampu mengubah takdir. Anak yang
dicintainya, pergi dengan kondisi mengenaskan.
*****
“Aku
membunuh anakku...aku membunuh anakku,” jerit Bianca. Ia meronta-ronta karena
tubuhnya terikat di tempat tidur. Bila
tidak diikat, Bianca akan melukai dirinya sendiri.
“Buka,
buka tali ini! Aku ingin matiii.”
Jeritan Bianca terdengar hingga beberapa blok dari Bagian Kejiwaan. Mengganggu istirahat malam pasien lainnya.
Suster
Meri menyediakan ampul berisi obat penenang dan menyerahkannya pada Dokter
Sambas. Dokter ahli jiwa itu kemudian
menyuntikan obat penenang melalui selang infus yang tertancap di tangan
Bianca. Beberapa saat kemudian, pasien
sakit jiwa itu tertidur.
“Kasihan
Bu Bianca. Kepandaiannya meramal justeru
menyengsarakan dirinya,” gumam Dokter Sambas.
“Tapi
ramalannya tepat, Dok. Terbukti, Peti
meninggal akibat over dosis obat penenang seperti ramalan Bu Bianca,” bantah
Meri.
Dokter Sambas mengajak
Meri keluar ruangan agar tidak mengganggu istirahat pasien mereka.
“Kamu tahu, mengapa peramal
bisa melihat masa depan?” tanya Dokter Sambas.
Meri menggelengkan kepalanya. “Tidak tahu, Dok.”
“Karena peramal bekerja
sama dengan jin. Jin yang mencuri
informasi dari buku catatan Allah di langit ketujuh.”
“Apaa, peramal bekerja
sama dengan jin?” Meri bergidik ngeri.
“Benar sekali. So, masih mau berhubungan dengan juru ramal?”
“Nggak deh.” Bulu kuduk Meri berdiri. Tidaklah tepat membahas tentang jin pada
pukul duabelas malam.
“Lagipula, sebuah ramalan
jitu tak akan bisa mengubah takdir Allah,” kata Dokter Sambas sambil beranjak
pergi.
“Jangan pergi,
Dok! Saya takut jaga sendirian di sini,”
seru Meri yang ketakutan. Sang Dokter
senior pun tertawa geli.
TAMAT
_____________________________________
Ilustrasi milik antarariau.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar