Rabu, 06 Mei 2015

Dilema Usaha Pertanian

Image result for gambar lahan sayuran 

Karya Non Fiksi oleh Fabina Lovers
Sebenarnya bidang pertanian bukanlah minat saya.  Sejak kecil saya lebih suka memperhatikan manusia dengan berbagai dilema hidupnya.  Apa daya, takdir berkata lain.  Setamat SMA, saya  melanjutkan pendidikan di bidang pertanian.  Semula saya ingin bekerja bukan di bidang pertanian, seperti kebanyakan kakak kelas saya.  Sekali lagi, takdir malah menetapkan saya bekerja di bidang pertanian.   Saya menjadi karyawan pada Satuan Kerja Pemerintah Daerah bidang pertanian.  Kondisi saya sesuai sebuah ayat dalam kitab suci : Boleh jadi kau tidak menyukai sesuatu tapi sesuatu itu baik bagimu.

Lama kelamaan, saya mencintai dunia pertanian.  Apalagi saya ditempatkan di kecamatan sebagai pendata potensi pertanian (tidak sama dengan penyuluh pertanian).  Jadi, saya melihat langsung segala problema petani di lapangan.  Problema yang menyerupai benang kusut.  Apa sajakah problema para petani yang saya temukan di lapangan?

1.    Terjerat Tengkulak
Umumnya petani tidak memiliki cukup modal untuk membeli saprodi (sarana produksi) pertanian seperti pupuk, pembasmi hama, maupun bibit.  Nilai Nominal pembelian saprodi di atas enam juta rupiah untuk lahan setengah hektar.  Akhirnya, petani meminta bantuan modal pada tengkulak.  Perjanjiannya, hasil panen dijual dengan harga sesuai keinginan tengkulak.

Pengepakan timun sebelum dijual ke tengkulak (dok.pribadi)

Tengkulak adalah praktisi prinsip ekonomi nan mumpuni.   Mereka membeli produk pertanian dengan harga murah, lalu menjualnya pada konsumen dengan nilai berkali lipat harga beli.  Misalnya pada komoditi cabe.   Beberapa waktu lalu harga pasaran cabe mencapai  Rp.80.000,00.  Padahal harga di tingkat petani hanya Rp.8000,00 s/d Rp.10.000,00.  Artinya harga pasar empat kali lipat harga tingkat petani.

Pemerintah bukannya tak berupaya melepaskan petani dari jerat tengkulak.  Pada masa orde baru, pernah ada sistem KUT (Kredit Usaha Tani).  Dimana petani dapat meminjam modal pada KUD (Koperasi Unit Desa) dengan sistem pembayaran setelah panen.  Ternyata dana KUT habis namun uangnya tidak kembali.  Karena petani beranggapan dana tersebut bantuan pemerintah, tidak wajib dikembalikan.  Padahal bila dana pinjaman bergulir sesuai ketentuan, petani dapat memanfaatkannya secara berkelanjutan.  Hingga perlahan-lahan dapat melepaskan diri dari jerat tengkulak. 

Hal yang sama terjadi pula pada program PUAP (Peningkatan Usaha Agribisnis Pertanian) pada Orde Reformasi.  Dalam program ini, setiap Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) mendapatkan bantuan dana bergulir sebesar Rp. 100.000.000 (seratus juta) rupiah.  Ternyata dana tersebut tidak bergulir sebagaimana mestinya.   Persepsi petani masih sama dengan masa orde baru, dana bantuan pemerintah tidak perlu dikembalikan.

2.    Tidak Memanfaatkan Alsin dan Prasarana Dari Pemerintah
Setiap tahun Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah memberikan bantuan Alat dan Mesin Pertanian maupun Prasarana Pertanian bagi kelompok tani.  Alat dan Mesin bisa berupa traktor, handspryer, kultivator (pembuat guludan), mesin pencacah bahan kompos (APPO), maupun alat pasca panen.  Sedangkan prasarana pertanian berupa Rumah Kompos, Lumbung, Bangunan Pengolahan Produk Pertanian dan lainnya.

Rumah Kompos (Dok.Pribadi)

Petani mereparasi kultivator yang unjuk kerjanya 
tidak sesuai kondisi lahan (dok.pribadi)


Saya tak paham bagaimana kondisi di wilayah lainnya.  Yang jelas, bantuan Rumah Kompos berikut alat pembuat kompos di wilayah kerja saya tidak terpakai.  Petani beralasan biaya produksi kompos mahal.  Lebih baik membeli daripada membuat sendiri. Demikian pula halnya dengan bantuan alsin kultivator, tidak terpakai karena unjuk kerjanya tidak sesuai kondisi lahan pertanian.  Bila hal yang sama terjadi di belahan lain Indonesia, hitung saja berapa miliar uang negara yang terbuang  akibat pengadaan sarana dan prasarana pertanian tersebut.

3.    Sulitnya Regenerasi Petani
Ada beberapa petani maju di wilayah saya yang menyekolahkan anaknya hingga jenjang perguruan tinggi.  Para anak petani umumnya memilih jurusan di luar pertanian.  Para petani berharap, kelak anak-anaknya bekerja kantoran dengan gaji bulanan yang besar.  Satu sisi, keinginan mereka merubah harkat hidup sangat baik.  Namun keinginan itu menjadi petaka bagi dunia pertanian.  Artinya, tidak terjadi regenerasi petani.  Bila anak-anak petani saja tidak berkeinginan melanjutkan usaha orang tuanya, bagaimana jadinya nasib pertanian di negeri ini?

Image result for gambar dulunya anak petani sekarang kerja kantoran


Saya mendukung visi Pak Presiden untuk mewujudkan swasembada pangan di Indonesia.  Apalagi dengan melibatkan TNI-AD dalam program peningkatan produksi Pajale (Padi-Jagung-Kedele).  Akan tetapi, dengan problema pertanian  sebagaimana saya uraikan di atas, mampukah pemerintah  merealisasikan swasembada pangan dalam waktu dekat?  Adakah praktisi pertanian yang mampu menguraikan benang kusut permasalahan pertanian kita?

Saya ini hanyalah karyawan kroco.  Bukan pembuat kebijakan.  Bersama tulisan ini, saya meminta bantuan pada pihak-pihak yang berkompeten guna menciptakan iklim usaha pertanian yang kondusif dalam mewujudkan swasembada pangan.

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar