Karya Non Fiksi oleh Fabina Lovers
Sebenarnya bidang pertanian bukanlah minat saya. Sejak kecil saya lebih suka memperhatikan
manusia dengan berbagai dilema hidupnya.
Apa daya, takdir berkata lain.
Setamat SMA, saya melanjutkan
pendidikan di bidang pertanian. Semula
saya ingin bekerja bukan di
bidang pertanian, seperti kebanyakan kakak kelas saya. Sekali lagi, takdir malah menetapkan saya
bekerja di bidang pertanian. Saya
menjadi karyawan pada Satuan Kerja Pemerintah Daerah bidang pertanian. Kondisi saya sesuai sebuah ayat dalam kitab suci : Boleh jadi kau tidak menyukai sesuatu tapi sesuatu itu baik bagimu.Lama kelamaan, saya mencintai dunia pertanian. Apalagi saya ditempatkan di kecamatan sebagai pendata potensi pertanian (tidak sama dengan penyuluh pertanian). Jadi, saya melihat langsung segala problema petani di lapangan. Problema yang menyerupai benang kusut. Apa sajakah problema para petani yang saya temukan di lapangan?
1. Terjerat Tengkulak
Umumnya petani tidak memiliki cukup modal untuk membeli
saprodi (sarana produksi) pertanian seperti pupuk, pembasmi hama, maupun bibit. Nilai Nominal pembelian saprodi di atas enam juta rupiah untuk lahan setengah hektar.
Akhirnya, petani meminta bantuan modal pada tengkulak. Perjanjiannya, hasil panen dijual dengan
harga sesuai keinginan tengkulak.
Pengepakan timun sebelum dijual ke tengkulak (dok.pribadi)
Tengkulak adalah praktisi prinsip ekonomi nan mumpuni. Mereka
membeli produk pertanian dengan harga murah, lalu menjualnya pada konsumen
dengan nilai berkali lipat harga beli.
Misalnya pada komoditi cabe. Beberapa waktu lalu harga pasaran cabe mencapai Rp.80.000,00.
Padahal harga di tingkat petani hanya Rp.8000,00 s/d Rp.10.000,00. Artinya harga pasar empat kali lipat harga
tingkat petani.
Pemerintah bukannya tak berupaya melepaskan petani dari jerat
tengkulak. Pada masa orde baru, pernah
ada sistem KUT (Kredit Usaha Tani).
Dimana petani dapat meminjam modal pada KUD (Koperasi Unit Desa) dengan
sistem pembayaran setelah panen.
Ternyata dana KUT habis namun uangnya tidak kembali. Karena petani beranggapan dana tersebut
bantuan pemerintah, tidak wajib dikembalikan.
Padahal bila dana pinjaman bergulir sesuai ketentuan, petani dapat
memanfaatkannya secara berkelanjutan.
Hingga perlahan-lahan dapat melepaskan diri dari jerat tengkulak.
Hal yang sama terjadi pula pada program PUAP (Peningkatan
Usaha Agribisnis Pertanian) pada Orde Reformasi. Dalam program ini, setiap Gabungan Kelompok
Tani (Gapoktan) mendapatkan bantuan dana bergulir sebesar Rp. 100.000.000
(seratus juta) rupiah. Ternyata dana
tersebut tidak bergulir sebagaimana mestinya.
Persepsi petani masih sama dengan masa orde baru, dana bantuan
pemerintah tidak perlu dikembalikan.
2. Tidak Memanfaatkan Alsin dan Prasarana Dari Pemerintah
Setiap tahun Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah
memberikan bantuan Alat dan Mesin Pertanian maupun Prasarana Pertanian bagi
kelompok tani. Alat dan Mesin bisa
berupa traktor, handspryer, kultivator (pembuat guludan), mesin pencacah bahan
kompos (APPO), maupun alat pasca panen.
Sedangkan prasarana pertanian berupa Rumah Kompos, Lumbung, Bangunan
Pengolahan Produk Pertanian dan lainnya.
Rumah Kompos (Dok.Pribadi)
Petani mereparasi kultivator yang unjuk kerjanya
tidak sesuai kondisi lahan (dok.pribadi)
Saya tak paham bagaimana kondisi di wilayah lainnya. Yang jelas, bantuan Rumah Kompos berikut alat
pembuat kompos di wilayah kerja saya tidak terpakai. Petani beralasan biaya produksi kompos
mahal. Lebih baik membeli daripada
membuat sendiri. Demikian pula halnya dengan bantuan
alsin kultivator, tidak terpakai karena unjuk kerjanya tidak sesuai kondisi lahan pertanian. Bila hal yang sama
terjadi di belahan lain Indonesia, hitung saja berapa miliar uang negara yang terbuang akibat pengadaan sarana dan prasarana pertanian tersebut.
3. Sulitnya Regenerasi Petani
Ada beberapa petani maju di wilayah saya yang menyekolahkan
anaknya hingga jenjang perguruan tinggi.
Para anak petani umumnya memilih jurusan di luar pertanian. Para petani berharap, kelak anak-anaknya
bekerja kantoran dengan gaji bulanan yang besar. Satu sisi, keinginan mereka merubah harkat
hidup sangat baik. Namun keinginan itu
menjadi petaka bagi dunia pertanian.
Artinya, tidak terjadi regenerasi petani. Bila anak-anak petani saja tidak berkeinginan
melanjutkan usaha orang tuanya, bagaimana jadinya nasib pertanian di negeri
ini?
Saya mendukung visi Pak Presiden
untuk mewujudkan swasembada pangan di Indonesia. Apalagi dengan melibatkan TNI-AD dalam
program peningkatan produksi Pajale (Padi-Jagung-Kedele). Akan tetapi, dengan problema pertanian sebagaimana saya uraikan di atas, mampukah
pemerintah merealisasikan swasembada
pangan dalam waktu dekat? Adakah
praktisi pertanian yang mampu menguraikan benang kusut permasalahan pertanian
kita?
Saya ini hanyalah karyawan
kroco. Bukan pembuat kebijakan. Bersama tulisan ini, saya meminta bantuan
pada pihak-pihak yang berkompeten guna menciptakan iklim usaha pertanian yang
kondusif dalam mewujudkan swasembada pangan.
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana.
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar