Senin, 29 September 2014

Ibuku dan Para Penggosip


Karya Fiksi oleh Fabina Lovers.
 

Seperti ratusan hari yang telah berlalu, gerombolan ibu-ibu penggosip di depan rumah Bu Tomi memandangi ibuku yang baru pulang kantor.  Tatapan sinis mereka seolah taring hewan buas yang hendak mencabik bangkai mangsanya. 


“Tumben pulangnya sore,” kata Bu Tomi dengan senyum penuh arti.

Ibuku  hanya tersenyum simpul seraya mengangguk kecil.  Ia melangkah cepat menuju rumah kami yang berselisih empat rumah dari markas para penggosip itu.  

Setelah ibuku masuk ke dalam rumah kami, terdengar tawa riuh mereka.  Entah apa yang mereka tertawakan.  Ibuku hanya mengelus dada, kemudian berwudhu untuk menenangkan diri dalam untaian dzikir dan shalawat. Sebenarnya aku sering menawarkan diri untuk menegur rombongan penggosip itu.  Tapi, ibu mencegahku. 

“Percuma Anggi, mereka tak akan pernah menyadari kesalahan mereka.  Biarlah, suatu ketika mereka akan menerima balasan perbuatannya, bukankah Allah telah bersabda dalam surat Al Zalzalah : pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dengan beraneka macam rupa untuk diperlihatkan amal mereka barangsiapa berbuat kebaikan walau sebesar zarah akan mendapat balasannya dan barangsiapa berbuat keburukan walau sebesar zarah akan mendapat balasannya," nasehat ibuku.

Akhirnya aku urung menegur ibu-ibu kurang kerjaan itu.  Walaupun telingaku membara tatkala mendengar tuduhan mereka terhadap ibuku.  ‘Janda genit’. ‘Tukang ngeluyur ke klub malam’. ‘Simpanan Penjabat’.  Semua itu karena ibuku sering pulang malam akibat tuntutan pekerjaannya selaku bendahara proyek.  

Tiga tahun yang lalu, ayah kami tercinta wafat saat sholat isya berjamaah di mushola komplek kami.  Dokter menduga ayah meninggal akibat serangan jantung.  Tapi, ibuku mengatakan bahwa akhir hidup ayah memang serupa itu, walau tanpa penyakit atau kecelakaan.  Ibuku yakin, ayahku menjemput ajalnya dalam keadaan khusnul khotimah.

Sejak itu, roda hidup kami  berputar menuju titik nadir.  Ibuku tak punya pekerjaan juga tak mahir berdagang.  Mobil keluarga dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, juga biaya sekolah kami.  Uang seratusan juta itu hanya bertahan kurang dari setahun.  Karena ibu juga punya kewajiban membayar hutang-hutang ayahku ke rekan bisnisnya. 

Saat tabungan mulai menipis, dan kami terancam kelaparan atau berhenti sekolah, pertolongan Allah menggapai kami. Suatu ketika ibuku menghadiri sebuah majelis taklim. Di sana, beliau memasukkan uangnya yang tak seberapa ke kotak amal dengan ikhlas.  Seusai pengajian, ibu bertemu Tante Mae, teman kuliahnya  di jurusan akutansi.  Tante Mae gembira bertemu ibuku yang merupakan  lulusan terbaik dari jurusan akutansi. 

 Setelah tahu kondisi keuangan ibu, Tante Mae  menawarkannya pekerjaan sebagai bendahara proyek pembangunan gedung-gedung kantor baru milik Pemerintah Daerah yang tendernya dimenangkan oleh suami Tante Mae.  Tentu saja ibuku menerima pekerjaan itu.  Gaji ibu sebagai bendahara proyek cukup menolong keberlangsungan hidup kami.  Walaupun kami tak bisa bermegah-megah seperti saat ayah masih ada.  Ya, setidaknya kami masih bisa memenuhi kebutuhan pokok kami.

Dering HP ibuku yang tergeletak di meja makan membuyarkan lamunananku.  Aku membawakan HP itu pada ibuku yang sedang takzim berzikir.  “Bu, ada telepon dari Tante Mae,” kataku.

“Ya, saya kenal beliau, aapaaa!” ibuku tampak terperanjat.  “Ah, yang benar Mae, apa sudah ada buktinya?” Ibuku beralih ke kamar belakang sehingga aku tak bisa mendengar pembicaraan mereka.  Karena penasaran aku menyusul ibu ke kamar belakang.  Dari balik pintu kamar, aku melihat ibuku mengangguk sambil berkata, “Ya, ini rahasia kita, just wait and see.”

“Ada apa sih bu?” tanyaku penasaran sewaktu ibu keluar kamar.

Ibuku tersenyum misterius. “Nanti juga kamu akan tahu,” kata ibuku sambil beranjak ke dapur.

Rasa penasaranku kian menjadi .”Ayo dong bu, ada apa sih? Kalau penasaran gini aku gak bakal konsen belajar untuk ujian besok,” rayuku dengan suara memelas.

“Ih lebay deh...ini bukan masalah penting untuk kamu. Masak sih anak kuliahan pola pikirnya seperti itu.”Ibu mengacak rambut ikalku sambil tersenyum jahil.

Hih, aku geram melihat polah ibuku.  Sambil menghentakan kaki aku meninggalkan ibu.  Awas ya bu, aku akan mencari tahu rahasia ibu dengan caraku sendiri.

“Gak perlu bersusah payah mencari tahu.  Tak lama lagi semua orang akan tahu rahasia ini.  Bahkan nenek-nenek yang tinggal di desa terpencil pun bisa tahu.” Ibuku seolah bisa membaca pikiranku.

Aku masuk ke kamar dengan membanting pintu.  Kadang ibu bisa sangat menyebalkan.  Apa susahnya sih memberi-tahu informasi dari Tante Mae padaku? Aku bukan tipe wanita penggosip semacam geng Bu Tomi.  Tapi, begitulah tabiat ibuku.  Pantang baginya membocorkan rahasia sekalipun pada anak kandungnya sendiri.

Akhirnya untuk mengembalikan ‘mood’ ku yang berada di bawah titik nol, aku mendengarkan “happy” yang dilantunkan apik oleh Pharell Willian.  Sukses, ‘mood’ku kembali melampaui titik nol.  Sambil berdendang mengikuti irama lagu, aku berlatih hitungan Pengantar Statistik, bahan ujianku besok.

*******************

Wanita bergincu tebal itu menggedor pintu rumah kami penuh napsu.  Aku terburu-buru membukakan pintu ruang tamu.  Sungguh, aku khawatir energi kemarahannya mendobrak pintu ruang tamu kami.  Kasihan ibuku bila terpaksa mengeluarkan uang untuk memperbaikinya.

“Mana ibumu?” Tanya Bu Utay, wanita yang dandanan menornya tak mampu menutupi kerutan di wajahnya.  Ia masih tetangga kami.  Tinggal berselisih satu blok dari kediaman kami.

“Ibu belum pulang kerja.  Silakan masuk, Bu Utay,” tawarku sopan.

“Gak perlu, tolong bilang pada ibumu ya, jangan kirim SMS ke suami saya lagi!  Kalau mau berbuat mesum sama duda saja,  jangan dengan suami orang!” cecar wanita itu dengan suara keras.  

Aku lihat kepala-kepala yang menyembul di jendela ruang tamu para tetangga kami.  Ah, sebentar lagi gerombolan Bu Tomi akan mendapatkan berita hangat terbaru.  Mungkin kalau mereka pemilik stasiun televisi,  kejadian pada sabtu sore ini akan menjadi ‘Headline News’ di saluran TV mereka.

Aku sama sekali tak percaya ibuku mengirim SMS mesum kepada Pak Utay.  Aku tahu ibuku tak menyukai Pak Utay.  Setahun yang lalu, Pak Utay pernah mengirimkan setelan kerja berharga mahal pada ibu, dan setelan itu segera dihibahkan ibu kepada rekan kerjanya. 

“Maaf  Bu,  bisa saya lihat bukti SMS dari ibu saya pada suami Ibu?” tanyaku dengan suara datar.

“Baca nih SMS nya!” Wanita itu menyerahkan sebuah HP android berharga sebulan gaji ibuku.

Yang, maaf, blm bisa ktemuan dulu.  Tapi , aq minta kiriman lagi ya.  Via pos aja ke alamat biasa.  Soal’x rekening tabungan  ada di anakku.. Muach..muach..kiss me red..” Demikian isi SMS dari kontak HP Pak Utay yang mengatasnamakan ibuku.

Tapi, tunggu dulu, ada beberapa kejanggalan dalam pesan singkat itu.  Aku segera paham kalau pesan singkat itu bukan dari ibuku.

“Sudah jelas ‘kan betapa keterlaluannya ibumu,” tukas Bu Utay dengan volume suara maksimal.                              

Huh, seandainya dia punya kendali suara di luar tubuhnya, tentu sudah aku turunkan volume suaranya hingga titik nol. Dalam benakku terbayang Bu Utay yang berteriak-teriak tanpa suara, dan itu sedikit menghiburku.

“Bu, ada tiga hal yang membuat saya yakin kalau SMS ini bukan dari ibu saya.  Pertama, nomor kontaknya bukan milik ibu saya.  Kedua, ibu tak pernah menyebut dirinya ‘aku’.  Ketiga, buku rekening Bank ibu tak pernah disimpan anak-anaknya.  Cukup jelas, bukan?”jelasku dengan suara lantang.
         
“Halah, ibu dan anak sama aja.  Sok alim.  Padahal kelukuannya busuk.” Wanita menor itu sontak membalikkan tubuhnya.  Meninggalkanku tanpa meminta kembali HP android mahal milik suaminya.

“Bu, HP  nya ketinggalan!” seruku pada Bu Utay  yang telah sampai ke jalan di muka rumah kami yang tidak berpagar.  

Pengembang perumahan melarang penghuninya membangun pagar rumah.  Pun demikian komplek perumahan kami tetap aman karena dikelilingi tembok tinggi, dan satu-satunya akses masuk selalu dijaga satpam berdedikasi mumpuni.

 “Ambil aja buat kamu.  Aku malas lihat HP mesum itu,” teriak Bu Utay.          


Sementara itu, ‘geng kepo’ mulai menampakan batang hidungnya.  Seperti dikomando, mereka berjalan menuju rumah  ‘pimpinan laskar gosip’, Nyonya Tomi Sumarmo.  Aku lihat Bu Utay pun mengarahkan langkahnya ke rumah Bu Tomi.  Oh, ini akan menjadi sore yang menggemparkan.  Semoga ibuku kerja lembur sehingga tak menjadi sasaran kemarahan gerombolan penggosip itu.

Doaku terkabul.  Ibuku harus lembur karena akan ada audit keuangan proyek dari BPKP.  Beliau bekerja di kantor sampai jam dua malam.  Alhamdulillah, Tante Mae ikut menemani ibuku di kantor CV.  Ibu pun pulang diantarkan Tante Mae dan suaminya.  Hingga para penggosip yang memutuskan berjaga untuk memata-matai ibuku bisa melihat kalau ibuku  pulang diantar wanita berjilbab dan suaminya.

Keesokan paginya, setelah kami sarapan bubur oatmeal dan jus buah, aku menunjukan pesan singkat di HP Pak Utay pada ibuku.  Seperti dugaanku, ibuku tampak terpukul.

“Ini sungguh keterlaluan.  Astaghfirullah, ibu nggak pernah melakukan perbuatan senista ini.  Minta uang pada suami orang? Puh, lebih baik ibu menjual rumah ini daripada mengemis pada suami orang.  Kamu, kamu percaya ‘kan sama ibu?” tanya ibuku dengan suara bergetar.  Matanya berkaca-kaca.

Aku memeluk tubuh mungil ibuku. “Anggi sangat yakin bukan ibu yang mengirim SMS itu.  Kita lihat saja, nenek-nenek di desa terpencil pun kelak bisa tahu siapa pengirim SMS murahan itu,” kataku seraya mengutip kata-kata ibu tempo hari.

Ibu mencubit gemas kedua pipiku,”Ih, kamu pandai benar menggoda ibumu yang  renta ini,” gerutu ibu sambil tertawa.

“Siapa bilang ibu tua renta.  Ibu masih tampak menarik kok.  Walau gak berdandan menor seperti Bu Utay, ibu terlihat sepuluh tahun lebih muda.  Pantas kalau jadi kakakku,” godaku sambil berlari menjauh.  Khawatir kena cubitan ibu lagi.

“Halah, pinter banget ngerayu, mau minta apa sih sama ibu?” Walau pura-pura marah, mata ibuku terlihat berbinar.  Rupanya pujianku menyenangkan hatinya.

Dari depan pintu kamar aku berbicara pada ibu yang sedang duduk di kursi makan. “Bagaimanapun kejadian ini membawa kebaikan buat kita.  Kata Bu Utay, HP mahal ini untuk Anggi. Dia gak mau lihat HP ini lagi.” Sambil tertawa aku masuk kamar dan mengunci pintunya.  Semoga ibuku tak bersikeras mengembalikan HP ini pada Pak Utay.

******************

Aku sedang bersantap siang di kantin kampus.  Televisi layar datar yang terpasang di dekat meja kasir,  seperti biasanya memancarkan siaran dari salah satu stasiun TV ternama.

“Pemirsa, pukul 13.00  tadi, KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap Kepala Dinas Pendidikan Kota J, Tomi Sumarmo .  Saat ditangkap beliau tengah bersantap siang dengan direktur CV. ABC yang merupakan perusahaan pemenang tender rehabilitasi gedung Sekolah Dasar. 

"KPK menemukan bungkusan uang dalam pecahan rupiah dan dollar Amerika di dalam mobil Tomi. Nilainya mencapai sepuluh milyar rupiah. Uang sejumlah itu diduga sebagai gratifikasi proyek Rehabiltasi Gedung Sekolah dasar.”

Berita  yang dibacakan anchor televisi itu membuatku nyaris tersedak.  Apa? Pak Tomi ditangkap KPK?  Sungguh tak terbayangkan reaksi Bu Tomi, biang gosip komplek kami, bila mendengar berita ini.  Kehidupan pribadinya kini menjadi konsumsi masyarakat luas.  Rupanya inilah rahasia ibuku tempo hari.  Benar kata ibu, aib Bu Tomi bisa diketahui nenek-nenek di desa terpencil yang kebetulan menonton berita ini. 

Aku lantas menelpon ibuku. “Bu, sudah nonton berita televisi?” tanyaku ketika mendengar suara ibu di ujung sana.

“Mana ada waktu untuk nonton TV, Anggi. Hari ini pekerjaan ibu banyak sekali.  Makan siang aja gak sempat.  Tapi, ibu sudah tahu kok isi beritanya.” Terdengar tawa renyah ibuku.

“Ibu, jangan telat makan, nanti sakit!” seruku cemas.

"Maksudnya belum makan nasi.  Ibu bawa bekal roti dan buah kok, tenang saja,” Ibuku kembali tertawa renyah.

"KPK menyegel 5 unit rumah milik Tomi Sumarmo dan keluarganya yang berlokasi di Happines Regency.  Kelima unit rumah tersebut diduga hasil penyalahgunaan wewenang beliau sebagai Kepala Dinas.” Anchor televisi melanjutkan kembali beritanya.  

Aku menyudahi hubungan teleponku pada ibu.  Kini, pengunjung dan pelayan kantin serius menyimak gambar yang ditayangkan televisi.

“Anggi, itu ‘kan komplek tempat tinggal kamu?” Mira, temanku sejak SMA, tiba-tiba telah duduk di sisiku.

Aku mengangguk dan tetap serius menyimak tayangan televisi.  Aku melihat Bu Tomi dan gengnya menangis histeris sewaktu dipaksa keluar dari rumah mereka.

Oh ya, aku belum bercerita kalau anggota geng Bu Tomi adalah para pengontrak rumah milik Bu Tomi.  Keluarga Tomi memang memiliki lima unit rumah di komplek kami.  Empat unit rumah mereka dikontrakan dengan harga murah.  Tujuannya agar Bu Tomi memiliki teman bertukar gosip. Kebanyakan kaum ibu di komplek kami bekerja, hingga Bu Tomi kesepian di rumahnya yang megah.  

Kini mereka terpaksa keluar dari istana gosip mereka.  Entah dimana mereka tinggal nanti?  Walau kesal pada rombongan penggosip itu, hatiku menaruh iba pada mereka.

Malam harinya, kami menerima tamu istimewa, Pak RT dan suami-istri Utay yang tampak salah tingkah.  Ibuku dengan ramah menerima kedatangan mereka dan memintaku membuat minuman untuk mereka.  Tapi, ibuku sempat menyusulku ke dapur.

"Awas, jangan kamu masukan garam ke dalam teh mereka!” tegas ibu.  Waduh, ibu memang piawai membaca pikiranku.

“Ayo Anggi, duduk di sini!” perintah ibu ketika aku selesai menghidangkan minuman untuk tamu-tamu ‘kehormatan’ kami.

Pak RT berdehem sejenak.  “Begini lho Bu Herman, kedatangan saya ke sini untuk mendampingi Bapak dan Ibu Utay.  Beliau-beliau ini hendak memohon maaf pada Ibu,” kata Pak RT.  Sementara suami-istri Utay tertunduk malu, tak berani menatap wajah ibuku.

“Sudah saya maafkan kok. Rupanya pengirim SMS sebenarnya sudah Bu Utay ketahui ya?” tanya Ibu seraya tersenyum pada Bu Utay. 

“Anu Bu, ternyata pengirimnya Jeng Tomi.   Saya kebetulan ada di rumahnya waktu terjadi penggerebekan siang tadi.  HP Jeng Tomi mirip punya saya.  Jadi waktu ada HP tergeletak di meja beranda, saya pikir itu punya saya, lalu saya  masukan HP itu ke saku daster.  

"Sesampainya di rumah, saya baru sadar kalau saya tidak bawa HP ke rumah Jeng Tomi.  Tapi, saya takut mengembalikan HP milik Jeng Tomi.  Bisa-bisa saya dianggap pencuri.  Iseng-iseng saya baca pesan singkat di HP Jeng Tomi.  Ternyata dia punya dua 'simcard', dan semua pesan pada 'simcard' kedua ditujukan pada suami saya dengan mengatasnamakan Bu Herman.” Bu Utay terisak-isak, sulit baginya untuk meneruskan ceritanya. Pak Utay yang duduk di sisinya mengelus-elus lengan istrinya dengan kikuk.

“Diminum dulu tehnya, Bu.  Santai saja.  Saya nggak marah kok.  Wajarlah  seorang istri marah pada wanita yang menggoda suaminya.  Ibu ‘kan tidak tahu kalau ini rekayasa Bu Tomi,” hibur ibuku.

Setelah meneguk tehnya, Bu Utay kembali bercerita. 

“Akhirnya saya tahu kebobrokan moral Bu Tomi.  Harusnya saya curiga sewaktu Bu Tomi mengabarkan Bu Herman sering kirim SMS ke suami saya.  Bagaimana dia bisa tahu? Nggak mungkin Bu Herman menunjukan isi HP ibu padanya. Apalagi Ibu nggak akrab dengan Bu Tomi.  Oh, bodoh sekali saya.  Maafkan kami, Bu Herman.” Bu Utay melanjutkan tangisnya.

Pertemuan malam itu memberikan pemahaman baru bagiku.  Tak perlu membalas kejahatan dengan kejahatan pula.  Bersabarlah, karena Sang Penguasa Semesta akan memberikan balasan sempurna atas berbagai prilaku manusia. 

Malam itu Bu Utay sekali lagi menegaskan bahwa HP mahal suaminya sekarang menjadi milikku.  Mereka berjanji akan membantu biaya sekolah adik-adikku sebagai tanda permohonan maaf.   Ibuku tak boleh menolaknya.  Ternyata, Penguasa Semeta juga menyediakan hadiah indah bagi orang-orang yang bersabar ketika disakiti.


Bogor,  Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar