Karya Fiksi Fabina Lovers
Bagian 2 : Dokumen Rahasia Kakek
Pintu
gudang membuka dengan suara berderit.
Hawa dingin menyergapku. Entah
mengapa gudang yang lama tak disinggahi itu terasa dingin? Padahal tak ada pendingin ruangan di
sana. Samar-samar tercium aroma menyan
yang dulu rutin dibakar kakek setiap malam selasa. Hih, aku merinding. Rasanya ingin cepat-cepat menyelesaikan urusan
ini.
Blak,
pintu menutup sendiri saat aku telah memasuki gudang. Seolah ada tangan halus yang mencegahku
keluar dari sana. Aku berbalik untuk
membuka pintu kembali. Tapi, pintunya
terkunci. Aku kian ketakutan saat benda
kasat mata sedingin es menyentuh punggungku.
“Tolong...tolong...aku
terkunci di gudang, tolong!” Aku memekik-mekik seraya menggedor pintu gudang.
“Tenang, Dek!
Pintunya nggak terkunci kok.”
Beberapa menit kemudian, Anwar muncul di gudang untuk menenangkanku.
“Aku
mau keluar, di sini menyeramkan.” Aku berusaha
membebaskan dari pelukan Anwar.
“Zara,
kamu belum menunaikan amanah kakek.”
“Sabodo teuing, daripada aku mati
ketakutan di sini.”
“Apa
sih yang diinginkan Kakek?”
“Kakek
minta diambilkan kotak kayu dekat tungku menyan.”
“Kayaknya
itu deh kotaknya.” Anwar menunjuk sebuah
kotak di atas meja kayu. Bersisian
dengan tungku menyan yang mengepulkan asap. Rupanya kakek masih setia menyalakan menyan
dalam keterbatasannya.
Aku
mencengkeram lengan Anwar saat kami berjalan di lantai gudang yang terbuat dari
tegel zaman belanda. Ajaib, tegelnya
tampak mengkilap. Mungkin Mbok Sumi yang
mengepelnya atas perintah kakek. Seekor
tikus besar melintasi lantai di hadapan kami.
Aku sontak menjerit karena terkejut.
“Huh,
penakut amat sih!” Anwar melotot gusar
padaku.
“Bukan
takut, tapi kaget, Mas.” Aku balas
memelototi Anwar
Anwar
mengambil sebuah kotak kayu jati yang bagian atasnya selebar map folio dari atas meja. Lapisan tebal debu mengotori
seluruh permukaannya kotak. Anwar menyeka selubung
debu dengan gombal sebelum
menyerahkan kotak itu padaku.
“Pada
penerus perjuangan bangsa, kuserahkan harta berharga ini, dan... aku akan pergi
sekarang.” Anwar berlari keluar gudang
sambil tertawa jahil.
“Mas...mas...jangan
tinggalin aku sendirian di sini!” Aku terseok-seok mengejar Anwar.
Kakek
tampak terharu sewaktu meraba kotak yang aku bawa dari gudang. Sejenak ia dekap kotak itu ke dada tipisnya.
“Isinya
apa sih, Kek?” tanyaku, penasaran.
Kakek
tercenung. “Seragam tentaraku dan sebuah
dokumen rahasia,” jawab kakek, setengah berbisik.
Aku
terkekeh geli. “Ah kakek, kita telah tujuhpuluh tahun merdeka. Mungkin rahasia dalam dokumen itu nggak
penting lagi.”
Sorot
tajam kakek menembus lapisan katarak di kornea matanya. “Kata siapa nggak penting? Dokumen ini masih dicari orang, Nduk.”
“Siapa
yang mencarinya?”
Kakek
terdiam. Napasnya naik-turun, seolah ada
benda berat di dalam rongga dadanya.
“Ada beberapa hal yang nggak perlu kita ketahui. Karena pengetahuan itu justeru akan mencelakakan
kita,” desis kakek.
“Ya
udah, Zara juga nggak terlalu ingin tahu kok.
Jadi, apa tugas Zara berikutnya?”
“Tolong
bakar dokumen ini di halaman belakang.
Jangan coba-coba membaca isinya.
Juga jangan katakan pada siapapun bahwa aku menyimpan dokumen ini.”
“Baik,
Kek.”
Kakek
menyerahkan dokumen yang terbungkus kain blacu padaku. Warna kainnya tak bisa kujelaskan dengan
tepat. Mungkin dulunya berwarna kuning
atau putih gading.
“Ssst
...Zara, kamu dapat tugas apa lagi?” Mas
Anwar membuntutiku ke halaman belakang.
“Kata
kakek, dokumen ini harus segera dibakar.”
“Oh,
sini...sini...!” Dalam sekejap dokumen
rahasia kakek telah berpindah ke tangan Anwar.
“Serahkan
kembali padaku, Mas! Kita nggak boleh
baca isinya!” kataku dengan suara tertahan.
“Kamu
yang dilarang baca. Kalau aku
boleh-boleh aja,” seloroh Anwar.
Kakakku
segera membongkar bungkusan dokumen itu.
Ternyata isinya lima lembar kertas yang telah berwarna kekuningan. Setiap kertas dilapisi plastik berisi kapur
barus. Ah, rupanya dokumen itu
benar-benar penting, hingga kakekku telaten merawatnya.
“Aku
mau memotret kertas-kertas ini. Siapa
tahu bisa merubah sejarah.”
Anwar
menjajarkan sepasang kertas pada meja butut yang terletak di bawah pohon kersen,
dan memotretnya dengan kamera ponsel. Kemudian ia menjejerkan tiga kertas lainnya untuk
dipotret.
“Sudah,
jangan lama-lama ya! Nanti kakek
curiga,” Aku menumpuk semua dokumen
lalu menyomot geretan dari saku kemeja
Anwar.
Karena
sudah lapuk, kesemua kertas itu mudah terbakar.
Hanya berselang beberapa detik, dokumen rahasia kakek telah menjadi abu.
“Alhamdulillah,
aku sudah melaksanakan amanah kakek,” kataku, lega.
“Hm,
kayaknya aku harus membicarakan dokumen ini dengan Aceng.”
“Apa? Mas, jangan coba-coba membicarakan dokumen
itu dengan orang lain! Kata kakek, isinya
berbahaya.”
Anwar
tertawa sumbang. “Ah Zara, kamu ini
kayak anak kecil. Mudah banget
ditakut-takuti orang. Dokumen ini hanya
berisi daftar nama, peta lokasi dan kalimat-kalimat nggak
penting.”
“Terserah
Mas deh. Tanggung sendiri
akibatnya.” Aku meninggalkan Anwar
dengan perasaan gusar.
****
Aku
sedang berada di sebuah taman eksotis.
Anwar juga ada di sana. Dia
terlihat lebih tampan. Anehnya, dia
seolah menghindariku.
“Mas, sombong banget sih!” teriakku seraya
berusaha menjejeri langkah Anwar.
Anwar
tak berhenti. Dia malah melambaikan
tangan dengan gaya khasnya. Huh, aku
kesal sekali. Napasku memburu karena
lelah mengejar Anwar. Sayup-sayup,
terdengar irama lagu Home yang dinyanyikan Michael Buble. Makin lama, lagu itu kian membahana. Bahkan cenderung memekakan telinga. Saat terjatuh
karena tak tahan mendengar suara Michael Buble dalam volume maksimal...
aku terjaga.
Aih,
rupanya ponselku yang berbunyi. Dengan
menyipitkan mata, aku berusaha membaca nama penelepon melalui penerangan lampu
tidur. Aku mendengus saat mengetahui
Ana, pemred majalah tempatku bekerja, yang menelepon. Dia manusia atau robot ya? Kok tengah malam begini belum tidur?
“Ya
Mbak, ada apa?” tanyaku, ketus.
“Zara, udah nonton TV?”
“Ngapain
nonton TV? Ntar desain cover majalah kita
nggak kelar-kelar. Semalaman ini aku
begadang. Baru aja tidur sekitar lima belas menit.”
“Ini
tentang kakakmu Anwar.”
Aku
menegakkan badan. “Ada apa dengan
Anwar?”
“Yang
sabar, ya Zara! Kakakmu terbunuh. Pukul sebelas malam tadi, jasadnya ditemukan
di bantaran Sungai Cikapundung. Seluruh
stasiun TV memberitakannya.”
“Ah,
benar Mbak?” Kantukku mendadak
lenyap. “Kok keluargaku belum kasih
kabar?”
“Pasti
mereka sedang panik. Biar kamu percaya,
coba nyalakan TV sekarang! Oke, met
malam. Aku turut berduka cita.”
Aku
sontak menyalakan televisi layar datar yang terletak di kamarku. Kebetulan stasiun TV tengah menayangkan
rekaman evakuasi jenazah dari Bantaran
Sungai Cikapundung. Para polisi dan petugas medis berseliweran. Seorang polisi
yang menjadi humas Polres Bandung sedang diwawancarai para awak TV.
“Korban
bernama Anwar Margono, merupakan
pemimpin redaksi sebuah tabloid politik terkemuka. Beliau tewas akibat tusukan benda tajam tepat
pada jantungnya. Menurut beberapa saksi
mata, sekitar pukul tujuh malam, korban berjalan bersama seorang pria yang
belum diketahui identitasnya. Hingga
saat ini, tim dari Polres Bandung masih melakukan olah TKP. Sedangkan jenazah korban disemayamkan di ruang
jenazah RS Hasan Sadikin,” jelas Humas Polres Bandung.
Aku
menarik-narik rambutku untuk memastikan bahwa aku tidak sedang bermimpi. Rasa sakit yang ditimbulkan menyadarkanku
akan faktanya. Anwar, kakakku tersayang,
telah menyusul kakek ke alam baka. Tanpa
kusadari, otakku memutar rekaman pembicaraan kakek juga Anwar tempo hari.
“Hm, kayaknya aku
harus membicarakan dokumen ini dengan Aceng.”
“Ada beberapa hal
yang nggak perlu kita ketahui. Karena
pengetahuan itu justeru akan mencelakakan kita,”
- BERSAMBUNG –
Catatan
:
Sabodo teuing = masa bodoh dalam bahasa sunda
Pemred =
pemimpin redaksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar