Selasa, 11 Agustus 2015

Miniseri 2 : Rahasia Kakek


Hasil gambar untuk gambar kegelapan

Karya Fiksi Fabina Lovers
Bagian 2 : Dokumen Rahasia Kakek


Pintu gudang membuka dengan suara berderit.  Hawa dingin menyergapku.  Entah mengapa gudang yang lama tak disinggahi itu terasa dingin?  Padahal tak ada pendingin ruangan di sana.  Samar-samar tercium aroma menyan yang dulu rutin dibakar kakek setiap malam selasa.  Hih, aku merinding.  Rasanya ingin cepat-cepat menyelesaikan urusan ini.

Blak, pintu menutup sendiri saat aku telah memasuki gudang.  Seolah ada tangan halus yang mencegahku keluar dari sana.  Aku berbalik untuk membuka pintu kembali.    Tapi, pintunya terkunci.  Aku kian ketakutan saat benda kasat mata sedingin es menyentuh punggungku.

“Tolong...tolong...aku terkunci di gudang, tolong!” Aku memekik-mekik seraya menggedor pintu gudang.

 “Tenang, Dek!  Pintunya nggak terkunci kok.”  Beberapa menit kemudian, Anwar muncul di gudang untuk menenangkanku.

“Aku mau keluar, di sini menyeramkan.”  Aku berusaha membebaskan dari pelukan Anwar.

“Zara, kamu belum menunaikan amanah kakek.”

Sabodo teuing, daripada aku mati ketakutan di sini.”

“Apa sih yang diinginkan Kakek?”

“Kakek minta diambilkan kotak kayu dekat tungku menyan.”

“Kayaknya itu deh kotaknya.”  Anwar menunjuk sebuah kotak di atas meja kayu.  Bersisian dengan tungku menyan yang mengepulkan asap.  Rupanya kakek masih setia menyalakan menyan dalam keterbatasannya.

Aku mencengkeram lengan Anwar saat kami berjalan di lantai gudang yang terbuat dari tegel zaman belanda.  Ajaib, tegelnya tampak mengkilap.  Mungkin Mbok Sumi yang mengepelnya atas perintah kakek.  Seekor tikus besar melintasi lantai di hadapan kami.  Aku sontak menjerit karena terkejut.

“Huh, penakut amat sih!”  Anwar melotot gusar padaku.

“Bukan takut, tapi kaget, Mas.”  Aku balas memelototi Anwar

Anwar mengambil sebuah kotak kayu jati yang bagian atasnya selebar map folio dari atas meja.  Lapisan tebal debu mengotori seluruh permukaannya kotak.  Anwar menyeka selubung debu dengan gombal sebelum menyerahkan kotak itu padaku.

“Pada penerus perjuangan bangsa, kuserahkan harta berharga ini, dan... aku akan pergi sekarang.”  Anwar berlari keluar gudang sambil tertawa jahil.

“Mas...mas...jangan tinggalin aku sendirian di sini!” Aku terseok-seok mengejar Anwar.

Kakek tampak terharu sewaktu meraba kotak yang aku bawa dari gudang.  Sejenak ia dekap kotak itu ke dada tipisnya.

“Isinya apa sih, Kek?” tanyaku, penasaran.

Kakek tercenung.  “Seragam tentaraku dan sebuah dokumen rahasia,” jawab kakek, setengah berbisik.

Aku terkekeh geli.  “Ah kakek,  kita telah tujuhpuluh tahun merdeka.  Mungkin rahasia dalam dokumen itu nggak penting lagi.”

Sorot tajam kakek menembus lapisan katarak di kornea matanya.  “Kata siapa nggak penting?  Dokumen ini masih dicari orang, Nduk.”

“Siapa yang mencarinya?”

Kakek terdiam.  Napasnya naik-turun, seolah ada benda berat di dalam rongga dadanya.  “Ada beberapa hal yang nggak perlu kita ketahui.  Karena pengetahuan itu justeru akan mencelakakan kita,” desis kakek.

“Ya udah, Zara juga nggak terlalu ingin tahu kok.  Jadi, apa tugas Zara berikutnya?”

“Tolong bakar dokumen ini di halaman belakang.  Jangan coba-coba membaca isinya.  Juga jangan katakan pada siapapun bahwa aku menyimpan dokumen ini.”

“Baik, Kek.”  

Kakek menyerahkan dokumen yang terbungkus kain blacu padaku.  Warna kainnya tak bisa kujelaskan dengan tepat.  Mungkin dulunya berwarna kuning atau putih gading.

“Ssst ...Zara, kamu dapat tugas apa lagi?”  Mas Anwar membuntutiku ke halaman belakang.

“Kata kakek, dokumen ini harus segera dibakar.”

“Oh, sini...sini...!”  Dalam sekejap dokumen rahasia kakek telah berpindah ke tangan Anwar.

“Serahkan kembali padaku, Mas!  Kita nggak boleh baca isinya!” kataku dengan suara tertahan.

“Kamu yang dilarang baca.  Kalau aku boleh-boleh aja,” seloroh Anwar.

Kakakku segera membongkar bungkusan dokumen itu.  Ternyata isinya lima lembar kertas yang telah berwarna kekuningan.  Setiap kertas dilapisi plastik berisi kapur barus.  Ah, rupanya dokumen itu benar-benar penting, hingga kakekku telaten merawatnya.

“Aku mau memotret kertas-kertas ini.  Siapa tahu bisa merubah sejarah.” 

Anwar menjajarkan sepasang kertas pada meja butut yang terletak di bawah pohon kersen, dan memotretnya dengan kamera ponsel.   Kemudian ia menjejerkan tiga kertas lainnya untuk dipotret.

“Sudah, jangan lama-lama ya!  Nanti kakek curiga,”  Aku menumpuk semua dokumen lalu  menyomot geretan dari saku kemeja Anwar.

Karena sudah lapuk, kesemua kertas itu mudah terbakar.  Hanya berselang beberapa detik, dokumen rahasia kakek telah menjadi abu.

“Alhamdulillah, aku sudah melaksanakan amanah kakek,” kataku, lega.

“Hm, kayaknya aku harus membicarakan dokumen ini dengan Aceng.”

“Apa?  Mas, jangan coba-coba membicarakan dokumen itu dengan orang lain!  Kata kakek, isinya berbahaya.”

Anwar tertawa sumbang.  “Ah Zara, kamu ini kayak anak kecil.  Mudah banget ditakut-takuti orang.  Dokumen ini hanya berisi  daftar nama,  peta lokasi dan kalimat-kalimat nggak penting.”

“Terserah Mas deh.  Tanggung sendiri akibatnya.”  Aku meninggalkan Anwar dengan perasaan gusar. 
****

Aku sedang berada di sebuah taman eksotis.  Anwar juga ada di sana.  Dia terlihat lebih tampan.  Anehnya, dia seolah menghindariku.

 “Mas, sombong banget sih!” teriakku seraya berusaha menjejeri langkah Anwar.

Anwar tak berhenti.  Dia malah melambaikan tangan dengan gaya khasnya.  Huh, aku kesal sekali.  Napasku memburu karena lelah mengejar Anwar.  Sayup-sayup, terdengar irama lagu Home yang dinyanyikan Michael Buble.  Makin lama, lagu itu kian membahana.   Bahkan cenderung memekakan telinga.  Saat terjatuh  karena tak tahan mendengar suara Michael Buble dalam volume maksimal... aku terjaga.

Aih, rupanya ponselku yang berbunyi.  Dengan menyipitkan mata, aku berusaha membaca nama penelepon melalui penerangan lampu tidur.  Aku mendengus saat mengetahui Ana, pemred majalah tempatku bekerja, yang menelepon.  Dia manusia atau robot ya?  Kok tengah malam begini belum tidur?

“Ya Mbak, ada apa?” tanyaku, ketus.

“Zara,  udah nonton TV?”

“Ngapain nonton TV?  Ntar desain cover majalah kita nggak kelar-kelar.  Semalaman ini aku begadang.  Baru aja  tidur sekitar lima belas menit.”

“Ini tentang kakakmu Anwar.”

Aku menegakkan badan.  “Ada apa dengan Anwar?”

“Yang sabar, ya Zara!  Kakakmu terbunuh.  Pukul sebelas malam tadi, jasadnya ditemukan di bantaran Sungai Cikapundung.  Seluruh stasiun TV memberitakannya.”

“Ah, benar Mbak?”  Kantukku mendadak lenyap.  “Kok keluargaku belum kasih kabar?”

“Pasti mereka sedang panik.  Biar kamu percaya, coba nyalakan TV sekarang!  Oke, met malam.  Aku turut berduka cita.”

Aku sontak menyalakan televisi layar datar yang terletak di kamarku.  Kebetulan stasiun TV tengah menayangkan rekaman evakuasi jenazah dari  Bantaran Sungai Cikapundung.  Para polisi dan petugas medis berseliweran.  Seorang polisi yang menjadi humas Polres Bandung sedang diwawancarai para awak TV.

“Korban bernama Anwar Margono,  merupakan pemimpin redaksi sebuah tabloid politik terkemuka.  Beliau tewas akibat tusukan benda tajam tepat pada jantungnya.  Menurut beberapa saksi mata, sekitar pukul tujuh malam, korban berjalan bersama seorang pria yang belum diketahui identitasnya.  Hingga saat ini, tim dari Polres Bandung masih melakukan olah TKP.  Sedangkan jenazah korban disemayamkan di ruang jenazah RS Hasan Sadikin,” jelas Humas Polres Bandung.

Aku menarik-narik rambutku untuk memastikan bahwa aku tidak sedang bermimpi.  Rasa sakit yang ditimbulkan menyadarkanku akan faktanya.  Anwar, kakakku tersayang, telah menyusul kakek ke alam baka.  Tanpa kusadari, otakku memutar rekaman pembicaraan kakek juga Anwar tempo hari.

“Hm, kayaknya aku harus membicarakan dokumen ini dengan Aceng.”

“Ada beberapa hal yang nggak perlu kita ketahui.  Karena pengetahuan itu justeru akan mencelakakan kita,”
-      BERSAMBUNG –
Catatan :
Sabodo teuing = masa bodoh dalam bahasa sunda
Pemred = pemimpin redaksi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar