Kamis, 18 Juni 2015

Noktah Hitam Hatiku

Hasil gambar untuk gambar ibu dan anak


Karya Fiksi Fabina Lovers

Apakah yang dimaksud dengan kebahagiaan?  Punya anak yang membanggakan hati?  Suami yang bertanggung-jawab?  Hidup mapan?  Dikelilingi sahabat yang baik dan setia?  Bila demikian kriteria kebahagiaan, maka aku bisa dikategorikan wanita berbahagia.   Setidaknya menurut penglihatan orang lain.

Sebenarnya,  bila aku meneropong lapisan terdalam hatiku, aku akan melihat noktah hitam penghalang kebahagiaanku.   Aku membenci ibuku.  Aku selalu mengharapkan kematiannya.   Dua hal yang kadang membuatku merasa bersalah.  Tak sepatutnya seorang anak mendendam pada ibu kandungnya. Bukankah setiap ibu mempertaruhkan nyawa saat melahirkan anaknya?   Tapi, ibuku memang tak layak dicintai.

“Yusi, lebaran nanti  kau harus ada di rumahku!” Suara ibu terdengar  jelas dan tegas,  walaupun aku tidak mengaktifkan speaker HP.

“Tapi Bu, tahun ini giliran kami berlebaran di rumah orang tua Kang Cepi.  Bukankah tahun lalu kami sudah berlebaran di rumah ibu?”

“Eh... eh... apa aku perlu mengeluarkan kutukan lagi untukmu?”

Aku mengeluh dalam hati.  Rupanya ibu sangat terinspirasi dengan legenda Malin Kundang.  Ia ringan benar melancarkan kutukan pada anak semata wayangnya ini.  Tentunya bila aku melakukan hal-hal yang tidak sesuai keinginannya.

“Kamu belum lupa ‘kan, waktu awal nikah dulu, kamu nggak punya beras berhari-hari gara-gara berkata kasar padaku?” tanya ibuku dengan suara tajam.

“I..iya Bu, saya tak akan pernah melupakan itu.”

Aku heran, mengapa Tuhan merealisasikan kutukan ibu padaku?   Padahal, ibu tak selamanya menjadi pemeluk agama yang taat.   Duapuluh tahun yang lalu, ibuku berselingkuh dengan Pak Engkus, pengacara terkenal di kota kami.  Bahkan ibu meninggalkan ayah dan aku demi menikah dengan Pak Engkus.  Kini, kisah perselingkuhan mereka menjadi buah bibir dari generasi ke generasi.  Asumsiku tak berlebihan. Ketiga anakku mengetahui 'romansa kelam' nenek mereka dari cucu tetangganya ayah.  Memalukan sekali, bukan?

“Kamu kok diam saja?  Lagi mikirin kesalahan ibu di masa lalu, ya?” Ibu seolah bisa membaca pikiranku.

“Nggak juga, Bu.  Ngapain mikir kesalahan orang lain?  Kesalahanku juga banyak kok.”  Aku lihai mengelak tuduhan ibu. Buah dari latihan bertahun-tahun.

“Pokoknya kamu harus berlebaran di rumah Ibu!  Sudah dulu ya, ibu mau buat takjil.  Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam.” 

Aku menghembuskan napas lega saat ibu mengakhiri percakapan teleponnya. Berbicara dengan ibu bagai menghadapi ranjau darat.  Mesti berhati-hati agar tidak celaka.

Bagaimana cara menjelaskan perubahan rencana kami pada ibu mertuaku? Ibu mertuaku sudah membuatkan kue nastar keju kesukaan anak-anakku. Beliau juga merencanakan berbagai kegiatan untuk menyenangkan cucu-cucunya.   Oh, keinginan ibuku akan menyulitkan banyak orang.

“Hm, bagaimana ya?  Aku sulit berpendapat nih,” kata Kang Cepi sewaktu aku menanyakan pendapatnya mengenai permintaan ibu.

“Aku juga berat untuk mengubah rencana, tapi...aku takut efek kutukan ibu,” gumamku.

Kami terdiam saat mendengar suara salam.  Anak-anak baru pulang dari pesantren kilat di masjid.  Belum saatnya mereka tahu bahwa tahun ini kami harus berlebaran di rumah ibuku.

Malam itu aku  mendapat pesan singkat dari bapak tiriku.  Ibuku dirawat di rumah sakit. Kondisinya kritis.  Keesokan harinya, aku berangkat ke rumah sakit dengan disopiri Mang Danang.  Jarak tempuh ke sana lumayan jauh.  Sekitar 100 km dari tempat tinggalku.  Aku tak diijinkan menyetir sendirian oleh suamiku.

Sepanjang perjalanan, aku tersenyum walau hatiku menangis.  Menangis karena merasa bersalah.  Mengapa susah benar menghilangkan noktah hitam hatiku?  Noktah hitam yang ukurannya kian membesar.  Aku berniat menuntaskan seluruh dendamku pada ibu sekarang.  Saat ibuku terbaring tak berdaya.

******

Air mataku menganak sungai.  Padahal aku sedang menghadiri arisan keluarga besar suamiku yang dilaksanakan pada lebaran hari kedua.  Ibu mertua merangkul bahuku, lalu mengajakku ke kamarnya.

“Nak, ibu paham. Tentu berat merayakan idul fitri tanpa kehadiran ibumu.  Tapi, semua ini adalah takdir Illahi.  Berdoalah agar Tuhan mengampuni dosanya dan menerima amal ibadahnya.

“Sekarang, beristirahatlah di kamar ibu!  Tak akan ada yang mengganggumu di sini.  Ibu akan katakan pada semua orang kalau kamu sedang tidak enak badan.”

Mertua meninggalkanku sendirian di kamarnya.  Aku kian tenggelam dalam tangis bahagia.  Ah, aku bukan berbahagia karena ibu sudah meninggal. Kejadian seminggu sebelum ibu berpulanglah penyebabnya.

“Maafkan ibu.  Kamu pasti tak percaya kalau ibu sangat mencintaimu,” kata ibuku dengan suara terbata. 

“Ibu tahu, kamu sakit hati karena ibu telah menghianati ayahmu.  Tapi, ibu tak tahan kalau kamu berlaku kasar pada ibu.  Karenanya, ibu melancarkan kutukan padamu.”

“Nak, inilah bukti cinta ibu padamu.”  Ibu menunjukan bekas luka di dahinya.  “Bekas luka ini terjadi sewaktu ibu menyelamatkan nyawamu.  Waktu kamu berumur dua tahun, kamu hampir ditabrak mobil.”

Aku memeluk ibu dan menciumi bekas lukanya.  “Percayalah Bu, Yusi sangat menyayangi ibu.”

Ibu tersenyum bahagia dalam pelukanku.  Aku pun tersenyum lega.  Noktah hitam di hatiku telah musnah.  Kini, aku adalah wanita yang berbahagia seutuhnya.

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar