Karya Fiksi Fabina Lovers
Apakah yang dimaksud
dengan kebahagiaan? Punya anak yang
membanggakan hati? Suami yang
bertanggung-jawab? Hidup mapan? Dikelilingi sahabat yang baik dan setia? Bila demikian kriteria kebahagiaan, maka aku
bisa dikategorikan wanita berbahagia.
Setidaknya menurut penglihatan orang lain.
Sebenarnya, bila aku meneropong lapisan terdalam
hatiku, aku akan melihat noktah hitam penghalang kebahagiaanku. Aku
membenci ibuku. Aku selalu mengharapkan
kematiannya. Dua hal yang kadang
membuatku merasa bersalah. Tak
sepatutnya seorang anak mendendam pada ibu kandungnya. Bukankah setiap ibu mempertaruhkan nyawa saat melahirkan anaknya? Tapi, ibuku memang tak layak dicintai.
“Yusi, lebaran
nanti kau harus ada di rumahku!” Suara
ibu terdengar jelas dan tegas, walaupun aku tidak mengaktifkan speaker HP.
“Tapi Bu, tahun ini
giliran kami berlebaran di rumah orang tua Kang Cepi. Bukankah tahun lalu kami sudah berlebaran di
rumah ibu?”
“Eh... eh... apa aku
perlu mengeluarkan kutukan lagi untukmu?”
Aku mengeluh dalam
hati. Rupanya ibu sangat terinspirasi
dengan legenda Malin Kundang. Ia ringan
benar melancarkan kutukan pada anak semata wayangnya ini. Tentunya bila aku melakukan hal-hal yang
tidak sesuai keinginannya.
“Kamu belum lupa
‘kan, waktu awal nikah dulu, kamu nggak punya beras berhari-hari gara-gara
berkata kasar padaku?” tanya ibuku dengan suara tajam.
“I..iya Bu, saya tak
akan pernah melupakan itu.”
Aku heran, mengapa
Tuhan merealisasikan kutukan ibu padaku?
Padahal, ibu tak selamanya menjadi pemeluk agama yang taat. Duapuluh tahun yang lalu,
ibuku berselingkuh dengan Pak Engkus, pengacara terkenal di kota kami. Bahkan ibu meninggalkan ayah dan aku demi menikah dengan Pak Engkus. Kini, kisah perselingkuhan mereka menjadi buah bibir dari generasi ke generasi. Asumsiku tak berlebihan. Ketiga anakku mengetahui 'romansa kelam' nenek mereka dari cucu tetangganya ayah. Memalukan sekali, bukan?
“Kamu kok diam
saja? Lagi mikirin kesalahan ibu di masa
lalu, ya?” Ibu seolah bisa membaca pikiranku.
“Nggak juga, Bu. Ngapain mikir kesalahan orang lain? Kesalahanku juga banyak kok.” Aku lihai mengelak tuduhan ibu. Buah dari latihan bertahun-tahun.
“Pokoknya kamu harus
berlebaran di rumah Ibu! Sudah dulu ya,
ibu mau buat takjil.
Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Aku menghembuskan
napas lega saat ibu mengakhiri percakapan teleponnya. Berbicara dengan ibu bagai menghadapi ranjau darat. Mesti berhati-hati agar tidak celaka.
Bagaimana cara
menjelaskan perubahan rencana kami pada ibu mertuaku? Ibu mertuaku sudah membuatkan kue
nastar keju kesukaan anak-anakku. Beliau juga merencanakan berbagai kegiatan untuk menyenangkan
cucu-cucunya. Oh, keinginan ibuku akan menyulitkan banyak orang.
“Hm, bagaimana
ya? Aku sulit berpendapat nih,” kata
Kang Cepi sewaktu aku menanyakan pendapatnya mengenai permintaan ibu.
“Aku juga berat untuk
mengubah rencana, tapi...aku takut efek kutukan ibu,” gumamku.
Kami terdiam saat
mendengar suara salam. Anak-anak baru
pulang dari pesantren kilat di masjid.
Belum saatnya mereka tahu bahwa tahun ini kami harus berlebaran di rumah ibuku.
Malam itu aku mendapat pesan singkat dari bapak
tiriku. Ibuku dirawat di rumah sakit.
Kondisinya kritis. Keesokan harinya, aku
berangkat ke rumah sakit dengan disopiri Mang Danang. Jarak tempuh ke sana lumayan jauh. Sekitar 100 km dari tempat tinggalku. Aku tak diijinkan menyetir sendirian oleh suamiku.
Sepanjang perjalanan, aku tersenyum walau
hatiku menangis. Menangis karena merasa
bersalah. Mengapa susah benar
menghilangkan noktah hitam hatiku?
Noktah hitam yang ukurannya kian membesar.
Aku berniat menuntaskan seluruh dendamku pada ibu sekarang. Saat ibuku terbaring tak berdaya.
******
Air mataku menganak
sungai. Padahal aku sedang menghadiri arisan keluarga besar suamiku yang dilaksanakan pada lebaran hari kedua. Ibu mertua merangkul bahuku,
lalu mengajakku ke kamarnya.
“Nak, ibu paham.
Tentu berat merayakan idul fitri tanpa kehadiran ibumu. Tapi, semua ini adalah takdir Illahi. Berdoalah agar Tuhan mengampuni dosanya dan
menerima amal ibadahnya.”
Mertua meninggalkanku
sendirian di kamarnya. Aku kian
tenggelam dalam tangis bahagia. Ah, aku
bukan berbahagia karena ibu sudah meninggal. Kejadian seminggu sebelum ibu berpulanglah penyebabnya.
“Maafkan ibu. Kamu pasti tak percaya kalau ibu sangat
mencintaimu,” kata ibuku dengan suara terbata.
“Ibu tahu, kamu sakit
hati karena ibu telah menghianati ayahmu. Tapi, ibu tak tahan kalau kamu berlaku kasar pada ibu. Karenanya, ibu melancarkan kutukan padamu.”
“Nak, inilah bukti
cinta ibu padamu.” Ibu menunjukan bekas
luka di dahinya. “Bekas luka ini terjadi
sewaktu ibu menyelamatkan nyawamu. Waktu
kamu berumur dua tahun, kamu hampir ditabrak mobil.”
Aku memeluk ibu dan
menciumi bekas lukanya. “Percayalah Bu,
Yusi sangat menyayangi ibu.”
Ibu tersenyum bahagia dalam pelukanku. Aku pun tersenyum lega. Noktah hitam di hatiku telah musnah. Kini, aku adalah wanita yang berbahagia seutuhnya.
Ibu tersenyum bahagia dalam pelukanku. Aku pun tersenyum lega. Noktah hitam di hatiku telah musnah. Kini, aku adalah wanita yang berbahagia seutuhnya.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar