
Karya Fiksi Fabina Lovers
Pergi ke salon khusus
wanita menjadi ritual relaksasi akhir minggu bagi Nadia. Berbeda dengan kebanyakan wanita yang pergi
ke salon bersama para sahabatnya, Nadia lebih suka ke salon sendirian. Lagipula di kota ini ia tak punya
sahabat. Sahabat-sahabatnya berada nun jauh
di pulau seberang, tempat ia tinggal hingga dua bulan lalu.
Nadia tak pernah membayangkan
dirinya menjadi staff HRD di kantor
pusat perusahaan pertambangan
terkemuka. Kala itu Nadia hanya
ikut-ikutan melamar lowongan kerja
secara online. Ternyata hanya Nadia yang berhasil lolos
seleksi hingga tahap akhir. Para
sahabatnya yang punya Indeks Prestasi Kumulatif di atas Nadia, tersungkur pada tahap awal seleksi. Ya, rejeki tak pernah tertukar. Tak peduli seberapa pintar atau bagusnya
paras wajah anda, bila rejeki anda buruk, maka anda akan berada pada
lapisan terbawah strata sosial
masyarakat.
“Hai, rupanya kita
berjodoh ya.” Wanita jelita berusia tigapuluhan itu menatap Nadia sambil
tersenyum. Tas Hermes original tersampir
di bahunya. Sementara jemari lentiknya
menggenggam kunci mobil.
“Ya, Mbak.” Nadia mengangguk sembari tersipu. Rasanya seperti disapa bidadari yang baru
turun dari langit.
“Kamu udah PO ‘kan? Biasanya hari sabtu gini antriannya panjang
lho.” Wanita cantik itu mengamit lengan Nadia.
“Belum, Mbak. Memangnya ke salon bisa PO juga ya?”
Sang bidadari tertawa
renyah. “Ah, tentu saja kamu belum
tahu. Aku lihat kamu baru beberapa kali
kemari. Boleh PO, Say. Asalkan kamu udah jadi member.”
Mereka memasuki lobi
salon yang dipenuhi wanita berbagai tingkat usia.
Seorang kapster salon menyapa ramah sang bidadari. Rupanya sang wanita rupawan adalah
pelanggan penting mereka.
“Ruangan atas sudah
disiapkan, Mbak. Hari ini bawa berapa
orang teman?” tanya kapster berbusana pink dengan sopan.
“Tiga orang. Ayo Say, kita naik!” Bidadari rupawan
mendorong lembut punggung Nadia. Meminta
gadis itu segera menaiki tangga menuju lantai dua salon.
Nadia tersaruk-saruk di sisi bidadari rupawan. Kepalanya dipenuhi berbagai pertanyaan. Siapakah wanita cantik itu? Apa profesinya? Mengapa dia katakan Nadia temannya padahal
mereka belum saling mengenal?
“Aku harus waspada,”
gumam Nadia. Ini kota besar. Banyak kejahatan bertopeng kebaikan di sini.
“Kamu bilang apa, Say?”
tanya sang bidadari dengan suara riang.
“Ehm, saya belum tahu
nama Mbak.”
“Oh iya, kita belum
kenalan.” Wanita itu menepuk keningnya dengan tangan kiri.
“Namaku
Sally, kamu?”
“Aku Mimi.” Nadia
berbohong.
“Mbak Mimi, kenalin, ini
Imut.” Sally menunjuk seorang wanita bertubuh kekar yang telah menunggu di
lantai atas. Nama Imut tak cocok
untuknya. Harusnya dia bernama Bramanti.
Panggilannya Bram.
“Hai Mimi.” Bramanti eh Imut mengulurkan tangan sambil
tersenyum kaku.
Nadia menyambut uluran
tangan Imut tanpa senyum. Entah mengapa,
sosok Imut menimbulkan ketakutan dalam dirinya.
Nadia sangat ingin menghindari Imut.
“Say, kamu mau perawatan
apa?” Sally yang telah mengenakan kemben bertanya pada Nadia.
“Saya mau refleksi aja
deh,” jawab Nadia, lugas.
“Mbak mau coba paket
perawatan kami? Mumpung lagi promo, Mbak. Diskon 10% untuk perawatan dari ujung
rambut sampai ujung kaki.” Kapster salon berpromosi seraya menunjukan buklet berisi
fasilitas layanan salon.
Nadia menampik sambil
tersenyum. “Lain kali aja Mbak, hari ini
saya nggak punya banyak waktu. Ada janji
dengan teman.”
“Silahkan pake kemben
dulu.” Kapster menyodorkan kemben warna ungu pada Nadia.
“Makasih Mbak. Cuma refleksi kok. Nggak perlu pake kemben,” tolak Nadia. Ia enggan berkemben di hadapan Sally dan
Imut.
“Nggak usah malu-malu,
Say! Badan kamu bagus lho.” Sally
mengamati sekujur tubuh Nadia dengan mata berbinar.
Nadia risih ditatap
seperti itu. Ia sontak menyatakan
keberatannya. “Mbak Sally, tolong jangan
pandangi saya seperti itu! Saya jadi
nggak nyaman.”
Wajah Sally
mengeras. Sorot matanya seperti singa
menghadapi mangsanya. Dalam sekejap,
sikap Sally terhadap Nadia berubah seratus delapan puluh derajat.
“Mut, bawa cewek ini ke
bawah! Biarin dia ngantri di sana. Dasar cewek nggak tahu diri. Udah ditolong malah nginjek kepala.” Bibir mungil berlipstik pink menghamburkan kata-kata pedas.
“Nggak perlu repot-repot
antar saya ke bawah. Dengan senang hati
saya akan pergi dari sini.” Nadia
meninggalkan mereka dengan dagu terangkat.
Sejak saat itu, Nadia beralih ke salon lain untuk relaksasi akhir
minggunya. Toh salon khusus wanita bertebaran
di seluruh penjuru metropolitan.
****
Lagu “One Last Time-Ariana
Grande” yang menjadi ringtone Ponsel
Nadia, berkumandang pada suatu sore.
Saat itu Nadia sedang berendam dalam bathtub. Air mandinya yang beraroma cendana
menghantarkan Nadia ke pulau mimpi.
Nadia pun luput mengangkat Ponselnya yang berulang kali berbunyi.
Satu jam kemudian,
ketika Nadia selesai mandi dan berpakaian, ia mendapati duapuluh panggilan tak
terjawab di Ponselnya. Panggilan dari
nomor tak dikenal.
Ada pula selusin pesan
singkat yang isinya sama : “M’ Nadia, ini Imut. Maaf utk mslh
tempo hr. Sy mo ksh titipan dr almarhmh
M’ Sally. Please, dtg ya ke Monalisa bsok. Tlong ksh tau klo Mbak mo dtg.”
Nadia
terkejut sewaktu mendengar Sally telah tiada.
Ah, maut tak mengenal usia.
Wanita muda dan sehat pun akan berpulang bila waktunya telah tiba.
“Ok, sy k monalisa bsok jam sebelas. Btw kok
tahu nmr sy?” Nadia membalas pesan singkat itu.
“Tau dr kaps monalisa. Dulu Mbak pernah ksh nmr di buku tamu.”
****
Dandanan Imut kali ini
lebih maskulin daripada saat pertemuan pertama mereka. Ia mengenakan jeans dan t’shirt polo. Topi baseball menutupi rambut cepaknya.
“Terima kasih Mbak mau datang.” Imut menyalami Nadia.
“Kayaknya nggak enak ngobrol di sini. Bagaimana kalau
kita pindah ke kafe depan aja. Kebetulan lagi sepi,”
usul Nadia.
Sejurus kemudian, mereka
telah menempati kursi yang nyaman di pojok kafe. Nadia memesan Vanilla Latte, sedangkan Imut
memesan espresso tanpa gula. Wow, Imut
memang cewek macho.
“Almarhumah sakit apa?”
tanya Nadia.
“Dia bunuh diri,” jawab
Imut dengan suara serak.
“Oh, saya ikut berduka
cita.” Nadia kehilangan kata-kata. Untuk sesaat kebisuan membekukan mereka.
“Kasihan Sally, dia terserang
depresi berat waktu tahu suaminya memanfaatkan kelemahannya.”
“Oh, wanita cantik yang
malang.” Nadia bisa merasakan kepiluan
Sally.
“Mungkin Mbak Nadia
belum tahu, Sally menderita Bipolar sejak berumur duabelas tahun. Pernah dengar tentang Bipolar?”
Nadia menggeleng. Dia awam dengan segala jenis penyakit
kejiwaan.
“Bipolar adalah sejenis gangguan
mental dimana penderitanya mengalami emosi jiwa yang sangat berlawanan. Kadang ia begitu penuh semangat hidup hingga
sulit tidur, keadaan ini disebut Fase Manik.
Namun beberapa saat kemudian ia kehilangan gairah hidup bahkan ingin bunuh
diri, keadaan ini disebut Fase Depresi.”
“Oh, kalau begitu kita
juga bisa dikatakan Bipolar. Bukankah
semua manusia pernah merasakan emosi tersebut?” Nadia mengerutkan kening karena
belum paham.
“Tentu saja setiap
manusia pernah merasa gembira atau sedih.
Tapi penderita bipolar mengalami kegembiraan dan kesedihan dalam kadar
yang berlebihan. Bahkan perubahan emosi
mereka bisa berlangsung dalam hitungan menit.”
“Kenapa Mbak Sally nggak
berobat?”
“Almarhumah ibunya yang
rajin mengingatkan Sally minum obat.
Beliau juga membawa Sally ke tempat terapi sinar dan yoga seminggu
sekali.”
“Kapan ibunya meninggal?”
“Setahun yang lalu. Sejak
itu, Sally bagai layang-layang putus tali.
Suaminya nggak bisa diandalkan.
Padahal dia hidup dari penghasilan Sally. Huh!”
“Maaf, apa profesi Mbak
Sally?”
“Sally anak tunggal
pemilik saham mayoritas pada beberapa perusahaan produktif. Saat kedua orang tuanya tiada, Sally yang
mewarisi seluruh saham itu. Deviden
saham keluarga mereka mencapai puluhan juta setiap bulannya. Kau lihat, Sally dan suaminya nggak perlu bekerja
untuk hidup layak.”
Nadia terlihat ragu
sebelum bertanya. “Mungkin saya terkesan
kepo. Mmm, apa yang dilakukan suaminya
hingga Mbak Sally bunuh diri?”
Imut menjadi
emosional. Matanya berkaca-kaca. Bibirnya yang tersaput lipgloss gemetaran.
“Oh, tak usah
dijelaskan. Maafkan saya.” Nadia merasa bersalah.
“Keparat itu tahu,
libido Sally memuncak saat ia berada pada fase Manik. Sally sanggup berhubungan intim berkali-kali
dalam sehari. Tak peduli dengan lawan
mainnya. Dan...keparat itu menjual
isterinya sendiri.” Imut terisak-isak. “Sally
depresi ketika seseorang mengirimi video dirinya sedang berbuat mesum
dengan tiga orang pria. Orang itu
mengancam akan menyebarkan video Sally bila ia tak mau memberinya uang sebanyak
lima milyar rupiah.”
“Astaghfirullah...”
Nadia membelalakan matanya. Cerita Imut
sangat mengguncang nuraninya.
“Oh Sally-ku yang cantik
namun malang.” Imut terlihat sangat
berduka. Nadia menduga ada hubungan
kasih sejenis antara Imut dan Sally.
Ponsel milik Imut
bernyanyi. “Halo Mas, aku ada di kafe seberang.
Meja pojok,” kata Imut pada peneleponnya.
Sejurus kemudian,
seorang pria gagah memasuki kafe. Pria
itu menggendong pemuda cilik berusia sekitar dua tahun.
“Mama...mama...” Sang
bocah mengapaikan lengan mungilnya pada Imut.
Imut menghampiri mereka
lalu menggendong sang bocah. “Hei jagoan
mama, udah nggak sabar mau main di gamezone
ya?” Imut menciumi anaknya penuh kasih
sayang.
Sepasang mata Nadia kian
membelalak. Takjub akan pemandangan di hadapannya. Ternyata Imut punya suami dan anak. Bahkan mereka tampak bahagia.
Imut meletakan sebuah
kotak di meja kafe. “Oh ya Mbak Nadia, ini warisan perhiasan dari
Sally untuk Mbak. Desainnya agak aneh. Kalau Mbak nggak suka, jual saja! Maaf, saya nggak
bisa nemenin Mbak lebih lama. Si Dido
udah nggak sabar mau main di gamezone.
Sampai ketemu lagi.” Sepasang suami
isteri itu berlalu dari hadapan Nadia sambil melempar senyum ceria.
Nadia terburu-buru menghabiskan latte-nya. Pikirannya kacau.
Ia berniat ke salon untuk relaksasi.
Tapi, dia enggan kembali ke salon Monalisa. Siapa tahu ada pelanggan
aneh lainnya di sana?
- T A M A T -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar