Selasa, 28 Juli 2015

Berawal di Salon


Karya Fiksi Fabina Lovers


Pergi ke salon khusus wanita menjadi ritual relaksasi akhir minggu bagi Nadia.  Berbeda dengan kebanyakan wanita yang pergi ke salon bersama para sahabatnya, Nadia lebih suka ke salon sendirian.  Lagipula di kota ini ia tak punya sahabat.  Sahabat-sahabatnya berada nun jauh di pulau seberang, tempat ia tinggal hingga dua bulan lalu. 

Nadia tak pernah membayangkan dirinya menjadi staff HRD di  kantor pusat perusahaan pertambangan terkemuka.  Kala itu Nadia hanya ikut-ikutan  melamar lowongan kerja secara online.  Ternyata hanya Nadia yang berhasil lolos seleksi hingga tahap akhir.  Para sahabatnya yang punya Indeks Prestasi Kumulatif di atas Nadia,  tersungkur pada tahap awal seleksi.   Ya, rejeki tak pernah tertukar.  Tak peduli seberapa pintar atau bagusnya paras wajah anda, bila rejeki anda buruk, maka anda akan berada pada lapisan  terbawah strata sosial masyarakat.

“Hai, rupanya kita berjodoh ya.” Wanita jelita berusia tigapuluhan itu menatap Nadia sambil tersenyum.  Tas Hermes original tersampir di bahunya.  Sementara jemari lentiknya menggenggam kunci mobil.

“Ya, Mbak.”  Nadia mengangguk sembari tersipu.  Rasanya seperti disapa bidadari yang baru turun dari langit.

“Kamu udah PO ‘kan?  Biasanya hari sabtu gini antriannya panjang lho.” Wanita cantik itu mengamit lengan Nadia.

“Belum, Mbak.  Memangnya ke salon bisa PO juga ya?”

Sang bidadari tertawa renyah.  “Ah, tentu saja kamu belum tahu.  Aku lihat kamu baru beberapa kali kemari.  Boleh PO, Say.  Asalkan kamu udah jadi member.”

Mereka memasuki lobi salon yang dipenuhi wanita berbagai tingkat usia.  Seorang kapster salon menyapa ramah sang bidadari.  Rupanya sang wanita rupawan adalah pelanggan penting mereka.

“Ruangan atas sudah disiapkan, Mbak.  Hari ini bawa berapa orang teman?” tanya kapster berbusana pink dengan sopan.

“Tiga orang.  Ayo Say, kita naik!” Bidadari rupawan mendorong lembut punggung Nadia.  Meminta gadis itu segera menaiki tangga menuju lantai dua salon.

Nadia  tersaruk-saruk di sisi bidadari rupawan.   Kepalanya dipenuhi berbagai pertanyaan.  Siapakah wanita cantik itu?  Apa profesinya?  Mengapa dia katakan Nadia temannya padahal mereka belum saling mengenal?

“Aku harus waspada,” gumam Nadia.  Ini kota besar.  Banyak kejahatan bertopeng kebaikan di sini.

“Kamu bilang apa, Say?” tanya sang bidadari dengan suara riang.

“Ehm, saya belum tahu nama Mbak.”

“Oh iya, kita belum kenalan.” Wanita itu menepuk keningnya dengan tangan kiri.    

“Namaku  Sally, kamu?”

“Aku Mimi.” Nadia berbohong. 

“Mbak Mimi, kenalin, ini Imut.” Sally menunjuk seorang wanita bertubuh kekar yang telah menunggu di lantai atas.  Nama Imut tak cocok untuknya.  Harusnya dia bernama Bramanti. Panggilannya Bram.

“Hai Mimi.”  Bramanti eh Imut mengulurkan tangan sambil tersenyum kaku.

Nadia menyambut uluran tangan Imut tanpa senyum.  Entah mengapa, sosok Imut menimbulkan ketakutan dalam dirinya.  Nadia sangat ingin menghindari Imut.

“Say, kamu mau perawatan apa?” Sally yang telah mengenakan kemben bertanya pada Nadia.

“Saya mau refleksi aja deh,” jawab Nadia, lugas.

“Mbak mau coba paket perawatan kami? Mumpung lagi promo, Mbak. Diskon 10% untuk perawatan dari ujung rambut sampai ujung kaki.” Kapster salon berpromosi seraya menunjukan buklet berisi fasilitas layanan salon.

Nadia menampik sambil tersenyum.  “Lain kali aja Mbak, hari ini saya nggak punya banyak waktu.  Ada janji dengan teman.”

“Silahkan pake kemben dulu.” Kapster menyodorkan kemben warna ungu pada Nadia.

“Makasih Mbak.  Cuma refleksi kok.  Nggak perlu pake kemben,” tolak Nadia.  Ia enggan berkemben di hadapan Sally dan Imut.

“Nggak usah malu-malu, Say!  Badan kamu bagus lho.” Sally mengamati sekujur tubuh Nadia dengan mata berbinar. 

Nadia risih ditatap seperti itu.  Ia sontak menyatakan keberatannya.  “Mbak Sally, tolong jangan pandangi saya seperti itu!  Saya jadi nggak nyaman.”

Wajah Sally mengeras.  Sorot matanya seperti singa menghadapi mangsanya.  Dalam sekejap, sikap Sally terhadap Nadia berubah seratus delapan puluh derajat.

“Mut, bawa cewek ini ke bawah!  Biarin dia ngantri di sana.  Dasar cewek nggak tahu diri.  Udah ditolong malah nginjek kepala.”  Bibir mungil berlipstik pink  menghamburkan kata-kata pedas.

“Nggak perlu repot-repot antar saya ke bawah.  Dengan senang hati saya akan pergi dari sini.”  Nadia meninggalkan mereka dengan dagu terangkat.   Sejak saat itu, Nadia beralih ke salon lain untuk relaksasi akhir minggunya.   Toh salon khusus wanita bertebaran di seluruh penjuru metropolitan.

****

Lagu “One Last Time-Ariana Grande” yang menjadi ringtone Ponsel Nadia, berkumandang pada suatu sore.  Saat itu Nadia sedang berendam dalam bathtub.  Air mandinya yang beraroma cendana menghantarkan Nadia ke pulau mimpi.  Nadia pun luput mengangkat Ponselnya yang berulang kali berbunyi.

Satu jam kemudian, ketika Nadia selesai mandi dan berpakaian, ia mendapati duapuluh panggilan tak terjawab di Ponselnya.  Panggilan dari nomor tak dikenal.   

Ada pula selusin pesan singkat yang isinya sama :M’ Nadia, ini Imut.  Maaf utk mslh tempo hr.  Sy mo ksh titipan dr almarhmh M’ Sally.  Please, dtg ya ke  Monalisa bsok.  Tlong ksh tau klo Mbak mo dtg.”

Nadia terkejut sewaktu mendengar Sally telah tiada.  Ah, maut tak mengenal usia.  Wanita muda dan sehat pun akan berpulang bila waktunya telah tiba.

Ok, sy k monalisa bsok jam sebelas. Btw kok tahu nmr sy?” Nadia membalas pesan singkat itu.

Tau dr kaps monalisa.  Dulu Mbak pernah ksh nmr di buku tamu.

****
Dandanan Imut kali ini lebih maskulin daripada saat pertemuan pertama mereka.  Ia mengenakan jeans dan t’shirt polo.  Topi baseball menutupi rambut cepaknya. 

 “Terima kasih Mbak mau datang.”  Imut menyalami Nadia. 

“Kayaknya nggak enak ngobrol di sini.  Bagaimana kalau kita pindah ke kafe depan aja.  Kebetulan lagi sepi,” usul Nadia.

Sejurus kemudian, mereka telah menempati kursi yang nyaman di pojok kafe.  Nadia memesan Vanilla Latte, sedangkan Imut memesan espresso tanpa gula.  Wow, Imut memang cewek macho.

“Almarhumah sakit apa?” tanya Nadia.

“Dia bunuh diri,” jawab Imut dengan suara serak.

“Oh, saya ikut berduka cita.”  Nadia kehilangan kata-kata.  Untuk sesaat kebisuan membekukan mereka.

“Kasihan Sally, dia terserang depresi berat waktu tahu suaminya memanfaatkan kelemahannya.”

“Oh, wanita cantik yang malang.”  Nadia bisa merasakan kepiluan Sally.

“Mungkin Mbak Nadia belum tahu, Sally menderita Bipolar sejak berumur duabelas tahun.  Pernah dengar tentang Bipolar?”

Nadia menggeleng.  Dia awam dengan segala jenis penyakit kejiwaan.

“Bipolar adalah sejenis gangguan mental dimana penderitanya mengalami emosi jiwa yang sangat berlawanan.  Kadang ia begitu penuh semangat hidup hingga sulit tidur, keadaan ini disebut Fase Manik.  Namun beberapa saat kemudian ia kehilangan gairah hidup bahkan ingin bunuh diri, keadaan ini disebut Fase Depresi.”

“Oh, kalau begitu kita juga bisa dikatakan Bipolar.  Bukankah semua manusia pernah merasakan emosi tersebut?” Nadia mengerutkan kening karena belum paham.

“Tentu saja setiap manusia pernah merasa gembira atau sedih.  Tapi penderita bipolar mengalami kegembiraan dan kesedihan dalam kadar yang berlebihan.  Bahkan perubahan emosi mereka bisa berlangsung dalam hitungan menit.”

“Kenapa Mbak Sally nggak berobat?”

“Almarhumah ibunya yang rajin mengingatkan Sally minum obat.  Beliau juga membawa Sally ke tempat terapi sinar dan yoga seminggu sekali.”

“Kapan ibunya meninggal?”

“Setahun yang lalu. Sejak itu, Sally bagai layang-layang putus tali.  Suaminya nggak bisa diandalkan.  Padahal dia hidup dari penghasilan Sally.  Huh!”

“Maaf, apa profesi Mbak Sally?”

“Sally anak tunggal pemilik saham mayoritas pada beberapa perusahaan produktif.  Saat kedua orang tuanya tiada, Sally yang mewarisi seluruh saham itu.  Deviden saham keluarga mereka mencapai puluhan juta setiap bulannya.  Kau lihat, Sally dan suaminya nggak perlu bekerja untuk hidup layak.”

Nadia terlihat ragu sebelum bertanya.  “Mungkin saya terkesan kepo.  Mmm, apa yang dilakukan suaminya hingga Mbak Sally bunuh diri?”

Imut menjadi emosional.  Matanya berkaca-kaca.  Bibirnya yang tersaput lipgloss gemetaran.

“Oh, tak usah dijelaskan.  Maafkan saya.”  Nadia merasa bersalah.

“Keparat itu tahu, libido Sally memuncak saat ia berada pada fase Manik.  Sally sanggup berhubungan intim berkali-kali dalam sehari.  Tak peduli dengan lawan mainnya.  Dan...keparat itu menjual isterinya sendiri.”  Imut terisak-isak. “Sally depresi ketika seseorang mengirimi video dirinya sedang berbuat mesum dengan tiga orang pria.  Orang itu mengancam akan menyebarkan video Sally bila ia tak mau memberinya uang sebanyak lima milyar rupiah.”

“Astaghfirullah...” Nadia membelalakan matanya.  Cerita Imut sangat mengguncang nuraninya. 

“Oh Sally-ku yang cantik namun malang.”  Imut terlihat sangat berduka.  Nadia menduga ada hubungan kasih sejenis antara Imut dan Sally.

Ponsel milik Imut bernyanyi. “Halo Mas, aku ada di kafe seberang.  Meja pojok,” kata Imut pada peneleponnya.

Sejurus kemudian, seorang pria gagah memasuki kafe.  Pria itu menggendong pemuda cilik berusia sekitar dua tahun.

“Mama...mama...” Sang bocah mengapaikan lengan mungilnya pada Imut.

Imut menghampiri mereka lalu menggendong sang bocah.  “Hei jagoan mama, udah nggak sabar mau main di gamezone ya?” Imut menciumi anaknya  penuh kasih sayang.

Sepasang mata Nadia kian membelalak.  Takjub akan pemandangan di hadapannya.  Ternyata Imut punya suami dan anak.  Bahkan mereka tampak bahagia.

Imut meletakan sebuah kotak di meja kafe. “Oh ya Mbak Nadia, ini warisan perhiasan dari Sally untuk Mbak. Desainnya agak aneh.  Kalau Mbak nggak suka, jual saja!  Maaf, saya nggak bisa nemenin Mbak lebih lama.  Si Dido udah nggak sabar mau main di gamezone. Sampai ketemu lagi.”  Sepasang suami isteri itu berlalu dari hadapan Nadia sambil melempar senyum ceria.

Nadia terburu-buru menghabiskan latte-nya.  Pikirannya kacau. Ia berniat ke salon untuk relaksasi.  Tapi, dia enggan kembali ke salon Monalisa. Siapa tahu ada pelanggan aneh lainnya di sana?  

- T A M A T -

Ilustrasi milik www.angieslist.com

Sumber inspirasi : 

Tentang wanita bipolar silahkan klik di sini

Tentang suami yang mengekspoitasi isteri klik ini 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar