Minggu, 08 Maret 2015

Obsesi Sarah



Image result for gambar muslimah menulis
Karya Fiksi Fabina Lovers

Sebuah notes bergambar Hello Kitty adalah teman setia Sarah.  Kemana pun gadis jelita itu pergi, Notes Hello Kitty senantiasa menemaninya.  Agaknya Sarah lebih memilih ketinggalan dompet daripada notes keramat itu.

Mengapa Sarah demikian lekat pada notes warna pink kumal itu?  Rupanya notes itu berkaitan erat dengan obsesi Sarah, menjadi pengarang terkenal.  Pada notes itulah Sarah menuliskan ide-ide yang berdesakan di benaknya.

Sebelum masuk pesantren, Sarah sering berkunjung ke taman bacaan di dekat rumahnya.  Tentunya dengan sembunyi-sembunyi.  Umi dan Abah akan memarahinya bila ketahuan membaca cerita-cerita fiksi.  Menurut kedua orang tuanya, cerita fiksi hanyalah hayalan menyesatkan.  Membuat manusia cinta dunia dan lupa akhirat. 

“Perbanyaklah membaca Kitab Kuning!  Jangan membuang kesempatan hidupmu dengan membaca kitab tak berguna!” nasehat Abah sewaktu Sarah kedapatan membaca novel karya Kang Abik.

Sebenarnya Sarah ingin membela diri.  Menyatakan novel sastera gubahan Kang Abik membuatnya lebih mengingat akhirat daripada Kitab Kuning.   Mungkin Abahnya belum tahu.  Beberapa kitab kuning adalah gubahan Snoug Hurgronje.  Seorang orientalis Belanda yang menguasai Bahasa dan Sastera Arab. Ia mengarang Kitab Berbahasa Arab yang menyelewengkan akidah Islam.  Akibatnya muncul paham keagamaan baru di Indonesia.  Persatuan Bangsa pun terkoyak.  Politik Tuan Hurgronje berhasil menempatkan Belanda sebagai penguasa Indonesia selama 350 tahun. 

Menurut Sarah, pesan-pesan moral yang disampaikan melalui cerita lebih mengena daripada ceramah agama.   Fitrah manusia menyukai cerita.  Tapi, menyampaikan argumentasi demikian bisa dianggap melawan  Abahnya.   Sarah enggan diasingkan seluruh anggota keluarga karena melawan orang tua.

Pagi itu, matahari bersinar malu-malu di balik awan mendung.  Burung-burung seolah enggan bernyanyi.  Meskipun suasana pagi muram, Sarah tetap bersemangat.  Gadis berkacamata itu tekun menuliskan sesuatu di beberapa lembar kertas bekas ulangan sambil bersandar di sebatang pohon jati.

“Kamu ngapain, Sarah?” tegur Rohmah, seorang seniornya.

Sarah salah tingkah.  Ia berusaha menyembunyikan kertas yang baru terisi separuhnya.

“Bikin surat cinta ya?  Hati-hati, kalau ketahuan ustadzah kamu bisa kena hukuman.  Bukankah ada peraturan santriwati nggak boleh pacaran?  Kalau sudah siap nikah, mending bilang ke ustadzah aja.  Biar dicarikan jodoh.”   Rohmah berusaha merebut kertas yang disembunyikan Sarah di balik punggungnya.

Akhirnya Sarah menyerahkan kertas berisi tulisannya pada Rohmah.  Ya, daripada dituduh pacaran.

Rohmah sontak membaca tulisan Rohmah.  Sejurus kemudian, santriwati senior itu tertawa.  “Aduh Sarah, kok bisa-bisanya menggambarkan bidadari hitam manis.  Sepengetahuanku bidadari itu putih, berkulit bersih dan berwajah cantik.”

“Ini dia nih, pengkultusan hakikat bidadari.  Seolah yang putih selalu lebih  mulia.  Padahal dalam sejarah Islam, ada beberapa tokoh berkulit hitam yang terkenal dengan kemuliaan ahlaknya.  Sebut saja Bilal bin Rabah, muadzin pertama yang mendapat jaminan surga.  Juga Siti Hajar, ibunda Nabi Ismail yang terkenal dengan kegigihannya dalam menjalankan perintah Allah.  Jadi, masihkah kita beranggapan semua bidadari berkulit putih?” urai Sarah dengan gaya berorasi.

“Subhanallah,” ujar Rohmah.  Gadis itu mengagumi orisinalitas pemikiran Sarah.   Adik kelasnya menyampaikan argumentasinya secara tegas namun tak terkesan arogan.  Pantaslah Sarah selalu menjuarai lomba pidato antar pesantren.

“Dek, kayaknya kamu berbakat nulis.  Coba ketik di komputer lalu diprint!   Abangku jadi redaktur koran di Jakarta.  Nanti aku kirim karyamu kepada Abangku.  Siapa tahu bisa dimuat di kolom Cerpen Minggu,” saran Rohmah.

Tiba-tiba Sarah tertawa hingga mengeluarkan air mata.  “Aduh Kakak Rohmah ini, memangnya di pesantren kita ada komputer?  Terus kalau mau mengetik di rental, bagaimana cara minta ijinnya?  Apa boleh?  Di rental banyak lelaki iseng lho.”

“Benar juga ya,” kata Rohmah sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. 

Tiba-tiba Rohmah mendapat ide.   “Gini aja, Dek.  Kamu tulis karangan kamu sampai selesai dengan tulisan yang bagus!  Nanti aku kirimkan ke Abangku.   Biar Abangku yang mengetik di komputer.”

Suara bedug tanda para santriwati harus kembali masuk kelas, bergema di seluruh penjuru pesantren.  Sarah dan Rohmah menyudahi obrolan mereka.

Beberapa bulan kemudian,  Rohmah berlari menghampiri Sarah yang sedang menikmati makan siang di Ruang Makan Santri.  Tangannya mengacungkan sebuah Koran Minggu terbitan Jakarta. 

“Sarah, alhamdulillah karanganmu di muat,” kata Rohmah dengan napas terengah.   Santriwati itu membuka halaman tengah koran yang memampangkan Cerpen dengan ilustrasi perempuan hitam bersayap putih kemilau.  Nama Sarah terpahat manis di bawah gambar bidadari hitam.

“Subhaballah, beneran ini Kak?” Sarah mencuci tangannya di kobokan.  Ia baru saja menyantap ikan jambal balado memakai tangan.  Mulutnya mendesis-desis kepedasan.

Sarah membaca karangannya yang dimuat di koran dengan perasaan tak menentu.  Ada rasa senang, tak percaya sekaligus gelisah.  Apa pendapat orang tuanya bila mengetahui anaknya mengarang fiksi?  Bisa saja Sarah dimasukan dalam kelompok orang-orang yang melalaikan agama.

Dengan mimik ketakutan, Sarah melihat sekeliling Ruang Makan.  Hafidzah, sepupunya, sedang khusuk menyantap makan siangnya di ujung meja panjang.  Gadis manis itu tak mendengar percakapan Sarah dan Rohmah.

“Sst... Kak Rohmah.  Kita ke pohon jati di dekat lapangan olahraga, yuk!  Ada yang hendak aku sampaikan.  Kalau bisa, nggak usah heboh tentang karanganku yang dimuat di koran.  Biar hafidzah nggak tahu.”  Sarah menyerahkan koran pada Rohmah lalu melangkah tenang keluar ruang makan.  Rohmah mengikuti Sarah dengan ekspresi bingung.  Untungnya Hafidzah benar-benar menikmati jambal balado, hingga tak peduli keadaan sekitarnya.

“Ada apa sih?” tanya Rohmah ketika mereka telah duduk di bawah pohon jati.

“Abah nggak pernah menyetujui keinginanku jadi pengarang fiksi.  Menurut Abah, karangan fiksi membuat manusia lupa akan akhirat,” desah Sarah dengan mimik sendu.

“Pantas saja kamu nggak ingin sepupumu tahu.” Rohmah mengangguk tanda paham.

Tiba-tiba Rohmah teringat sesuatu.  “Gawat Sarah, bagaimana kalau datang wesel pos yang ditujukan padamu?”

“Wesel pos?” tanya Sarah, keningnya berkerut-kerut seumpama jilbab linen belum disetrika.

Rohmah terkikik geli.  “Aduh, kamu ini polos benar.  Setiap karya yang dimuat dapat honor.  Masak kamu nggak tahu?”

Sarah terkesima.  “Jadi aku mau dapat uang?  Alhamdulillah, kebetulan lagi bokek.  Tapi, insya Allah Kakak juga dapat jatah.  Allah telah menetapkan Kakak sebagai jalan dimuatnya karyaku di koran,” kata Sarah dengan wajah berbinar.

 “Tapi, aku harus memberi-tahu Abang supaya uangnya nggak dikirim padamu.  Paham ‘kan?”

“Oh iya benar.  Bisa heboh tuh si hafidzah.  Ya sudah, dikirimnya pada Kak Rohmah saja.”

“Terima kasih untuk kepercayaanmu.  Insya Allah, aku akan amanah.  Nah, mari kita kembali ke Ruang Makan.  Aku belum makan siang.  Tapi bagianku sudah diamankan sih.  Bisa kehabisan kalau nggak diamankan duluan.  Maklum, lauk hari ini jambal balado.” Rohmah dan Sarah bergandengan tangan menuju Ruang Makan sambil terseyum gembira.

Akhirnya wesel dari Jakarta tiba.  Jumlah kirimannya tigaratus ribu rupiah.  Lumayan besar untuk ukuran santriwati ponpes setingkat SMA.  Sarah membelikan Rohmah jilbab dan pena khat baru sebagai kenang-kenangan. Sedangkan untuk dirinya sendiri, Sarah membeli selembar mukena baru.  Maksudnya agar setiap shalat Sarah tak lupa mengharap ridho Allah untuk menjadikan dirinya seorang pengarang handal.

Waktu terus berjalan.  Karangan Sarah semakin banyak yang dimuat di Koran.  Terbitan Jakarta maupun terbitan lokal.  Sekarang Sarah sudah memiliki juru ketik.  Namanya Adi.  Pekerjaannya menjaga rental komputer dekat pesantren.  Berkat Adi, Sarah tak perlu berdesakan dengan pria saat mengetikan karyanya di rental komputer.

Suatu hari, Sarah dipanggil ke kantor pimpinan pesantren saat tengah belajar di kelas.  Sarah sempat khawatir mendapatkan berita buruk tentang keluarga.  Ternyata, berita yang ia dapatkan lebih buruk daripada perkiraannya.

“Saya kecewa dengan pesantren ini.  Mengapa anak saya dibiarkan mengarang sampah macam ini?” sergah Abah sambil menunjuk  halaman fiksi sebuah koran lokal pada pimpinan pesantren.

Mamak pimpinan pesantren tersenyum sabar.  “Saya pikir tak ada yang salah dengan karangan itu.  Sangat bagus.  Sarat pesan moral dan nilai agama,” jelas Mamak dengan suara berwibawa.

“Astagfirullah, ternyata pemikiran Bapak bertentangan dengan pendapat Umara.  Jauhilah nyanyian setan.  Apa bedanya karangan ini dengan nyanyia setan?”  Abah murka.

“Ayo, Sarah!  Abah akan membawamu pulang.  Lebih baik kamu  dididik di rumah  menjadi isteri sholehah.  Mudah-mudahan ada pria sholeh yang berkenan melamarmu.”
   
Sarah terpaksa mengikuti Abahnya pulang ke rumah.  Ia menangis sewaktu berpamitan pada teman-temannya dan Kak Rohmah.  Seniornya itu juga menangis.

“Sabarlah Sarah, aku akan cari akal untuk menolongmu!” janji Rohmah.

“Iya Kak, tolonglah aku,” isak Sarah yang menangis dalam pelukan Rohmah.

Dua bulan berlalu.  Perlakuan Abah terhadap Sarah sangat buruk. Bahkan narapidana saja tak dibatasi demikian ketat. Alat tulis maupun buku-buku non agama dijauhkan dari jangkauan Sarah.  Setiap hari, Abah menjejali pikiran Sarah dengan untaian kalimat dari Kitab Kuning.  Membuat pikiran Sarah laksana balon kepenuhan gas.

Suatu hari, Kak Rohmah datang bersama seorang pria berwajah teduh.  Itulah Abang Hasan yang menjadi redaktur koran di Jakarta.  Kepada Abah, Kak Rohmah tak menyebutkan pekerjaan Abangnya.  Ia hanya menyebut riwayat pendidikan Abang Hasan. Alumnus Pondok Pesantran Modern terkenal di Jawa Timur.  Tak sembarang orang bisa menamatkan pendidikan di pesantren itu.    Kualitas pendidikan agamanya sangat mumpuni.   Membutuhkan pemikiran dan kekuatan fisik yang memadai.

“Maksud kedatangan saya ke sini, adalah melamar Sarah,” kata Abang Hasan setelah berbicang kurang lebih duapuluh menit dengan Abahnya Sarah.

“Alhamdulillah.  Saya terima lamaran Ananda.  Tapi, ketahuilah, Sarah sering menjerumuskan dirinya ke dalam hal-hal tak berguna.  Bimbinglah dia agar menjadi isteri shalehah!” pinta Abah dengan mata berkaca-kaca.

Beberapa minggu kemudian, walimah pernikahan Hasan dan Sarah dilaksanakan secara sederhana di kediaman mempelai wanita.  Perasaan Sarah berbunga-bunga.  Akhirnya Allah mengirimkan pendamping yang memahami obsesinya.

“Bang, tolong jadikan aku penulis handal!” gumam Sarah sambil bersandar di bahu suaminya.  Mereka telah tiba di rumah petak yang akan menjadi istana mereka di Jakarta.

“Tentu sayangku,” lirih Hasan.  Sang pria berperawakan sedang membopong isteri barunya menuju peraduan mereka.  Sebuah kamar sempit yang berbatasan dengan dapur.  Apalah artinya hunian tak layak bila dibandingkan dengan kebahagiaan rumah tangga?

******

“Cepat, Bang!  Satu jam lagi kita mesti hadir di studio televisi.  Mudah-mudahan nggak macet.”

Sarah merapikan busana suaminya.  Kemeja koko model kasual namun berkelas.

“Aku pakai sepatu sandal aja deh.”  Hasan mengerucutkan bibirnya saat memandang sepatu santai warna biru yang disodorkan isterinya.

“Aduh, nggak pantes dong Bang.  Masak suami perancang busana penampilannya acak kadul?” Sarah mendudukan suaminya di kursi teras lalu memakaikan sepatu ke kakinya.

“Huh, kenapa aku nggak mengarahkanmu jadi pengarang saja?” sesal Hasan.

Takdir hidup manusia tak bisa ditebak.  Sarah yang sebelum menikah sangat terobsesi menjadi pengarang, malah kehilangan semua ide karangannya saat menikah.  Wanita itu sering bengong di hadapan komputer tanpa tahu apa yang harus ia tulis.

Setahun menikah, mereka tak kunjung dikaruniai anak.  Sarah sering kesepian di rumah bila Hasan kerja lembur.  Sebagai pengobat sepi, Hasan memasukan Sarah ke Sekolah Perancang Mode.  Setidaknya,  beragam tugas dari Sekolah Mode akan menyemarakan malam-malam sunyi Sarah.

Talenta Sarah di bidang rancang busana menemukan wadahnya.  Keberhasilan Sarah tak tertahankan.  Berbagai penghargaan bidang rancang busana diraih Sarah.  Dalam kurun waktu dua tahun semenjak mendaftar ke sekolah mode, Sarah telah memamerkan ratusan karya di panggung-panggung mode bergengsi, dalam maupun luar negeri.

Sarah sangat sibuk dengan hobi merangkap mata pencahariannya.  Kini, gantian Hasan yang kesepian saat ditinggal Sarah ke luar daerah atau ke luar negeri.  Sebagai pengusir sepi, Hasan mengarang novel pop religi.   Ternyata novel-novel karangan Hasan digemari pencinta sastera.  Lantas novel-novel tersebut dibeli hak ciptanya oleh produser film.  Setelah beberapa novelnya difilmkan, Hasan menjadi selebriti.  Profilnya sering muncul dalam talkshow berbagai televisi swasta.

Saat suaminya menjadi selebriti, Sarah mengurangi aktivitas peragaan busananya.  Ia menjadi manajer sekaligus perancang busana suaminya.  Tak disangka, banyak orang  menggemari busana Hasan.  Akhirnya Sarah memiliki lini busana muslim, muslimah maupun sarimbit.  Curahan rejeki senantiasa memenuhi pundi-pundi rumah tangga mereka.

Dua orang anak berumur sepuluh tahunan menghampiri mereka. 

“Papa dan Mama jadi masuk TV?” tanya salah seorang di antara mereka.

“Jadi,  Fadlan, Habib,” kata Sarah seraya mengusap kepala kedua anak itu.  “Doakan Papa dan Mama nggak grogi di depan kamera ya!”

“Mama, tolong tunjukan foto ini di TV!  Siapa tahu ada yang lihat.”  Fadlan menyerahkan foto wanita muda berambut sebahu.

“Iya sayang, mudah-mudahan kamu kelak bisa bertemu mamamu.” Sarah mencium rambut Fadlan dengan perasaan pilu.  Seandainya Fadlan bertemu mamanya, ia akan kehilangan anak ini.  Ya, begitulah resiko mengangkat anak. 

Hingga menginjak tahun keenam pernikahan, Hasan dan Sarah belum juga dikaruniai anak.  Mereka mengangkat empat orang anak yang berasal dari berbagai panti asuhan untuk meramaikan rumah tangga mereka. 


Sayangnya, kesemua anak itu merindukan orang tua kandungnya.   Mereka berusaha mencari orang tuanya.  Pada hakekatnya, mereka lebih suka kondisi serba terbatas asalkan tinggal dengan orang tua kandung.  Lara menggores nadi keibuan di hati Sarah.  Entah sampai kapan ia tinggal bersama empat anak yang dicintainya itu?

_________________________________

Keterangan :

Ilustrasi milik etybudiharjo.wordpress.com

Pena Khat  =  Alat menulis kaligrafi arab
Walimah =  Acara syukuran/resepsi
Umara   =   Orang yang takut melanggar perintah Allah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar