Sabtu, 21 Februari 2015

Cerbung Bagian 8 : Romansa


Karya Fiksi oleh Fabina Lovers.
Ringkasan Bagian 7 :
Saat mencari kontrakan, Ratu bertemu Kolonel Raja, kenalan Pak Hambali.  Kolonel Raja menawari mereka tinggal di rumah keluarganya di Leuwiliang.
Awalnya, Bu Amir dan Ratu sempat menduga ada maksud terselubung di balik kebaikan Kolonel Raja.  Maklum saja, beliau cukup lama menduda.  Ratu sering salah tingkah bila Kolonel Raja mengunjungi mereka di akhir minggu.  Ternyata, waktu membuktikan bahwa Kolonel Raja sebenarnya tulus menolong mereka.  Tak ada udang di balik batu. Hanya ada udang di balik bakwan yang disuguhkan Bu Amir kala Pak Kolonel berkunjung. 

Suatu hari, Pak Kolonel mengetes bacaan shalat adik-adik Ratu.  Kedua remaja itu kelimpungan.  Mereka belum hapal bacaan shalat. Sewaktu mendapat tugas akhir Sekolah Dasar, mereka pernah hapal bacaan shalat.  Namun hapalan tersebut menghilang karena tak  dipraktekan di rumah.

“Mulai sekarang, Om akan mengajarkan bacaan shalat tiap hari sabtu,” janji Kolonel Raja.

“Jangan kami saja yang diajarkan. Teh Ratu juga belum hapal kok,” tukas Amira.  Ratu tersipu.  Tapi ia menganggukan kepala tanda ingin belajar.

Seminggu kemudian,  Kolonel Raja membawa poster pelajaran shalat saat berkunjung ke rumah mereka.  Ratu dan kedua adiknya tekun menghapalkan bacaan shalat.  Bu Amir ikut-ikutan belajar.  Ternyata beliau pun belum hapal seluruh bacaan shalat.  Kedua remaja jahil menertawakan ibunya.

“Belajar nggak mengenal usia.  Rasulullah SAW bersabda : belajarlah semenjak kamu di buaian hinggal memasuki liang lahat.” Kolonel Raja membesarkan hati Bu Amir.

“Sekarang, mari kita resapi makna doa antara dua sujud seperti dalam gambar ini!”  Kolonel Raja mengacungkan sebuah poster besar ke hadapan mereka.

“Ya Tuhan, dalam banget maknanya,” seru Bu Amir dengan suara bergetar.  Mulutnya komat-kamit melafalkan bacaan.  Ingin benar segera hapal doa indah itu.

“Bila kita rutin sholat lima waktu, artinya kita berdoa semacam ini tujuhbelas kali sehari.  Nah,  Allah  pasti mengabulkan  doa yang sering kita panjatkan.”  Kolonel Raja memandangi mereka satu persatu dengan mata berbinar.

Tiba-tiba Sari mengacungkan tangannya.  “Om Kolonel.  Penjaga sekolah saya rajin sekali sholat.  Tapi dia nggak kaya.  Rumahnya aja sempit banget.  Kok bisa begitu sih, Om?  Apakah Allah tak bersedia memberikan rejeki pada beliau?  Aneh ya?” Sari menatap Kolonel Raja dengan pandangan menghujat.

Kolonel Raja tertawa.  “Ya, ya, selama ini kita berpikir rejeki hanya berupa uang atau kekayaan.  Sekarang Om mau tanya, penjaga sekolahmu sehat nggak?  Apakah hidupnya bahagia?”

Sari berpikir sejurus. “Uhm...dia nggak pernah sakit sih.  Orangnya suka melucu.  Kami sering ketawa-ketawa bareng dia.”

“Anakku sayang, kebahagiaan dan kesehatan adalah rejeki Allah bagi kita.  Banyak orang kaya tapi hidupnya tak bahagia.  Kamu tahu, tingkat ekonomi masyarakat Jepang dan Amerika lebih tinggi daripada kita.  Sayangnya, jumlah orang yang bunuh diri di kedua negara itu juga banyak.  Kenapa coba?”

“Karena tidak bahagia, Om,” jawab Amira, lugas.

“Seratus untuk Amira.   Sari, kamu mau kaya tapi tak bahagia?” Kolonel Raja memandangi Sari dengan mimik lucu.

“Maunya sih kaya dan bahagia,” jawab Sari sambil nyengir kuda. 

Huuu, seisi rumah menyoraki Sari.  Amira melempar kepala Sari dengan penghapus.  Gadis berkepang itu sampai meringis kesakitan.  Sari hendak mengirim lemparan balasan, tapi Bu Amir keburu mencekal lengannya.

“Sudah...sudah..., jangan berantem!” kata Bu Amir, menengahi.

Pelajaran agama terus berlanjut hingga bedug maghrib.  Di sela-sela pelajaran, Kolonel Raja menceritakan sedikit riwayat hidupnya.  Maksudnya memberikan inspirasi positif bagi kedua adik Ratu.

“Orang tua memasukan saya ke pesantren sejak saya lulus SD.  Jangan dikira hidup di pesantren enak.  Kami tidur larut dan bangun sebelum subuh.  Pelajarannya banyak.  Hapalan semua.  Belum lagi ada hari-hari dimana kami wajib berbahasa inggris atau berbahasa arab.  Hukuman bagi yang bercakap selain bahasa itu adalah lari-lari sepuluh keliling lapangan bola.”

“Di sana kami harus mandiri.  Masak sendiri.  Cuci baju sendiri.  Persis deh kayak lagunya Hamdan ATT.  Ada yang tahu lagunya?” Kolonel Raja dan seisi rumah tertawa.

“Saat lulus pesantren, ibu meminta saya melanjutkan kuliah di IAIN Jakarta.  Tapi saya keukeuh ingin jadi ABRI.  Tahu apa sebabnya?” Kesemua pendengar cerita menggelengkan kepala.

“Karena saya terinspirasi kisah hidup Jenderal Sudirman.  Ya, jenderal yang memimpin perang gerilya saat Agresi Militer Belanda I.  Jenderal itu terkenal sebagai orang yang rajin beribadah.  Sampai-sampai dapat julukan ‘kyai’.  Bahkan ketika memimpin perang pun Sang Jenderal bepuasa sunnah. Berkat amal ibadahnya, Allah melindungi Sang Jenderal dan pasukannya dari kejahatan musuh mereka.  Mereka memenangkan perang gilang gemilang.”

“Sejak itu, saya mulai berpikir bahwa ibadah tak melulu dengan ceramah.  Jadi ABRI yang membela negara, asalkan diniatkan karena Allah, merupakan salah satu bentuk ibadah,” pungkas Kolonel Raja.  Tak lama berselang, adzan maghrib menyudahi pelajaran hari itu.

Kolonel Raja enggan menginap di kediaman Bu Amir.  Takut menimbulkan fitnah.  Maklum saja, kontrol sosial masyarakat perkampungan lebih ketat daripada masyarakat perkotaan.  Kolonel dan Ratu adalah penyandang status ‘single’.  Sekalipun antara mereka tak ada hubungan asmara, masyarakat bisa salah tafsir bila kolonel sering menginap di sana.  Bisa-bisa mereka dipaksa menikah di hadapan penghulu.

Keesokan harinya, Kolonel menjumpai Ratu yang tengah memandori pekerjaan di sawah miliknya.  Butuh waktu dua hari bagi Ratu untuk memonitor pekerjaan di hamparan sawah seluas enam hektar.

“Bagaimana pekerjaan di sini? Lancar?” Tanya kolonel sambil berjongkok di pematang sawah.

“Lancar, Pak.  Pupuk organik cair buatan teman saya ternyata cocok untuk padi kita.  Lihat saja, bulirnya padat dan anakannya banyak.” Ratu menunjuk serumpun padi yang tumbuh dekat pematang.

“Luar biasa.  Oh ya, ini masih pakai varietas IR 64 ‘kan?  Sudah berapa hari tanam?”

Ratu menganggukan kepala untuk mengiyakan pertanyaan pertama.  “Sudah delapan puluh hari, Pak.  Mudah-mudahan bulan depan bisa panen.  Semoga saja tak banyak hama tikus atau burung pipit,” jawab Ratu. “ Ngomong-ngomong, saya mau mendampingi pekerja bikin tali untuk menakut-nakuti burung dulu .”

Ratu melintasi pematang dengan lincah menuju saung di tengah sawah.  Tempat para pekerja membuat alat pengusir burung.  Pak Kolonel mengagumi ketahanan fisik gadis cantik itu.   

“Hebat sekali dia.  Rela kepanasan dan bersimbah lumpur demi  seratus limapuluh ribu rupiah sebulan,” puji Pak Kolonel dalam hati. 

Hanya sebatas pujian.  Tak lebih.  Pak Kolonel tak berani berhayal menjadi pendamping Ratu.  Dia tahu diri.  Usianya sudah kepala lima.   Anak atau kemenakannya lebih pantas menjadi kekasih Ratu.  Tapi, nanti saja lah berbicara perjodohan dengan Ratu.  Kolonel  Raja paham, Ratu masih trauma dengan pernikahan.

“Oi Pak Kolonel, makan siang sudah siap!” teriak Bu Amir dari pinggir sawah.  Tangannya membawa rantang, ceret dan keranjang berisi gelas serta piring plastik.

“Oi Ratu, ambil makan siang di pinggir sawah!” teriakan Pak Kolonel menggema ke seluruh penjuru sawah.  Seorang pekerja berlari terbirit-birit untuk mengambil bawaan Bu Amir.

“Beres deh yang di sini.  Saya mau kembali ke rumah.  Ambil makanan untuk pekerja di Wetan,”seru Bu Amir sambil mengusap peluh.

Kolonel Raja melambaikan tangannya pada Bu Amir.  Sekali lagi ia memuji dalam hati.  “Ibu tua ini juga hebat.  Sanggup memasak untuk tigapuluh pekerja dalam sehari.  Aku tak tahu,  uang yang kuberikan cukup atau tidak?  Nyatanya Bu Amir tak pernah mengeluh.”

Kolonel Raja segera menuju mushola kampung saat adzan zuhur berkumandang.  Ia sholat berjamaah dengan kaum sepuh.  Pria usia produktif bukannya enggan sholat berjamaah.  Kebanyakan mereka masih di sawah atau ladang pada waktu zuhur.

Usai shalat, Kolonel Raja berdoa dengan khusuk,” Ya Allah yang Maha Pengasih.  Berkahilah Bu Amir sekeluarga dengan kesehatan, rejeki halal dan keselamatan dunia-akhirat.  Berikan jodoh yang baik bagi para puterinya.  Jodoh yang mampu memimpin mereka menggapai keindahan syurgaMu.  Aamiin.” Air mata mengiringi doa tulus yang dilantunkan Kolonel Raja.

*****
Ratu menyandarkan tubuhnya di kursi tamu.  Hari ini panen raya.  Melelahkan sekaligus menyenangkan.  Hasil panen mereka hampir dua kali lipat musim sebelumnya.  Para pekerja ikut senang karena mereka pun dapat bagian lebih banyak daripada musim lalu.

Suara salam mengejutkan Ratu.  Gadis itu beranjak ke pintu untuk menyambut tamunya. 

“Eh, Uwak Karta.  Masuk, Uwak!”

Ternyata Uwak Karta, kakak kandung Kolonel Raja,  datang bertamu.

“Ada apa, Uwak? Sinarieun ke sini?” tanya Ratu  seraya tersenyum manis.  Senyuman yang  membuat para pria muda semaput.  Tapi Uwak Karta sudah tidak muda lagi.

“Apakah antara kamu dan Raja ada hubungan khusus?” Uwak Karta bertanya dengan suara dingin.

“Tidak,  Pak Kolonel teman baiknya mertua saya eh maksudnya mantan mertua.” Ratu menundukan kepalanya.  Ia tak bisa menebak arah pembicaraan ini.

“Hm, kalau begitu,  kamu sekeluarga tidak berhak tinggal di sini!” tukas Uwak Karta.

Ratu terperangah.  “Sebentar, Wak.  Bagaimana kalau bicara dengan ibu saya?” 

Ratu bergegas ke dapur untuk memanggil ibunya.  Bu Amir sedang membuat manisan kolang-kaling di dapur.  Beliau segera mencuci tangannya saat mendengar kedatangan Uwak Karta.

“Jangan lupa, buatkan kopi untuk Uwak!” perintah Bu Amir sebelum keluar dapur.

Ratu membuatkan kopi.  Saat mengantarkan kopi ke ruang tamu, sayup-sayup Ratu mendengar perkataan ibunya. 

“Tak masalah bila kami harus pindah dari sini.  Kami  menempati rumah ini untuk memenuhi permintaan Pak Kolonel.  Kebetulan saya dan Ratu bertugas mengurusi pekerjaan di sawah.  Alhamdulillah hasilnya sekarang bagus sekali.”

Mereka diam sewaktu Ratu menyajikan kopi.  Ratu berdiri sejenak.  Ia tak tahu apakah harus ke belakang atau duduk menemani tamu.

“Duduk di sini, Ratu!” pinta Bu Amir sambil menunjuk kursi di sebelahnya.  Ratu menuruti permintaan ibunya.

“Begini Ratu, anak Uwak Karta yang di Jakarta mau pindah ke sini.  Tapi, mereka belum punya rumah.  Jadi, mereka mau menempati rumah ini.  Uwak Karta minta kita bicarakan hal itu dengan Pak Kolonel.  Tapi,  Pak Kolonel tidak perlu tahu Uwak datang kemari.  Begitu maksud Uwak, bukan?”

Sumuhun, Ibu.” Uwak karta tersenyum, memamerkan giginya yang ompong.

Setelah berbasa-basi beberapa menit, Uwak Karta pamit.  Sebelum menghilang di kelokan jalan, beliau menegaskan kembali keinginannya.  “Kalau bisa kalian sudah pindah dari sini dua minggu lagi,  saat anak saya datang.”

Sepeninggal Uwak Karta, Bu Amir dan Ratu berpandangan seraya menghela napas panjang. 

“Begitulah Ratu kalau hidup tergantung belas kasihan orang.  Mulai sekarang, kita harus mandiri.  Dulu, ibu sanggup cari uang untuk biaya sekolah dan pengobatan ayah.  Masak sekarang nggak bisa?”

“Berjanjilah pada diri sendiri, tak mau lagi menerima belas kasihan orang lain.  Lebih baik hidup susah tapi merdeka.” Ibu memegang pundak Ratu dan menatap ke dalam hitam matanya.

“Ya Bu, Ratu berjanji.” Ratu mengangguk mantap, tanda kebulatan tekadnya untuk pindah dari rumah Kolonel Raja.

(Bagaimana kehidupan mereka selanjutnya?  Simak kisah berikutnya)
________________________
Catatan : Latar belakang cerita ini tahun 1989, seratus ribu senilai sejuta saat ini.
Gambar tema milik WWW.Gambarbergerak.com

1 komentar: