Karya Fiksi oleh Fabina Lovers.
Ringkasan Bagian 7 :Saat mencari kontrakan, Ratu bertemu Kolonel Raja, kenalan Pak Hambali. Kolonel Raja menawari mereka tinggal di rumah keluarganya di Leuwiliang.
Awalnya, Bu Amir
dan Ratu sempat menduga ada maksud terselubung di balik kebaikan Kolonel Raja. Maklum saja, beliau cukup lama menduda. Ratu sering salah tingkah bila Kolonel Raja
mengunjungi mereka di akhir minggu.
Ternyata, waktu membuktikan bahwa Kolonel Raja sebenarnya tulus menolong
mereka. Tak ada udang di balik
batu. Hanya ada udang di balik bakwan
yang disuguhkan Bu Amir kala Pak Kolonel berkunjung.
Suatu hari, Pak Kolonel mengetes bacaan shalat adik-adik Ratu. Kedua remaja itu kelimpungan. Mereka belum hapal bacaan shalat. Sewaktu mendapat tugas akhir Sekolah Dasar, mereka pernah hapal bacaan shalat. Namun hapalan tersebut menghilang karena tak dipraktekan di rumah.
“Mulai sekarang,
Om akan mengajarkan bacaan shalat tiap hari sabtu,” janji Kolonel Raja.
“Jangan kami
saja yang diajarkan. Teh Ratu juga belum hapal kok,” tukas Amira. Ratu tersipu.
Tapi ia menganggukan kepala tanda ingin belajar.
Seminggu
kemudian, Kolonel Raja membawa poster
pelajaran shalat saat berkunjung ke rumah mereka. Ratu dan kedua adiknya tekun menghapalkan
bacaan shalat. Bu Amir ikut-ikutan
belajar. Ternyata beliau pun belum hapal
seluruh bacaan shalat. Kedua remaja
jahil menertawakan ibunya.
“Belajar nggak
mengenal usia. Rasulullah SAW bersabda :
belajarlah semenjak kamu di buaian hinggal memasuki liang lahat.” Kolonel Raja
membesarkan hati Bu Amir.
“Sekarang, mari
kita resapi makna doa antara dua sujud seperti dalam gambar ini!” Kolonel Raja mengacungkan sebuah poster besar ke
hadapan mereka.
“Ya Tuhan, dalam
banget maknanya,” seru Bu Amir dengan suara bergetar. Mulutnya komat-kamit melafalkan bacaan. Ingin benar segera hapal doa indah itu.
“Bila kita rutin sholat lima waktu, artinya kita berdoa semacam ini tujuhbelas kali
sehari. Nah, Allah
pasti mengabulkan doa yang sering
kita panjatkan.” Kolonel Raja
memandangi mereka satu persatu dengan mata berbinar.
Tiba-tiba Sari
mengacungkan tangannya. “Om
Kolonel. Penjaga sekolah saya rajin
sekali sholat. Tapi dia nggak kaya. Rumahnya aja sempit banget. Kok bisa begitu sih, Om? Apakah Allah tak bersedia memberikan rejeki
pada beliau? Aneh ya?” Sari menatap
Kolonel Raja dengan pandangan menghujat.
Kolonel Raja
tertawa. “Ya, ya, selama ini kita
berpikir rejeki hanya berupa uang atau kekayaan. Sekarang Om mau tanya, penjaga sekolahmu
sehat nggak? Apakah hidupnya bahagia?”
Sari berpikir
sejurus. “Uhm...dia nggak pernah sakit sih.
Orangnya suka melucu. Kami sering
ketawa-ketawa bareng dia.”
“Anakku sayang, kebahagiaan
dan kesehatan adalah rejeki Allah bagi kita.
Banyak orang kaya tapi hidupnya tak bahagia. Kamu tahu, tingkat ekonomi masyarakat Jepang
dan Amerika lebih tinggi daripada kita.
Sayangnya, jumlah orang yang bunuh diri di kedua negara itu juga banyak. Kenapa coba?”
“Karena tidak
bahagia, Om,” jawab Amira, lugas.
“Seratus untuk
Amira. Sari, kamu mau kaya
tapi tak bahagia?” Kolonel Raja memandangi Sari dengan mimik lucu.
“Maunya sih kaya
dan bahagia,” jawab Sari sambil nyengir kuda.
Huuu, seisi
rumah menyoraki Sari. Amira melempar
kepala Sari dengan penghapus. Gadis
berkepang itu sampai meringis kesakitan.
Sari hendak mengirim lemparan balasan, tapi Bu Amir keburu mencekal
lengannya.
“Sudah...sudah...,
jangan berantem!” kata Bu Amir, menengahi.
Pelajaran agama
terus berlanjut hingga bedug maghrib. Di
sela-sela pelajaran, Kolonel Raja menceritakan sedikit riwayat hidupnya. Maksudnya memberikan inspirasi positif bagi
kedua adik Ratu.
“Orang tua
memasukan saya ke pesantren sejak saya lulus SD. Jangan dikira hidup di pesantren enak. Kami tidur larut dan bangun sebelum
subuh. Pelajarannya banyak. Hapalan semua. Belum lagi ada hari-hari dimana kami wajib
berbahasa inggris atau berbahasa arab.
Hukuman bagi yang bercakap selain bahasa itu adalah lari-lari sepuluh
keliling lapangan bola.”
“Di sana kami
harus mandiri. Masak sendiri. Cuci baju sendiri. Persis deh kayak lagunya Hamdan ATT. Ada yang tahu lagunya?” Kolonel Raja dan
seisi rumah tertawa.
“Saat lulus
pesantren, ibu meminta saya melanjutkan kuliah di IAIN Jakarta. Tapi saya keukeuh
ingin jadi ABRI. Tahu apa sebabnya?”
Kesemua pendengar cerita menggelengkan kepala.
“Karena saya
terinspirasi kisah hidup Jenderal Sudirman.
Ya, jenderal yang memimpin perang gerilya saat Agresi Militer Belanda
I. Jenderal itu terkenal sebagai orang
yang rajin beribadah. Sampai-sampai
dapat julukan ‘kyai’. Bahkan ketika
memimpin perang pun Sang Jenderal bepuasa sunnah. Berkat amal ibadahnya, Allah
melindungi Sang Jenderal dan pasukannya dari kejahatan musuh mereka. Mereka memenangkan perang gilang gemilang.”
“Sejak itu, saya
mulai berpikir bahwa ibadah tak melulu dengan ceramah. Jadi ABRI yang membela negara, asalkan
diniatkan karena Allah, merupakan salah satu bentuk ibadah,” pungkas Kolonel
Raja. Tak lama berselang, adzan maghrib
menyudahi pelajaran hari itu.
Kolonel Raja
enggan menginap di kediaman Bu Amir. Takut menimbulkan fitnah. Maklum saja, kontrol sosial masyarakat
perkampungan lebih ketat daripada masyarakat perkotaan. Kolonel dan Ratu adalah penyandang status ‘single’. Sekalipun antara mereka tak ada hubungan
asmara, masyarakat bisa salah tafsir bila kolonel sering menginap di sana. Bisa-bisa mereka dipaksa menikah di hadapan
penghulu.
Keesokan
harinya, Kolonel menjumpai Ratu yang tengah memandori pekerjaan di sawah miliknya. Butuh waktu dua hari bagi Ratu untuk
memonitor pekerjaan di hamparan sawah seluas enam hektar.
“Bagaimana
pekerjaan di sini? Lancar?” Tanya kolonel sambil berjongkok di pematang sawah.
“Lancar,
Pak. Pupuk organik cair buatan teman
saya ternyata cocok untuk padi kita.
Lihat saja, bulirnya padat dan anakannya banyak.” Ratu menunjuk serumpun
padi yang tumbuh dekat pematang.
“Luar
biasa. Oh ya, ini masih pakai varietas
IR 64 ‘kan? Sudah berapa hari tanam?”
Ratu
menganggukan kepala untuk mengiyakan pertanyaan pertama. “Sudah delapan puluh hari, Pak. Mudah-mudahan bulan depan bisa panen. Semoga saja tak banyak hama tikus atau burung
pipit,” jawab Ratu. “ Ngomong-ngomong, saya mau mendampingi pekerja bikin tali untuk
menakut-nakuti burung dulu .”
Ratu melintasi
pematang dengan lincah menuju saung di tengah sawah. Tempat para pekerja membuat alat pengusir
burung. Pak Kolonel mengagumi ketahanan
fisik gadis cantik itu.
“Hebat sekali
dia. Rela kepanasan dan bersimbah lumpur
demi seratus limapuluh ribu rupiah
sebulan,” puji Pak Kolonel dalam hati.
Hanya sebatas pujian. Tak lebih. Pak Kolonel tak berani berhayal menjadi pendamping Ratu. Dia tahu diri. Usianya sudah kepala lima. Anak atau kemenakannya lebih pantas menjadi kekasih Ratu. Tapi, nanti saja lah berbicara perjodohan dengan Ratu. Kolonel Raja paham, Ratu masih trauma dengan pernikahan.
Hanya sebatas pujian. Tak lebih. Pak Kolonel tak berani berhayal menjadi pendamping Ratu. Dia tahu diri. Usianya sudah kepala lima. Anak atau kemenakannya lebih pantas menjadi kekasih Ratu. Tapi, nanti saja lah berbicara perjodohan dengan Ratu. Kolonel Raja paham, Ratu masih trauma dengan pernikahan.
“Oi Pak Kolonel,
makan siang sudah siap!” teriak Bu Amir dari pinggir sawah. Tangannya membawa rantang, ceret dan
keranjang berisi gelas serta piring plastik.
“Oi Ratu, ambil
makan siang di pinggir sawah!” teriakan Pak Kolonel menggema ke seluruh penjuru
sawah. Seorang pekerja berlari
terbirit-birit untuk mengambil bawaan Bu Amir.
“Beres deh yang
di sini. Saya mau kembali ke rumah. Ambil makanan untuk pekerja di Wetan,”seru Bu
Amir sambil mengusap peluh.
Kolonel Raja
melambaikan tangannya pada Bu Amir.
Sekali lagi ia memuji dalam hati.
“Ibu tua ini juga hebat. Sanggup
memasak untuk tigapuluh pekerja dalam sehari.
Aku tak tahu, uang yang kuberikan
cukup atau tidak? Nyatanya Bu Amir tak
pernah mengeluh.”
Kolonel Raja
segera menuju mushola kampung saat adzan zuhur berkumandang. Ia sholat berjamaah dengan kaum sepuh. Pria usia produktif bukannya enggan sholat
berjamaah. Kebanyakan mereka masih di
sawah atau ladang pada waktu zuhur.
Usai shalat,
Kolonel Raja berdoa dengan khusuk,” Ya Allah yang Maha Pengasih. Berkahilah Bu Amir sekeluarga dengan
kesehatan, rejeki halal dan keselamatan dunia-akhirat. Berikan jodoh yang baik bagi para
puterinya. Jodoh yang mampu memimpin
mereka menggapai keindahan syurgaMu.
Aamiin.” Air mata mengiringi doa tulus yang dilantunkan Kolonel Raja.
*****
Ratu
menyandarkan tubuhnya di kursi tamu.
Hari ini panen raya. Melelahkan
sekaligus menyenangkan. Hasil panen
mereka hampir dua kali lipat musim sebelumnya.
Para pekerja ikut senang karena mereka pun dapat bagian lebih banyak daripada
musim lalu.
Suara salam
mengejutkan Ratu. Gadis itu beranjak ke
pintu untuk menyambut tamunya.
“Eh, Uwak
Karta. Masuk, Uwak!”
Ternyata Uwak
Karta, kakak kandung Kolonel Raja, datang bertamu.
“Ada apa, Uwak? Sinarieun ke sini?” tanya Ratu seraya tersenyum manis. Senyuman yang membuat para pria muda semaput. Tapi Uwak Karta sudah tidak muda lagi.
“Apakah antara
kamu dan Raja ada hubungan khusus?” Uwak Karta bertanya dengan suara dingin.
“Tidak, Pak Kolonel teman baiknya mertua saya eh
maksudnya mantan mertua.” Ratu menundukan kepalanya. Ia tak bisa menebak arah pembicaraan ini.
“Hm, kalau
begitu, kamu sekeluarga tidak berhak
tinggal di sini!” tukas Uwak Karta.
Ratu
terperangah. “Sebentar, Wak. Bagaimana kalau bicara dengan ibu saya?”
Ratu bergegas ke dapur untuk memanggil ibunya. Bu Amir sedang membuat manisan kolang-kaling di dapur. Beliau segera mencuci tangannya saat mendengar kedatangan Uwak Karta.
Ratu bergegas ke dapur untuk memanggil ibunya. Bu Amir sedang membuat manisan kolang-kaling di dapur. Beliau segera mencuci tangannya saat mendengar kedatangan Uwak Karta.
“Jangan lupa,
buatkan kopi untuk Uwak!” perintah Bu Amir sebelum keluar dapur.
Ratu membuatkan
kopi. Saat mengantarkan kopi ke ruang
tamu, sayup-sayup Ratu mendengar perkataan ibunya.
“Tak masalah
bila kami harus pindah dari sini. Kami menempati rumah ini untuk memenuhi permintaan
Pak Kolonel. Kebetulan saya dan Ratu
bertugas mengurusi pekerjaan di sawah.
Alhamdulillah hasilnya sekarang bagus sekali.”
Mereka diam
sewaktu Ratu menyajikan kopi. Ratu
berdiri sejenak. Ia tak tahu apakah harus
ke belakang atau duduk menemani tamu.
“Duduk di sini,
Ratu!” pinta Bu Amir sambil menunjuk kursi di sebelahnya. Ratu menuruti permintaan ibunya.
“Begini Ratu,
anak Uwak Karta yang di Jakarta mau pindah ke sini. Tapi, mereka belum punya rumah. Jadi, mereka mau menempati rumah ini. Uwak Karta minta kita bicarakan hal itu
dengan Pak Kolonel. Tapi, Pak
Kolonel tidak perlu tahu Uwak datang kemari.
Begitu maksud Uwak, bukan?”
“Sumuhun, Ibu.”
Uwak karta tersenyum, memamerkan giginya yang ompong.
Setelah
berbasa-basi beberapa menit, Uwak Karta pamit.
Sebelum menghilang di kelokan jalan, beliau menegaskan kembali
keinginannya. “Kalau bisa kalian sudah
pindah dari sini dua minggu lagi, saat
anak saya datang.”
Sepeninggal Uwak
Karta, Bu Amir dan Ratu berpandangan seraya menghela napas panjang.
“Begitulah Ratu
kalau hidup tergantung belas kasihan orang.
Mulai sekarang, kita harus mandiri.
Dulu, ibu sanggup cari uang untuk biaya sekolah dan pengobatan ayah. Masak sekarang nggak bisa?”
“Berjanjilah
pada diri sendiri, tak mau lagi menerima belas kasihan orang lain. Lebih baik hidup susah tapi merdeka.” Ibu
memegang pundak Ratu dan menatap ke dalam hitam matanya.
“Ya Bu, Ratu
berjanji.” Ratu mengangguk mantap, tanda kebulatan tekadnya untuk pindah dari
rumah Kolonel Raja.
(Bagaimana kehidupan mereka
selanjutnya? Simak kisah berikutnya)
________________________
Catatan : Latar belakang cerita ini tahun 1989, seratus ribu senilai sejuta saat ini.
Gambar tema milik WWW.Gambarbergerak.com
________________________
Catatan : Latar belakang cerita ini tahun 1989, seratus ribu senilai sejuta saat ini.
Gambar tema milik WWW.Gambarbergerak.com
Pokoknya lanjuuut, Buuu...
BalasHapus