Selasa, 20 Januari 2015

Mbak Rambo, Motivatorku

Image result for gambar wanita putus asa

Karya Fiksi oleh Fabina Lovers.

Apakah kamu pernah terbelit kemiskinan?  Pernahkah  kesengsaraan membuatmu kehilangan harapan?  Aku sudah mengalami hal itu.  Sedari kecil kesulitan hidup seolah menjadi teman akrabku.  Kelaparan melilit perutku,  padahal  tak sebutir pun beras menghuni pendaringan.  Berhutang ke warung tak memungkinkan. Hutangku  di warung seputar rumah kami sudah over limit.  Sementara berhutang ke tetangga ibarat membuka aib sendiri.  Alih-alih mendapat bantuan,  nama baik yang tergadaikan.  Demikianlah nasib si miskin yang sebenarnya.

Sewaktu gadis, aku berkencan dengan para pria sebaya ayahku demi memenuhi kebutuhan keluarga.  Untunglah aku berhasil menjaga keperawananku.  Aku mengaku sedang ‘halangan’ pada mereka.  Mereka tidak protes. Aku pandai memuji dan menyenangkan hati mereka.  Aku paham, yang mereka butuhkan adalah rasa kagum dari gadis bau kencur.  Dengan demikian mereka merasa muda dan gagah.

Aku kehilangan sosok ayah saat berusia sembilan tahun.  Lelaki itu pergi dengan selingkuhannya.  Dia tega meninggalkan isteri dan empat orang anaknya.  Ibuku berusaha tegar menghadapi berbagai kesulitan hidup.  Ibu, aku dan kakak sulungku berjuang mempertahankan kelangsungan hidup kami.

Kini, anak-anak ibu sudah dewasa.   Kakakku sukses mengelola usaha kateringnya.  Kedua adikku menjadi pekerjaan kantoran.  Kehidupan ketiga saudara kandungku sudah mapan.  Hanya aku yang belum mandiri.  Aku masih tinggal bersama ibuku walau telah menikah dan dikaruniai dua orang balita.  Suamiku pekerja pabrik.   Penghasilan suamiku hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dapur keluarga kecil kami.

Ibu yang tua renta bertingkah bagai anak kecil.  Keinginannya harus selalu dituruti.  Kemarin ibu minta dibelikan pizza seperti yang diiklankan televisi.  Aku tak kuasa menolak keinginan ibu.  Uang yang seharusnya untuk membeli beras malah aku gunakan untuk membeli pizza.  Akibatnya hari ini keluarga kecil kami kelaparan.

Seandainya aku bisa berkencan kembali dengan ‘om-om senang’ itu?  Mudah bagiku untuk menghubungi mereka.  Aku masih menyimpan nomor kontak mereka di ponselku.  Tapi, aku takut dengan konsekuensinya.  Bagaimana bila ketahuan suamiku lantas ia menceraikanku?  Sekalipun suamiku bergaji minim, aku tak rela kehilangan dia.

Hari beranjak petang.  Sebentar lagi suamiku pulang.  Alasan apa yang harus  aku sampaikan bila suamiku tak menemukan nasi dan lauk pauk di meja makan?  Suamiku pasti murka.  Tak ada jalan lain.  Aku harus menjual televisi 14 inchi, satu-satunya barang berharga di rumah kami.

“Mama, TV nya jangan dibawa! Kakak mau nonton Marsha,” rengek anak sulungku.

"TV nya mau mama betulkan dulu biar gambarnya lebih bagus,” kataku, berbohong.  Aku mengemas televisi itu dengan sarung bekas.  Kemudian aku menuju warung Mbah Inem untuk menjualnya dengan harga murah.

Di warung Mbah inem, aku bertemu Mbak Rambo.  Perempuan berperawakan kecil dan kekar itu sedang menikmati segelas kopi susu.  “Oalah Atun, kamu kok bawa TV ke warung?” tanya Mbak Rambo, heran.

“Saya mau jual TV.  Mbak mau beli, nggak?”

“Kenapa harus jual TV? Kasihan anakmu,  nanti nggak ada hiburan.”

“Saya nggak punya uang untuk beli beras,” gumamku sambil menahan air mata.

“Kasihan kamu, Cah Ayu.  Sini, aku ceritakan sesuatu!  Biar asik dengar ceritanya, temani aku minum kopi susu, ya!”  Mbak Rambo meminta Siti, cucu Mbah Inem, untuk membuatkan segelas kopi susu lagi.

MBAK RAMBO :

Namaku yang sebenarnya adalah Marsiyem.  Orang-orang menjulukiku rambo karena profil tubuhku yang kekar seperti pria.  Garis nasib mengharuskanku bekerja layaknya pria.  Suamiku meninggal saat anak bungsuku dalam kandungan.  Ketika anak bungsuku lahir, aku sempat putus asa. Bagaimana caranya menafkahi keluarga kecilku?  Aku tak mungkin meninggalkan anakku bersama ibuku yang buta.  Tapi, bila aku terus tinggal di rumah, siapa yang mencari nafkah?

Tuhan selalu memberi jalan bagi hambaNya yang mau berusaha.  Aku membawa bayi kecilku untuk berjualan sayuran di pasar kecamatan.  Kebetulan ada rumah bersalin sekaligus penitipan anak di dekat pasar.  Seorang bidan yang baik hati bersedia mengasuh anakku selama aku berjualan.  Anakku tinggal di penitipan anak secara gratis.  Menurut bidan itu, anakku menjadi berkah bagi tempat penitipan anak mereka.  Setelah anakku dirawat di sana, penitipan anak kian populer.  Pemasukan mereka meningkat.

Sewaktu anaku bungsuku bisa mengurus diri sendiri dan kakaknya bekerja di kota, aku merantau ke Jakarta.  Aku dengar, tenaga PRT dibayar mahal di sini.  Aku menjadi buruh cuci-setrika beberapa rumah tangga sekaligus.  Sekarang aku memegang tujuh rumah tangga.  Bila satu rumah menggajiku enamratus ribu rupiah, silakan hitung saja total penghasilanku dalam sebulan.

Penghasilanku bila digabung dengan anak sulungku cukup besar. Kami bisa membiayai sekolah dan pondokan si bungsu di ibu kota kabupaten.  Saat ini, si bungsu sudah kelas tiga SMK favorit di kabupaten kami.  Alhamdulillah, putera bungsuku itu selalu masuk sepuluh besar.  Konon siswa peringkat sepuluh besar di SMK itu langsung mendapat pekerjaan setelah lulus sekolah.

Setahun yang lalu, Allah menguji kami.  Putera sulungku menderita kanker kelenjar getah bening. Puteraku pulang kampung untuk menjalani pengobatan alternatif juga kemoterapi di rumah sakit dengan fasilitas BPJS.  Aku selalu berdoa agar Allah menyembuhkannya.

Bagiku, lebih baik bersimbah keringat daripada air mata.  Karena air mata tak akan memecahkan masalahku.  Pertolongan Allah tidak jatuh dari langit.  Kita harus berjuang mendapatkannya.  Sekarang, aku bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup keluargaku di kampung.  Aku tidak hanya mencuci-setrika, juga memijati tuan rumah yang kelelahan.  Lumayan untuk tambahan penghasilan.  Pokoknya, semua pekerjaan aku lakukan, asalkan halal.  Aku tak mau menafkahi keluargku dengan uang haram.

AKU

Tetes air mata membasahi pipiku saat Mbak Rambo selesai bercerita.  “Apakah Mbak Rambo bisa kasih jalan agar saya mampu beli beras dan kebutuhan dapur tanpa harus jual TV?” rintihku.

“Untuk hari ini, aku akan memberimu uang.  Selanjutnya, kamu harus cari nafkah secara halal,” tegas Mbak Rambo.

“Mana mungkin saya bekerja?   Siapa yang mengurus anak-anak?  Ibu nggak bisa diandalkan untuk mengurus mereka,” isakku kian menjadi.

“Kamu bisa bekerja tanpa perlu lama meninggalkan anak.  Mau aku ajari memijat?”

“Mau, Mbak.”

"Kamu akan aku ajari pijat, lulur dan totok wajah.  Sekarang makin banyak wanita sibuk yang nggak sempat ke salon.  Nah, kamu bisa jadi salon panggilan.  Terutama malam hari bila suamimu sudah pulang.  Jadi kamu nggak perlu khawatir meninggalkan anak-anak, bagaimana?”

Aku memeluk wanita perkasa itu. Lisanku tak henti memanjatkan syukur atas pertemuanku sore ini dengan Mbak Rambo,  motivatorku.  Bagi orang kecil  seperti aku, motivator berjas mahal hanyalah pemberi harapan semu.  Motivator kami adalah orang-orang semacam Mbak Rambo yang memberikan teladan sekaligus solusi permasalahan kami.

Bogor, 20 Januari 2015
Terinspirasi rubrik konsultasi Dra.Rieny Hasan
di sebuah tabloid wanita
--------------------------------------------------------------------------
Keterangan : Marsha adalah film kartun Marsha and The Bear.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar