Karya Fiksi oleh Fabina Lovers
Ringkasan 3 :
Ratu jatuh cinta pada Beni. Ia menyukai sifatnya yang rendah hati sekalipun terlahir dari keluarga kaya raya. Pernikahan mereka menjadi puncak kebahagiaan Ratu.
Ratu dan Beni
sarapan di ruang makan ala Kafe Prancis.
Beni mendesain sendiri rumahnya. Sang
Pria muda berwajah aristokrat adalah
arsitek berbakat. Karya-karya Beni
menghiasi kediaman kaum jetset wilayah
Jabodetabek. Penghasilan Beni mencukupi kebutuhan hidup
mapan. Di usia 30 tahun, Beni telah
memilki properti dan mobil dari hasil usahanya sendiri.
“Ternyata
isteriku koki hebat. Nasi
gorengmu lebih nikmat daripada buatan resto HI,” puji Beni. Pria itu mencium pipi isterinya dengan mesra.
“Nasi gorengku terasa
nikmat karena memakai racikan
cinta. Tak akan Akang temukan di
restoran mewah manapun.” Ratu
menggelayut manja di lengan suaminya.
Dering telepon
mengejutkan sepasangan pengantin baru. Ratu menggerutu. Telepon itu mengusik kemesraan mereka.
Beni mengangkat
telepon yang terletak di ruang keluarga.
Ia tampak mengerutkan kening, lalu berbicara dengan suara pelan. Ratu penasaran. Ia ingin tahu isi pembicaraan Beni dan sang
penelepon. Beberapa saat kemudian, Beni
menyudahi pembicaraan teleponnya. Ia
melangkah lunglai ke arah Ratu.
“Ada berita apa,
Kang? Kok kayaknya sedih banget. Apakah PERSIB kalah?” canda Ratu.
Beni berdehem
sebelum menjawab. “Isteriku tercinta,
aku harap kamu kuat mendengar berita ini.”
Jantung Ratu
berdetak lebih cepat. “Ada apa sih
Kang? Siapa yang tadi menelepon?”
“Papa yang
menelepon. Kata Papa, usai sholat subuh
ayahmu pingsan lalu dilarikan ke RS PMI. Ayah
langsung masuk ICU. Sampai
sekarang Ayah belum siuman.” kata Beni seraya merangkul isterinya.
Ratu menangis
dalam pelukan suaminya. “Oh Tuhan,
mengapa tak Kau ijinkan aku berbahagia lebih lama? Mengapa derita selalu menghampiriku?” ratap
Ratu.
“Ssst, jangan
bicara begitu. Allah sedang menguji
keteguhan iman kita. Kata mamaku, setiap
kesusahan akan berganti dengan kemudahan.
Aku percaya pendapat mama.” Beni
mengelus-elus rambut isterinya dengan penuh kasih sayang.
“Oke, sekarang
ganti piayamu dengan busana yang lebih pantas!
Kita harus segera ke PMI!”
Beni membimbing
isterinya ke Walk in Closet yang
berdekatan dengan kamar mandi dalam Ruang Tidur Utama. Mereka menyimpan barang-barang pribadi di sana. Ruangan itu adalah tempat favorit Ratu selain
perpustakaan pribadinya. Di sana, ia
kerap mematut-matut diri agar tampil menawan.
Namun, pagi ini Ratu tak berdandan lama.
Ia ingin segera tiba di rumah sakit PMI Bogor.
Walk in Closet (sumber:ct.att.com)
Beberapa menit kemudian
Ibu tampak
berdzikir sambil duduk di kursi depan ruang ICU. Rambut beliau kusut masai. Ibu mengenakan daster lusuh yang sudah bolong
di bagian ketiak. Agaknya ibu tak sempat berganti pakaian ketika
membawa ayah ke rumah sakit.
“Beni, sungguh, kami tak tahu bagaimana cara
berterima-kasih pada keluargamu. Hanya
Allah yang akan membalas kebaikan kalian,” kata ibunda Ratu sewaktu menyadari
kehadiran mereka.
“Tak usah
dipikirkan, Bu! Yang penting ayah bisa
sehat seperti sedia kala. Mana papa?
Tadi papa menelepon saya dari
Telepon Umum rumah sakit.” Beni celingak-celinguk mencari papanya.
“Pak Hambali sedang
bicara dengan dokter. Mungkin sebentar lagi
selesai,” jelas ibunda Ratu.
Sejurus
kemudian, Pak Hambali menghampiri mereka.
Wajah beliau muram. Beliau
mengajak Beni untuk berbicara empat mata.
“Saya ikut,
Pa. Insya Allah, saya kuat mendengar
kemungkinan terburuk dari penyakit ayah,” pinta Ratu.
Pak Hambali
berpikir sejenak. “Oke, baiknya kita bicara di lobi saja. Oh ya Bu Amir, ini saya belikan sarapan. Makan ya, biar kuat menunggui Pak Amir.” Pak
Hambali menyerahkan kantung plastik berisi nasi kotak dan minuman kemasan
kepada ibunda Ratu.
Bu Amir menerima
kantung plastik dengan mata berkaca-kaca.
“Sekali lagi Pak, saya ucapkan terima kasih untuk semua kebaikan Bapak
kepada keluarga kami.”
“Ssst...itu
kewajiban saya. Nggak perlu
dibesar-besarkan. Nah, kami tinggal dulu
ya bu.”
Pak Hambali
memimpin anak dan menantunya ke lobi rumah sakit. Di sana banyak kursi panjang yang
kosong. Tempat nyaman untuk
mendiskusikan hal serius.
“Ratu, kondisi
ginjal ayahmu sudah benar-benar parah.
Dokter bilang, kedua organ ginjal papamu hanya berfungsi sepuluh
persen.” Pak Hambali terdiam sejenak untuk melihat reaksi Ratu.
Ratu berusaha tampil
tegar di hadapan mertuanya. “Apakah ada
upaya medis agar kondisi ginjal ayah membaik?” tanya Ratu dengan suara serak.
“Ada, dengan
operasi cangkok ginjal. Hanya, mencari
ginjal yang cocok sulit. Harus dari
orang yang berhubungan darah dengan ayahmu.
Bisa anak atau saudara kandung beliau.
Hambatan lainnya, di Indonesia peralatan cangkok ginjal belum
memadai. Kemungkinan ayahmu harus operasi
di luar negeri.”
“Aapaa?” Ratu
seolah mendengar petir di siang bolong.
“Bagaimana cara kami membiayai operasi ayah di luar negeri? Sudahlah Pa, kita pasrah saja. Allah tahu yang terbaik untuk kita.”
“Kita nggak
boleh pasrah saja. Harus usaha demi
kebaikan kita. Soal biaya, jangan
khawatir! Papa yang akan menanggung
seluruh dana operasi ayahmu.” Pak Hambali
mengangguk-angguk untuk memperlihatkan kesungguhan hatinya.
“Jangan Pa,
biayanya besar sekali. Kami terlalu
banyak berhutang budi pada Papa,” tolak Ratu.
Perempuan rupawan itu tak sanggup membendung air mata haru.
Ia merasa terberkati karena Tuhan mempertemukan mereka dengan orang kaya
yang dermawan.
“Ratu, ayahmu kritis. Suster meminta
kita berkumpul di ruang rawat.” Bu Amir berseru panik.
Ratu berlari
kencang ke ruang perawatan ayahnya.
Rasanya seperti mimpi. Ingin
benar ia terjaga untuk menyadari bahwa kejadian ini mimpi buruk belaka. Tapi degup jantungnya, bau obat dan suara
kesibukan di sekitarnya, membuat Ratu sadar bahwa ia berada di alam nyata.
“Ayah,” seru
Ratu sambil menghambur ke sisi ranjang ayahnya.
Ibu, mertua dan suami Ratu menyusul di belakangnya.
Monitor detak
jantung ayah bergerak tak stabil. Tubuh
ayah meregang-regang. Ayah tampak berjuang mengeluarkan benda berat yang masih betah
bersemayam di tubuhnya. Tapi, mata ayah tak
kunjung membuka. Walau air mata beliau
menetes sewaktu Ratu membacakan syahadat di telinganya.
“Berjanjilah
pada ayahmu. Katakan kamu akan setia
pada Beni. Baru semalam ayah berkata,
ingin kalian terus bersama hingga ujung usia,” guman ibu.
Ratu meminta
Beni berdiri pada sisi yang berlawanan dengannya. Lalu ia memegangi tangan suaminya. Tangan Ratu dan Beni bertautan menyentuh
perut Pak Amir.
“Ayah, rasakanlah tangan kami yang bertautan
di atas tubuhmu. Kami berjanji akan
setia pada pernikahan ini. Bukankah
begitu Beni?”
“Iya Ayah, kami
berjanji saling setia selamanya,” tegas Beni.
Ratu tersenyum dalam tangisnya.
Ia mempererat genggaman tangannya pada Beni.
Setelah
mendengar janji Ratu dan Beni, terdengar suara mengorok dari
tenggorokan ayah. Dalam hitungan detik, monitor
detak jantung menunjukan garis lurus yang diikuti bunyi tit..tit..tit. Kepala
ayah pun terkulai ke sisi kanan. Ayah
pergi dengan damai. Paras jasad ayah
menyunggingkan senyum. Tentunya ayah
bahagia karena anak gadisnya berada dalam perlindungan pria yang baik dan bertanggung-jawab. Pria yang berjanji untuk selalu setia pada gadis
kesayangannya itu.
“Innalillahi...ayah...ayah...maafkan
semua kesalahan Ratu.” Sang wanita
cantik meratapi jasad ayahnya. Sejurus
kemudian, ia tak sadarkan diri.
(Apakah Ratu dan Beni memenuhi janji mereka
pada almarhum ayahanda Ratu? Simak lanjutannya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar