Selasa, 10 Februari 2015

Cerbung Bag.4 : Romansa

Karya Fiksi oleh Fabina Lovers


 Image result for gambar wanita menangis

Ringkasan 3 : 
Ratu jatuh cinta pada Beni.  Ia menyukai sifatnya yang rendah hati sekalipun terlahir dari keluarga kaya raya.  Pernikahan mereka menjadi puncak kebahagiaan Ratu.  
Ratu dan Beni sarapan di ruang makan ala Kafe Prancis.  Beni mendesain sendiri rumahnya.  Sang Pria muda berwajah aristokrat  adalah arsitek berbakat.  Karya-karya Beni menghiasi kediaman kaum jetset wilayah Jabodetabek.    Penghasilan Beni mencukupi kebutuhan hidup mapan.  Di usia 30 tahun, Beni telah memilki properti dan mobil dari hasil usahanya sendiri.
“Ternyata isteriku koki hebat.  Nasi gorengmu lebih nikmat daripada buatan resto HI,” puji Beni.  Pria itu mencium pipi isterinya dengan mesra.

“Nasi gorengku terasa nikmat karena memakai  racikan cinta.  Tak akan Akang temukan di restoran mewah manapun.”  Ratu menggelayut manja di lengan suaminya.


Dering telepon mengejutkan sepasangan pengantin baru. Ratu menggerutu.  Telepon itu mengusik kemesraan mereka.

“Biar aku  yang angkat,” kata Beni sambil berdiri dari kursi makan. 

Beni mengangkat telepon yang terletak di ruang keluarga.  Ia tampak mengerutkan kening, lalu berbicara dengan suara pelan.  Ratu penasaran.  Ia ingin tahu isi pembicaraan Beni dan sang penelepon.  Beberapa saat kemudian, Beni menyudahi pembicaraan teleponnya.  Ia melangkah lunglai ke arah Ratu.

“Ada berita apa, Kang?  Kok kayaknya sedih banget.  Apakah PERSIB kalah?” canda Ratu.

Beni berdehem sebelum menjawab.  “Isteriku tercinta, aku harap kamu kuat mendengar berita ini.”

Jantung Ratu berdetak lebih cepat.  “Ada apa sih Kang?  Siapa yang tadi menelepon?”

“Papa yang menelepon.  Kata Papa, usai sholat subuh ayahmu pingsan lalu dilarikan ke RS PMI. Ayah  langsung masuk ICU.  Sampai sekarang Ayah belum siuman.” kata Beni seraya merangkul isterinya.

Ratu menangis dalam pelukan suaminya.  “Oh Tuhan, mengapa tak Kau ijinkan aku berbahagia lebih lama?  Mengapa derita selalu menghampiriku?” ratap Ratu.

“Ssst, jangan bicara begitu.  Allah sedang menguji keteguhan iman kita.  Kata mamaku, setiap kesusahan akan berganti dengan kemudahan.  Aku percaya pendapat mama.”  Beni mengelus-elus rambut isterinya dengan penuh kasih sayang.

“Oke, sekarang ganti piayamu dengan busana yang lebih pantas!  Kita harus segera ke PMI!” 

Beni membimbing isterinya ke Walk in Closet yang berdekatan dengan kamar mandi dalam Ruang Tidur Utama.  Mereka menyimpan barang-barang pribadi di sana.  Ruangan itu adalah tempat favorit Ratu selain perpustakaan pribadinya.  Di sana, ia kerap mematut-matut diri agar tampil menawan.  Namun, pagi ini Ratu tak berdandan lama.  Ia ingin segera tiba di rumah sakit PMI Bogor.


Walk in Closet (sumber:ct.att.com)

Beberapa menit kemudian

Ibu tampak berdzikir sambil duduk di kursi depan ruang ICU.  Rambut beliau kusut masai.  Ibu mengenakan daster lusuh yang sudah bolong di bagian ketiak.  Agaknya  ibu tak sempat berganti pakaian ketika membawa ayah ke rumah sakit. 

“Beni, sungguh, kami tak tahu bagaimana cara berterima-kasih pada keluargamu.  Hanya Allah yang akan membalas kebaikan kalian,” kata ibunda Ratu sewaktu menyadari kehadiran mereka. 

“Tak usah dipikirkan, Bu!   Yang penting ayah bisa sehat  seperti sedia kala.  Mana papa?  Tadi papa  menelepon saya dari Telepon Umum rumah sakit.” Beni celingak-celinguk mencari papanya.

“Pak Hambali sedang bicara dengan dokter.  Mungkin sebentar lagi selesai,” jelas ibunda Ratu.

Sejurus kemudian, Pak Hambali menghampiri mereka.  Wajah beliau muram.  Beliau mengajak Beni untuk berbicara empat mata.

“Saya ikut, Pa.  Insya Allah, saya kuat mendengar kemungkinan terburuk dari penyakit ayah,” pinta Ratu.

Pak Hambali berpikir sejenak. “Oke, baiknya kita bicara di lobi saja.  Oh ya Bu Amir, ini saya belikan sarapan.  Makan ya, biar kuat menunggui Pak Amir.” Pak Hambali menyerahkan kantung plastik berisi nasi kotak dan minuman kemasan kepada ibunda Ratu.

Bu Amir menerima kantung plastik dengan mata berkaca-kaca.  “Sekali lagi Pak, saya ucapkan terima kasih untuk semua kebaikan Bapak kepada keluarga kami.”

“Ssst...itu kewajiban saya.  Nggak perlu dibesar-besarkan.  Nah, kami tinggal dulu ya bu.”

Pak Hambali memimpin anak dan menantunya ke lobi rumah sakit.  Di sana banyak kursi panjang yang kosong.  Tempat nyaman untuk mendiskusikan hal serius.

“Ratu, kondisi ginjal ayahmu sudah benar-benar parah.  Dokter bilang, kedua organ ginjal papamu hanya berfungsi sepuluh persen.” Pak Hambali terdiam sejenak untuk melihat reaksi Ratu.

Ratu berusaha tampil tegar di hadapan mertuanya.  “Apakah ada upaya medis agar kondisi ginjal ayah membaik?” tanya Ratu dengan suara serak.

“Ada, dengan operasi cangkok ginjal.  Hanya, mencari ginjal yang cocok sulit.  Harus dari orang yang berhubungan darah dengan ayahmu.   Bisa anak atau saudara kandung beliau.  Hambatan lainnya, di Indonesia peralatan cangkok ginjal belum memadai.  Kemungkinan ayahmu harus operasi di luar negeri.”

“Aapaa?” Ratu seolah mendengar petir di siang bolong.  “Bagaimana cara kami membiayai operasi ayah di luar negeri?  Sudahlah Pa, kita pasrah saja.  Allah tahu yang terbaik untuk kita.”

“Kita nggak boleh pasrah saja.  Harus usaha demi kebaikan kita.  Soal biaya, jangan khawatir!  Papa yang akan menanggung seluruh dana operasi  ayahmu.” Pak Hambali mengangguk-angguk untuk memperlihatkan kesungguhan hatinya.

“Jangan Pa, biayanya besar sekali.  Kami terlalu banyak berhutang budi pada Papa,” tolak Ratu.  Perempuan rupawan itu tak sanggup membendung air mata haru.  Ia merasa terberkati karena Tuhan mempertemukan mereka dengan orang kaya yang dermawan.

“Ratu, ayahmu kritis.  Suster meminta kita berkumpul di ruang rawat.” Bu Amir berseru panik.

Ratu berlari kencang ke ruang perawatan ayahnya.  Rasanya seperti mimpi.  Ingin benar ia terjaga untuk menyadari bahwa kejadian ini mimpi buruk belaka.  Tapi degup jantungnya, bau obat dan suara kesibukan di sekitarnya, membuat Ratu sadar bahwa ia berada di alam nyata.

“Ayah,” seru Ratu sambil menghambur ke sisi ranjang ayahnya.  Ibu, mertua dan suami Ratu menyusul di belakangnya.

Monitor detak jantung ayah bergerak tak stabil.  Tubuh ayah meregang-regang.  Ayah tampak berjuang mengeluarkan benda berat yang masih betah bersemayam di tubuhnya.    Tapi, mata ayah tak kunjung membuka. Walau  air mata beliau menetes sewaktu Ratu membacakan syahadat di telinganya. 

“Berjanjilah pada ayahmu.  Katakan kamu akan setia pada Beni.  Baru semalam ayah berkata, ingin kalian terus bersama hingga ujung usia,” guman ibu.

Ratu meminta Beni berdiri pada sisi yang berlawanan dengannya.  Lalu ia memegangi tangan suaminya.  Tangan Ratu dan Beni bertautan menyentuh perut Pak Amir. 

“Ayah, rasakanlah tangan kami yang bertautan di atas tubuhmu.  Kami berjanji akan setia pada pernikahan ini.  Bukankah begitu Beni?”

“Iya Ayah, kami berjanji saling setia selamanya,” tegas Beni.  Ratu tersenyum dalam tangisnya.  Ia mempererat genggaman tangannya pada Beni.

Setelah mendengar janji Ratu dan Beni, terdengar suara mengorok dari tenggorokan ayah.  Dalam hitungan detik, monitor detak jantung menunjukan garis lurus yang diikuti bunyi tit..tit..tit. Kepala ayah pun terkulai ke sisi kanan.  Ayah pergi dengan damai.  Paras jasad ayah menyunggingkan senyum.  Tentunya ayah bahagia karena anak gadisnya berada dalam perlindungan pria yang baik dan bertanggung-jawab.  Pria yang berjanji untuk selalu setia pada gadis kesayangannya itu.

“Innalillahi...ayah...ayah...maafkan semua kesalahan Ratu.”  Sang wanita cantik meratapi jasad ayahnya.  Sejurus kemudian, ia tak sadarkan diri.

(Apakah Ratu dan Beni memenuhi janji mereka pada almarhum ayahanda Ratu? Simak lanjutannya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar