Sabtu, 14 Februari 2015

Cerbung Bag.5 : Romansa

Karya Fiksi Fabina Lovers.
D


Image result for gambar perpisahan yang sedih


Ringkasan Bagian 4 :
Ayahanda Ratu meninggal dunia akibat gagal ginjal.  Saat ayahnya mengalami sakaratul maut, Ratu dan Beni berjanji di hadapan ayah untuk saling setia.
“Kamu dipanggil Pak Kadis," tukas Rida, sinis.

Perempuan manis itu tak pernah ramah pada Ratu.  Entah apa dosa Ratu padanya?  Ratu mengenang kejadian saat ia baru menginjakan kaki di ruangan besar yang akan menjadi kantornya.  Rida memandanginya dari ujung rambut sampai  ujung sepatu dengan wajah dengki.  Kemudian pandangannya tertumbuk pada kunci mobil dalam genggaman Ratu.

“Hah, belagu amat bawa mobil.  Aku juga punya mobil di rumah.  Tapi, aku lebih suka pakai angkot ke kantor.  Enak, bisa bareng teman-teman,” tukas Rida.  Sang perempuan ber-make up sempurna  ‘misuh-misuh’  sebelum memperkenalkan dirinya pada Ratu.

“Kenalkan, nama saya Ratu Sofiana.  Saya bawa mobil supaya nggak telat ke kantor, Teteh.  Rumah saya jauh dari sini,” jelas Ratu seraya mengajak bersalaman.  Ratu berusaha tersenyum.  Ia menganggap dirinya sedang dimapras seperti awal kuliah dulu.

Rida malah buang muka dan berseru pada teman-temannya di ruangan.  “Hei, teman-teman, ada anak baru nih!  Ratu Sofiana namanya.  Tapi, jangan biarkan dia jadi Ratu kita.  Semua sama di sini.  Nggak ada istilah kaya dan miskin.”

Para gadis yang tengah menikmati sepiring gorengan serentak menatap Ratu.  Salah seorang di antara mereka menghampiri Ratu.  “Eh iya, kenalan yuk!  Aku Marni, bukan anak orang kaya.  Ternyata kamu ditempatkan di Tata Usaha ya?  Syukur deh.”

Gadis berambut pendek itu  menyalami Ratu dengan erat.  Ketika Marni melepaskan tangannya,  tangan Ratu berlumuran minyak goreng.  Pasti bekas tangan Marni.  Gadis itu baru saja makan gorengan.    Ratu  mengeluarkan tissue untuk mengelap tangannya.

“Anak manja, takut banget sih kena kotoran,” rutuk Rida sambil mencibir.

Demikianlah awal karier Ratu di kantor pemerintah. Pekerjaan Ratu tidaklah berat.  Tugas pokoknya mengagendakan surat masuk-keluar dan mengetik surat sesuai konsep yang diberikan atasan.  Sayangnya, suasana kerja tak nyaman.  Semua itu gara-gara Rida, ‘penguasa’  Tata Usaha.   Sang gadis bertubuh sintal  adalah ‘teman dekat’  Bapak Kadis. Para karyawan menyeganinya.  Siapapun yang tak disukai Rida akan dikucilkan.  Sialnya, Rida tak menyukai Ratu.

“Ayo cepetan, nanti aja nulisnya!  Pak Kadis mau  berangkat rapat,” seru Rida dari pintu ruangan Kadis.

Ratu buru-buru menyudahi pekerjaannya.  Ia menggerutu dalam hati.  Bukankah Pak Kadis yang menyuruhnya segera mengagendakan surat yang baru tiba pagi ini?  Menurut beliau, surat itu penting, harus dibawa saat Rapat Koordinasi dengan Bupati jam sepuluh nanti.

“Maaf agak lama, Pak,” kata Ratu sambil meletakan surat yang dibutuhkan Kadis di atas meja.

“Duduklah, Ratu!” perintah Pak Kadis dengan suara dingin. “Oke Rida, langsung saja kamu sampaikan ‘uneg-uneg’mu.”

“Jadi begini pak, saya anggota tim penatalaksanaan surat menyurat, tapi saya nggak pernah terima honor dari Ratu.  Memang sih, saya nggak bantuin Ratu.  Soalnya Ratu solo karier melulu, Pak, apa-apa dikerjakan sendiri.  Honor juga dimakan sendiri,”  fitnah Rida sambil melirik geram pada Ratu.

Amarah Ratu menggapai ubun-ubun.    Ia menarik napas panjang untuk meredakan emosi.  Malu benar kalau ia kelepasan marah.    Pak Kadis adalah rekan baik mertuanya.   Pagi ini pun mereka akan bertemu dalam rapat bersama Bupati.

“Tidak benar, Pak!  Teh Rida sudah terima honor.   Saya punya tanda-terimanya kok.  Sebentar, akan saya ambilkan,”  tegas Ratu sambil beranjak dari kursi.

“Nggak perlu, bisa saja kamu memalsukan tanda-tangan Rida,”  kata Pak Kadis yang telah termakan hasutan Rida.

“Itu tanda-tangan asli, Pak.  Bila perlu, kita cek saja keasliannya pada ahli pembaca tanda-tangan di kepolisian.  Cara manusia menarik garis berbeda.  Saya tak akan bisa meniru gaya Teh Rida menarik garis tanda-tangan” jelas Ratu.

“Ngapain bawa-bawa polisi?” Pak Kadis dan Rida berseru serempak.

“Perlu, Pak.  Demi mengungkapkan kebenaran,”  tantang Ratu.   Ia menangkap kegelisahan dalam diri Pak Kadis dan Rida.

“Begini saja.  Hari ini kalian akan menerima uang perjalanan dinas untuk empat bulan.  Bagaimana kalau jatahmu diserahkan pada Rida? Kami tak akan memperpanjang masalah lagi,” kata Pak Kadis dengan suara berwibawa.

Ratu segera memahami kondisinya.  Rupanya Pak Kadis dan Rida tengah membutuhkan uang. Ratu tersenyum pada Pak Kadis dan Rida.  Mereka tampak salah tingkah.

“Silakan saja, Pak.  Saya rela uang perjalanan dinas dipakai Teh Rida.  Selama ini saya hanya di kantor.  Bukan hak saya untuk menerima uang perjalanan dinas,” ujar Ratu.  

“Baiklah, silahkan lanjutkan pekerjaanmu.  Tolong tutup pintunya! Jangan coba-coba menguping pembicaraan kami!” perintah Kadis.

“Baik, Pak.”  Ratu segera keluar  dan menutup pintu ruangan kadis secara perlahan. 

Ratu menggerutu dalam hati, ”Hah, hubungan istimewa Pak Kadis dan Rida sudah menjadi rahasia umum.  Bahkan kucing kurap penghuni kantin pun tahu.”

Pak Kadis mengunci pintu yang telah ditutup Ratu.  Setelah itu. ia mendekati Rida sambil berbisik mesra.  “Cinta, apa tanda terima kasihmu?  Aku ‘kan sudah kasih kamu rejeki tambahan hari ini.”    Pak Kadis mengecup leher Rida.

Perempuan seksi itu tertawa menggoda.  "Akang maunya apa?" tanya Rida dengan suara manja. 

"Nanti sore ke Atas, yuk!" Kadis mengedipkan sebelah matanya.

"Siap boss!" Rida mengecup kening Kadis lalu beranjak dari ruangan beliau. 

*******
Ratu menghempaskan diri ke sofa ruang keluarga sambil mendesah.  Kejadian di ruang Pak Kadis pagi tadi melelahkan mentalnya.  Saat seperti ini, Ratu merindukan kehadiran suaminya.  Ia mendambakan bahu bidang Beni sebagai sandaran tubuh letihnya.  Namun, Beni terasa menjauhinya beberapa bulan terakhir ini.  

Apakah Beni menjaga jarak karena enggan berhubungan intim dengan Ratu?  Mungkinkah ia impoten? Ataukah Ratu kurang merangsang hasrat kelelakiannya?  Semua itu menjadi tanda-tanya besar bagi Ratu. 

Beni sulit diajak berdiskusi.  Padahal, Ratu hendak meyakinkannya bahwa ia menerima Beni beserta segenap kekurangannya.  Cintanya pada Beni serupa api abadi.  Seandainya Beni impoten, Ratu akan tetap setia sesuai janjinya pada almarhum ayah.  Asalkan Beni selalu di sisinya dalam suka maupun duka.

Canda-tawa Mbok Yem dan Pakde Karta mengusik Ratu.  Suami-istri berusia senja itu adalah cermin cinta sejati.  Mereka telah menikah puluhan tahun.  Tanpa anak pula.  Namun, kemesraan mereka  bagaikan pengantin baru. 

Perlahan Ratu menghampiri pasangan romantis itu.  Mereka sibuk bekerja di dapur.  Pakde Karta mengulek bumbu sementara Mbok Yem menggoreng emping.  Ratu berdehem untuk menunjukan kehadirannya.

“Eh, Nyonya sudah pulang?  Kayaknya capek banget.  Mbok buatkan sirup dingin ya?”

Mbok Yem tak menunggu jawaban Ratu.  Ia meraih gelas panjang dan bergerak cepat ke arah kulkas.  Tak lama kemudian, ia telah menanting segelas sirup rasa jeruk.  “Mau minum di mana, Nyonya?” tanya asisten cekatan itu.

“Di sini saja, Mbok.”  Ratu duduk di lantai dapur.

“Oalah, jangan duduk di lantai, nanti baju nyonya kotor.  Duduknya pakai ini saja!” seru Mbok Yem sambil mengangsurkan sebuah dingklik.

“Biasa aja  Mbok, saya ini dulunya orang susah.  Setahun lalu, saya masih  mengantar kue-kue buatan ibu ke kantin dan toko kue dengan sepeda.   Hasilnya mah nggak seberapa.  Cukup untuk makan dan jajan adik-adik saja,” jelas Ratu dengan mata berbinar.

Ratu mengenang  kisah lalunya.  Saat dirinya bekerja keras demi keluarga.   Ia sibuk membagi waktu antara kuliah, mengantar kue dan mengajar privat.  Waktu duapuluh empat jam terasa kurang.  Pada masa itu, Ratu tak pernah kesulitan tidur.  Padahal peraduannya hanya berupa kasur tipis.

Sekarang, tempat tidur Ratu sangat nyaman.  Kasurnya memiliki pegas berelastisitas mumpuni.  Bila kita membaringkan diri di atas kasur tersebut, tubuh kita akan melekuk secara ergonomis.  Anehnya, Ratu malah terserang insomnia.  Beragam pikiran buruk mendera otaknya.  Ia baru bisa tertidur menjelang subuh.  Itu pun tak lama.  Jam setengah enam Ratu mesti bangun agar tak terlambat tiba di kantor.

Karena kurang tidur, wajah Ratu terlihat pucat.  Matanya kuyu.  Pakaian indah tak mampu menutupi tubuh kurusnya.  Sungguh, Ratu bukannya kufur nikmat, tapi ia lebih menyukai kehidupannya dahulu.  Bagi Ratu, harta benda bukanlah sumber kebahagiaan. 

“Maaf lho Nyonya, si mbok bukannya mau menggurui.  Nyonya kelihatan sedih.   Sebaiknya mengadu dalam shalat.  Insya Allah ada jalan.”

Ratu menggeleng.  “Saya sudah lama nggak sholat, Mbok.  Ibu dan ayah tak mewajibkan kami sholat.   Yang penting, kami menjauhkan diri dari hal-hal yang haram seperti judi, mabuk-mabukan, zinah, mencuri, dan lainnya.  Percuma saja sholat kalau kelakuannya bejat,” tandas Ratu.

Mbok Yem melongo. “Gitu ya Nya?  Orang sholat kelakuannya bejat? Si mbok dari dulu sholat tapi nggak pernah bejat, lho,”  bantah Mbok Yem dengan berani.  “Nyuwun sewu, Nyonya.  Mungkin Nyonya nggak berkenan dengan kata-kata si Mbok.”

Ratu tersenyum sambil geleng-geleng kepala.  “Baiknya,  jangan kita bicara hal ini lagi Mbok!  Takut salah paham.  Percayalah, Mbok Yem adalah orang baik di mata saya.  Sholat Mbok selaras dengan perilakunya.  Oh ya, kayaknya mau makan besar nih? Apa Kang Beni yang minta Mbok masak sebanyak ini?”  Ratu mengamati piring saji dan mangkok yang tertata di meja dapur.

“Iya Nyonya. Den Beni minta dibuatkan masakan  Arab.  Malam ini, Den Gibran mau makan di sini.”  Mbok Yem memamerkan beberapa hidangan khas Arab yang tersaji di meja dapur.


Masakan arab (sajiansedap.com)

“Wow, darimana mbok belajar bikin masakan arab?” Ratu berseru kagum sambil menghirup aroma nasi kebuli nan menggiurkan.

“Dari uminya Den Gibran.  Waktu mereka masih SMP, Den Gibran bawa bekal kalau main ke rumah orang tua Den Beni.   Masakan Si Mbok nggak laku.  Si Mbok jadi sedih.  Makanya si Mbok belajar langsung ke uminya.  Alhamdulillah,   Den Gibran akhirnya mau makan masakan si Mbok.” Mbok Yem mengelap tangannya ke celemek sambil tertawa renyah.

“Hebat, si Mbok!” Ratu bertepuk-tangan walaupun hatinya menangis.   Beni mengabaikan keberadaannya sebagai isteri.  Kehadiran seorang sahabat di rumah mereka tak dikabarkan pada isterinya.  Rupanya masa manis pernikahan Ratu telah tergerus arus waktu.

Malam itu...

Pukul tujuh malam, Gibran tiba di kediaman mereka.  Beni menyambut hangat kehadiran sahabatnya, namun mengabaikan Ratu yang berdiri di belakangnya.  Gibran pun seolah tak menyadari kehadiran Ratu.  Ia tak melihat ke arah nyonya rumah yang  tersenyum menyambutnya.

“Maaf, apakah aku mengganggu acara kalian?” Ratu mulai tak sabar.

Beni dan Gibran kian mengacuhkan Ratu.  Mereka beranjak ke ruang makan sambil bergandengan tangan.  Sesekali Gibran melayangkan ciuaman ringan ke pipi Beni, layaknya seorang kekasih. Saat duduk di kursi  makan, Beni menyandarkan kepalanya ke bahu Gibran. Tingkah laku mereka sangat ganjil. 

“Beni, ini aku, isterimu!  Apakah kamu bosan padaku?” Ratu duduk di hadapan mereka.

“Kamu isteri formalku, namun Gibran adalah pasangan sejatiku.    Sebulan lalu, kami menikah di Italia.” tandas Beni.    Lantas, Beni berciuman dengan Gibran.

Ratu terpukul.  Beni telah membohonginya.  Sebulan lalu ia mengaku ke Italia untuk seminar arsitektur.  Faktanya, ia menikahi sesama pria di sana. 

Bila suamimu mendua dengan wanita lain, kamu tahu ia pernah mencintaimu.  Tapi, bila suamimu mendua dengan sesama pria, bisa dipastikan ia pura-pura mencintaimu. Pengikut kaum sodom sulit jatuh cinta pada wanita. 

Hati ratu hancur berkeping-keping.   Cinta pertamanya tertuju pada orang yang salah.  Ratu merutuki kebodohan dirinya.  Mungkinkah ini karma sikap angkuhnya pada pria di masa lalu?  Ataukah hukuman Tuhan akibat Ratu pernah menafikan cinta?  Entahlah.  Yang pasti, Ratu ingin menyudahi pernikahannya dengan Beni.

“A..aku akan menggugat cerai ke Pengadilan Agama,”  Ratu tergagap karena menahan luapan amarah.

“Saat ini aku belum ingin bercerai resmi darimu.  Aku menginginkan anakmu.  Bercintalah dengan lelaki lain hingga kamu hamil.  Kami akan mengakui bayi itu sebagai anak! Karena  aku tak mungkin punya anak dari Gibran,” Beni berbicara sambil mengerling mesra  kekasihnya.

Plak!  Ratu menampar pipi Beni.  Amarahnya tak tertahankan lagi.  “Kurang ajar!  Dengar, Beni!   Aku memang jarang shalat, tapi aku paham berzinah adalah dosa besar.  Aku tak mau berzinah dengan lelaki manapun. ” 

Ratu bergegas masuk ke kamar tidur untuk mengumpulkan pakaian yang ia bawa dari rumah.  Pakaian dan perhiasan pemberian keluarga Beni  ditinggalkannya.  Ia hendak pergi ke rumah ibunya beserta barang-barang hasil jerih payahnya sendiri.

(Bagaimana kehidupan Ratu setelah berpisah dari Beni?  Nantikanlah kisah lanjutannya.)

________________________________________________________

CATATAN PENULIS
  1. Dalam salah satu bagian kisah di atas, latar belakangnya kantor pemerintah. Terdapat situasi persaingan antar karyawan dan perselingkungan.  Kejadian tersebut tidak hanya terjadi kantor pemerintahan, tapi juga di kantor milik institusi swasta. Tulisan ini tidak bermaksud merendahkan institusi tertentu.
  2. Kisah dan tokoh-tokoh dalam cerita ini hanyalah imajinasi penulis.  Bila ada kesamaan dalam kenyataan bukanlah suatu kesengajaan.  Mohon maaf sebelumnya.
  3. Istilah-istilah : atas = puncak, Kadis = Kepala Dinas







Tidak ada komentar:

Posting Komentar