Karya Fiksi Fabina Lovers.
D
D
Ringkasan Bagian 4 :
Ayahanda Ratu meninggal dunia akibat gagal ginjal. Saat ayahnya mengalami sakaratul maut, Ratu dan Beni berjanji di hadapan ayah untuk saling setia.
Perempuan manis
itu tak pernah ramah pada Ratu. Entah
apa dosa Ratu padanya? Ratu mengenang
kejadian saat ia baru menginjakan kaki di ruangan besar yang akan menjadi
kantornya. Rida memandanginya dari ujung
rambut sampai ujung sepatu dengan wajah
dengki. Kemudian pandangannya tertumbuk
pada kunci mobil dalam genggaman Ratu.
“Hah, belagu
amat bawa mobil. Aku juga punya mobil di
rumah. Tapi, aku lebih suka pakai angkot
ke kantor. Enak, bisa bareng teman-teman,”
tukas Rida. Sang perempuan ber-make up sempurna ‘misuh-misuh’
sebelum memperkenalkan dirinya pada Ratu.
“Kenalkan, nama
saya Ratu Sofiana. Saya bawa mobil
supaya nggak telat ke kantor, Teteh.
Rumah saya jauh dari sini,” jelas Ratu seraya mengajak bersalaman. Ratu berusaha tersenyum. Ia menganggap dirinya sedang dimapras seperti
awal kuliah dulu.
Rida malah buang
muka dan berseru pada teman-temannya di ruangan. “Hei, teman-teman, ada anak baru nih! Ratu Sofiana namanya. Tapi, jangan biarkan dia jadi Ratu kita. Semua sama di sini. Nggak ada istilah kaya dan miskin.”
Para gadis yang
tengah menikmati sepiring gorengan serentak menatap Ratu. Salah seorang di antara mereka menghampiri
Ratu. “Eh iya, kenalan yuk! Aku Marni, bukan anak orang kaya. Ternyata kamu ditempatkan di Tata Usaha
ya? Syukur deh.”
Gadis berambut
pendek itu menyalami Ratu dengan erat. Ketika Marni melepaskan tangannya, tangan Ratu berlumuran minyak goreng. Pasti bekas tangan Marni. Gadis itu baru saja makan gorengan. Ratu mengeluarkan tissue untuk mengelap tangannya.
“Anak manja,
takut banget sih kena kotoran,” rutuk Rida sambil mencibir.
Demikianlah awal
karier Ratu di kantor pemerintah. Pekerjaan Ratu tidaklah berat. Tugas pokoknya mengagendakan surat
masuk-keluar dan mengetik surat sesuai konsep yang diberikan atasan. Sayangnya, suasana kerja tak nyaman. Semua itu gara-gara Rida, ‘penguasa’ Tata Usaha. Sang gadis bertubuh sintal adalah ‘teman dekat’ Bapak Kadis. Para karyawan menyeganinya. Siapapun yang tak disukai Rida akan
dikucilkan. Sialnya, Rida tak menyukai
Ratu.
“Ayo cepetan,
nanti aja nulisnya! Pak Kadis mau berangkat rapat,” seru Rida dari pintu ruangan
Kadis.
Ratu buru-buru
menyudahi pekerjaannya. Ia menggerutu
dalam hati. Bukankah Pak Kadis yang
menyuruhnya segera mengagendakan surat yang baru tiba pagi ini? Menurut beliau, surat itu penting, harus
dibawa saat Rapat Koordinasi dengan Bupati jam sepuluh nanti.
“Maaf agak lama,
Pak,” kata Ratu sambil meletakan surat yang dibutuhkan Kadis di atas meja.
“Duduklah,
Ratu!” perintah Pak Kadis dengan suara dingin. “Oke Rida, langsung saja kamu
sampaikan ‘uneg-uneg’mu.”
“Jadi begini
pak, saya anggota tim penatalaksanaan surat menyurat, tapi saya nggak pernah
terima honor dari Ratu. Memang sih, saya
nggak bantuin Ratu. Soalnya Ratu solo karier melulu, Pak, apa-apa
dikerjakan sendiri. Honor juga dimakan
sendiri,” fitnah Rida sambil melirik geram pada Ratu.
Amarah Ratu
menggapai ubun-ubun. Ia menarik napas panjang untuk meredakan emosi. Malu benar kalau ia kelepasan marah. Pak
Kadis adalah rekan baik mertuanya. Pagi ini pun mereka akan bertemu dalam rapat
bersama Bupati.
“Tidak benar,
Pak! Teh Rida sudah terima honor. Saya punya tanda-terimanya kok. Sebentar, akan saya ambilkan,” tegas Ratu sambil beranjak dari kursi.
“Nggak perlu,
bisa saja kamu memalsukan tanda-tangan Rida,” kata Pak Kadis yang telah termakan hasutan
Rida.
“Itu
tanda-tangan asli, Pak. Bila perlu, kita
cek saja keasliannya pada ahli pembaca tanda-tangan di kepolisian. Cara manusia menarik garis berbeda. Saya tak akan bisa meniru gaya Teh Rida
menarik garis tanda-tangan” jelas Ratu.
“Ngapain bawa-bawa
polisi?” Pak Kadis dan Rida berseru serempak.
“Perlu,
Pak. Demi mengungkapkan kebenaran,” tantang Ratu. Ia
menangkap kegelisahan dalam diri Pak Kadis dan Rida.
“Begini
saja. Hari ini kalian akan menerima uang
perjalanan dinas untuk empat bulan. Bagaimana
kalau jatahmu diserahkan pada Rida? Kami tak akan memperpanjang masalah lagi,” kata Pak Kadis dengan suara berwibawa.
Ratu segera
memahami kondisinya. Rupanya Pak Kadis
dan Rida tengah membutuhkan uang. Ratu tersenyum pada Pak Kadis dan Rida. Mereka tampak salah tingkah.
“Silakan saja, Pak. Saya rela
uang perjalanan dinas dipakai Teh Rida. Selama
ini saya hanya di kantor. Bukan hak saya
untuk menerima uang perjalanan dinas,” ujar Ratu.
“Baiklah,
silahkan lanjutkan pekerjaanmu. Tolong
tutup pintunya! Jangan coba-coba menguping pembicaraan kami!” perintah Kadis.
“Baik, Pak.” Ratu segera keluar dan menutup
pintu ruangan kadis secara perlahan.
Ratu menggerutu
dalam hati, ”Hah, hubungan istimewa Pak Kadis dan Rida sudah menjadi rahasia umum. Bahkan kucing kurap penghuni kantin pun tahu.”
Pak Kadis
mengunci pintu yang telah ditutup Ratu.
Setelah itu. ia mendekati Rida sambil berbisik mesra. “Cinta, apa tanda terima kasihmu? Aku ‘kan sudah kasih kamu rejeki tambahan
hari ini.” Pak Kadis mengecup leher Rida.
Perempuan seksi itu tertawa menggoda. "Akang maunya apa?" tanya Rida dengan suara manja.
"Nanti sore ke Atas, yuk!" Kadis mengedipkan sebelah matanya.
"Siap boss!" Rida mengecup kening Kadis lalu beranjak dari ruangan beliau.
"Nanti sore ke Atas, yuk!" Kadis mengedipkan sebelah matanya.
"Siap boss!" Rida mengecup kening Kadis lalu beranjak dari ruangan beliau.
*******
Ratu menghempaskan
diri ke sofa ruang keluarga sambil mendesah.
Kejadian di ruang Pak Kadis pagi tadi melelahkan mentalnya. Saat seperti ini, Ratu merindukan kehadiran
suaminya. Ia mendambakan bahu bidang Beni
sebagai sandaran tubuh letihnya. Namun, Beni terasa menjauhinya beberapa bulan terakhir ini.
Apakah Beni menjaga
jarak karena enggan berhubungan intim dengan Ratu? Mungkinkah ia impoten? Ataukah Ratu kurang merangsang
hasrat kelelakiannya? Semua itu menjadi
tanda-tanya besar bagi Ratu.
Beni sulit
diajak berdiskusi. Padahal, Ratu hendak meyakinkannya
bahwa ia menerima Beni beserta segenap kekurangannya. Cintanya pada Beni serupa api abadi. Seandainya Beni impoten, Ratu akan tetap
setia sesuai janjinya pada almarhum ayah.
Asalkan Beni selalu di sisinya dalam suka maupun duka.
Canda-tawa Mbok
Yem dan Pakde Karta mengusik Ratu.
Suami-istri berusia senja itu adalah cermin cinta sejati. Mereka telah menikah puluhan tahun. Tanpa anak pula. Namun, kemesraan mereka bagaikan pengantin baru.
Perlahan Ratu
menghampiri pasangan romantis itu. Mereka
sibuk bekerja di dapur. Pakde Karta
mengulek bumbu sementara Mbok Yem menggoreng emping. Ratu berdehem untuk menunjukan kehadirannya.
“Eh, Nyonya
sudah pulang? Kayaknya capek
banget. Mbok buatkan sirup dingin ya?”
Mbok Yem tak menunggu jawaban Ratu. Ia meraih gelas panjang dan bergerak cepat ke
arah kulkas. Tak lama kemudian, ia telah
menanting segelas sirup rasa jeruk. “Mau
minum di mana, Nyonya?” tanya asisten cekatan itu.
“Di sini saja,
Mbok.” Ratu duduk di lantai dapur.
“Oalah, jangan duduk
di lantai, nanti baju nyonya kotor.
Duduknya pakai ini saja!” seru Mbok Yem sambil mengangsurkan sebuah
dingklik.
“Biasa aja Mbok, saya ini dulunya orang susah. Setahun lalu, saya masih mengantar kue-kue buatan ibu ke kantin dan
toko kue dengan sepeda. Hasilnya mah nggak
seberapa. Cukup untuk makan dan jajan
adik-adik saja,” jelas Ratu dengan mata berbinar.
Ratu
mengenang kisah lalunya. Saat dirinya bekerja keras demi
keluarga. Ia sibuk membagi waktu antara
kuliah, mengantar kue dan mengajar privat.
Waktu duapuluh empat jam terasa kurang.
Pada masa itu, Ratu tak pernah kesulitan tidur. Padahal peraduannya hanya berupa kasur tipis.
Sekarang, tempat
tidur Ratu sangat nyaman. Kasurnya
memiliki pegas berelastisitas mumpuni.
Bila kita membaringkan diri di atas kasur tersebut, tubuh kita akan
melekuk secara ergonomis. Anehnya, Ratu malah
terserang insomnia. Beragam pikiran
buruk mendera otaknya. Ia baru bisa
tertidur menjelang subuh. Itu pun tak
lama. Jam setengah enam Ratu mesti bangun
agar tak terlambat tiba di kantor.
Karena kurang
tidur, wajah Ratu terlihat pucat. Matanya
kuyu. Pakaian indah tak mampu menutupi
tubuh kurusnya. Sungguh, Ratu bukannya
kufur nikmat, tapi ia lebih menyukai kehidupannya dahulu. Bagi Ratu, harta benda bukanlah sumber
kebahagiaan.
“Maaf lho Nyonya,
si mbok bukannya mau menggurui. Nyonya kelihatan
sedih. Sebaiknya mengadu dalam shalat. Insya Allah ada jalan.”
Ratu
menggeleng. “Saya sudah lama nggak
sholat, Mbok. Ibu dan ayah tak
mewajibkan kami sholat. Yang penting,
kami menjauhkan diri dari hal-hal yang haram seperti judi, mabuk-mabukan,
zinah, mencuri, dan lainnya. Percuma
saja sholat kalau kelakuannya bejat,” tandas Ratu.
Mbok Yem
melongo. “Gitu ya Nya? Orang sholat
kelakuannya bejat? Si mbok dari dulu sholat tapi nggak pernah bejat, lho,” bantah Mbok Yem dengan berani. “Nyuwun sewu, Nyonya. Mungkin Nyonya nggak berkenan dengan
kata-kata si Mbok.”
Ratu tersenyum
sambil geleng-geleng kepala. “Baiknya, jangan kita bicara hal ini lagi Mbok! Takut salah paham. Percayalah, Mbok Yem adalah orang baik di
mata saya. Sholat Mbok selaras dengan
perilakunya. Oh ya, kayaknya mau makan
besar nih? Apa Kang Beni yang minta Mbok masak sebanyak ini?” Ratu mengamati piring saji dan mangkok yang
tertata di meja dapur.
“Iya Nyonya. Den Beni minta dibuatkan masakan Arab. Malam ini, Den Gibran mau makan di sini.” Mbok Yem memamerkan beberapa hidangan khas
Arab yang tersaji di meja dapur.
Masakan arab (sajiansedap.com)
“Wow, darimana
mbok belajar bikin masakan arab?” Ratu berseru kagum sambil menghirup aroma
nasi kebuli nan menggiurkan.
“Dari uminya
Den Gibran. Waktu mereka masih SMP, Den
Gibran bawa bekal kalau main ke rumah orang tua Den Beni. Masakan Si Mbok nggak
laku. Si Mbok jadi sedih. Makanya si Mbok belajar langsung ke uminya. Alhamdulillah, Den Gibran akhirnya mau makan masakan si
Mbok.” Mbok Yem mengelap tangannya ke celemek sambil tertawa renyah.
“Hebat, si Mbok!”
Ratu bertepuk-tangan walaupun hatinya menangis.
Beni mengabaikan keberadaannya
sebagai isteri. Kehadiran seorang sahabat di rumah mereka tak
dikabarkan pada isterinya. Rupanya masa
manis pernikahan Ratu telah tergerus arus waktu.
Malam itu...
Pukul tujuh
malam, Gibran tiba di kediaman mereka.
Beni menyambut hangat kehadiran sahabatnya, namun mengabaikan Ratu yang
berdiri di belakangnya. Gibran pun seolah
tak menyadari kehadiran Ratu. Ia tak
melihat ke arah nyonya rumah yang tersenyum menyambutnya.
“Maaf, apakah
aku mengganggu acara kalian?” Ratu mulai tak sabar.
Beni dan Gibran
kian mengacuhkan Ratu. Mereka beranjak
ke ruang makan sambil bergandengan tangan.
Sesekali Gibran melayangkan ciuaman ringan ke pipi Beni, layaknya
seorang kekasih. Saat duduk di kursi
makan, Beni menyandarkan kepalanya ke bahu Gibran. Tingkah laku mereka
sangat ganjil.
“Beni, ini aku,
isterimu! Apakah kamu bosan padaku?”
Ratu duduk di hadapan mereka.
“Kamu isteri
formalku, namun Gibran adalah pasangan sejatiku. Sebulan lalu, kami menikah di Italia.”
tandas Beni. Lantas, Beni berciuman dengan Gibran.
Ratu
terpukul. Beni telah membohonginya. Sebulan lalu ia mengaku ke Italia untuk seminar
arsitektur. Faktanya, ia menikahi sesama
pria di sana.
Bila suamimu
mendua dengan wanita lain, kamu tahu ia pernah mencintaimu. Tapi, bila suamimu mendua dengan sesama pria, bisa
dipastikan ia pura-pura mencintaimu. Pengikut
kaum sodom sulit jatuh cinta pada wanita.
Hati ratu hancur
berkeping-keping. Cinta pertamanya tertuju pada orang yang
salah. Ratu merutuki kebodohan dirinya. Mungkinkah ini karma sikap angkuhnya pada
pria di masa lalu? Ataukah hukuman Tuhan
akibat Ratu pernah menafikan cinta? Entahlah.
Yang pasti, Ratu ingin menyudahi pernikahannya
dengan Beni.
“A..aku akan
menggugat cerai ke Pengadilan Agama,”
Ratu tergagap karena menahan luapan amarah.
“Saat ini aku
belum ingin bercerai resmi darimu. Aku menginginkan
anakmu. Bercintalah dengan lelaki lain hingga
kamu hamil. Kami akan mengakui bayi
itu sebagai anak! Karena aku tak mungkin punya anak dari Gibran,”
Beni berbicara sambil mengerling mesra kekasihnya.
Plak! Ratu menampar pipi Beni. Amarahnya tak tertahankan lagi. “Kurang ajar!
Dengar, Beni! Aku memang jarang
shalat, tapi aku paham berzinah adalah dosa besar. Aku tak mau berzinah dengan lelaki manapun. ”
Ratu bergegas
masuk ke kamar tidur untuk mengumpulkan pakaian yang ia bawa dari rumah. Pakaian dan perhiasan pemberian keluarga
Beni ditinggalkannya. Ia hendak pergi ke rumah ibunya beserta
barang-barang hasil jerih payahnya sendiri.
(Bagaimana kehidupan Ratu setelah berpisah
dari Beni? Nantikanlah kisah
lanjutannya.)
________________________________________________________
CATATAN PENULIS
- Dalam salah satu bagian kisah di atas, latar belakangnya kantor pemerintah. Terdapat situasi persaingan antar karyawan dan perselingkungan. Kejadian tersebut tidak hanya terjadi kantor pemerintahan, tapi juga di kantor milik institusi swasta. Tulisan ini tidak bermaksud merendahkan institusi tertentu.
- Kisah dan tokoh-tokoh dalam cerita ini hanyalah imajinasi penulis. Bila ada kesamaan dalam kenyataan bukanlah suatu kesengajaan. Mohon maaf sebelumnya.
- Istilah-istilah : atas = puncak, Kadis = Kepala Dinas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar