Karya Fiksi oleh Fabina Lovers
Ringkasan Cerita Bagian 5:Ratu pergi dari rumah Beni. Suaminya ternyata homoseks. Beni menikahi sesama pria di Italia.
Ratu tiba di
rumah orang tuanya sekitar jam setengah sepuluh malam. Perjalanan dari Baranangsiang ke rumah orang tuanya di
Dramaga cukup menyita waktu bila memakai Angkutan Umum.
“Ratu, ada apa, Nak?” Ibu membukakan pintu sambil menguap. Agaknya beliau sudah tidur.
Ratu tak sanggup
berkata-kata lagi. Ia menubruk wanita
bertubuh montok itu, dan menumpahkan segenap lara dalam pelukannya.
Ibu mendudukan
Ratu di kursi tamu. “Jangan bercerita
kalau belum sanggup. Menangislah. Keluarkan semua kesedihanmu. Walaupun kamu belum bercerita, ibu bisa menebak
isi hatimu,” kata ibu sambil membelai rambut tebal milik Ratu.
Setelah meneguk
teh manis hangat buatan ibu, perasaan Ratu agak tenang. Ibu mengamati anak perempuannya dengan mimik
prihatin. Sekalipun telah menikah, Ratu
tetaplah ‘anak kecil’ di hadapan ibu.
“Bu, ternyata
Beni homoseks,” gumam Ratu dengan suara bergetar. Ratu menceritakan secara ringkas peristiwa
yang baru dialaminya.
“Ibu tahu,
Nak. Sayang, berita itu datangnya
terlambat. Ibu mendengarnya dari sepupu
jauh Beni waktu tahlian ‘seratus’ hari Ayah.” Ibu memeluk Ratu sambil menangis. “Maafkan kami, seandainya kami tahu lebih
awal, perjodohan kalian tak akan terjadi.”
“Sudah terjadi,
tak perlu disesali,” kata Ratu dengan suara kelu. Ia teringat mimpi buruknya saat hari
lamaran. Rupanya mimpi buruk itu semacam
petanda dari Yang Kuasa.
“Aku, aku hanya
memikirkan nasib ibu dan adik-adik.
Bagaimana kalau aku bercerai dengan Beni? Kita tinggal dimana? Sertifikat rumah ini masih atas nama Keluarga
Hambali. Kita hanya numpang
tinggal.” Ratu menatap seputar ruang
tamu dengan perasaan pilu.
“Sebentar, ibu
akan menunjukan sesuatu.” Ibu masuk ke dalam kamar tidurnya. Sejurus kemudian, ibu terlihat membawa kotak
perhiasan. Beliau membuka kotak
perhiasan sambil melemparkan senyum kemenangan.
“Ibu, darimana
perhiasan-perhiasan ini?” Sepasang mata Ratu membulat karena terkejut.
“Pak Hambali
sangat royal pada keluarga kita, Nak.
Beliau memberikan uang belanja delapan ratus ribu rupiah setiap bulan. Besar sekali, bukan? Sebagian uang itu ibu gunakan untuk modal
berdagang kue. Keuntungan berdagang kue
dan sisa belanja ibu belikan perhiasan ini.”
Ibu menatap Ratu dengan mata berbinar.
Uang Tahun Delapan Puluhan (Nilai tukar US dollar masih sekitar Rp.1000,-)
“Syukurlah,
ternyata ibu manajer keuangan yang hebat.” Ratu menggenggam tangan ibunya
sambil tertawa senang. “Dengan uang ini
kita bisa mengontrak rumah, Bu. Aku mau
mundur jadi tenaga honorer PEMDA.
Mudah-mudahan aku segera dapat pekerjaan baru yang gajinya lebih besar.”
“Aamiin. Sudah malam.
Kita tidur dulu, yuk! Insya Allah
hari esok lebih baik.” Ibu membimbing
Ratu ke kamar tidur. Malam itu Ratu
tidur bersama ibunya. Ajaib, penyakit
insomnia Ratu mendadak pulih. Ratu
tertidur nyenyak di atas kasur tipis yang menemani tidurnya selama belasan
tahun.
Pukul empat
pagi, bunyi dering telepon rumah membangunkan
ibu. “Selamat pagi, rumah Pak Amir,
dengan siapa?”sapa ibu dengan mata separuh terpejam.
“Ini Pak Hambali. Ratu ada disana, Bu? Bisa saya bicara dengan
dia?”
Kantuk ibu
mendadak lenyap ketika mendengar suara berat di ujung sana. “Ratu masih tidur, Pak. Tampaknya lelah sekali. Bapak bicara dengan saya saja. Saya sudah tahu semuanya,” ujar ibu dengan
intonasi berwibawa.
Pak Hambali
berdehem sejenak. “Jadi, bagaimana
hubungan anak-anak kita, Bu?”
“Saya pikir
sebaiknya disudahi saja. Bukankah Beni
sudah memiliki ‘kekasih’ lain. Mereka
berciuman di hadapan anak saya.
Alhamdulillah, Ratu diberi ketegaran.
Dia bisa selamat sampai di sini setelah melihat peristiwa menyakitkan
itu.” Suara ibu bergetar menahan emosi.
Pak Hambali
terdengar menghela napas di ujung sana. “Tak
masalah kalau anda mau menyudahi hubungan kekeluargaan kita. Saya akan mengurus surat cerai anak-anak kita.”
“Sebenarnya,
dulu Beni telah kami jodohkan dengan Rida. Ratu pasti kenal dia. Mereka sekantor. Tapi, Beni memilih Ratu.”
“Sampai sekarang
Rida belum menikah. Tampaknya, Beni tak
keberatan menikahi Rida bila Ratu minta cerai.” Pak Hambali mengancam mereka
dengan cara halus.
“Ya, ya, Saya
lega kalau Beni menikahi Rida. Jadi, anak saya segera mendapatkan Surat
Cerainya.” Ibu berbicara dengan nada ringan.
“Sayangnya,
orang tua Rida juga belum punya rumah.
Masa kontrak kediaman mereka habis seminggu lagi. Saya akan memberikan rumah yang anda tempati
pada orang tua Rida. Maaf, kalau bisa
minggu depan anda sudah pindah dari sana,” tegas Pak Hamdani.
“Jangankan
minggu depan, Pak. Besok pun kami bisa
pindah dari sini. Kami tak mau terlalu
banyak merepotkan Bapak. Terima kasih
atas kebaikan Bapak selama ini.” Ibu
berusaha menjaga intonasi suaranya. Air
mata nyaris tumpah dari mata tuanya.
“Okelah kalau
begitu. Maaf mengganggu tidurnya. Selamat pagi.” Pak Hambali menyudahi hubungan
telepon.
Tangis ibu
pecah. Beliau terisak-isak sambil
bersandar ke dinding. Ratu yang mau ke dapur untuk minum, terkejut ketika melihat ibu menangis.
“Ada apa, Bu?”
Ratu menghampiri ibunya.
“Kita harus
segera mencari kontrakan. Pak Hambali
menyuruh kita keluar dari sini. Orang tua
Rida, teman sekantormu, mau pindah ke sini,” isak ibu.
“Rida? Orang tuanya mau pindah ke sini?” Ratu
mengerutkan kening karena tak sepenuhnya paham penjelasan ibu.
“Iya, Rida teman
sekantormu.” Ibu menceritakan isi pembicaraannya dengan Pak Hambali via telepon.
Ratu terkikik
geli sambil memegangi perutnya. “Oh,
ternyata Rida gagal menikah dengan Beni.
Pantas saja dia benci banget sama aku.”
Ratu kembali tertawa. ”Ya, Rida akan
menjadi isteri ideal bagi Beni. Dia
nggak akan keberatan disuruh berselingkuh supaya punya anak. Sebagai imbalannya, orang tuanya dapat rumah
gratis plus penghasilan bulanan. Ah,
pernikahan itu akan menjadi anugerah bagi Rida.”
Suara azan
shubuh menghentikan percakapan ibu dan Ratu.
“Kita sholat berjamaah, yuk!” ajak ibu.
“Sejak kapan ibu
sholat?” tanya Ratu, heran.
“Sudah setahun,
sejak ayahmu pergi. Shalat adalah sumber
kekuatan kita. Ayo segera berwudhu!”
Ratu berwudhu
terpatah-patah, kemudian menjadi makmum ibunya.
Walau Ratu tak sepenuhnya hapal bacaan shalat, ia merasa damai saat
melakukan gerakan-gerakannya. Dalam
sujud terakhir, Ratu menangis terisak-isak.
Ia teringat semua dosanya. Seusai shalat, Ratu memohon pertolonganNya
bagi mereka. Ia teringat kata-kata guru
agamanya, setelah kesulitan akan ada kemudahan.
(Bagaimana nasib
keluarga Ratu setelah keluar dari rumah Pak Hambali. Simak terus kisahnya.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar