Minggu, 15 Februari 2015

Cerbung Bag 6 : Romansa

Karya Fiksi oleh Fabina Lovers

Image result for gambar hope and pray

Ringkasan Cerita Bagian 5:
Ratu pergi dari rumah Beni.  Suaminya ternyata homoseks. Beni menikahi sesama pria di Italia.
Ratu tiba di rumah orang tuanya sekitar jam setengah sepuluh malam.  Perjalanan dari Baranangsiang ke rumah orang tuanya di Dramaga cukup menyita waktu bila memakai Angkutan Umum.

“Ratu, ada apa, Nak?” Ibu membukakan pintu sambil menguap.  Agaknya beliau sudah tidur.

Ratu tak sanggup berkata-kata lagi.  Ia menubruk wanita bertubuh montok itu, dan menumpahkan segenap lara dalam pelukannya. 

Ibu mendudukan Ratu di kursi tamu.  “Jangan bercerita kalau belum sanggup.  Menangislah.  Keluarkan semua kesedihanmu.  Walaupun kamu belum bercerita, ibu bisa menebak isi hatimu,” kata ibu sambil membelai rambut tebal milik Ratu.

Setelah meneguk teh manis hangat buatan ibu, perasaan Ratu agak tenang.  Ibu mengamati anak perempuannya dengan mimik prihatin.  Sekalipun telah menikah, Ratu tetaplah ‘anak kecil’ di hadapan ibu.

“Bu, ternyata Beni homoseks,” gumam Ratu dengan suara bergetar.  Ratu menceritakan secara ringkas peristiwa yang baru dialaminya.

“Ibu tahu, Nak.  Sayang, berita itu datangnya terlambat.  Ibu mendengarnya dari sepupu jauh Beni waktu tahlian ‘seratus’ hari Ayah.”  Ibu memeluk Ratu sambil menangis.  “Maafkan kami, seandainya kami tahu lebih awal, perjodohan kalian tak akan terjadi.”

“Sudah terjadi, tak perlu disesali,” kata Ratu dengan suara kelu.  Ia teringat mimpi buruknya saat hari lamaran.  Rupanya mimpi buruk itu semacam petanda dari Yang Kuasa.
 
“Aku, aku hanya memikirkan nasib ibu dan adik-adik.  Bagaimana kalau aku bercerai dengan Beni? Kita tinggal dimana?  Sertifikat rumah ini masih atas nama Keluarga Hambali.  Kita hanya numpang tinggal.”  Ratu menatap seputar ruang tamu dengan perasaan pilu.

“Sebentar, ibu akan menunjukan sesuatu.” Ibu masuk ke dalam kamar tidurnya.  Sejurus kemudian, ibu terlihat membawa kotak perhiasan.  Beliau membuka kotak perhiasan sambil melemparkan senyum kemenangan.

“Ibu, darimana perhiasan-perhiasan ini?” Sepasang mata Ratu membulat karena terkejut.

“Pak Hambali sangat royal pada keluarga kita, Nak.  Beliau memberikan uang belanja delapan ratus ribu rupiah setiap bulan.  Besar sekali, bukan?  Sebagian uang itu ibu gunakan untuk modal berdagang kue.  Keuntungan berdagang kue dan sisa belanja ibu belikan perhiasan ini.”  Ibu menatap Ratu dengan mata berbinar.

Uang Tahun Delapan Puluhan (Nilai tukar US dollar masih sekitar Rp.1000,-)

“Syukurlah, ternyata ibu manajer keuangan yang hebat.” Ratu menggenggam tangan ibunya sambil tertawa senang.  “Dengan uang ini kita bisa mengontrak rumah, Bu.  Aku mau mundur jadi tenaga honorer PEMDA.  Mudah-mudahan aku segera dapat pekerjaan baru yang gajinya lebih besar.”

“Aamiin.  Sudah malam.  Kita tidur dulu, yuk!  Insya Allah hari esok lebih baik.”  Ibu membimbing Ratu ke kamar tidur.  Malam itu Ratu tidur bersama ibunya.  Ajaib, penyakit insomnia Ratu mendadak pulih.  Ratu tertidur nyenyak di atas kasur tipis yang menemani tidurnya selama belasan tahun.

Pukul empat pagi,  bunyi dering telepon rumah membangunkan ibu.  “Selamat pagi, rumah Pak Amir, dengan siapa?”sapa ibu dengan mata separuh terpejam.

“Ini Pak Hambali.  Ratu ada disana, Bu? Bisa saya bicara dengan dia?”

Kantuk ibu mendadak lenyap ketika mendengar suara berat di ujung sana.  “Ratu masih tidur, Pak.  Tampaknya lelah sekali.  Bapak bicara dengan saya saja.  Saya sudah tahu semuanya,” ujar ibu dengan intonasi berwibawa.

Pak Hambali berdehem sejenak.  “Jadi, bagaimana hubungan anak-anak kita, Bu?”

“Saya pikir sebaiknya disudahi saja.  Bukankah Beni sudah memiliki ‘kekasih’ lain.  Mereka berciuman di hadapan anak saya.  Alhamdulillah, Ratu diberi ketegaran.  Dia bisa selamat sampai di sini setelah melihat peristiwa menyakitkan itu.” Suara ibu bergetar menahan emosi.

Pak Hambali terdengar menghela napas di ujung sana.  “Tak masalah kalau anda mau menyudahi hubungan kekeluargaan kita.  Saya akan mengurus surat cerai anak-anak kita.”

“Sebenarnya, dulu Beni telah kami jodohkan dengan Rida. Ratu pasti kenal dia.  Mereka sekantor.  Tapi, Beni memilih Ratu.”

“Sampai sekarang Rida belum menikah.  Tampaknya, Beni tak keberatan menikahi Rida bila Ratu minta cerai.” Pak Hambali mengancam mereka dengan cara halus.

“Ya, ya, Saya lega kalau Beni menikahi  Rida.  Jadi, anak saya segera mendapatkan Surat Cerainya.” Ibu berbicara dengan nada ringan.

“Sayangnya, orang tua Rida juga belum punya rumah.   Masa kontrak kediaman mereka habis seminggu lagi.  Saya akan memberikan rumah yang anda tempati pada orang tua Rida.  Maaf, kalau bisa minggu depan anda sudah pindah dari sana,” tegas Pak Hamdani.

“Jangankan minggu depan, Pak.  Besok pun kami bisa pindah dari sini.  Kami tak mau terlalu banyak merepotkan Bapak.  Terima kasih atas kebaikan Bapak selama ini.”  Ibu berusaha menjaga intonasi suaranya.  Air mata nyaris tumpah dari mata tuanya.

“Okelah kalau begitu.  Maaf mengganggu tidurnya.  Selamat pagi.” Pak Hambali menyudahi hubungan telepon.

Tangis ibu pecah.  Beliau terisak-isak sambil bersandar ke dinding.  Ratu yang mau ke dapur untuk minum,  terkejut ketika melihat ibu menangis.

“Ada apa, Bu?” Ratu menghampiri ibunya.

“Kita harus segera mencari kontrakan.  Pak Hambali menyuruh kita keluar dari sini.  Orang tua Rida, teman sekantormu, mau pindah ke sini,” isak ibu.

“Rida?  Orang tuanya mau pindah ke sini?” Ratu mengerutkan kening karena tak sepenuhnya paham penjelasan ibu.

“Iya, Rida teman sekantormu.”  Ibu menceritakan isi pembicaraannya dengan Pak Hambali via telepon.

Ratu terkikik geli sambil memegangi perutnya.  “Oh, ternyata Rida gagal menikah dengan Beni.  Pantas saja dia benci banget sama aku.” 

Ratu kembali tertawa. ”Ya, Rida akan menjadi isteri ideal bagi Beni.  Dia nggak akan keberatan disuruh berselingkuh supaya punya anak.  Sebagai imbalannya, orang tuanya dapat rumah gratis plus penghasilan bulanan.  Ah, pernikahan itu akan menjadi anugerah bagi Rida.”

Suara azan shubuh menghentikan percakapan ibu dan Ratu.  “Kita sholat berjamaah, yuk!” ajak ibu.

“Sejak kapan ibu sholat?” tanya Ratu, heran.

“Sudah setahun, sejak ayahmu pergi.  Shalat adalah sumber kekuatan kita.  Ayo segera berwudhu!” 

Ratu berwudhu terpatah-patah, kemudian menjadi makmum ibunya.  Walau Ratu tak sepenuhnya hapal bacaan shalat, ia merasa damai saat melakukan gerakan-gerakannya.  Dalam sujud terakhir, Ratu menangis terisak-isak.  Ia teringat semua dosanya.   Seusai shalat, Ratu memohon pertolonganNya bagi mereka.  Ia teringat kata-kata guru agamanya, setelah kesulitan akan ada kemudahan.


(Bagaimana nasib keluarga Ratu setelah keluar dari rumah Pak Hambali.  Simak terus kisahnya.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar