
Karya Fiksi oleh Fabina Lovers.
Ringkasan bagian ke-6 :
Pernikahan Ratu dan Beni berakhir. Pak Hambali akan mengurus surat cerai mereka. Keluarga Ratu harus segera keluar dari rumah Pak Hambali karena calon besan barunya akan menempati rumah tersebut.
Selepas sholat
subuh, Ratu membangunkan adik-adiknya.
Kedua remaja jahil itu terkejut melihat kehadiran kakak mereka. Selama menikah, Ratu tak pernah menginap di
rumah ibunya.
“Eh, Teteh kapan datang? Kok nginep di sini?” tanya Sari.
“Lagi berantem
ama Kang Beni, ya?” tebak Amira sambil mengucek matanya.
Huh, Ratu ingin menjewer
telinga kedua anak bawel itu. Tapi, ia
merasa iba kala memandang tatapan polos kedua adiknya. Mereka tak bermaksud melukai perasaan Ratu.
“Kalian itu juru
ramal hebat. Ok cenayang, biar nggak
terlambat sekolah, kalian harus segera mandi! Selama kalian mandi, teteh akan
memasak omelet lezat untuk sarapan kalian.” Ratu mengacak-acak rambut kedua
adiknya seraya tertawa.
“Tunggu dulu,
aku mau kepastian. Jadi benar, Teteh
berantem dengan Kang Beni?” Amira masih penasaran dengan kondisi Ratu.
Ratu menghela
napas panjang. “Ah, adikku yang satu ini
memang tak bisa dialihkan. Iya
sayang, Teteh sudah nggak cocok dengan
Kang Beni. Mungkin kami akan
bercerai. Sudah ya, jangan banyak tanya
lagi! Teteh sedih kalau kalian terlalu
banyak bertanya.” Setetes air mata
mengaliri pipi mulus Ratu.
Kedua remaja ceriwis serentak memeluk sang kakak tercinta. “Maafkan Amira ya Teh. Janji deh, mulai sekarang Amira nggak banyak nanya lagi. I swear.” Amira
melepaskan pelukan lalu mengacungkan kedua jarinya membentuk hurup V.
“Ya sudah, cepat
mandi! Mau omelet nggak?”
“Mau...mau...,
bikin yang enak seperti biasa ya, Teh,” kata Sari.
Kedua remaja itu berlarian menuju kamar mandi masing-masing. Rumah Pak Hambali memiliki dua buah
kamar mandi. Setiap adik Ratu mengakui satu kamar mandi sebagai miliknya.
Ratu prihatin memikirkan nasib kedua adiknya.
Bagaimana bila rumah baru hanya memiliki sebuah kamar mandi? Gadis-gadis itu akan kehilangan peluang memiliki kamar mandi pribadi.
Setelah
berdandan rapi dan sarapan omelet spesial, kedua adik Ratu berangkat ke sekolah. Ratu dan ibu pun keluar rumah sepagi itu. Mereka bertekad mencari rumah sewaan sedini
mungkin. Malu benar bila mereka tak
segera keluar dari rumah Pak Hambali.
Saat menunggu
angkot jurusan Kampus Dalam, sebuah Jimny biru menepi ke dekat mereka. Pengendaranya turun dari mobil, lalu menyapa Ratu. “Assalamualaikum, bukankah anda menantu Pak
Hambali ?” tanya pengendara mobil sambil tersenyum.
Ratu mengamati
sosok pengendara mobil yang tegap. Wajah
bopeng yang mendadak penuh lesung pipi kala empunya tersenyum. Walau baru sekali bertemu, Ratu masih ingat sosok pria itu.
“Waalaikumussalam. Bapak kolonel
Raja? Mau kemana, Pak?” tanya Ratu. Perasaannya mendadak gembira. Aura Kolonel Raja seolah menelan kesedihan orang-orang di sekitarnya.
“Saya mau ke Leuwiliang. Adek dan Ibu hendak kemana? Bagaimana kalau ikut mobil saya?”
tawar Pak Kolonel dengan santun.
Ratu
berpandangan sejenak dengan ibunya.
Tujuan mereka tak pasti. Akan merepotkan
bila menumpang kendaraan orang lain.
Mereka ingin menolak tawaran santun itu.
Tapi, mereka khawatir menyinggung perasaan Kolonel Raja.
“Kami sedang
mencari kontrakan, Pak. Di daerah Babakan Tengah agaknya masih ada yang kosong.
Mungkin, kami ikut sampai pertigaan babakan raya saja, Pak. Setelah itu, Bapak dapat meneruskan perjalanan
ke Leuwiliang,” jawab Ratu, diplomatis.
“Cari kontrakan?
Ehm, maaf, untuk siapa?”
“Untuk ibu saya,
Pak.”
Kolonel Raja
menatap Bu Amir. “Apakah Ibu keberatan
bila mengisi rumah keluarga saya di Leuwiliang?
Tak perlu menyewa rumah. Cukup bayar biaya pemakaian listrik saja.”
“Serius, Pak?”
tanya Bu Amir, tak percaya dengan pendengarannya.
“Serius, Bu,”
jawab Kolonel Raja sambil mengangguk mantap.
“Saya mau, Pak. Kebetulan kedua anak saya bersekolah di SMP
Negeri Ciampea. Dekat dari Leuwiliang. Alhamdulillah, Allah memberi pertolongan
melalui Bapak.” Ibu menciumi tangan
Kolonel Raja karena terharu.
Kolonel Raja
menarik tangannya sambil tertawa renyah.
“Jangan terlalu gembira, Bu.
Rumah kami di kampung. Jauh dari
sarana rekreasi. Saya khawatir anak-anak
ibu nggak betah tinggal di sana.”
“Ah, anak-anak
saya jarang rekreasi, Pak. Kami ini
orang susah. Bisa sekolah dan makan saja
sudah senang.” Bu Amir tersenyum sumringah.
“Nah, kita akan melihat rumah itu, sekarang!” Kolonel Raja memimpin mereka menuju
mobilnya. Bu Amir dan puterinya segera
menaiki mobil Kolonel Raja. Bu Amir
duduk di sebelah kolonel Raja. Sementara
Ratu menempati kursi belakang.
Dalam perjalanan
ke Leuwiliang, terjalin pembincangan akrab antara mereka. Ratu baru tahu
bahwa Kolonel Raja menduda sejak tiga tahun lalu. Isteri beliau meninggal dunia akibat kanker kelenjar getah bening. Anak beliau berjumlah dua orang. Keduanya berhasil memenangkan beasiswa BPPT
untuk kuliah di Jepang.
“Kalau bapaknya
pintar, maka anak-anaknya pun pintar,” puji
Bu Amir, tulus.
“Saya mah nggak
seberapa pintar. Hanya alumnus pesantren
yang beruntung lulus tes AKABRI,” kata Kolonel Raja, merendah.
“Hah, Bapak
lulusan pesantren?” Bu Amir dan Ratu bertanya serempak.
“Kenapa? Heran ya?
Lulusan pesantren kok nggak jadi ustadz?
Tahu apa sebabnya?” Kolonel Raja tersenyum misterius. Ratu dan Bu Amir tak berani bertanya lebih
jauh karena hal itu bersifat pribadi.
“Jawabannya
nanti saja, ya. Kita akan segera tiba di rumah,” kata Kolonel Raja.
Kolonel Raja
membelokan kendaraan pada pertigaan yang berjarak tigaratus meter dari Pasar
Leuwiliang. Mobil Kolonel Raja
melintasi jalan desa nan berbatu. Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah
rumah kuno berhalaman luas. Posisinya
sekitar 500 m dari jalan utama.

Pasar Leuwiliang (sumber : Blog Leuwiliang Kota Bogor)
“Nah, inilah
rumah yang akan kalian tempati. Welcome home.” Kolonel Raja menghentikan kendaraan di halaman rumah dan
mempersilakan para penumpangnya turun.
Ibu dan Ratu
memasuki calon rumah mereka dengan perasaan riang.
Sebuah rumah kuno yang terawat baik.
Perabotan rumah masih bagus dan lengkap. Ukuran rumah sekitar dua kali lipat dari
rumah keluarga Hambali yang mereka tempati.
Langit-langitnya tinggi sehingga hawa di dalam rumah terasa sejuk. Kita tak memerlukan kipas angin di sana. Rumah Kolonel Raja ibarat hadiah dari masa lalu bagi
keluarga Ratu.
“Bagaimana. Kalian suka dengan rumah ini?” tanya Kolonel
Raja. Pandangan matanya tak lepas dari
foto seorang wanita tua berkerudung putih.
Wajah wanita tua itu meneduhkan hati.
Senyum manisnya mirip senyuman Kolonel Raja.
“Rumah yang
bagus. Perabotannya lengkap pula. Ngomong-ngomong, apakah ini foto ibunya
Kolonel?” Bu Amir menunjuk foto wanita tua dengan jempol tangan kanannya. Cara sopan seorang wanita sunda saat menunjukkan
sesuatu.
“Ya, beliau ibu
yang hebat. Ajaran beliau mengenai cinta
akan saya ingat hingga akhir hayat.
Menurut beliau, cinta sejati seperti batu bara. Cinta monyet serupa kembang api. Ah, pintar sekali ibuku membuat perumpamaan.”
“Apa maksud
kembang api dan batu bara?” tanya Ratu, penasaran.
“Kembang api meledak-ledak
pada awalnya. Warna pelangi si bunga api,
memesona khalayak ramai. Tapi, apinya
tak bertahan lama. Saat bahan kimia
habis, api pun padam. Demikianlah cinta
monyet.”
“Berbeda dengan
batu bara. Awalnya, permukaan batu dingin. Butuh waktu lama untuk memanaskan seluruh
permukaannya. Tapi, bila batu telah membara, panasnya bertahan
lama. Demikianlah cinta sejati,” pungkas
Kolonel Raja dengan pandangan menerawang.
Sesuatu menohok
perasaan Ratu. “Nasehat yang indah,”
kata Ratu dengan suara bergetar. Air
matanya nyaris tumpah.
Bu Amir berusaha
menyelamatkan anaknya dari belenggu kesedihan dengan mengalihkan topik
pembicaraan. “Oh ya Pak Kolonel, adakah lowongan kerja yang cocok untuk Ratu?
Anak saya mau berhenti kerja di PEMDA.”
“Oh, kenapa
berhenti? Pak Hambali sudah setuju?” tanya Kolonel Raja sambil mengerutkan kening keheranan.
Ratu salah
tingkah. Bu Amir kembali mengambil
kendali percakapan. “Sudah, Pak. Beliau bahkan meminta kami keluar dari
rumahnya. Karena, Ratu bukan lagi
menantu beliau. Ya, sebenarnya saya
bukan penganjur perceraian. Tapi, saya mah nggak rela anak saya dinikahi pria homo,” ujar ibu, lugas.
Ratu mendelik
kesal pada ibunya. “Oh, kenapa ibu
terlalu berterus-terang? Ini rahasia
kita,” tukas Ratu.
“Rahasia umum,
tepatnya,” tambah Kolonel Raja sambil tertawa.
“Waktu kalian menikah, saya kira Beni sudah normal. Ternyata, dia kembali pada kebiasaan lamanya.”
Ratu dan Bu Amir
memandang Kolonel Raja untuk mendengarkan penjelasan lebih lanjut. Tapi, sang kolonel malah membicarakan hal
lain. “Dek Ratu, mau menggantikan isteri
saya?” tanya kolonel Raja sambil mengedipkan sebelah matanya.
“A...apa?” Ratu
terkejut. Wajah gadis itu sontak
memerah.
“Hei, jangan GR (Gede Rasa-Pen) dulu! Maksud saya, maukah menggantikan
isteri saya mengelola lahan kami? Sejak
isteri saya wafat, lahan kami terbengkalai.
Produksinya terus berkurang. Sayang,
karena luasannya mencapai enam hektar. Jadi, Dek Ratu mau nggak?”
“Ya, saya
bersedia,” jawab Ratu sambil menunduk malu.
(Bagaimanakah pekerjaan Ratu yang baru? Mengapa Pak Raja memilih jadi TNI-AD, simak lanjutannya!)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar