Rabu, 18 Februari 2015

Cerbung Bag.7 : Romansa

Karya Fiksi oleh Fabina Lovers.
Ringkasan bagian ke-6 :
Pernikahan Ratu dan Beni berakhir.  Pak Hambali akan mengurus surat cerai mereka. Keluarga Ratu harus segera keluar dari rumah Pak Hambali karena calon besan barunya akan menempati rumah tersebut.
Selepas sholat subuh, Ratu membangunkan adik-adiknya.   Kedua remaja jahil itu terkejut melihat kehadiran kakak mereka.  Selama menikah, Ratu tak pernah menginap di rumah ibunya.

“Eh, Teteh kapan datang?  Kok nginep di sini?” tanya Sari.

“Lagi berantem ama Kang Beni, ya?” tebak Amira sambil mengucek matanya.

Huh, Ratu ingin menjewer telinga kedua anak bawel itu.  Tapi, ia merasa iba kala memandang tatapan polos kedua adiknya.  Mereka tak bermaksud melukai perasaan Ratu.

“Kalian itu juru ramal hebat.  Ok cenayang, biar nggak terlambat sekolah, kalian harus segera mandi! Selama kalian mandi, teteh akan memasak omelet lezat untuk sarapan kalian.” Ratu mengacak-acak rambut kedua adiknya seraya tertawa.

“Tunggu dulu, aku mau kepastian.  Jadi benar, Teteh berantem dengan Kang Beni?” Amira masih penasaran dengan kondisi Ratu.

Ratu menghela napas panjang.  “Ah, adikku yang satu ini memang tak bisa dialihkan.  Iya sayang,  Teteh sudah nggak cocok dengan Kang Beni.  Mungkin kami akan bercerai.  Sudah ya, jangan banyak tanya lagi!  Teteh sedih kalau kalian terlalu banyak bertanya.”  Setetes air mata mengaliri  pipi mulus Ratu.

Kedua remaja ceriwis serentak memeluk sang kakak tercinta. “Maafkan Amira ya Teh.  Janji deh, mulai sekarang Amira nggak banyak nanya lagi. I swear.” Amira melepaskan pelukan lalu mengacungkan kedua jarinya membentuk hurup V.

“Ya sudah, cepat mandi!   Mau omelet nggak?”

“Mau...mau..., bikin yang enak seperti biasa ya, Teh,” kata Sari.

Kedua remaja itu berlarian menuju kamar mandi masing-masing. Rumah Pak Hambali memiliki dua buah kamar mandi.   Setiap adik Ratu mengakui satu kamar mandi sebagai miliknya.   Ratu prihatin memikirkan nasib kedua adiknya.  Bagaimana bila rumah baru hanya memiliki sebuah kamar mandi?  Gadis-gadis itu akan kehilangan  peluang memiliki kamar mandi pribadi.

Setelah berdandan rapi dan sarapan omelet spesial, kedua adik Ratu berangkat ke sekolah.  Ratu dan ibu pun keluar rumah sepagi itu.  Mereka bertekad mencari rumah sewaan sedini mungkin.  Malu benar bila mereka tak segera keluar dari rumah Pak Hambali. 

Saat menunggu angkot jurusan Kampus Dalam, sebuah Jimny biru menepi ke dekat mereka.  Pengendaranya turun dari mobil,  lalu menyapa Ratu.  “Assalamualaikum, bukankah anda menantu Pak Hambali ?” tanya pengendara mobil sambil tersenyum.

Ratu mengamati sosok pengendara mobil yang tegap.  Wajah bopeng yang mendadak penuh lesung pipi kala empunya tersenyum.  Walau baru sekali bertemu, Ratu masih ingat sosok pria itu.

“Waalaikumussalam. Bapak kolonel Raja?  Mau kemana, Pak?” tanya Ratu. Perasaannya mendadak gembira.  Aura Kolonel Raja seolah menelan  kesedihan orang-orang di sekitarnya.

“Saya mau ke Leuwiliang.  Adek dan Ibu hendak kemana?  Bagaimana kalau ikut mobil saya?” tawar Pak Kolonel dengan santun.

Ratu berpandangan sejenak dengan ibunya.  Tujuan mereka tak pasti.  Akan merepotkan bila menumpang kendaraan orang lain.  Mereka ingin menolak tawaran santun itu.  Tapi, mereka khawatir menyinggung perasaan Kolonel Raja.

“Kami sedang mencari kontrakan, Pak.  Di daerah Babakan Tengah agaknya masih ada yang kosong.  Mungkin, kami ikut sampai pertigaan babakan raya saja, Pak.  Setelah itu, Bapak dapat meneruskan perjalanan ke Leuwiliang,” jawab Ratu, diplomatis.

“Cari kontrakan? Ehm, maaf,  untuk siapa?”

“Untuk ibu saya, Pak.”

Kolonel Raja menatap Bu Amir.  “Apakah Ibu keberatan bila mengisi rumah keluarga saya di Leuwiliang?  Tak perlu  menyewa rumah.  Cukup bayar biaya pemakaian listrik saja.”

“Serius, Pak?” tanya Bu Amir, tak percaya dengan pendengarannya.

“Serius, Bu,” jawab Kolonel Raja sambil mengangguk mantap.

 “Saya mau, Pak.  Kebetulan kedua anak saya bersekolah di SMP Negeri Ciampea.  Dekat dari Leuwiliang.  Alhamdulillah, Allah memberi pertolongan melalui Bapak.”  Ibu menciumi tangan Kolonel Raja karena terharu.

Kolonel Raja menarik tangannya sambil tertawa renyah.  “Jangan terlalu gembira, Bu.  Rumah kami di kampung.  Jauh dari sarana rekreasi.  Saya khawatir anak-anak ibu nggak betah tinggal di sana.”

“Ah, anak-anak saya jarang rekreasi, Pak.  Kami ini orang susah.  Bisa sekolah dan makan saja sudah senang.” Bu Amir tersenyum sumringah.

“Nah, kita akan melihat rumah itu, sekarang!” Kolonel Raja memimpin mereka menuju mobilnya.   Bu Amir dan puterinya segera menaiki mobil Kolonel Raja.  Bu Amir duduk di sebelah kolonel Raja.  Sementara Ratu menempati kursi belakang. 

Dalam perjalanan ke Leuwiliang,  terjalin pembincangan akrab antara mereka.  Ratu baru tahu bahwa Kolonel Raja menduda sejak tiga tahun lalu.  Isteri beliau meninggal dunia akibat kanker kelenjar getah bening.  Anak beliau  berjumlah dua orang.  Keduanya berhasil memenangkan beasiswa BPPT untuk kuliah di Jepang.

“Kalau bapaknya pintar, maka anak-anaknya pun pintar,” puji  Bu Amir, tulus.

“Saya mah nggak seberapa pintar.  Hanya alumnus pesantren yang beruntung lulus tes AKABRI,” kata Kolonel Raja, merendah.

“Hah, Bapak lulusan pesantren?” Bu Amir dan Ratu bertanya serempak.

“Kenapa?  Heran ya?  Lulusan pesantren kok nggak jadi ustadz?  Tahu apa sebabnya?” Kolonel Raja tersenyum misterius.  Ratu dan Bu Amir tak berani bertanya lebih jauh karena hal itu bersifat pribadi.

“Jawabannya nanti saja, ya.  Kita akan segera tiba di rumah,” kata Kolonel Raja.

Kolonel Raja membelokan kendaraan pada pertigaan yang berjarak tigaratus meter dari Pasar Leuwiliang.  Mobil Kolonel Raja melintasi  jalan desa nan berbatu.  Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah rumah kuno berhalaman luas.  Posisinya sekitar 500 m dari jalan utama.
Pasar Leuwiliang (sumber : Blog Leuwiliang Kota Bogor)

“Nah, inilah rumah yang akan kalian tempati.  Welcome home.”  Kolonel Raja menghentikan kendaraan di halaman rumah dan mempersilakan para penumpangnya turun.

Ibu dan Ratu memasuki calon rumah mereka dengan perasaan riang.   Sebuah rumah kuno yang terawat baik.   Perabotan rumah masih bagus dan lengkap.   Ukuran rumah sekitar dua kali lipat dari rumah keluarga Hambali yang mereka tempati.  Langit-langitnya tinggi sehingga hawa di dalam rumah terasa sejuk.  Kita tak memerlukan kipas angin di sana.  Rumah Kolonel Raja ibarat hadiah dari masa lalu bagi keluarga Ratu.

“Bagaimana.  Kalian suka dengan rumah ini?” tanya Kolonel Raja.  Pandangan matanya tak lepas dari foto seorang wanita tua berkerudung putih.  Wajah wanita tua itu meneduhkan hati.  Senyum manisnya mirip senyuman Kolonel Raja.

“Rumah yang bagus.  Perabotannya lengkap pula.  Ngomong-ngomong, apakah ini foto ibunya Kolonel?” Bu Amir menunjuk foto wanita tua dengan jempol tangan kanannya.  Cara sopan seorang wanita sunda saat menunjukkan sesuatu.

“Ya, beliau ibu yang hebat.  Ajaran beliau mengenai cinta akan saya ingat hingga akhir hayat.  Menurut beliau, cinta sejati seperti batu bara.  Cinta monyet serupa kembang api.  Ah, pintar sekali  ibuku membuat perumpamaan.”

“Apa maksud kembang api dan batu bara?” tanya Ratu, penasaran.

“Kembang api meledak-ledak pada awalnya.  Warna pelangi si bunga api, memesona khalayak ramai.  Tapi, apinya tak bertahan lama.  Saat bahan kimia habis, api pun padam.  Demikianlah cinta monyet.”

“Berbeda dengan batu bara.  Awalnya, permukaan batu dingin.  Butuh waktu lama untuk memanaskan seluruh permukaannya.  Tapi,  bila batu telah membara, panasnya bertahan lama.  Demikianlah cinta sejati,” pungkas Kolonel Raja dengan pandangan menerawang.

Sesuatu menohok perasaan Ratu.  “Nasehat yang indah,” kata Ratu dengan suara bergetar.  Air matanya nyaris tumpah.

Bu Amir berusaha menyelamatkan anaknya dari belenggu kesedihan dengan mengalihkan topik pembicaraan.  “Oh ya Pak Kolonel, adakah lowongan kerja yang cocok untuk Ratu?  Anak saya mau berhenti kerja di PEMDA.”

“Oh, kenapa berhenti?  Pak Hambali sudah setuju?” tanya Kolonel Raja sambil mengerutkan kening keheranan.

Ratu salah tingkah.  Bu Amir kembali mengambil kendali percakapan.  “Sudah, Pak.  Beliau bahkan meminta kami keluar dari rumahnya.  Karena, Ratu bukan lagi menantu beliau.  Ya, sebenarnya saya bukan penganjur perceraian.  Tapi, saya mah nggak rela anak saya dinikahi pria homo,” ujar ibu, lugas.

Ratu mendelik kesal pada ibunya.  “Oh, kenapa ibu terlalu berterus-terang?  Ini rahasia kita,” tukas Ratu.

“Rahasia umum, tepatnya,” tambah Kolonel Raja sambil tertawa.  “Waktu kalian menikah, saya kira Beni sudah normal.  Ternyata, dia kembali pada kebiasaan lamanya.”

Ratu dan Bu Amir memandang Kolonel Raja untuk mendengarkan penjelasan lebih lanjut.  Tapi, sang kolonel malah membicarakan hal lain.  “Dek Ratu, mau menggantikan isteri saya?” tanya kolonel Raja sambil mengedipkan sebelah matanya.

“A...apa?” Ratu terkejut.  Wajah gadis itu sontak memerah.

“Hei, jangan GR (Gede Rasa-Pen) dulu!  Maksud saya, maukah menggantikan isteri saya mengelola lahan kami?  Sejak isteri saya wafat, lahan kami terbengkalai.  Produksinya terus berkurang. Sayang, karena luasannya mencapai enam hektar.   Jadi, Dek Ratu mau nggak?”

“Ya, saya bersedia,” jawab Ratu sambil menunduk malu.

(Bagaimanakah pekerjaan Ratu yang baru? Mengapa Pak Raja memilih jadi TNI-AD, simak  lanjutannya!)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar