Rabu, 25 Februari 2015

Cerbung Bag.9 : Romansa

Dipublikasikan pada   15:41.
Karya Fiksi Fabina Lovers. 


Image result for angkot kabupaten bogor

Ringkasan Cerita Bagian 8 :
Ratu dan keluarga memutuskan pindah dari rumah Kolonel Raja.  Rumah itu akan ditempati kemenakan Kolonel yang baru pindah dari Jakarta.  Ratu dan ibunya bertekad untuk mandiri.
1990
Malam pergantian tahun ini lebih meriah daripada tahun sebelumnya.  Masyarakat bergembira menyongsong era sembilan  puluhan.   Menurut Pak Presiden, tahun sembilan puluhan adalah era tinggal landas menuju masyarakat adil, makmur dan sejahtera.
Keluarga Bu Amir menikmati permainan warna kembang api di angkasa.  Mereka duduk-duduk di teras sempit rumah kontrakan  sambil membakar jagung.  Aroma jagung bakar menguar seiring hembusan angin malam.  Seekor kucing kurus yang sejak tadi duduk di tembok pagar, mengeong kelaparan.  Tampaknya mahluk itu tertarik mencicipi jagung bakar.

Sebuah angkot warna biru berhenti di muka pintu pagar.  “Kolonel Raja datang!” seru Sari. 

“Ah, lagi pesta jagung bakar rupanya.  Om boleh ikut, nggak?  Ngomong-ngomong, Om mau susu jahe buatan Ibu nih.  Pas banget dinikmati dalam suasana seperti ini.”   Kolonel Raja terkekeh seraya mengedipkan sebelah matanya.

“Boleh, wani piro, Om?” canda Amira.  Bu Amir menjawil bahu Amira sambil mengerutkan kening.  Tanda tak setuju dengan gaya bercanda puterinya.

“Nggak apa-apa, Bu.  Om paham, Amira cuma bercanda.  Iya ‘kan, Amira?” Kolonel Raja malah membela Amira.

“Mmm, serius juga boleh kok.” Amira memasang muka lucu.  Kolonel  mencubit pipinya dengan gemas.

Bu Amir masuk ke dalam rumah sambil geleng-geleng kepala.  Anak-anaknya terlampau akrab dengan pria separuh baya itu.  Kadang-kadang tingkah mereka keterlaluan.  Untunglah Pak Kolonel tak terganggu dengan perbuatan iseng kedua puterinya.  Malah beliau tampak menikmatinya.

“Sayang sekali, Om pensiun dini.  Padahal ada kemungkinan jadi orang nomor satu di daerah,” sesal Ratu.  Gadis itu menatap Kolonel Raja dengan mimik prihatian.

“Ini keputusan terbaik.  Hasil shalat istikharah beberapa bulan.  Om tak bisa melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nurani.” Tatapan Kolonel Raja menerawangi langit kelam. Ia lantas mengalihkan pandangannya pada kedua remaja jahil.

“Sari, Amira, apa coba bedanya kelapa dan kepala?  Yang bisa jawab dapat seribu.” Kolonel Raja mengibaskan uang seribu rupiah ke hadapan remajawati ceriwis itu.

“Aku tahu bedanya.  Kelapa jadi batok dan  kepala jadi botak.  Benar ‘kan, Om? Hore, dapat seribu!” Tanpa basa-basi Amira merenggut uang seribu rupiah dari tangan Kolonel Raja.  Pria itu hanya bisa pasrah melihat uangnya berpindah tangan.

“Salah Om sih, kasih tebak-tebakan ke Teh Amira.  Itu mah keahlian dia.  Harusnya  Om ngetes hapalan surat pendek.  Dijamin, si Teteh nggak bisa.”   Sari terkekeh geli.

Bu Amir keluar rumah sambil membawa baki besar berisi lima gelas susu jahe dan sepiring penuh ketan bakar bumbu oncom.

“Wow, ini sih makanan paling enak sedunia.”  Tanpa malu-malu Kolonel Raja mengambil segelas susu dan sebuah ketan bakar.  Kedua sajian itu dinikmatinya sepenuh hati.

Bu Amir memandangi Kolonel Raja dengan perasaan pilu.  Metamorfosis kariernya dari seorang Komandan Kodim menjadi sopir angkot amatlah menyedihkan.  Kini, saudara maupun rekan Kolonel Raja menjauhinya.  Benarlah kata pepatah, ada semut ada gula, gulanya habis semut pun pergi. 

“Bagaimana kabar kedua putera Bapak di Jepang?” Bu Amir mencoba memikirkan topik lain agar tak larut dalam nestapa kehidupan Kolonel Raja.  Padahal Pak Kolonel sendiri gembira menjalani kehidupan barunya.

“Alhamdulillah.  Mereka nggak perlu dikirimi uang lagi.  Sekarang mereka membantu proyek profesornya.  Ada kemungkinan mereka mendapatkan beasiswa universitas untuk kuliah pascasarjana,” jelas Kolonel Raja dengan wajah berbinar. 

“Alhamdulillah,” ujar Bu Amir.  Air mata haru menetesi pipinya yang mulai keriput. “Mudah-mudahan anak-anak bawel ini kelak  membanggakan orang tua seperti putera Pak Kolonel.”

“Insya Allah,”  ujar Kolonel Raja sambil menepuk lembut pundak Sari dan Amira.

“Jangan khawatir, kami  akan membanggakan Ibu kelak,” janji Sari dan Amira.  Kedua remaja itu kompak membuat hurup V dengan jari tangannya.

Malam semakin larut.  Kolonel Raja pamit pulang ke rumah kontrakannya.  Kediaman Kolonel berselisih satu blok dari tempat tinggal keluarga Ratu.   Mereka sama-sama mengontrak rumah tipe 36 di Perumnas yang baru berdiri dua tahun lalu.

Hah, Kolonel Raja tinggal di rumah kontrakan?  Ketahuilah, rumah dan sawah yang menjadi bagian warisan Kolonel, dijual Uwak Karta tanpa persetujuan beliau.   Hasil penjualan aset tersebut sangat besar untuk ukuran tahun delapan puluhan.   Mencapai limapuluh  juta rupiah.   Sayang, Kolonel Raja tak memperoleh serupiah pun dari hasil penjualan.  Bahkan beliau terusir dari rumahnya.

Ironisnya, Kolonel Raja belum punya rumah pribadi.  Selama ini Kolonel Raja dan keluarganya tinggal di Rumah Dinas TNI AD.  Kolonel Raja tak berencana membeli rumah pribadi karena telah mendapat warisan rumah dari mendiang ibunya.  Uwak Karta juga mewarisi rumah yang letaknya bersebelahan dengan milik Kolonel Raja.

Kolonel Raja tak mengurus balik nama sertifikat rumah maupun lahan sawah bagiannya.  Kesemua aset itu masih atas nama ibunya.  Uwak Karta leluasa menjual dengan dalih warisan milik bersama.  Dia tega memalsukan tanda-tangan Kolonel Raja dalam Surat Persetujuan Ahli Waris.

“Harusnya Om melaporkan kecurangan Uwak Karta ke polisi!” saran Sari sewaktu mendengar berita itu.

“Tak perlu.  Om sudah ikhlas kehilangan warisan.  Om percaya, Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik,” kata Kolonel Raja.  Keikhlasan beliau menginspirasi Ratu dan keluarganya.

*******

Sore itu, Ratu menikmati perjalanan memakai angkot.  Sopir angkot menjalankan kendaraan dengan santun.  Tidak kebut-kebutan seperti kebanyakan sopir trayek Merdeka-Leuwiliang.  Ratu menyandarkan tubuh letihnya ke sandaran bangku penumpang.   Plastik besar berisi kotak-kotak kue yang kosong tergeletak di dekat kakinya.  Kantuk pun menyerang. 

Setiap hari, Ratu bangun jam tiga dinihari.  Ia membantu ibunya membuat kue.  Sebelum mengajar, Ratu menitipkan kotak kue di beberapa kantin fakultas.  Kue-kue buatan mereka digemari kalangan kampus.   Hampir semua panitia acara  kampus memesan kue pada mereka.   

Bila  kebanjiran order kue, mereka meminta bantuan tetangga.    Para ibu rumah tangga itu bersemangat membantu produksi kue.   Tentu saja bersemangat.   Upahnya memadai.  Pulang ke rumah pun dibekali  aneka jenis kue.   

“Mudah-mudahan ordernya banyak terus.  Biar kami bisa bantu lagi.”  Demikian harapan ibu-ibu yang baik itu.  Ratu bersyukur, usaha kue mereka mendatangkan berkah bagi para tetangga.

Tiba-tiba sopir angkot mengerem mobilnya.  Ratu dan beberapa penumpang terkejut.  Bang sopir tampak berbicara dengan sopir angkot lainnya di seberang jalan.  Isi pembicaraan mereka tak terdengar  jelas oleh para penumpang angkot.

“Ibu dan bapak sekalian, mohon  maaf saya tak bisa mengantar sampai tujuan.   Saya harus segera ke rumah sakit, melihat kondisi bapak saya,” kata sopir angkot dengan santun.

Beberapa penumpang menggerutu.  “Gue bisa telat nih,” keluh pria pegawai pabrik.

“Sekali lagi mohon maaf terpaksa saya turunkan, Anda tak perlu membayar,” tambah sopir  bertampang terpelajar itu.

Para penumpang berhenti protes.  Mereka tak perlu membayar angkot sekalipun jarak tempuhnya sudah jauh.    Bila mereka melanjutkan perjalanan dengan angkot lain, biaya yang harus dikeluarkan hanya setengah ongkos normal.   Bukankah suatu penghematan?

“Coba tiap hari ada kejadian begini, bisa nabung nih,”gumam seorang mahasiswi.

Lain halnya dengan Ratu.  Dia malah kasihan pada supir angkot.  “Ini ongkos saya. Nggak usah dikembalikan.  Semoga bapaknya cepat sembuh.” ujar Ratu seraya meletakan uang seribu rupiah di dashboard mobil.   Padahal ongkos angkot hanya empatratus rupiah.

“Saya nggak bisa menerima ini, Mbak.  Please, saya belum memenuhi hak Mbak sebagai penumpang.”  Bang sopir mengembalikan uang pada Ratu. 

“Ok, saya berangkat sekarang.”   Sopir angkot berputar arah.  Entah ke rumah sakit mana ia pergi.  Sementara Ratu terkesima di pinggir jalan.  Ia salut akan integritas diri sang sopir.

Sesampainya di rumah, Ratu melihat sebuah pesan tertera di pintu depan.    Kertas pesan tampaknya dirobek sembarangan dari buku tulis.   Ratu segera membaca isi pesan singkat tersebut.

‘Teh, kami ke Rumah Sakit Salak.  Om Raja mendadak pingsan.  Sekarang dirawat di sana.  Segera susul kami ke rumah sakit ! ‘
–Cium Sayang bin Gemes dari -
Amira, adikmu yang pintar, baik dan lucu  

Ratu mendengus kesal.  Amira masih bercanda dalam situasi genting.  Adapun Ratu merasa terpukul saat mengetahui berita itu.   Om Raja dianggapnya sebagai pengganti ayahnya yang telah tiada. Wanita molek itu pergi ke rumah sakit sambil menangis.  Tas plastik berisi kotak-kotak kue  ditinggalkannya begitu saja di teras rumah.
Perjalanan dari kediaman Ratu menuju Rumah Sakit Salak terbilang jauh.  Harus berganti angkot sebanyak dua kali.  Belum lagi menghadapi kemacetan.  Oh, ingin rasanya menyewa helikopter agar segera mencapai tujuan.
Setelah menempuh perjalanan hampir dua jam, Ratu tiba di Rumah Sakit Salak.  Dari bagian informasi, Ratu mengetahui Kolonel Raja ada di ruang rawat VIP.  Rumah Sakit Salak, sebagaimana umumnya Rumah Sakit Angkatan Darat, menempatkan pasien sesuai hierarki kepangkatan.  Pasien berpangkat Perwira Menengah ditempatkan di ruangan VIP.
Setengah berlari, Ratu menuju ruang perawatan Kolonel Raja.  Karena terburu-buru, Ratu nyaris menabrak seorang pemuda di selasar ruangan VIP.
“Maaf Kang,” kata Ratu.    Kemudian ia terpana.  Pemuda yang ditabraknya adalah sopir angkot yang ditumpanginya tadi.  Sopir yang santun dan menolak bayaran itu. 
 “Abang ada di sini? Di ruang VIP?” tanya Ratu, polos.
“Iya, Papa saya dirawat di sini.  Maaf, saya harus cari obat dulu,” kata sopir angkot sambil beranjak pergi.
“Tunggu, Papa Abang dirawat di sini?  Apakah bersebelahan dengan ruangan Kolonel Raja?”
Sopir angkot menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Ratu.  “Mbak yang baik, Kolonel Raja itu Papa saya.  Sudah dulu ya, saya harus mendapatkan obat untuk Papa.”
Abang sopir yang ternyata anak Kolonel Raja bergegas meninggalkan Ratu.  Mulut wanita cantik itu separuh terbuka.  Tak percaya akan pendengaran dan penglihatannya.  Apa?  Abang sopir yang sederhana itu putera Kolonel Raja.  Memang sopir angkot itu tampak terpelajar.  Tapi, benarkah dia mahasiswa program beasiswa ke Jepang? 
Sambil menggumamkan berbagai pertanyaan, Ratu memasuki ruang perawatan Kolonel Raja.  Lelaki yang dikaguminya itu terbaring lunglai di ranjang rumah sakit.  Ibu dan kedua adiknya mengelilingi ranjang Kolonel Raja.  Masing-masing menggenggam tasbih dan merapalkan kalimat asmaul husna.

(Apakah penyakit Kolonel Raja? Benarkah sopir angkot itu putera Kolonel Raja? Simak kisah selanjutnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar