Dipublikasikan pada 15:41.
Karya Fiksi Fabina Lovers.
“Ok, saya berangkat sekarang.” Sopir angkot berputar arah. Entah ke rumah sakit mana ia pergi. Sementara Ratu terkesima di pinggir jalan. Ia salut akan integritas diri sang sopir.
Sesampainya di rumah, Ratu melihat sebuah pesan tertera di pintu depan. Kertas pesan tampaknya dirobek sembarangan dari buku tulis. Ratu segera membaca isi pesan singkat tersebut.
Karya Fiksi Fabina Lovers.
Ringkasan Cerita Bagian 8 :Ratu dan keluarga memutuskan pindah dari rumah Kolonel Raja. Rumah itu akan ditempati kemenakan Kolonel yang baru pindah dari Jakarta. Ratu dan ibunya bertekad untuk mandiri.
1990
Malam pergantian
tahun ini lebih meriah daripada tahun sebelumnya. Masyarakat bergembira menyongsong era
sembilan puluhan. Menurut Pak Presiden, tahun sembilan puluhan
adalah era tinggal landas menuju masyarakat adil, makmur dan sejahtera.
Keluarga Bu Amir
menikmati permainan warna kembang api di angkasa. Mereka duduk-duduk di teras sempit rumah
kontrakan sambil membakar jagung. Aroma jagung bakar menguar seiring hembusan
angin malam. Seekor kucing kurus yang
sejak tadi duduk di tembok pagar, mengeong kelaparan. Tampaknya mahluk itu tertarik mencicipi
jagung bakar.
Sebuah angkot warna
biru berhenti di muka pintu pagar. “Kolonel
Raja datang!” seru Sari.
“Ah, lagi pesta
jagung bakar rupanya. Om boleh ikut,
nggak? Ngomong-ngomong, Om mau susu jahe buatan Ibu nih. Pas banget dinikmati dalam suasana seperti
ini.” Kolonel Raja terkekeh seraya
mengedipkan sebelah matanya.
“Boleh, wani piro, Om?” canda Amira. Bu Amir menjawil bahu Amira sambil mengerutkan kening. Tanda tak setuju
dengan gaya bercanda puterinya.
“Nggak apa-apa,
Bu. Om paham, Amira cuma bercanda. Iya ‘kan, Amira?” Kolonel Raja malah membela
Amira.
“Mmm, serius
juga boleh kok.” Amira memasang muka lucu.
Kolonel mencubit pipinya dengan
gemas.
Bu Amir masuk ke
dalam rumah sambil geleng-geleng kepala.
Anak-anaknya terlampau akrab dengan pria separuh baya itu. Kadang-kadang tingkah mereka keterlaluan. Untunglah Pak Kolonel tak terganggu dengan
perbuatan iseng kedua puterinya. Malah
beliau tampak menikmatinya.
“Sayang sekali, Om
pensiun dini. Padahal ada kemungkinan
jadi orang nomor satu di daerah,” sesal Ratu. Gadis itu menatap Kolonel Raja dengan mimik prihatian.
“Ini keputusan
terbaik. Hasil shalat istikharah
beberapa bulan. Om tak bisa melakukan
hal-hal yang bertentangan dengan nurani.” Tatapan Kolonel Raja menerawangi
langit kelam. Ia lantas mengalihkan pandangannya pada kedua remaja jahil.
“Sari, Amira,
apa coba bedanya kelapa dan kepala? Yang
bisa jawab dapat seribu.” Kolonel Raja mengibaskan uang seribu rupiah ke
hadapan remajawati ceriwis itu.
“Aku tahu
bedanya. Kelapa jadi batok dan kepala jadi botak. Benar ‘kan, Om? Hore, dapat seribu!” Tanpa
basa-basi Amira merenggut uang seribu rupiah dari tangan Kolonel Raja. Pria itu hanya bisa pasrah melihat uangnya
berpindah tangan.
“Salah Om sih,
kasih tebak-tebakan ke Teh Amira. Itu mah keahlian dia. Harusnya Om ngetes hapalan surat pendek. Dijamin, si Teteh nggak bisa.” Sari terkekeh geli.
Bu Amir keluar
rumah sambil membawa baki besar berisi lima gelas susu jahe dan sepiring penuh ketan
bakar bumbu oncom.
“Wow, ini sih
makanan paling enak sedunia.” Tanpa malu-malu
Kolonel Raja mengambil segelas susu dan sebuah ketan bakar. Kedua sajian itu dinikmatinya sepenuh hati.
Bu Amir
memandangi Kolonel Raja dengan perasaan pilu.
Metamorfosis kariernya dari seorang Komandan Kodim menjadi sopir angkot
amatlah menyedihkan. Kini, saudara
maupun rekan Kolonel Raja menjauhinya.
Benarlah kata pepatah, ada semut ada gula, gulanya habis semut pun pergi.
“Bagaimana kabar
kedua putera Bapak di Jepang?” Bu Amir mencoba memikirkan topik lain agar tak
larut dalam nestapa kehidupan Kolonel Raja.
Padahal Pak Kolonel sendiri gembira menjalani kehidupan barunya.
“Alhamdulillah. Mereka nggak perlu dikirimi uang lagi. Sekarang mereka membantu proyek
profesornya. Ada kemungkinan mereka
mendapatkan beasiswa universitas untuk kuliah pascasarjana,” jelas Kolonel Raja
dengan wajah berbinar.
“Alhamdulillah,”
ujar Bu Amir. Air mata haru menetesi
pipinya yang mulai keriput. “Mudah-mudahan anak-anak bawel ini kelak membanggakan orang tua seperti putera Pak
Kolonel.”
“Insya Allah,” ujar Kolonel Raja sambil menepuk lembut pundak Sari dan Amira.
“Jangan
khawatir, kami akan membanggakan Ibu
kelak,” janji Sari dan Amira. Kedua
remaja itu kompak membuat hurup V dengan jari tangannya.
Malam semakin
larut. Kolonel Raja pamit pulang ke
rumah kontrakannya. Kediaman Kolonel
berselisih satu blok dari tempat tinggal keluarga Ratu. Mereka sama-sama mengontrak rumah tipe 36 di
Perumnas yang baru berdiri dua tahun lalu.
Hah, Kolonel
Raja tinggal di rumah kontrakan?
Ketahuilah, rumah dan sawah yang menjadi bagian warisan Kolonel, dijual
Uwak Karta tanpa persetujuan beliau. Hasil penjualan aset tersebut sangat besar
untuk ukuran tahun delapan puluhan. Mencapai limapuluh
juta rupiah. Sayang,
Kolonel Raja tak memperoleh serupiah pun dari hasil penjualan. Bahkan beliau terusir dari rumahnya.
Ironisnya,
Kolonel Raja belum punya rumah pribadi.
Selama ini Kolonel Raja dan keluarganya tinggal di Rumah Dinas TNI AD. Kolonel Raja tak berencana membeli rumah pribadi
karena telah mendapat warisan rumah dari mendiang ibunya. Uwak Karta juga mewarisi rumah yang letaknya
bersebelahan dengan milik Kolonel Raja.
Kolonel Raja tak
mengurus balik nama sertifikat rumah maupun lahan sawah bagiannya. Kesemua aset itu masih atas nama ibunya. Uwak Karta leluasa menjual dengan dalih warisan
milik bersama. Dia tega memalsukan
tanda-tangan Kolonel Raja dalam Surat Persetujuan Ahli Waris.
“Harusnya Om melaporkan
kecurangan Uwak Karta ke polisi!” saran Sari sewaktu mendengar berita itu.
“Tak perlu. Om sudah ikhlas kehilangan warisan. Om percaya, Allah akan menggantinya dengan
yang lebih baik,” kata Kolonel Raja.
Keikhlasan beliau menginspirasi Ratu dan keluarganya.
*******
Sore itu, Ratu
menikmati perjalanan memakai angkot. Sopir
angkot menjalankan kendaraan dengan santun.
Tidak kebut-kebutan seperti kebanyakan sopir trayek
Merdeka-Leuwiliang. Ratu menyandarkan
tubuh letihnya ke sandaran bangku penumpang.
Plastik besar berisi kotak-kotak kue yang kosong tergeletak di dekat
kakinya. Kantuk pun menyerang.
Setiap hari,
Ratu bangun jam tiga dinihari. Ia
membantu ibunya membuat kue. Sebelum
mengajar, Ratu menitipkan kotak kue di beberapa kantin fakultas. Kue-kue buatan mereka digemari kalangan
kampus. Hampir semua panitia acara kampus memesan kue pada mereka.
Bila kebanjiran order kue, mereka meminta bantuan
tetangga. Para ibu rumah tangga itu bersemangat membantu
produksi kue. Tentu saja
bersemangat. Upahnya memadai. Pulang ke rumah pun dibekali aneka jenis kue.
“Mudah-mudahan
ordernya banyak terus. Biar kami bisa
bantu lagi.” Demikian harapan ibu-ibu
yang baik itu. Ratu bersyukur, usaha kue
mereka mendatangkan berkah bagi para tetangga.
Tiba-tiba sopir
angkot mengerem mobilnya. Ratu dan
beberapa penumpang terkejut. Bang sopir
tampak berbicara dengan sopir angkot lainnya di seberang jalan. Isi pembicaraan mereka tak terdengar jelas oleh para penumpang angkot.
“Ibu dan bapak
sekalian, mohon maaf saya tak bisa
mengantar sampai tujuan. Saya harus segera ke rumah sakit, melihat
kondisi bapak saya,” kata sopir angkot dengan santun.
Beberapa
penumpang menggerutu. “Gue bisa telat
nih,” keluh pria pegawai pabrik.
“Sekali lagi mohon
maaf terpaksa saya turunkan, Anda tak perlu membayar,” tambah sopir bertampang terpelajar itu.
Para penumpang berhenti
protes. Mereka tak perlu membayar angkot
sekalipun jarak tempuhnya sudah jauh. Bila mereka melanjutkan perjalanan dengan
angkot lain, biaya yang harus dikeluarkan hanya setengah ongkos normal. Bukankah suatu penghematan?
“Coba tiap hari ada kejadian begini, bisa
nabung nih,”gumam seorang mahasiswi.
Lain halnya
dengan Ratu. Dia malah kasihan pada
supir angkot. “Ini ongkos saya. Nggak
usah dikembalikan. Semoga bapaknya cepat
sembuh.” ujar Ratu seraya meletakan uang seribu rupiah di dashboard mobil. Padahal ongkos angkot hanya empatratus
rupiah.
“Saya nggak bisa
menerima ini, Mbak. Please, saya belum memenuhi hak Mbak sebagai penumpang.” Bang sopir mengembalikan uang pada Ratu.
“Ok, saya berangkat sekarang.” Sopir angkot berputar arah. Entah ke rumah sakit mana ia pergi. Sementara Ratu terkesima di pinggir jalan. Ia salut akan integritas diri sang sopir.
Sesampainya di rumah, Ratu melihat sebuah pesan tertera di pintu depan. Kertas pesan tampaknya dirobek sembarangan dari buku tulis. Ratu segera membaca isi pesan singkat tersebut.
‘Teh,
kami ke Rumah Sakit Salak. Om Raja mendadak
pingsan. Sekarang dirawat di sana. Segera susul kami ke rumah sakit ! ‘
–Cium
Sayang bin Gemes dari -
Amira, adikmu
yang pintar, baik dan lucu
Ratu
mendengus kesal. Amira masih
bercanda dalam situasi genting. Adapun
Ratu merasa terpukul saat mengetahui berita itu. Om Raja dianggapnya sebagai pengganti ayahnya
yang telah tiada. Wanita molek itu
pergi ke rumah sakit sambil menangis.
Tas plastik berisi kotak-kotak kue ditinggalkannya begitu saja di teras rumah.
Perjalanan
dari kediaman Ratu menuju Rumah Sakit Salak terbilang jauh. Harus berganti angkot sebanyak dua kali. Belum lagi menghadapi kemacetan. Oh, ingin rasanya menyewa helikopter agar
segera mencapai tujuan.
Setelah
menempuh perjalanan hampir dua jam, Ratu tiba di Rumah Sakit Salak. Dari bagian informasi, Ratu mengetahui
Kolonel Raja ada di ruang rawat VIP. Rumah Sakit Salak, sebagaimana umumnya Rumah
Sakit Angkatan Darat, menempatkan pasien sesuai hierarki kepangkatan. Pasien berpangkat Perwira Menengah
ditempatkan di ruangan VIP.
Setengah berlari, Ratu menuju ruang perawatan
Kolonel Raja. Karena terburu-buru, Ratu
nyaris menabrak seorang pemuda di
selasar ruangan VIP.
“Maaf
Kang,” kata Ratu. Kemudian ia terpana. Pemuda yang ditabraknya adalah sopir angkot
yang ditumpanginya tadi. Sopir yang santun
dan menolak bayaran itu.
“Abang ada di sini? Di ruang VIP?” tanya Ratu,
polos.
“Iya,
Papa saya dirawat di sini. Maaf, saya
harus cari obat dulu,” kata sopir angkot sambil beranjak pergi.
“Tunggu,
Papa Abang dirawat di sini? Apakah
bersebelahan dengan ruangan Kolonel Raja?”
Sopir
angkot menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Ratu. “Mbak yang baik, Kolonel Raja itu Papa
saya. Sudah dulu ya, saya harus mendapatkan obat untuk Papa.”
Abang
sopir yang ternyata anak Kolonel Raja bergegas meninggalkan Ratu. Mulut wanita cantik itu separuh terbuka. Tak percaya akan pendengaran dan penglihatannya. Apa?
Abang sopir yang sederhana itu putera Kolonel Raja. Memang sopir angkot itu tampak
terpelajar. Tapi, benarkah dia mahasiswa
program beasiswa ke Jepang?
Sambil
menggumamkan berbagai pertanyaan, Ratu memasuki ruang perawatan Kolonel
Raja. Lelaki yang dikaguminya itu
terbaring lunglai di ranjang rumah sakit.
Ibu dan kedua adiknya mengelilingi ranjang Kolonel Raja. Masing-masing menggenggam tasbih dan
merapalkan kalimat asmaul husna.
(Apakah
penyakit Kolonel Raja? Benarkah sopir angkot itu putera Kolonel Raja? Simak
kisah selanjutnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar