Karya Fiksi Fabina Lovers.
Saran : biar membacanya lebih hikmat bisa klik video klip di atas posting ini.
“Aku tak yakin bisa masuk surga. Tapi setelah berlibur kemari, setidaknya aku bisa merasakan indahnya surga,” kata mertuaku. Mata tuanya menikmati pemandangan menakjubkan di sekitar Bandara Internasional Ibrahim Nasir.
Sejauh mata memandang, tampak hamparan
lautan bergradasi warna tosca hingga biru safir. Pemandangan dari atas pesawat lebih
menakjubkan lagi. Keduapuluh tujuh pulau
karang terlihat laksana untaian kalung mutiara di atas permadani biru.
Suasana damai. Tak terdengar deru kendaraan bermotor maupun
orang bersuara keras. Debur ombak
membelai cuping telinga. Menentramkan
kalbu nan lara.
“Ibu nggak salah, Maldives dijuluki Surga Yang
Tertinggal oleh para wisatawan,” jelas suamiku sambil tertawa bahagia.
“Mudah-mudahan liburan ini selalu
jadi kenangan indah bagi kita,” harap Rian, anak sulung kami. Ia meminta tolong pengangkat barang untuk
memotret kami berlima di depan Lobi Kedatangan Bandara.
Pria berkulit hitam yang sopan
itu menyapa kami dalam bahasa Inggris. “Assalamualaikum. Welcome to Maldives. Let me take a picture of You.”
“Well. Is it nice ?”
Pengangkat barang menyerahkan kamera digital pada Rian.
Rian memeriksa hasil bidikan pria
itu. “Thank’s for you kindness. What a
beautifull picture.” Rian
menepuk-nepuk pundaknya, lalu menyelipkan selembar 5 US Dollar ke saku bajunya.
“No...no...thank you Brother. Hasbiyallahu
wa ni’mal wakil. Allah’s blessing is
enough for me.” Pria budiman itu tertawa, memamerkan giginya yang putih
bersih. Tangannya sigap mengembalikan
uang pemberian anakku.
“Jazakallahu khaeran katsiron,
Brother,” kata Bagus, anak bungsu kami yang aktif di kegiatan Rohis SMU. Menurut Bagus, ucapan itu berarti Semoga
Allah membalas dengan kebajikan berlipat ganda.
“Ameen. Hope for you too. Ok, have a wonderfull holiday. See you later. Assalamu’alaikum.” Pengangkat barang yang
ramah itu melambaikan tangannya.
Nada pesan Whatsaap
mengembalikanku ke masa kini. Aku
sedikit menggerutu saat membuka pesan.
Liburan ke Maldives dua bulan lalu senantiasa indah untuk dikenang. Membuat waktu senggangku tak lagi
membosankan.
“Selamat Siang. Bu Dewi, kenalkan saya Nasya. Bisakah kita bicara di Depo Ice Cream? Itu lho yang di depan komplek
tempat tinggal Ibu,” demikian isi pesan sebuah nomor tak dikenal.
Aku memperbesar foto profil
pengirimnya. Tampak seorang wanita usia
duapuluhan, tengah berpose di depan patung sapi Cimory. Tubuh sintalnya
terbalut gaun santai tanpa lengan warna fuschia. Mirip tubuhku duapuluh tahun lalu. Meskipun aku tak bisa mempertahankan tubuh indahku setelah melahirkan dua orang anak.
Aku segera mengenakan bergo dan
cardigan hitam untuk menutupi bagian aurat yang terbuka. Sejurus kemudian, aku telah mengendarai mobil
menuju bagian depan komplek. Sebenarnya,
berjalan kaki pun hanya memakan waktu sepuluh menit. Tapi firasatku menyatakan wanita itu tak
bersedia menunggu lama. Benar saja,
sewaktu memarkir mobil di depan Depo Ice Cream, aku melihat wanita mirip foto
WA beranjak keluar dari warung es itu.
“Mbak...tunggu!” teriakku. Aku buru-buru memasang rem tangan dan menutup
jendela mobil. Setelah mengunci pintu
mobil, aku mendekati wanita ayu itu.
“Mbak Nasya, bukan?” sapaku
padanya. Wanita itu menundukan
kepala. Tak berani menatapku.
“Ayo kita pesan ice cream
dulu. Santai saja, Mbak Nasya!” Aku menggandeng wanita yang pantas menjadi
anakku itu.
Nasya memesan ice cream vanilla
bertoping cokelat. Sedangkan aku memilih
ice cream strawberry bertabur buah-buahan kering.
“Hm, cokelat perlambang
cinta. Apakah Mbak sedang jatuh
cinta?” Aku mencoba berkelakar. Sempat terlintas dalam pikiranku, wanita ini
punya hubungan spesial dengan putera sulungku.
Dia sedang pendekatan dengan calon mertua. Aku tertawa dalam hati.
“Benar, Bu. Jatuh cinta pada orang yang salah,” guman
Nasya.
Alarm tanda bahaya di kepalaku
berbunyi. “Apa maksud, Mbak?”
Nasya mencium punggung
tanganku. Dengan air mata bercucuran, ia
menyatakan pengakuan yang membuatku hampir pingsan. “Maafkan saya, Bu Dewi. Saya tak tahu kalau Mas Arya masih tinggal
serumah dengan Ibu. Kami sudah
berhubungan dua tahun. Waktu kenalan
dulu, dia mengaku sedang proses cerai dengan Ibu.”
“Tiga bulan lalu, Mas Arya melamar
pada orang tua saya di Yogya. Katanya,
kami akan menikah bila surat cerainya sudah keluar.”
“Sepulang liburan di Maldives,
dia memberikan foto-foto ini. Bukankah
Mas Arya hanya berangkat bertiga dengan anak-anak? Mas Arya menjanjikan bulan madu di Maldives
setelah kami resmi menikah.”
Perempuan pemikat hati suamiku
itu menyerahkan tiga lembar foto seukuran kartu pos. Tampak gambar suamiku bersama anak-anak saat di hotel dan di pantai.
“Mas Arya bohong! Aku dan ibunya juga ikut ke sana,” tukasku. Aku berulang-kali mengucapkan istighfar agar
tak kelepasan mencaci perempuan penggoda suami orang itu.
Aku menunjukan rekaman video di
Hp-ku. Video saat aku berenang di laut
bersama Mas Arya. Aku mencipratkan air
laut pada mertuaku yang berdiri di tepi pantai.
Ibu tua itu menjerit-jerit kesenangan.
Sebenarnya beliau ingin sekali berenang.
Tapi dilarang suamiku.
“Lihatlah, hubungan kami sangat
harmonis,” imbuhku sambil mematikan rekaman video. Batere Hp-ku hampir habis.
Bibir ranum wanita muda itu
tampak bergetar sewaktu ia berkata, “Kalau begitu, Mas Arya memang
pembohong. Menurut Mas Arya, Bu Dewi
nggak akur dengan ibunya. Nyatanya di
video itu kalian tampak akrab.”
“Realistislah, Nasya! Tak ada yang bisa kamu harapkan dari lelaki
semacam suamiku. Sudahi saja hubungan
kalian.” Aku menggenggam tangan Nasya.
Berharap mengalirkan keteguhan hati padanya.
Wanita ayu itu mengepalkan
telapak tangannya. “Seandainya aku bisa,
oh seandainya aku bisa menyudahi hubungan ini...”
“Kenapa? Kalian sudah tidur bersama?” tanyaku dengan
perasaan kacau. Aku tak siap seandainya
wanita muda itu menjawab ‘ya’.
“Demi Allah, kami belum sampai
sejauh itu. Gini-gini aku dulu sekolah
di Muhammadiyah, Bu. Aku paham norma
agama,” elak wanita itu seraya menantang mataku. Bila seseorang berani menatap mata kita saat
berbicara, artinya dia tidak berbohong.
“Oke, kalau begitu hubungan
kalian harus berakhir! Carilah lelaki
lain yang belum berkeluarga!” tegasku. “Wanita secantik kamu tak akan kesulitan
mendapatkan pria single yang bertanggung-jawab.”
“Ya Bu, akan saya coba,” janji
Nasya.
“Kirim pesan padaku kalau suamiku
merayumu lagi, oke?”
“Siap Bu.”
Usai bertemu Nasya, aku
meluncur ke rumah Kak Hera, saudariku semata wayang. Kakakku membuka praktek konsultasi psikologi
di rumahnya. Sesuai cita-citanya sejak
kecil. Perjuangannya mendapatkan gelar
sarjana psikologi patut dijadikan contoh oleh generasi muda.
Aku harus menunggu kakakku
melayani dua orang pasien hingga ketiduran di kursi tamu. Entah sudah berapa lama aku tertidur, sewaktu
saudariku tercinta mencolek pipiku.
“Neng, kalau tidur jangan di
sini! Tuh, di kamar tidur tamu aja!”
Aku membuka mata sambil
menguap. Kakak perempuanku yang selalu
tampil modis, memandangiku sambil tersenyum.
“Ada apa sih? Tampaknya kamu buru-buru
sewaktu keluar rumah?”
“Kok tahu?”
“Tahu dong. Psikolog gitu lho.” Kakakku tertawa
renyah.
“Ya sudah, kalau mau konsultasi,
masuk ruanganku saja. Kamu bisa curhat
sambil berbaring di kursi freud yang nyaman.”
Aku digiring kakakku menuju ruang
prakteknya. Ruang praktek ditata secara
cozzy. Pewangi ruangan beraroma lavender membuat
pikiranku rileks. Tanpa sadar, aku telah
berbaring di kursi freud.
“Kak, ternyata Arya pacaran
dengan gadis seumuran Rian. Barusan aku
ketemu gadis itu.” Aku memulai cerita.
“Hm, seberapa jauh hubungan
mereka?”
Aku menceritakan semua isi pembicaraanku
dengan Nasya. Kak Hera adalah
pendengar yang baik. Ia tak memotong
untaian kisahku. Meski kadang kalimatku
tak sempurna akibat mengusap air mata atau lelehan ingus.
“Minuman herbal ini semoga
menetramkan hatimu.” Kak Hera menuangkan teh herbal hangat pada cangkir
perselen hijau, lalu menyerahkan cangkir itu padaku.
Aku menghirup teh herbal
perlahan. Memang benar. Kehangatan dan aroma herbalnya sedikit
mengurangi kegelisahanku.
“Dewi, kalau Arya dalam kondisi
tenang, tanyakan hubungannya dengan
gadis itu! Bertanyalah dengan kalimat
yang tegas namun sopan.”
“Mana mungkin? Bisa ngamuk dia. Kakak tahu ‘kan temperamen dia?”
“Ya, intimidasi untuk meninggalkanmu, dan
memanfaatkan masa lalu keluarga kita agar kamu
mempertahankan pernikahan.” Kakakku
memandang keluar jendela dengan tatapan sendu. Pasti dia
teringat kesengsaraan kami di masa kecil akibat perceraian orang tua.
“Arya paham, kamu tak akan pernah
menuntut cerai. Kamu tak mau anak-anakmu bernasib buruk seperti kita.”
Kak Hera mengalihkan pandangan pada jambangan
keramik di atas meja kerjanya. “Ketahuilah Dewi, aku takut benar
menikah. Sekalipun dengan pemberi
jambangan keramik ini. Lelaki itu masih
menunggu jawabanku sampai sekarang.
Setelah sepuluh tahun berlalu.”
“Hei, kenapa malah Kakak yang
curhat padaku?” Kami tertawa terpingkal-pingkal.
“Oke, sekarang aku serius. Dewi, kamu wanita mandiri. Bisnis online memberimu penghasilan hampir
sebesar gaji Arya sebagai manajer. Percayalah, kamu bisa hidup tanpa dia.”
“Tapi Kak, aku tak mau bercerai.”
“Ingatlah Dewi, bukanlah suatu
hubungan sehat bila satu pihak mendominasi pihak lainnya. Pihak yang memaksa patnernya untuk mengakui
otoritas dirinya dengan dalih kesabaran dan keikhlasan. Ya, seperti yang biasa didengungkan Arya
padamu.”
Aku tercenung mendengar kata-kata
Kak Hera. Sejak awal menikah, Arya rutin
menyitir hadist-hadist keutamaan isteri
yang berbakti pada suami. Isteri yang
sabar dan ikhlas menerima kekurangan suami.
Sementara dia sendiri selalu tak sabaran menghadapi kekurangan
isterinya. Ah, suamiku memang pandai
memanfaatkan dalil agama demi kepentingan pribadi.
“Aku akan coba bertanya baik-baik
padanya. Tapi, bagaimana kalau dia
memukulku?”
“Kalau dia memukulmu, datanglah
kemari. Aku akan mengantarmu ke rumah
sakit untuk visum. Setelah itu kita
laporkan Arya ke polisi,” tegas Kak Hera.
Aku berseru keras. “Tak mungkin, Kak. Aku tak akan pernah menjebloskan bapak
anak-anakku ke penjara. Rian dan Bagus
pasti membenci tindakanku.”
“Percayalah, Rian dan Bagus lebih
dewasa daripada yang kamu kira. Sejujurnya,
mereka tak setuju dengan kekerasan sikap
ayah terhadap ibu mereka.”
“Benarkah?” Aku mengerutkan
kening sambil menatap ke dalam manik mata kakakku.
“Benar. Terakhir mereka curhat dua minggu lalu. Waktu mereka pinjam laptop kemari. Kalau nggak salah laptop kalian rusak dan
Arya enggan mengeluarkan uang untuk perbaikannya.”
Aku ingat, dua minggu yang lalu laptop kami rusak. Kami dimarahi Mas Arya karena tak becus
memelihara laptop yang konon berharga mahal. Mas Arya enggan memperbaiki laptop yang sudah berusia dua tahun itu. Sementara uang bulananku hanya cukup untuk
keperluan dapur. Bulan ini banyak
pengluaran ekstra. Sebenarnya aku punya tabungan dana darurat. Tapi, Mas Arya melarang penggunaan dana darurat untuk hal sepele semacam perbaikan laptop.
Terdengar suara lonceng
tamu. Aku pamit pulang karena tak mau
menutup pintu rejeki Kak Hera.
“Jangan lupa, tanyakan mengenai
perempuan itu dan tanyakan pula komitmennya terhadap hubungan kalian!” pesan
Kak Hera ketika mengantarku ke mobil.
Sore itu aku berbalas pesan WA
dengan Nasya:
Nasya :
Tadi Mas Arya ngajak makan siang bareng
Aku : Sudah kamu putuskan hubungan kalian?
Nasya :
Belum, aku tidak bisa. Mas Arya kembali melamarku dengan puisi
karangan dia sendiri.
Puisi?
Arya mengarang puisi ? Wah, bisa
hujan badai nih. Aku tertawa getir dalam
hati.
Aku : Bagaimana
sih puisi karangan dia? Aku ingin tahu.
Nasya : Kaulah kandil gemerlap, pelita jendela di
malam gelap.
Melambai
pulang perlahan. Sabar, setia selalu.
Nasya,
maukah kau menikah denganku?
Aku :
Bohoong, itu puisi karangan Amir
Hamzah.
Semua
tamatan SMP pasti tahu.
Nasya, apa kamu terima lamaran Arya?
Nasya tak membalas
pesanku. Kepalaku mulai terasa
panas. Kalau sudah begini, hanya air
wudhu yang mampu membilas amarahku. Kemudian
aku melaksanakan Sholat Ashar. Dalam
sujud terakhir, aku mohon diberikan petunjuk akan kelangsungan pernikahanku.
Hari Jumat terasa panjang. Aku tak sabar menunggu kedatangan Hari Sabtu. Saatnya suamiku libur kerja dan bersantai di rumah.
Pagi itu, aku memantapkan hati untuk bersikap normal. Aku memasak sarapan kesukaan suamiku. Setelah sarapan, suamiku berjalan keliling komplek, lalu kembali tidur. Ketika bangun tidur, suamiku menikmati makan siang sambil menonton berita TV. Selepas azan zuhur suamiku mandi, kemudian sholat. Tak ada yang aneh dari jadwal hariannya.
Aku menunggu sore hari. Saat suamiku duduk di taman belakang sambil memberi makan ikan-ikan mas koi peliharaan kami.
Dengan membawa baki berisi secangkir teh manis dan setoples soes kering, aku menghampiri suamiku. Lelaki itu menikmati suguhanku tanpa mempedulikan kehadiranku. Inilah saatnya.
“Bagaimana pendapat Mas mengenai pernikahan kita?”
Sejenak Mas Arya menatap heran ke arahku, kemudian ia alihkan kembali tatapannya pada ikan-ikan kesayangannya.
“Jawablah Mas, apakah kamu bahagia dengan pernikahan kita? Bagaimana kalau ada perempuan lain yang menarik hatimu?”
“Nggak ada perempuan lain. Jangan sembarangan menuduh,” ujar suamiku, ketus.
“Siapakah Nasya? Bagaimana dengan puisi Amir Hamzah yang Mas utarakan ketika melamarnya?” Aku berusaha tenang saat bertanya hal sensitif itu. Suamiku pasti menyangkal kehadiran Nasya. Begitulah perilaku peselingkuh versi Kak Hera.
Tapi, suamiku tak menyangkal kehadiran Nasya. Dia hanya diam. “Hm, diam berarti iya. Jadi benar, Mas punya hubungan khusus dengan Nasya? Tega benar kamu Mas!”
“Sekarang, aku minta ketegasanmu. Pilih aku atau Nasya?”
“Aku pilih Nasya, dan aku akan pergi dari rumah ini,” kata suamiku dengan suara parau. Ia lantas beranjak dari sisiku. Ketika berada di ambang pintu yang berhubungan dengan ruang tengah, suamiku berhenti. Ia membalikan badan untuk melihat reaksiku. Aku bergeming. Tak peduli dengan kepergiaannya.
“Jadi, kamu siap aku ceraikan?” ancam suamiku.
“Siap, asalkan Sertifikat Hak Milik rumah ini diubah atas nama anak-anak. Aku nggak mau perempuan itu menikmati hasil jerih payah kita selama duapuluh tiga tahun menikah.”
“Besok aku akan ke kantormu bersama pengacaraku. Memberitakan perceraiaan kita, serta meminta bendahara kantor untuk mentransfer sebagian gajimu ke rekening anak-anak,” tegasku.
“Dasar perempuan matre!” raung Arya seraya berlari meninggalkanku.
Tekadku sudah bulat untuk berpisah dari suamiku. Menurut Kak Hera, tugas utama suami adalah melindungi dan mengayomi isteri. Bila seorang isteri merasa terintimidasi akibat perbuatan suaminya, berarti suami telah gagal melaksanakan tugasnya. Suami semacam itu tak layak dipertahankan.
-------------------------------------------------------
Catatan : gambar bandara milik www.gogobot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar