Sabtu, 28 Februari 2015

Harus Terpisah (Terinspirasi Konsultasi Psikologi Nova no.1408)


Karya Fiksi Fabina Lovers.


 Saran : biar membacanya lebih hikmat bisa klik video klip di atas posting ini.
“Ingatlah Dewi, bukan hubungan yang sehat bila satu pihak mendominasi pihak lainnya.  Pihak yang memaksa patnernya untuk mengakui otoritas dirinya dengan dalih kesabaran dan keikhlasan.  Ya, seperti yang biasa didengungkan Arya padamu
“Aku tak yakin bisa masuk surga.  Tapi setelah berlibur kemari, setidaknya aku bisa merasakan indahnya surga,” kata mertuaku.   Mata tuanya menikmati pemandangan menakjubkan di sekitar Bandara Internasional Ibrahim Nasir.   




Sejauh mata memandang, tampak hamparan lautan bergradasi warna tosca hingga biru safir.     Pemandangan dari atas pesawat lebih menakjubkan lagi.  Keduapuluh tujuh pulau karang terlihat laksana untaian kalung mutiara di atas permadani biru.

Suasana damai.  Tak terdengar deru kendaraan bermotor maupun orang bersuara keras.  Debur ombak membelai cuping telinga.   Menentramkan kalbu nan lara.

 “Ibu nggak salah, Maldives dijuluki Surga Yang Tertinggal oleh para wisatawan,” jelas suamiku sambil tertawa bahagia.

“Mudah-mudahan liburan ini selalu jadi kenangan indah bagi kita,” harap Rian, anak sulung kami.  Ia meminta tolong pengangkat barang untuk memotret kami berlima di depan Lobi Kedatangan Bandara. 

Pria berkulit hitam yang sopan itu menyapa kami dalam bahasa Inggris.  “Assalamualaikum.  Welcome to Maldives.  Let me take a picture of You.”

“Well.  Is it nice ?”  Pengangkat barang menyerahkan kamera digital pada Rian.

Rian memeriksa hasil bidikan pria itu. “Thank’s for you kindness.  What a beautifull picture.”    Rian menepuk-nepuk pundaknya, lalu menyelipkan selembar 5 US Dollar ke saku bajunya.

“No...no...thank you Brother.  Hasbiyallahu wa ni’mal wakil.  Allah’s blessing is enough for me.” Pria budiman itu tertawa, memamerkan giginya yang putih bersih.  Tangannya sigap mengembalikan uang pemberian anakku.

“Jazakallahu khaeran katsiron, Brother,” kata Bagus, anak bungsu kami yang aktif di kegiatan Rohis SMU.  Menurut Bagus, ucapan itu berarti Semoga Allah membalas dengan kebajikan berlipat ganda.

“Ameen.  Hope for you too.  Ok, have a wonderfull holiday.  See you later.  Assalamu’alaikum.” Pengangkat barang yang ramah itu melambaikan tangannya.

Nada pesan Whatsaap mengembalikanku ke masa kini.  Aku sedikit menggerutu saat membuka pesan.  Liburan ke Maldives dua bulan lalu senantiasa indah untuk dikenang.  Membuat waktu senggangku tak lagi membosankan.

“Selamat Siang.  Bu Dewi, kenalkan saya Nasya.  Bisakah kita bicara di Depo  Ice Cream? Itu lho yang di depan komplek tempat tinggal Ibu,” demikian isi pesan sebuah nomor tak dikenal.

Aku memperbesar foto profil pengirimnya.  Tampak seorang wanita usia duapuluhan, tengah berpose di depan patung sapi Cimory.  Tubuh sintalnya terbalut gaun santai tanpa lengan warna fuschia.  Mirip tubuhku duapuluh tahun lalu.  Meskipun aku tak bisa mempertahankan tubuh indahku setelah melahirkan dua orang anak.

Aku segera mengenakan bergo dan cardigan hitam untuk menutupi bagian aurat yang terbuka.  Sejurus kemudian, aku telah mengendarai mobil menuju bagian depan komplek.  Sebenarnya, berjalan kaki pun hanya memakan waktu sepuluh menit.  Tapi firasatku menyatakan wanita itu tak bersedia menunggu lama.  Benar saja, sewaktu memarkir mobil di depan Depo Ice Cream, aku melihat wanita mirip foto WA beranjak keluar dari warung es itu.

“Mbak...tunggu!” teriakku.  Aku buru-buru memasang rem tangan dan menutup jendela mobil.  Setelah mengunci pintu mobil, aku mendekati wanita ayu itu.

“Mbak Nasya, bukan?” sapaku padanya.  Wanita itu menundukan kepala.  Tak berani menatapku.

“Ayo kita pesan ice cream dulu.  Santai saja, Mbak Nasya!”  Aku menggandeng wanita yang pantas menjadi anakku itu.

Nasya memesan ice cream vanilla bertoping cokelat.  Sedangkan aku memilih ice cream strawberry bertabur buah-buahan kering.

“Hm, cokelat perlambang cinta.  Apakah Mbak sedang jatuh cinta?”  Aku mencoba berkelakar.  Sempat terlintas dalam pikiranku, wanita ini punya hubungan spesial dengan putera sulungku.  Dia sedang pendekatan dengan calon mertua.  Aku tertawa dalam hati.

“Benar, Bu.  Jatuh cinta pada orang yang salah,” guman Nasya.

Alarm tanda bahaya di kepalaku berbunyi.  “Apa maksud, Mbak?”

Nasya mencium punggung tanganku.  Dengan air mata bercucuran, ia menyatakan pengakuan yang membuatku hampir pingsan.  “Maafkan saya, Bu Dewi.  Saya tak tahu kalau Mas Arya masih tinggal serumah dengan Ibu.  Kami sudah berhubungan dua tahun.  Waktu kenalan dulu, dia mengaku sedang proses cerai dengan Ibu.”

“Tiga bulan lalu, Mas Arya melamar pada orang tua saya di Yogya.  Katanya, kami akan menikah bila surat cerainya sudah keluar.”

“Sepulang liburan di Maldives, dia memberikan foto-foto ini.  Bukankah Mas Arya hanya berangkat bertiga dengan anak-anak?  Mas Arya menjanjikan bulan madu di Maldives setelah kami resmi menikah.”

Perempuan pemikat hati suamiku itu menyerahkan tiga lembar foto seukuran kartu pos.  Tampak gambar suamiku  bersama anak-anak saat di hotel dan di pantai.

“Mas Arya bohong!  Aku dan ibunya juga ikut ke sana,” tukasku.  Aku berulang-kali mengucapkan istighfar agar tak kelepasan mencaci perempuan penggoda suami orang itu.

Aku menunjukan rekaman video di Hp-ku.  Video saat aku berenang di laut bersama Mas Arya.   Aku mencipratkan air laut pada mertuaku yang berdiri di tepi pantai.  Ibu tua itu menjerit-jerit kesenangan.  Sebenarnya beliau ingin sekali berenang.  Tapi dilarang suamiku.

“Lihatlah, hubungan kami sangat harmonis,” imbuhku sambil mematikan rekaman video.  Batere Hp-ku hampir habis.

Bibir ranum wanita muda itu tampak bergetar sewaktu ia berkata, “Kalau begitu, Mas Arya memang pembohong.  Menurut Mas Arya, Bu Dewi nggak akur dengan ibunya.  Nyatanya di video itu kalian tampak akrab.”

“Realistislah, Nasya!  Tak ada yang bisa kamu harapkan dari lelaki semacam suamiku.  Sudahi saja hubungan kalian.” Aku menggenggam tangan Nasya.  Berharap mengalirkan keteguhan hati padanya.

Wanita ayu itu mengepalkan telapak tangannya.  “Seandainya aku bisa, oh seandainya aku bisa menyudahi hubungan ini...”

“Kenapa?  Kalian sudah tidur bersama?” tanyaku dengan perasaan kacau.  Aku tak siap seandainya wanita muda itu menjawab  ‘ya’.

“Demi Allah, kami belum sampai sejauh itu.  Gini-gini aku dulu sekolah di Muhammadiyah, Bu.  Aku paham norma agama,” elak wanita itu seraya menantang mataku.  Bila seseorang berani menatap mata kita saat berbicara, artinya dia tidak berbohong.

“Oke, kalau begitu hubungan kalian harus berakhir!  Carilah lelaki lain yang belum berkeluarga!” tegasku. “Wanita secantik kamu tak akan kesulitan mendapatkan pria single yang bertanggung-jawab.”

“Ya Bu, akan saya coba,” janji Nasya.

“Kirim pesan padaku kalau suamiku merayumu lagi, oke?”

“Siap Bu.”

Usai bertemu Nasya, aku meluncur ke rumah Kak Hera, saudariku semata wayang.   Kakakku membuka praktek konsultasi psikologi di rumahnya.  Sesuai cita-citanya sejak kecil.  Perjuangannya mendapatkan gelar sarjana psikologi patut dijadikan contoh oleh generasi muda.

Aku harus menunggu kakakku melayani dua orang pasien hingga ketiduran di kursi tamu.  Entah sudah berapa lama aku tertidur, sewaktu saudariku tercinta mencolek pipiku.

“Neng, kalau tidur jangan di sini!  Tuh, di kamar tidur tamu aja!”

Aku membuka mata sambil menguap.  Kakak perempuanku yang selalu tampil modis, memandangiku sambil tersenyum.  “Ada apa sih?  Tampaknya kamu buru-buru sewaktu keluar rumah?”

“Kok tahu?”

“Tahu dong.  Psikolog gitu lho.” Kakakku tertawa renyah. 

“Ya sudah, kalau mau konsultasi, masuk ruanganku saja.  Kamu bisa curhat sambil berbaring di kursi freud yang nyaman.”

Aku digiring kakakku menuju ruang prakteknya.  Ruang praktek ditata secara cozzy.  Pewangi ruangan beraroma lavender membuat pikiranku rileks.  Tanpa sadar, aku telah berbaring di kursi freud.

“Kak, ternyata Arya pacaran dengan gadis seumuran Rian.  Barusan aku ketemu gadis itu.” Aku memulai cerita.

“Hm, seberapa jauh hubungan mereka?”

Aku menceritakan semua isi pembicaraanku dengan Nasya.  Kak Hera adalah pendengar yang baik.  Ia tak memotong untaian kisahku.  Meski kadang kalimatku tak sempurna akibat mengusap air mata atau lelehan ingus.

“Minuman herbal ini semoga menetramkan hatimu.” Kak Hera menuangkan teh herbal hangat pada cangkir perselen hijau, lalu menyerahkan cangkir itu  padaku.

Aku menghirup teh herbal perlahan.  Memang benar.  Kehangatan dan aroma herbalnya sedikit mengurangi kegelisahanku.

“Dewi, kalau Arya dalam kondisi tenang,  tanyakan hubungannya dengan gadis itu!  Bertanyalah dengan kalimat yang tegas namun sopan.”

“Mana mungkin?  Bisa ngamuk dia.  Kakak tahu ‘kan temperamen dia?”

“Ya,  intimidasi untuk meninggalkanmu, dan memanfaatkan masa lalu keluarga kita agar kamu  mempertahankan pernikahan.”  Kakakku memandang keluar jendela dengan tatapan sendu.  Pasti dia  teringat kesengsaraan kami di masa kecil akibat perceraian orang tua. 

“Arya paham, kamu tak akan pernah menuntut cerai. Kamu tak mau anak-anakmu bernasib buruk seperti kita.”

Kak Hera mengalihkan pandangan pada jambangan keramik  di atas meja kerjanya.  “Ketahuilah Dewi, aku takut benar menikah.  Sekalipun dengan pemberi jambangan keramik ini.  Lelaki itu masih menunggu jawabanku sampai sekarang.  Setelah sepuluh tahun berlalu.”

“Hei, kenapa malah Kakak yang curhat padaku?” Kami tertawa terpingkal-pingkal.

“Oke, sekarang aku serius.  Dewi, kamu wanita mandiri.   Bisnis online memberimu penghasilan hampir sebesar gaji Arya sebagai manajer.   Percayalah, kamu bisa hidup tanpa dia.”

“Tapi Kak, aku tak mau bercerai.”

“Ingatlah Dewi, bukanlah suatu hubungan sehat bila satu pihak mendominasi pihak lainnya.  Pihak yang memaksa patnernya untuk mengakui otoritas dirinya dengan dalih kesabaran dan keikhlasan.  Ya, seperti yang biasa didengungkan Arya padamu.”

Aku tercenung mendengar kata-kata Kak Hera.  Sejak awal menikah, Arya rutin menyitir hadist-hadist  keutamaan isteri yang berbakti pada suami.  Isteri yang sabar dan ikhlas menerima kekurangan suami.  Sementara dia sendiri selalu tak sabaran menghadapi kekurangan isterinya.  Ah, suamiku memang pandai memanfaatkan dalil agama demi kepentingan pribadi.

“Aku akan coba bertanya baik-baik padanya.  Tapi, bagaimana kalau dia memukulku?”

“Kalau dia memukulmu, datanglah kemari.  Aku akan mengantarmu ke rumah sakit untuk visum.  Setelah itu kita laporkan Arya ke polisi,” tegas Kak Hera.

Aku berseru keras.  “Tak mungkin, Kak.  Aku tak akan pernah menjebloskan bapak anak-anakku ke penjara.  Rian dan Bagus pasti membenci tindakanku.”

“Percayalah, Rian dan Bagus lebih dewasa daripada yang kamu kira.  Sejujurnya, mereka  tak setuju dengan kekerasan sikap ayah terhadap ibu mereka.”

“Benarkah?” Aku mengerutkan kening sambil menatap ke dalam manik mata kakakku.

“Benar.  Terakhir mereka curhat dua minggu lalu.  Waktu mereka pinjam laptop kemari.  Kalau nggak salah laptop kalian rusak dan Arya enggan mengeluarkan uang untuk perbaikannya.”

Aku ingat, dua minggu  yang lalu laptop kami rusak.  Kami dimarahi Mas Arya karena tak becus memelihara laptop yang konon berharga mahal.  Mas Arya enggan memperbaiki laptop yang sudah berusia dua tahun itu.  Sementara uang bulananku hanya cukup untuk keperluan dapur.  Bulan ini banyak pengluaran ekstra.  Sebenarnya aku punya tabungan dana darurat.  Tapi, Mas Arya melarang penggunaan dana darurat untuk hal sepele semacam perbaikan laptop.

Terdengar suara lonceng tamu.  Aku pamit pulang karena tak mau menutup pintu rejeki Kak Hera.
 
“Jangan lupa, tanyakan mengenai perempuan itu dan tanyakan pula komitmennya terhadap hubungan kalian!” pesan Kak Hera ketika mengantarku ke mobil.

Sore itu aku berbalas pesan WA dengan Nasya:

Nasya  :     Tadi Mas Arya ngajak makan siang bareng

Aku      :     Sudah kamu putuskan hubungan kalian?

Nasya  :     Belum, aku tidak bisa.  Mas Arya kembali melamarku dengan puisi karangan dia sendiri.

Puisi?  Arya mengarang puisi ?  Wah, bisa hujan badai nih.  Aku tertawa getir dalam hati.

Aku      :     Bagaimana sih puisi karangan dia?  Aku ingin tahu.

Nasya  :     Kaulah kandil gemerlap, pelita jendela di malam gelap.
                  Melambai pulang perlahan.  Sabar, setia selalu.
                  Nasya, maukah kau menikah denganku?

Aku       :    Bohoong, itu puisi karangan Amir Hamzah. 
      Semua tamatan SMP pasti tahu.
                  Nasya,  apa kamu terima lamaran Arya?

Nasya tak membalas pesanku.  Kepalaku mulai terasa panas.  Kalau sudah begini, hanya air wudhu yang mampu membilas amarahku.  Kemudian aku melaksanakan Sholat Ashar.  Dalam sujud terakhir, aku mohon diberikan petunjuk akan kelangsungan pernikahanku.

Hari Jumat terasa panjang.  Aku tak sabar menunggu kedatangan Hari Sabtu.  Saatnya suamiku libur kerja dan bersantai di rumah.

Pagi itu, aku memantapkan hati untuk bersikap normal.  Aku memasak sarapan kesukaan suamiku.  Setelah sarapan, suamiku berjalan keliling komplek, lalu kembali tidur.  Ketika bangun tidur, suamiku menikmati makan siang sambil menonton berita TV.  Selepas azan zuhur suamiku mandi, kemudian sholat.  Tak ada yang aneh dari jadwal hariannya.

Aku menunggu sore hari.  Saat suamiku duduk di taman belakang sambil memberi makan ikan-ikan mas koi peliharaan kami.

Dengan membawa baki berisi secangkir teh manis dan setoples soes kering, aku menghampiri suamiku.  Lelaki itu menikmati suguhanku tanpa mempedulikan kehadiranku.  Inilah saatnya.

“Bagaimana pendapat Mas mengenai pernikahan kita?”

Sejenak Mas Arya menatap heran ke arahku, kemudian ia alihkan kembali tatapannya pada ikan-ikan kesayangannya.

“Jawablah Mas, apakah kamu bahagia dengan pernikahan kita?  Bagaimana kalau ada perempuan lain yang menarik hatimu?”

“Nggak ada perempuan lain.  Jangan sembarangan menuduh,” ujar suamiku, ketus.

“Siapakah Nasya?  Bagaimana dengan puisi Amir Hamzah yang Mas utarakan ketika melamarnya?” Aku berusaha tenang saat bertanya hal sensitif itu.  Suamiku pasti menyangkal kehadiran Nasya.  Begitulah perilaku peselingkuh versi Kak Hera.

Tapi, suamiku tak menyangkal kehadiran Nasya.  Dia hanya diam.  “Hm, diam berarti iya.  Jadi benar, Mas punya hubungan khusus dengan Nasya?  Tega benar kamu Mas!”

“Sekarang, aku minta ketegasanmu.  Pilih aku atau Nasya?”

“Aku pilih Nasya, dan aku akan pergi dari rumah ini,” kata suamiku dengan suara parau.  Ia lantas beranjak dari sisiku.  Ketika berada di ambang pintu yang berhubungan dengan ruang tengah, suamiku berhenti.  Ia membalikan badan untuk melihat reaksiku.  Aku bergeming.  Tak peduli dengan kepergiaannya.

“Jadi, kamu siap aku ceraikan?” ancam suamiku.

“Siap, asalkan Sertifikat Hak Milik rumah ini diubah atas nama anak-anak.  Aku nggak mau perempuan itu menikmati hasil jerih payah kita selama duapuluh tiga tahun menikah.”

“Besok aku akan ke kantormu bersama pengacaraku.  Memberitakan perceraiaan kita, serta meminta bendahara kantor untuk mentransfer sebagian gajimu ke rekening anak-anak,” tegasku.

“Dasar perempuan matre!” raung Arya seraya berlari meninggalkanku.

Tekadku sudah bulat untuk berpisah dari suamiku.  Menurut Kak Hera, tugas utama suami adalah melindungi dan mengayomi isteri.  Bila seorang isteri merasa terintimidasi akibat perbuatan suaminya, berarti  suami telah gagal melaksanakan tugasnya.  Suami semacam itu tak layak dipertahankan.
-------------------------------------------------------  

Catatan : gambar bandara milik  www.gogobot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar