Minggu, 01 Maret 2015

Cerbung Bag,10 : Romansa

Karya Fiksi Fabina Lovers
Ringkasan Bagian 9 :
Kolonel Raja pingsan dan dibawa ke rumah sakit.
“Bagaimana Syarif, sudah berhasil menghubungi Reza?” tanya Kolonel Raja dengan suara lemah.
Syarif, sopir angkot yang barusan ditumpangi Ratu, duduk di kursi sambil mengipasi dirinya dengan kertas brosur obat.  Napasnya terengah.  Agaknya ia baru menempuh perjalanan jauh.
“Setelah berjalan hampir satu kilometer, akhirnya saya berhasil menemukan Wartel.   Reza sudah tahu Papa masuk rumah sakit.  Mungkin besok dia tiba di sini.  Sebenarnya, profesor tidak mengijinkannya pulang kampung.”
“Oh ya Ratu, ini putera Om yang baru kemarin sore tiba di Indonesia.  Nah, silakan berkenalan!”  Ratu dan Syarif bersalaman sambil menyebutkan nama masing-masing.

“Tadi Kang Syarif menyopiri angkot yang saya tumpangi,” ungkap Ratu.

“Cuit...cuit.. hebat euy,  Teteh disopiri ahli fisika,” celetuk Sari. Ibu memelototi Sari hingga gadis itu terdiam.

 “Tadi pagi Papa mengeluh susah berjalan.  Makanya saya yang bawa angkot.  Ternyata Papa pingsan sepeninggal saya.  Untung saja Bang Mahmud sedang ada di rumah.  Bang Mahmud yang bawa Papa ke rumah sakit,” jelas Syarif sambil tersenyum manis.

“Siapa Bang Mahmud?  Om sakit apa?” tanya Ratu.

"Bang Mahmud, sopir angkot kami yang satu lagi," jawab Syarif.

“Gula darahnya tinggi.  Sampai 600.  Jadinya susah bergerak,” imbuh Bu Amir.  “Sebenarnya ibu sering mengingatkan Pak Kolonel untuk mengurangi minuman manis.  Tapi, susah sih kalau sudah kebiasaan.”

Bu Amir membetulkan letak selimut Kolonel Raja.  Ia mengamati cairan infus.  Ternyata tinggal sedikit.  Dengan sigap, wanita setengah baya itu keluar ruangan.  Mencari suster untuk mengabarkan cairan infus yang harus diganti.

“Tampaknya Bu Amir terbiasa menjaga orang sakit,” kata Syarif.

“Jelas aja, Kang.  Sebelum meninggal,  ayah hampir tiap bulan masuk rumah sakit.  Sebenarnya Ibu bisa ganti infus sendiri.  Tapi, kalau di rumah sakit ini belum berani.  Takut dimarahi suster,” jelas Amira.

“Syarif, ehm bisa kamu katakan keinginan Papa kemarin pada Ratu dan adik-adiknya?” pinta Pak Kolonel, agak terbata.

“Oke, Pa.” Syarif berdiri sambil mengedipkan sebelah matanya.  “Ayo Teh Ratu dan adik-adik.  Ada yang mau saya bicarakan di luar.”

Ratu dan kedua adiknya mengikuti Syarif keluar ruang rawat dengan pikiran penuh pertanyaan. 

“Ada apa sih, Kang?” tanya Amira sewaktu mereka mencapai selasar ruang VIP.

“Sabar dong, Manis!  Kita cari tempat duduk dulu biar enak diskusinya.”  Syarif mencari kursi yang cukup untuk mereka berempat.  Ternyata ada, di dekat sebuah pot bunga besar berisi tanaman bougenfil.

“Apa Bu Amir berniat menikah lagi?” tanya syarif, langsung ke pokok permasalahan.

“Emang Kak Syarif mau melamar ibu, ya?”tukas Sari, polos.  “Kenapa nggak melamar Teh Ratu saja.  Cocok lho, sama-sama muda dan pintar.”

Ratu kontan mencubit pinggang adiknya.  “Apaan sih Sari.  Masih kecil udah jadi Mak Comblang,” gerutu Ratu. “Ngomong-ngomong, Kang Syarif kenapa bertanya begitu?  Apa ada yang tertarik dengan ibu kami?”

“Bukan hanya tertarik tapi mabuk kepayang.” Syarif terbahak.  “Saya akui, Ibu kalian masih terlihat cantik walau sebagian rambutnya sudah memutih.”

“Siapa yang jatuh cinta sama Ibu kami?” tanya Amira dengan mata berbinar nakal.

“Papa kami,” jawab Syarif.  Pemuda itu  tersenyum canggung.

“Apaa?” Sari dan Amira tertawa cekikikan hingga menghentikan alur pembicaraan.  Ratu menepuk pundak kedua adiknya.  Isyarat untuk berhenti tertawa.

“Wah, kami sih setuju saja andai Ibu menikah dengan Om Raja.  Tapi, semuanya tergantung keputusan Ibu.  Nanti deh, kalau waktunya tepat akan kami diskusikan dengan beliau,” pungkas Ratu.  Ia memberi kode dengan matanya agar Syarif dan kedua adiknya berhenti bicara.  Sejurus kemudian, ibu dan seorang perawat menghampiri mereka.

“Sedang apa kalian di sini?” tanya Bu Amir, heran.

“Sedang berdiskusi,” jawab kedua adik Ratu, serempak.  Mereka memandangi Bu Amir dengan tatapan jahil.

“Kalian ini kenapa?  Salah minum obat?  Kok jadi aneh begitu?” Ibu memandang risau pada Sari dan Amira.  Kedua remaja itu kembali cekikikan.

Malam harinya, Ratu membujuk kedua adiknya agar tidur lebih awal.  Ia memutuskan berbicara empat mata dengan ibunya.  Sebenarnya kedua remaja itu minta dilibatkan dalam pembicaraan mereka.  Tapi, Ratu khawatir pembicaraan molor sampai subuh. Kedua adiknya pasti lebih banyak bercanda daripada serius.

“Keputusan yang berat.  Ibu harus sholat istikharah dulu,” kata Bu Amir setelah mendengar cerita Ratu.

“Jangan lama-lama ya bu.  Kalau bisa, keputusannya sudah ada sebelum Kang Syarif kembali ke Jepang.  Kang Syarif rencananya berlibur di sini selama dua minggu.”

“Insya Allah malam ini ibu akan mulai istikharah.  Tidur yuk, sudah jam sembilan malam.”  Ibu menguap.  Hari ini sangat melelahkan beliau karena harus menempuh perjalanan jauh ke Rumah Sakit Salak.

Jam tiga pagi, seperti biasanya Ratu dibangunkan ibunya.  Kali ini ada yang tidak biasa.  Ibu tampak sangat bahagia.

“Ada apa, Bu?  Sepagi buta begini tampak ceria.” Ratu bertanya sambil menguap dan meregangkan tubuhnya.

“Jam dua ibu bangun lantas shalat sunnah empat rakaat.  Tiba-tiba ibu tertidur.  Dalam mimpi, ibu bersama ayahmu dan Kolonel Raja berada di taman yang indah.  Kemudian almarhum menepuk pundak kolonel Raja sambil berpesan agar beliau menjaga ibu. Lalu ibu bangun.   Apa coba artinya?”  Ibu menatap Ratu dengan wajah berbinar.

“Artinya ibu harus menikah dengan Kolonel Raja.  Ah, cepat sekali jawabannya.  Besok pagi, aku mau mengabarkan keputusan ini pada Syarif.  Selamat ya bu, sudah bertemu jodoh.” Ratu memeluk ibunya dengan sukacita.

Bu Amir menatap bola mata anaknya nan sekelam palung telaga.  “Tinggal kamu yang belum bertemu jodoh.  Mudah-mudahan cepat menyusul ibu.” Ibu mencubit pipi Ratu sambil tertawa.

“Saat ini aku belum berniat menikah lagi.  Walau dalam setiap shalat aku selalu minta diberikan pria yang mampu menghadirkan kebahagiaan dunia-akhirat untukku.”

“Doa yang baik, Nak.  Semoga Allah mengabulkan doamu.  Sekarang, mari  memulai tugas kita.  Oh iya, sebaiknya kamu tahajjud sekalipun cuma empat rakaat,” kata Bu Amir seraya beranjak ke dapur.

******

Dua Minggu Kemudian

Pukul 06.00 pagi, Keluarga Kolonel Raja bersiap berangkat ke Bandara.  Mereka berniat mengantar Syarif.  Pesawat Syarif dijadwalkan lepas landas pada pukul 11.00 siang.  Mereka memutuskan untuk berangkat sepagi mungkin.  Kemacetan di Jakarta susah diprediksi.  Bisa-bisa Syarif ketinggalan pesawat akibat macet di jalan.

“Kita di rumah saja ya, Pa.  Biar anak-anak yang mengantar Syarif,” rayu ibu yang baru seminggu menikah dengan Kolonel Raja.

“Gula darah papa sudah normal lagi kok.  Insya Allah nggak akan terjadi apa-apa di jalan,” bantah Kolonel, keras kepala. 

Ibu hanya bisa menghela napas sambil geleng-geleng kepala. “ Ya sudah, tapi di jalan jangan minta makanan yang menaikan kadar gula darah Papa.  Ibu juga mau bekal suntikan insulin.  Siapa tahu Papa butuh sewaktu di jalan.”   Nyonya Raja mengemasi keperluan suaminya dalam sebuah tas kecil dengan gesit.

“Ibu memang isteri yang penuh pengertian,”  kata Pak Kolonel sambil mengecup pipi isteri barunya.

“Malu sama anak-anak!”  tegur ibu dengan pipi bersemu merah

Ratu dan ketiga adiknya tertawa (Syarif memohon dijadikan adiknya Ratu).  “Duh penganten baru mesra nian,” goda Amira.

Tiba-tiba wajah Kolonel Raja memucat. Tubuhnya mengeluarkan keringat dingin.  Ibu mendudukan Kolonel di kursi, lalu memberinya sebutir permen.  Gula darah Kolonel sedang drop.  Memang demikian fluktuasi kadar gula darah penderita diabetes.  Kadang tinggi.  Kadang di bawah ambang normal.

“Papa nggak usah ikut, ya!   Doakan saja saya selamat di perjalanan,” saran Syarif.

“Iya, papa nggak usah ikut kami!”  imbuh Ratu dan kedua adiknya.

“Kalau sudah begini, ya nggak mungkin ikut,” kata ibu.  Kolonel Raja tak bisa membantah.  Dia harus istirahat di rumah akibat kondisi yang lemah.

“Dag Papa, Ibu.  Happy honeymoon ya,” seru empat orang pemuda itu saat menaiki mobil sewaan.

Ibu dan Kolonel Raja melambaikan tangan sambil tertawa.  “Lagi sakit kok disuruh honeymoon,” gumam ibu.

“Eit, siapa bilang lagi sakit nggak bisa honeymoon.” Kolonel Raja mencolek pinggang ibu sambil mengedipkan mata.  Ibu kembali tersipu.

Mereka menempuh perjalanan selama tiga jam untuk mencapai Bandara Soekarno Hatta.  Pada masa itu belum ada jalan tol menuju bandara internasional tersebut.  Mereka harus berhadapan dengan kemacetan lalu lintas ibu kota.

“Hei, kamu Ratu ‘kan?” sapa seorang wanita muda saat mereka memasuki terminal keberangkatan.

Ratu mengerutkan kening, menggali ingatan akan sosok wanita muda itu.  “Andrea?  Wah, keren banget kamu sekarang,” seru Ratu  dengan gembira.

Ratu mencermati perubahan wujud teman sebangkunya di SMA.  Dulu, penampilan Andrea sangat vintage.  Tubuh kurus.  Kulit cokelat terbakar matahari.  Plus rambut berkepang dua.  Berbanding terbalik dengan penampilan modisnya saat ini.

“Kamu mau berangkat kemana?” tanya Andrea.

“Cuma mengantar adik.  Oh ya, kenalkan, ini Syarif.”  Syarif menyalami Andrea dengan malu-malu.  Rupanya ia tertarik pada Andrea.

“Kamu berangkat kemana?” tanya Andrea pada Syarif.

“Kyoto, tapi transit dulu di Tokyo.”

“Kita sama-sama menuju Tokyo,” kata Andrea, riang. “Kamu penerima beasiswa pemerintah Jepang juga?”

“Iya, sudah tahun ketiga.”

“Andrea, kamu juga dapat beasiswa ke Jepang?” tanya Ratu, takjub.

“Iya,  beasiswa Monbukagakusho program reseach student.”   Andrea mengeluarkan sebuah brosur dari tas-nya. “Bulan ini ada pendaftaran calon mahasiswa baru.  Kalau berminat, kamu bisa menghubungi Dirjen DIKTI DEPDIKBUD.”

Ratu membaca brosur dengan perasaan bergelora.  Kuliah ke luar negeri adalah impiannya.  Dulu, Ratu khawatir meninggalkan ibu.   Kini, ibu sudah menikah dengan Kolonel Raja.  Artinya ada yang menemani beliau menghadapi berbagai problema hidup.  Ratu tak perlu mengkhawatirkan beliau lagi.

“Iya Teh, coba saja melamar beasiswa Monbukagakusho.  Mudah-mudahan dapat kampus yang sama dengan aku.  Pasti asik punya kakak perempuan di rantau,” ujar Syarif sambil tersenyum senang.

“Teteh jangan pergi ke Jepang!  Nanti nggak ada yang bantu kami bikin PR?  Kasihan juga ibu, nggak ada yang bantu bikin kue,” cegah Sari dengan mimik memelas.

Ah, dilema.  Satu sisi Ratu ingin benar melanjutkan kuliah di Jepang.  Tapi di sisi lain Ratu ingin berdekatan dengan keluarganya.  Manakah yang dia pilih?

(Apakah keputusan Ratu? simak lanjutannya)
_________________________________

Catatan : gambar milik indobeta.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar