Karya Fiksi Fabina Lovers
Ringkasan Bag,10: Ratu tertarik mengikuti tes beasiswa ke Jepang setelah bertemu teman lama di bandara Soekarno Hatta
Dinihari, Ratu
dan ibunya sudah memasak aneka kue di dapur mungil mereka. Sejak ibu menikah dengan Kolonel Raja, tingkat
perekonomian keluarga meningkat. Mereka kini
memiliki rumah pribadi sekalipun letaknya di perkampungan. Meskipun berlokasi di perkampungan, akses dari rumah menuju Jalan Raya Kecamatan cukup
mudah. Hanya menempuh jarak sekitar 500
m. Kondisi Jalan Desa tergolong
baik. Sudah beraspal meskipun belum
dihotmik.
“Kenapa melamun?” tanya ibu. Tangannya gesit menguleni adonan kulit pastel.
“Janji ya, ibu
nggak marah!”
“Iya, ada apa
sih?”
“Hm...” Ratu
terdiam sejenak. “Ratu ingin ikut tes
beasiswa ke Jepang.”
“Aapa?” Ibu
menghentikan pekerjaannya. “Ke
Jepang? Ingat Ratu, kamu itu anak
perempuan. Pendek lengkahna. Bagaimana
kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di sana?” Ibu berkacak pinggang sambil memelototi Ratu.
“Tuh ‘kan? Katanya nggak akan marah,” gumam Ratu.
“Habis, kamu
mintanya yang aneh-aneh. Coba minta
kawin. Pasti langsung ibu carikan jodoh.”
Intonasi suara ibu kembali normal. Beliau
tersenyum jahil seraya menguleni adonan kulit pastel kembali.
“Ada apa sih
ribut-ribut?” Papa Raja muncul di dapur.
“Ini, Teteh Ratu
mau ikut tes beasiswa ke Jepang. Ibu
larang saja. Melang atuh. Sama siapa dia
di sana? Belum tentu juga dapat
universitas yang sama dengan adik-adiknya.”
Ibu mengadu pada suaminya dengan suara manja.
“Payah, ibu mah Kurung Batok! Jaman sekarang anak perempuan setara dengan
pria. Apalagi Ratu tergolong
pintar. Harus kita kembangkan potensinya
sebagai bekal berbakti pada negara,” kata Papa Raja. Beliau melempar senyum penghiburan pada anak
sulungnya.
Perasaan Ratu
melambung seumpana balon berisi helium.
Sayang, ibu menusuk balon itu lewat argumentasinya. “Halah, percuma sekolah tinggi kalau nantinya
ke dapur juga,” tukas ibu.
Papa Raja
memberikan isyarat agar Ratu berdiam diri.
Ketika mereka tinggal berdua saja, Papa Raja memberi saran : “Sudah,
ikuti saja tesnya! Perkara ibu nggak setuju biar jadi urusan
papa. Mudah-mudahan kamu bisa lulus.”
****
Ratu mencermati
panduan Beasiswa Monbukagakusho yang ia terima dari seorang staff Kedutaan
Jepang. Rupanya ada tiga jalur. Goverment to Goverment (G to G), University
to University (U to U) dan melalui Instansi atau Departemen Teknis. Cara yang paling mudah bagi Ratu melalui
jalur G to G. Sayang, ada satu syarat
yang belum bisa dipenuhinya, menjadi
PNS.
Saat ini posisi
Ratu hanyalah dosen honorer di almamaternya.
Tugasnya tak berbeda dengan asisten dosen dari kalangan mahasiswa. Memberikan responsi Pengantar Ilmu Ekonomi bagi
mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (Tingkat Satu). Ratu tak diperbolehkan mengisi kuliah umum
karena bukan PNS.
Siang itu, Ratu
memberanikan diri menghadap Bu Ratih, dosen pembimbingnya sewaktu menyusun
skripsi. Doktor bidang ekonomi pertanian
itu tengah menghadapi setumpuk literatur kuliah.
“Maaf bu, bisa
kita berdiskusi sebentar?” pinta Ratu, sopan.
“Silahkan saja.”
Dosen wanita itu menunjuk kursi di hadapannya sambil tersenyum ramah. Ratu adalah mahasiswa kesayangannya.
Ratu
menceritakan secara ringkas keinginannya mendapatkan beasiswa Monbukagakusho
lewat jalur G to G, serta hambatan yang menghadangnya.
“Kamu sangat
beruntung. Baru saja saya menerima
pengunduran diri Calista. Semula ia akan
kami ikutkan tes CPNS minggu depan.
Dengan pertimbangan, ia sudah menghonor dua tahun di jurusan kita. Ternyata, suaminya pindah tugas ke Gorontalo. Calista ingin ikut suaminya ke sana. Tapi, sekarang saya sudah mendapatkan
pengganti Calista.” Bu Ratih memandang
Ratu dengan mata berbinar jenaka.
“Si..siapa
pengganti mbak Calista?” Ratu tergagap, berharap dirinya yang menjadi pengganti
Calista.
“Selamat,
kamulah penggantinya.” Bu Ratih menyalami Ratu.
Gadis itu terpana. Tak percaya
dengan pendengarannya.
*****
Satu Tahun Kemudian
Ratu
menghembuskan napas lega. Akhirnya ia
berhasil mengikuti tes tertulis bagi calon penerima beasiswa Monbukagakusho di
Kedutaan Jepang. Perjalanannya menuju
ruangan ini cukup alot. Ia harus
menunggu terbitnya SK PNS dulu. Kemudian
mengurus pemberkasan dari Rektorat hingga Sekretariat Kabinet RI. Benar-benar melelahkan.
Seleksi diikuti
ratusan peserta. Labih banyak daripada
seleksi CPNS dosen dulu. Ya, siapa yang menolak
kuliah gratis di Jepang? Bukan sekedar
kuliah, pengalaman tinggal di negeri orang akan menjadi momentum berharga
untuk diceritakan kepada anak-cucu.
Tes tulis
tidaklah berat. Momok bagi calon
penerima beasiswa adalah wawancara.
Pewawancara berasal dari perwakilan negara Jepang dan pejabat Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI. Tentu saja
keseluruhan wawancara dalam Bahasa Inggris.
Tapi, bukan penggunaan bahasa yang menjadi momok para peserta. Kandidat beasiswa harus berhasil meyakinkan
para pewawancara bahwa rencana risetnya memberikan kontribusi positif bagi
rakyat Jepang dan Indonesia.
Ratu berdebar-debar
menanti giliran wawancara. Sekali lagi
ia mencermati Rencana Riset yang telah dijilidnya menjadi paper. Ratu berupaya memperkirakan pertanyaan yang
akan diajukan para pewawancara. Risetnya
akan mengkaji Ekonomi Pertanian Internasional dan kaitannya dengan Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan Indonesia.
Akhirnya,
tibalah giliran Ratu. Pertama-tama Ratu
memaparkan rencana risetnya yang terangkum dalam 4 lembar transparansi. Keempat pewawancara menyimak uraian Ratu
dengan serius. Kemudian mereka
mengajukan beberapa pertanyaan ringan yang dijawab dengan mudah oleh Ratu. Tapi, pertanyaan semakin lama semakin
sulit. Cenderung menguji ketahanan fisik
dan mental kandidat yang telah berdiri selama 20 menit.
“Apa kontribusi
yang bisa Anda berikan kepada masyarakat Jepang dengan riset ini?” tanya penguji
dari negara Jepang.
Ratu berpikir
sejenak. “Dengan pembangunan pertanian
yang berlandaskan kebutuhan pasar internasional, diharapkan produk-produk
pertanian kami memenuhi kualifikasi bahan baku industri pengolahan pangan di
Jepang maupun negara lainnya,” jawab Ratu, mantap. Ia berdoa agar para pewawancara menyetujui
jawabannya.
“Bagaimana pada
tataran praktisnya. Apakah semudah itu
mengubah mindset petani tradisional
Indonesia?” cecar pewawancara lain yang berasal dari Jepang pula.
Wow, pertanyaan
yang bagus. Ratu kesulitan menemukan
jawabannya. Gadis itu harus meneguk air
putih sebagai pereda nervous.
“Pembangunan pertanian dilaksanakan secara sustainable. Kita di sini bersama para pakar
pendidikan. Saya harapkan kurikulum
pendidikan kita memasukan paham-paham pertanian modern kepada anak didik yang
notabene adalah calon petani masa depan.
Dengan demikian, secara tidak langsung kita mengubah mindset petani tradisional
melalui generasi muda,” jelas Ratu dengan suara tenang. Pejabat Depdikbud yang termasuk tim
pewawancara manggut-manggut.
Selanjutnya
pertanyaan wawancara lebih ringan.
Seperti cara Ratu beradaptasi dengan kebiasaan masyarakat Jepang.
Tempat-tempat yang akan dikunjunginya selama di Jepang. Juga rencana pernikahannya (ini berpengaruh
karena beberapa calon mengundurkan diri dengan alasan menikah). Ratu berhasil menjawab semua pertanyaan itu
dengan santai. Tak terasa tigapuluh
menit berlalu. Ratu meninggalkan tempat
wawancara tanpa beban. Ia memasrahkan
hasilnya pada Yang Kuasa.
Keputusan hasil
tes akan keluar dua minggu mendatang.
Kandidat yang lolos tes akan dihubungi melalui telepon. Karena jalur telepon rumah belum masuk ke kampung
Ratu, maka Ratu memberikan nomor telepon kampus.
Dua minggu berlalu. Kehidupan Ratu terasa hiruk pikuk. Papa Raja kembali dirawat di rumah sakit. Reza dan Syarif berhalangan pulang ke Indonesia. Ibu dan Ratu bergantian menjaga Papa
Raja. Ratu menjaga papanya di malam hari
karena siang harus mengajar di kampus.
Ketika mengajar,
Ratu mendapat panggilan telepon. Gadis
molek itu terburu-buru ke ruangan Tata Usaha untuk menerima telepon. Ia pikir, ada berita penting seputar penyakit
Papa Raja. Ternyata, Amira dan Sari yang
menelepon.
“Teteh, sekarang
dekat sekolah kami ada Telepon Umum.” Terdengar celoteh cempreng di ujung sana. Gagang telepon berpindah ke tangan lain. “Coba tebak, Teh, siapa yang bicara?”
“Heh, kalian ini
emang Ratu Iseng. Tahu nggak, Teteh lagi
ngajar? Jangan telpon lagi kecuali untuk
hal penting!” Ratu separuh membanting gagang telepon karena kesal.
Beberapa menit
kemudian, staff Tata Usaha kembali memanggil Ratu. Katanya ada panggilan penting. Ratu menghampiri ruang Tata Usaha dengan
perasaan gusar. Kedua adiknya perlu
diperingatkan agar pandai menempatkan diri.
“Sari, Amira, kalian
ini.....” Kalimat Ratu terpotong suara berwibawa.
“Maaf apakah ini
saudari Ratu Sofiana, kandidat beasiswa Monbukagakusho?”
“Oh iya, benar Bu, saya Ratu. Mohon maaf untuk kejadian
barusan.”
“Perkenalkan,
ini Bu Hikmah dari Kedutaan Jepang.
Besok Anda diminta datang ke Kedutaan Jepang untuk mengisi
formulir. Anda dinyatakan lolos tes
tulis dan wawancara.”
“Te..terima
kasih untuk beritanya. InsyaAllah besok
saya ke kedutaan.”
Ratu bersujud
syukur di lantai Ruang Tata Usaha.
Perasaannya berbunga-bunga.
Akhirnya, ia dapat kesempatan kuliah di Jepang. Tapi, bagaimana mengabarkan hal ini pada ibu
yang sedang resah karena Papa Raja dirawat di Rumah Sakit?
__________________________________
Keterangan :
Kosa kata bahasa sunda
Pendek lengkah = keterbatasan
Kurung Batok = kurang wawasan
Melang = khawatir
Melang = khawatir
DEPDIKBUD RI = Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (nama Kementerian Pendidikan era Presiden Soeharto)
Sustainable =: berkelanjutan
Transparansi = Lembar plastik berisi paparan untuk dipresentasikan melalui OHP. Pada tahun 90-an belum ada laptop dan infokus. Membuat paparan presentasi cukup rumit. Harus diketik, dicetak baru difotokopi pada selembar plastik.
Transparansi = Lembar plastik berisi paparan untuk dipresentasikan melalui OHP. Pada tahun 90-an belum ada laptop dan infokus. Membuat paparan presentasi cukup rumit. Harus diketik, dicetak baru difotokopi pada selembar plastik.
Sumber mengenai beasiswa = informasi teman dan blog milik penerima beasiswa ke Jepang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar