Sabtu, 06 Februari 2016

Rakik Maco


Karya Fiksi Fabina Lovers

Amak (ibu) tampak seperti Zubin Mehtah (1) saat mengolah rakik maco.
Tangan amak bergerak gemulai ketika mengaduk tepung beras, air, dan  bumbu-bumbu dalam ember besar.  Bila adonan telah siap cetak, gerakan tangannya menjadi lincah.  Mencetak, membubuhi maco (2) kering,  lalu menggoreng adonan, dilakukannya dalam hitungan detik.  Bulatan-bulatan rakik maco berdansa dalam minyak panas di penggorengan raksasa.   Amak membolak-balik rakik agar warna kuning keemasannya merata.

“Jangan sampai satu sisi hitam gosong, dan sisi lainnya putih.  Macam zebra saja,” ujar amak padaku.

Aku mengangguk-angguk sambil memeluk boneka  kesayanganku. Bentuk dan warna bonekaku  tak jelas lagi.  Boneka yang semula menyerupai kelinci itu adalah mainan mendiang anaknya Etek (tante) Meynar.  Bocah malang itu tewas karena tenggelam di Danau Singkarak sekitar dua tahun lalu.   Etek Meynar membagikan semua mainan mendiang anaknya pada handai taulan.  Aku kebagian mainan yang tak diinginkan oleh semua anak.

“Kapan kita ke pasar Bukittinggi, Mak?” tanyaku.

“Ah, kau ini senang benar pergi ke pasar.  Hati-hatilah Nak, kata Angku Syeh, pasar itu tempatnya setan!”

“Apa benar, Mak?” Aku mengerutkan kening.  “Tapi, Rahma nggak pernah lihat penampakan setan di pasar. “

Amakku tertawa geli.  “Oh anak daro (anak gadis),  rupanya kau  belum paham perumpamaan.  Setan yang dimaksud oleh Angku Syeh bukanlah penampakan macam acara tengah malam di TV.   Setannya tak kelihatan, tapi terus mendampingi kita.  Membisiki kita agar menghamburkan uang untuk membeli barang yang tidak kita butuhkan.  Akhirnya, uang kita habis.  Lalu kita terpaksa berhutang untuk memenuhi kebutuhan pokok.

“Celaka benar kalau terpaksa berhutang ke rentenir.  Bunganya sungguh mencekik leher.  Amak kenal beberapa orang yang bunuh diri gara-gara terlilit hutang pada rentenir,” jelas amak seraya meniriskan rakik matang dengan sebuah saringan besar, kemudian memindahkannya pada tampah berselubung koran.

“Oh, begitu ya, Mak.”  Aku manggut-manggut.

Sebenarnya aku tak sepenuhnya paham penjelasan Amak.  Waktu itu aku baru berumur delapan tahun.  Yang ada dalam pikiranku hanyalah bermain dan bersenang-senang.

“Nah, aku lihat rakik di tampah sebelah sana sudah tak berminyak lagi. Cobalah kau masukan rakik-rakik itu ke dalam plastik ini!  Hati-hati, jangan sampai pecah!  Masih ingat cara menyusun rakik yang Mak ajarkan tempo hari?”  Amak menyodorkan plastik ukuran sepuluh kilogram padaku.

“Ingat, Mak.”  Aku bersemangat mengambil plastik dari tangan amak. Memasukan rakik ke dalam plastik adalah kegiatan menyenangkan.  Aku diperbolehkan amak memakan rakik yang pecah atau bulatannya tak sempurna.  Semoga saja kali ini banyak rakik afkiran.

“Kalau hari ini semua rakik sudah terbungkus rapi dalam plastik, besok kita bisa pergi ke pasar,” janji amak.

“Hore!” seruku, bersemangat.

Keesokan harinya, amak mengemas lima buah plastik besar berisi rakik maco dalam sebuah karung bekas beras berukuran seratus kilogram.  Beliau menjunjung karung di atas kepalanya saat  kami  menunggu bus yang akan membawa kami ke Bukittinggi.

Jarak dari kampung kami ke Kota Bukittinggi sekitar limapuluh kilometer.  Kurang lebih satu jam perjalanan dengan bus trayek Solok – Bukittinggi.  Kampung kami nan permai terletak di tepi Danau Singkarak,  salah satu obyek wisata kebanggaan Urang Awak (Orang Minang).

Sesampainya di pasar lereng Bukittinggi, kami berjumpa dengan Etek Ana yang akan memasarkan dakak-dakak (3)  buatannya.

“Apa kabar Uni (kakak) Ros, mau jualan rakik, ya?” Etek Ana menyapa amak dengan ramah.

“Onde mande, kau secantik mendiang ibumu.  Mudah-mudahan saja kelakuanmu tidak seperti dia.”  Etek Ana menghunuskan pandangannya ke sekujur ragaku.

Wajahku mendadak pias.  Perkataan Etek Ana terdengar bak halilintar di siang terik.  Apa, mendiang ibuku?  Jadi, aku ini bukan anaknya Amak Ros?

“Hei Ana, jangan asal bicara!  Rahma anak kandungku.”  Amak memelototi Etek Ana.

“Maaf, ambo (saya) kelepasan bicara.  Ambo duluan, ya.”  Etek Ana bergegas meninggalkan kami.

Aku mencengkram pergelangan tangan amak, tapi tak berani menatap wajahnya.  Amak menengadahkan wajahku hingga aku terpaksa bertatapan dengannya.  Ada pancaran cinta di manik matanya.

 “Rahma, kamu anak kesayangan amak.  Dulu, sekarang, juga nanti.  Jangan pedulikan perkataan orang-orang usil, ya!”

Aku mengangguk sambil tersenyum.  Amak mengusap kepalaku.  Lalu kami beriringan menuju los pasar tempat amak biasa menjual rakik buatannya.  Tangan kanan amak memegang karung di atas kepalanya, dan tangan kirinya menggenggam tanganku.

“Kalau amak sudah dapat uang, kita akan sarapan nasi kapau kesukaanmu.  Oh ya, kamu juga boleh beli baju baru,” kata amak, ceria.

“Asik,” cetusku, pura-pura gembira.  Sebenarnya, aku mulai meragukan keabsahan Amak Ros sebagai ibu kandungku.
****
Proposal penelitianku tentang Keberhasilan Pelaku Usaha Kecil dan Menengah Menghadapi Krisis Ekonomi, telah disetujui oleh  Dosen Pembimbing.  Obyek penelitianku adalah pengusaha camilan khas minang yang bermukim di sekitar Danau Singkarak.    Sambil penelitian, aku bisa menuntaskan rinduku pada amak.

Salah satu obyek penelitianku adalah usaha pembuatan kerupuak jangek (kerupuk kulit) yang dikelola Maktuo (uwak) Samsiah selama puluhan tahun. Tak sulit meminta data dari Maktuo Samsiah.  Ia telah menjadi sahabat baik amak sejak mereka kanak-kanak.

“Oi, rancak (cantik) nian kamu, Nak.”  Maktuo Samsiah menatapku penuh kekaguman.  Padahal penampilanku biasa saja.  Aku mengenakan tunik bermotif tribal dengan dominasi warna salem, serta celana panjang hitam.

“Wajahmu bercahaya dalam bingkai kerudung ini.”  Maktuo Samsiah menyentuh ujung pashmina warna jingga yang membungkus kepalaku.

“Alhamdulillah.  Kata dosenku, setiap wanita memiliki sisi kecantikan tersendiri.  Misalnya, maktuo terlihat cantik karena berhasil menguliahkan anak walau berstatus orang tua tunggal.”

“Anakku, kamu pintar dan berperangai sopan.  Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan dia.  Amak Ros berhasil mendidikmu.”  Ucapan lirih maktuo menyeret pikiranku pada kejadian di pasar Bukittinggi belasan tahun silam.

“Maktuo, bolehkah Rahma bertanya suatu hal?”  pintaku dengan suara tercekat.

“Minumlah dulu, Nak!”  Maktuo Samsiah menyodorkan secangkir teh hangat padaku.

Tanganku gemetaran saat mengangkat cangkir.

“Maaf, siapakah ibu kandung ambo?”  tanyaku setelah meletakkan cangkir di meja beranda.

Maktuo Samsiah tercenung beberapa saat.  “Jadi, amakmu tak pernah menceritakan riwayatmu yang sebenarnya?”

Alih-alih menjawab, aku hanya menggeleng lemah.

“Kalau begitu, biar amakmu saja yang bercerita.  Aku, aku takut salah bicara.” Maktuo Samsiah menoleh pada beberapa helai kulit sapi yang teronggok di kursi.

“Ayo, kita bicarakan usahaku saja!  Bukankah kamu ingin tahu caraku menjalankan usaha kerupuak jangek selama puluhan tahun?”

Aku terpaksa mewawancarai Maktuo Samsiah sesuai daftar pertanyaan yang telah kusiapkan.  Beberapa kali aku melamun saat beliau menjawab pertanyaanku. Beliau mengembalikan pikiranku pada topik wawancara dengan cara lembut.
****
“Rahma, mengapa beberapa hari belakangan ini kamu sering melamun?”  tanya amak saat kami makan malam.

“Mmm, penelitian ambo sungguh menguras tenaga,” jawabku, berbohong.

Bibir amak bergerak-gerak tanpa suara.  Orang tua itu tertatih berdiri lalu mengambil sesuatu di laci lemari makan.  Kemudian, ia menghampiriku dengan sebungkus puyer di tangannya.

“Tolong buatkan rakik maco untukku!  Campurkan obat ini ke dalam adonannya! Jadi, obatku akan terasa lebih nikmat.  Kamu masih ingat cara membuat rakik, bukan?”

“Tapi  Mak, rakik maco buatan ambo tak seenak buatan Amak.”

“Biarlah.  Anggap saja ini permintaan terakhir amak.  Jangan banyak-banyak membuatnya,  cukup setengah gantang (4)  tepung beras saja!”

Aku buru-buru bangkit dari kursiku saat mendengar kata ‘permintaan terakhir’.  Malam itu juga aku membuatkan rakik maco untuk amak, wanita budiman yang mengakuiku sebagai anaknya.

“Kamu jangan ikut makan, ya!  Rakik maco ini mengandung obat.  Tak baik bagimu,” cegah Amak saat aku mengambil sebongkah rakik maco.  Aku pun urung mengambilnya.

Amak amat menikmati sarapan berlauk rakik maco buatanku. Dalam sekejap, rakik macoku tandas,  tak bersisa sebutir remah pun.  Senang benar diriku ini.  Produksi  perdanaku disukai amak, sang maestro rakik maco.

Seusai mencuci piring bekas sarapan, aku berpamitan pada Amak untuk melanjutkan penelitianku.  Kali ini aku akan mempelajari alur pemasaran kerupuak jangek produksi Maktuo Samsiah.

Saat aku tengah mewawancarai karyawan bagian pemasaran kerupuak jangek, ponselku bernyanyi.  Nayla, anak tetangga kami, yang meneleponku.

“Lekaslah pulang, Uni! Maktuo Ros sakit keras.”  Suara Nayla mengandung tangis.

“Jangan buru-buru pulang, bacalah dulu surat dari amakmu!”  Maktuo Samsiah menyerahkan sebuah amplop padaku.  Aku segera mengeluarkan kertas dari dalam amplop dan membaca isinya.

Kepada Ananda Rahma
Ananda yang kucintai sepanjang hayatku.  Ketika kamu membaca surat ini, aku telah berpulang ke haribaan-Nya.  Aku tak sanggup hidup lebih lama bila kamu mengetahui riwayatmu yang sebenarnya.

Rahma, ibu kandungmu bukanlah wanita terhormat.  Dia sering ‘mengganggu’ suami kami.  Tapi, hanya suamiku yang begitu bodoh menikahinya.  Selang tiga bulan setelah pernikahan mereka, lahirlah kamu ke dunia ini.  Bayi yang tak mampu kupersembahkan bagi suamiku.
Suatu hari, ibumu memesan rakik maco buatanku.  Kaum wanita sekampung ikut mengadoni rakik maco pesanan ibumu.  Berat bagiku untuk mengakui bahwa kami meracuni adonan rakik itu. Kami amat membenci ibumu.

Ternyata, bukan ibumu saja yang melahap rakik beracun itu.  Suamiku pun ikut menikmatinya.  Pasangan suami-isteri itu tewas seketika.  Tapi, tak ada yang melaporkan kematian misterius mereka pada polisi.
Aku memutuskan untuk membesarkanmu, Rahma.  Walaupun kaum wanita sekampung lebih suka bila kamu dititipkan ke Panti Asuhan. Entah mengapa, aku jatuh hati padamu. Aku yakin, kamu akan tumbuh menjadi gadis baik-baik dalam asuhanku.

Maktuo Samsiah bilang, kamu ingin tahu riwayat hidupmu.  Bagaimana perasaanmu setelah mengetahui akulah pembunuh ibumu?  Apakah kamu mendendam padaku?

Tapi, kamu tak perlu balas dendam.  Puyer yang kuberikan padamu tadi malam adalah racun.  Aku tewas keracunan rakik maco seperti ibumu.

Sekarang, posisi kita imbang, ya? Selamat tinggal Rahma.  Tolong maafkan semua dosaku kepada ibu kandungmu.
Peluk Cium dari Amak Ros

Ruangan produksi kerupuak jangek terasa berputar.  Penyesalan melintasi benakku sebelum semuanya menjadi  gelap.   Seharusnya aku mengingat nasehat Angku Syeh : ‘Tak perlu ingin tahu segala rahasia.  Boleh jadi pengetahuan itu  berdampak buruk bagi kehidupan kita.’

Catatan Penulis :
1) Zubin mehtah adalah konduktor asal India.  Gerakan tangannya saat memimpin orchestra terlihat dinamis sekaligus dramatis.

2.Maco adalah ikan air bawal cermin ukuran kecil.

3.Dakak-dakak adalah camilan berupa irisan singkong goreng berbumbu kunyit.

4.Gantang adalah rantang dalam pengucapan minang kuno.

(Makasih uda AA untuk masukannya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar