Senin, 18 Desember 2017

Barista Kehidupan



Gadis bermata bening dan secangkir latte dalam genggamannya, menjadi pemandangan nan memikat hati Rindang, pramusaji yunior di Kafe Bumi.  Gerak- gerik gadis itu saat menghidu aroma kopi begitu gemulai, bagai penari serimpi di istana sultan.

Suatu hari Rindang berhasil mengetahui nama gadis itu.  

"Sulbi," katanya, mengulurkan tangan seraya tersenyum manis.

Rindang menyambut uluran perkenalan sang gadis dengan penuh hikmat, seperti kaum fakir menyambut cek bernilai jutaan rupiah.  Tapi Rindang tak berani bertanya lebih banyak.  Emak selalu mewanti-wanti dirinya untuk 'tahu diri'.  Mereka hanya orang udik yang beruntung bisa bersekolah dan mencari nafkah di kota.

"Jangan merusak keberuntunganmu dengan berbuat kurang ajar pada gadis kota," nasehat emak.

Tapi, gadis kota itu telah membuat Rindang melupakan nasehat emak.

"Mari, duduklah di dekatku!" titah Sulbi, lembut tapi tegas.

Sekarang Rindang duduk berdekatan dengan Sulbi hingga tercium aroma parfumnya yang manis.  Bahkan ia bisa membelai pipi sang gadis kalau berani.

"Mau tahu mengapa aku suka latte?" tanya Sulbi.

Rindang menggeleng kikuk, tak sanggup  mengucapkan sepatah kata pun di hadapan perempuan molek itu.

"Aku ingin mengingatkan diriku sendiri untuk menjadi barista kehidupan."

"Barista kehidupan?" Akhirnya Rindang bisa bersuara.

"Kamu tahu, seorang barista handal mampu mengubah espresso pahit menjadi segelas latte nikmat seperti yang kuminum ini.  Demikian pula barista kehidupan."

"Jadi Sulbi, hidupmu sepahit espresso, ya?"

Sulbi tersenyum misterius sebelum beranjak meninggalkan Rindang.  Sejak hari itu, Sulbi tak pernah mengunjungi Kafe Bumi lagi.  Rindang hanya bisa berharap suatu ketika akan bertemu sang gadis untuk mendengar kelanjutan kisah hidupnya.

Bogor, 18 Des 2017


Tidak ada komentar:

Posting Komentar