Karya Fiksi oleh Fabina Lovers.
Rama memandangi serpihan embun di jendela kamarnya dengan tatapan sendu. Bu Puspa yang datang menanting baki berisi piring sarapan, tak disambutnya dengan senyum tulus seperti biasa. Senyum ajaib yang mampu menguapkan lelah dan lara Bu Puspa menuju langit pagi.
Rama memandangi serpihan embun di jendela kamarnya dengan tatapan sendu. Bu Puspa yang datang menanting baki berisi piring sarapan, tak disambutnya dengan senyum tulus seperti biasa. Senyum ajaib yang mampu menguapkan lelah dan lara Bu Puspa menuju langit pagi.
“Selamat Pagi, Rama. Ono opo, Ngger? Wajahmu terlihat memendam duka? Sudikah membagi dukamu dengan Ibu?”
Rama menggeleng lemah. Ia palingkan wajahnya dari jendela menuju Tablet
yang tergeletak di meja samping tempat tidurnya. Bu Puspa memahami arti tatapan itu.
"Sarapan dulu, baru main
tab!” kata Bu Puspa seraya menyuapi
Rama.
“Hebat kamu, Ngger.
Opini tentang BBM yang kamu tulis, berhasil dimuat di koran lokal
kita. Allah Maha Adil. Tanganku yang kuat mengangkat tubuhmu,
ternyata tak mahir menulis seperti tanganmu.” Bu Puspa mengelus mesra rambut
tebal berombak milik buah hatinya. Pria
usia duapuluh lima tahun yang terkulai layu di tempat tidur akibat Cerebral Palsy.
Rama adalah pria spesial
di hati Bu Puspa. Berkat Rama, Bu Puspa
selalu beranggapan dirinya sehat dan kuat.
Pikiran positif itu menyebabkan Bu Puspa tak pernah menderita penyakit
berat selama duapuluh lima tahun terakhir ini.
"Sudah, Bu. Rama kenyang,” kata Rama setelah menelan tiga
sendok makan bubur kacang hijau dengan susah payah.
“Kamu sakit, Ngger?” tanya Bu Puspa seraya merabai
dahi Rama dengan perasaan cemas.
"Saya baik-baik saja,
Bu. Tolong kemarikan tab itu!
Ada yang hendak saya tulis.” Rama terlihat menggapai-gapai Tab dengan
tangannya yang lemah.
“Baiklah, silahkan kamu
tulis seluruh keluh kesahmu di sini!
Semoga lara hatimu meluruh beserta untaian kata yang kamu tulis. Percayalah, Ngger, satu-satunya keinginan ibu
di dunia ini adalah kebahagiaanmu.” Setitik air mengintip dari sudut mata Bu
Puspa kala beliau menyerahkan Tab pada anak kesayangannya.
Bu Puspa meninggalkan
Rama seorang diri di kamar. Rama tak
ingin diganggu saat menulis. Bila
tangannya mulai melemah, Rama menggunakan mulutnya untuk menulis dengan pen. Ia menikmati benar aktivitas menulisnya.
Rama tengah terlelap kala
Bu Puspa memasuki kamarnya. Bibir Rama tampak
mengulum senyum. Agaknya Rama bermimpi
indah dalam tidurnya. Bu Puspa memindahkan Tab yang tertindih tubuh Rama
menuju meja samping tempat tidur. Sebait
puisi pada layar Tab menarik perhatian beliau.
Dalam pagutan senyum manismu
Ingin hati melabuhkan perahu cinta
Namamu bak nyanyian merindu
Indah menggema di relung sukma
(Dari Rama untuk
Wanita Terindah)
“Cah bagusku sedang kasmaran.” Bu Puspa
membatin. Ia menangis terharu saat
membaca puisi cinta yang ditulis Rama.
Ternyata Rama jatuh cinta pula sebagaimana insan lainnya.
“Bu, Puteri berangkat
kerja dulu ya,” pamit anak bungsu Bu Puspa. “Eh, ibu sedang baca apa? Kok nangis?”
Bu Puspa menyembunyikan
Tab di belakang punggungnya. “Tak perlu
tahu, ini rahasia hati Mas-mu.”
Puteri mengikik geli
sambil menarik tubuh ibunya keluar kamar.
“Puteri tahu, Mas Rama sedang jatuh cinta, bukan?”
Bu Puspa mengerutkan
kening. “Kok kamu tahu?”
“Tentu saja tahu. Mas
Rama naksir Dini. Itu lho bu, teman SMA
Puteri yang sekarang jadi bidan. Sayangnya, Dini sudah bertunangan.”
“Oalah, kasihan sekali
Rama. Apakah dia tahu Dini sudah bertunangan?”
"Tahu, Bu. Sewaktu Mas minta
informasi tentang Dini, Puteri katakan saja yang sebenarnya. Puteri tak mau Mas terjebak angan-angan
semu.”
“Puteri pamit lagi ya,
Bu. Supervisor yang baru amat disiplin. Gajiku bakal dipotong kalau datang
terlambat,” Puteri mencium tangan Bu Puspa sebelum bergegas mengendarai motor
matic-nya.
“Jangan buru-buru, alon-alon asal kelakon,” seru Bu Puspa
dari ambang pintu ruang tamu.
Bu Puspa terdiam
beberapa saat setelah Puteri menghilang di kelokan jalan. Otaknya bersusah payah menyusun rencana. Wanita setengah baya itu akan berupaya sekuat
daya agar Rama bersatu dengan wanita pujaan hatinya.
*********
Air mata Bu Puspa tak
kunjung surut membanjiri pipinya nan kisut.
Upayanya menyatukan Rama dengan
pujaan hatinya ternyata berakibat fatal.
Dini mengembalikan seluruh puisi Rama beserta surat penolakan. Penolakan yang menghancurkan hati tulus milik
sang pemuda spesial.
Harapan hidup Rama sebagai penderita Cerebral Palsy hanya sepuluh tahun. Namun kekuatan cinta dari keluarganya membuat
Rama bertahan hingga usia duapuluh lima tahun.
Kini, bonus kehidupan Rama tampaknya akan mencapai tengat waktu. Setelah penolakan menyakitkan dari Dini,
kesehatan Rama menurun drastis. Rama
seolah bosan menghuni dunia yang kejam ini.
“Jangan menyesali semua
yang terjadi. Percayalah, kamu
sudah menjadi ibu yang hebat bagi
Rama. Aku sangat menghargai ketulusan
hatimu. Kiranya almarhumah berterima
kasih padamu karena telah merawat anaknya dengan baik,” hibur Pak Tarjo sambil
mendekap punggung isterinya.
Bu Puspa memandangi
selang oksigen, pendeteksi detak jantung dan berbagai selang lainnya yang
berseliweran di tubuh putera terkasihnya.
Hatinya mencelos. Tangisnya
kembali buncah. “Aku amat menyayangi Rama,
meskipun dia terlahir bukan dari rahimku. Bahkan
Puteri pun belum tahu, dia dan Rama tidak satu ibu,”
“Seharusnya aku tak menemui wanita itu hingga ia tahu perasaan Rama kepadanya. Semestinya aku biarkan saja Rama hidup dalam angan-angan indahnya bersama wanita itu. Oh, alangkah bodohnya aku.”
“Sst, Bu! Ada tamu tuh.”
Pak Tarjo mengedikan kepalanya ke arah pintu ruang isolasi. Seorang gadis manis berdiri di sana sambil
berurai air mata. Bu Puspa harus membenarkan
letak kacamatanya untuk meyakinkan diri bahwa penglihatannya masih sempurna.
“Dini, sampeyan mau datang
kemari?” Bu Puspa belum mempercayai penglihatannya.
Dini menghampiri kedua
orang tua itu lalu menciumi tangan mereka satu per satu. “Ibu, Bapak, maafkan saya! Akibat ulah saya, Mas Rama jadi begini.”
Pak Tarjo maupun Bu
Puspa tak menanggapi permintaan maaf Dini.
Terlalu berat memberi maaf bagi seseorang yang telah meluluhlantakan
perasaan putera terkasih mereka.
“Bapak, Ibu, ijinkan saya
melantunkan tembang Asmarandana khusus untuk Mas Rama. Semoga Ibu dan Bapak
berkenan mendengarkannya.”
Dalam keheningan ruang
isolasi, suara bening Dini mengalun syahdu.
Tembang Asmarandana yang dilantunkan Dini, melangutkan hati para pendengarnya.
Gegaraning
wong akrami
Dudu bandha dudu rupa
Amung ati pawitané
Luput pisan kena pisan
Lamun gampang luwih gampang
Lamun angèl, angèl kalangkung
Tan kena tinumbas arta
Dudu bandha dudu rupa
Amung ati pawitané
Luput pisan kena pisan
Lamun gampang luwih gampang
Lamun angèl, angèl kalangkung
Tan kena tinumbas arta
Daya magis dari kidung yang dinyanyikan Dini menggapai alam
bawah sadar Rama. Seolah ada tangan kuat
yang mengembalikan jiwa Rama pada raganya.
Perlahan kaki Rama bergerak, diikuti lengannya, kemudian sepasang
matanya membuka. Sosok pertama
yang dikenali Rama adalah Dini.
“Rama, jangan pergi lagi!
Aku akan selalu di sisimu,” gumam Dini di sisi pembaringan Rama.
**************
“Saya tahu, kamu baru
putus bertunangan akibat penyakit jantungmu.
Tunanganmu tak ingin punya anak cacat karena kamu harus mengkonsumsi
obat seumur hidupmu, bukan?” cecar Bu Puspa.
Dini menundukan kepalanya, tak berani bersitatap dengan Bu
Puspa.
“Tak akan ada pria normal yang bersedia menikah dengan
mu. Kamu akan terpenjara dalam status
lajang.”
Dini mulai berani menatap wajah Bu Puspa. “Tolong jangan berkata seperti itu, Bu! Bukankan jodoh di tangan Allah?”
“Kamu akan bahagia bila menikah dengan Rama, anak saya. Saya tak peduli bila kamu melahirkan anak
cacat akibat mengkonsumsi obat semasa hamil.
Bagi saya, anak cacat adalah karunia terindah. Sekarang, ijinkan saya bertanya? Adakah calon mertua di kampung ini yang
sanggup menerima kecacatan seperti saya?”
Dini tergugu, tak sanggup menjawab pertanyaan Bu Puspa.
“Tolong dipikirkan kembali.
Laki-laki yang mencintai wanitanya dengan setulus hati sulit ditemui di
jagad ini. Beruntung sekali wanita yang
dianugerahi lelaki langka itu. Anakku,
kamu sangat beruntung, Rama mencintaimu sepenuh hatinya. Ingatlah itu!”
Bu Puspa berlalu dari rumah orang tua Dini. Lega karena berhasil melepaskan seluruh beban
yang menggelayuti hatinya. Saat itu, ia
tak berharap Dini bersedia menerima cinta Rama.
Dia hanya ingin Dini mengetahui
bahwa Rama amat mencintainya.
“Bu, kok melamun?” sapa seorang tamu yang hendak menyalami Bu
Puspa.
Bu Puspa tersadar dari kenangan yang terjadi beberapa bulan
lalu, sebelum Dini menengok Rama di Rumah Sakit. Wanita matang itu memandangi
sepasang pengantin di sisinya. Rama
duduk beralaskan bantal di pelaminan khusus.
Wajahnya yang tampan tampak bercahaya.
Di sisi Rama, Dini berdiri anggun dalam balutan busana pengantin jawa. Tetamu
yang hadir tersenyum sumringah. Semua orang
bisa merasakan kedahsyatan energi cinta yang menguar dari pelaminan.
Bogor, 25 Desember 2014
Karya ini didedikasikan
untuk
Seorang ibu tiri
berhati mulia di DIY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar