Kamis, 25 Desember 2014

Cinta Pria Spesial

Karya Fiksi oleh Fabina Lovers.

Rama memandangi serpihan  embun di jendela kamarnya dengan tatapan sendu.  Bu Puspa yang datang menanting baki berisi piring sarapan, tak disambutnya dengan senyum tulus seperti biasa.  Senyum ajaib yang mampu menguapkan lelah dan lara Bu Puspa menuju langit pagi.

“Selamat Pagi, Rama.  Ono opo, Ngger?  Wajahmu terlihat memendam duka?  Sudikah membagi dukamu dengan Ibu?”

Rama menggeleng lemah. Ia palingkan wajahnya dari jendela menuju Tablet yang tergeletak di meja samping tempat tidurnya.  Bu Puspa memahami arti tatapan itu.

"Sarapan dulu, baru main tab!” kata Bu Puspa seraya menyuapi Rama.

“Hebat kamu, Ngger.  Opini tentang BBM yang kamu tulis, berhasil dimuat di koran lokal kita.  Allah Maha Adil.  Tanganku yang kuat mengangkat tubuhmu, ternyata tak mahir menulis seperti tanganmu.” Bu Puspa mengelus mesra rambut tebal berombak milik buah hatinya.  Pria usia duapuluh lima tahun yang terkulai layu di tempat tidur akibat Cerebral Palsy.

Rama adalah pria spesial di hati Bu Puspa.  Berkat Rama, Bu Puspa selalu beranggapan dirinya sehat dan kuat.  Pikiran positif itu menyebabkan Bu Puspa tak pernah menderita penyakit berat selama duapuluh lima tahun terakhir ini.

"Sudah, Bu.  Rama kenyang,” kata Rama setelah menelan tiga sendok makan bubur kacang hijau dengan susah payah.

“Kamu sakit, Ngger?” tanya Bu Puspa seraya merabai dahi Rama dengan perasaan cemas.

"Saya baik-baik saja, Bu.  Tolong kemarikan tab itu!  Ada yang hendak saya tulis.” Rama terlihat menggapai-gapai Tab dengan tangannya yang lemah.

“Baiklah, silahkan kamu tulis seluruh keluh kesahmu di sini!  Semoga lara hatimu meluruh beserta untaian kata yang kamu tulis.  Percayalah, Ngger, satu-satunya keinginan ibu di dunia ini adalah kebahagiaanmu.” Setitik air mengintip dari sudut mata Bu Puspa kala beliau menyerahkan Tab pada anak kesayangannya.

Bu Puspa meninggalkan Rama seorang diri di kamar.  Rama tak ingin diganggu saat menulis.  Bila tangannya mulai melemah, Rama menggunakan mulutnya untuk menulis dengan pen.  Ia menikmati benar aktivitas menulisnya.

Rama tengah terlelap kala Bu Puspa memasuki kamarnya.  Bibir Rama tampak mengulum senyum.  Agaknya Rama bermimpi indah dalam tidurnya.  Bu Puspa  memindahkan Tab yang tertindih tubuh Rama menuju meja samping tempat tidur.  Sebait puisi pada layar Tab menarik perhatian beliau.

            Dalam pagutan senyum manismu
            Ingin hati melabuhkan perahu cinta
            Namamu bak nyanyian merindu
            Indah menggema di relung sukma
             (Dari Rama untuk Wanita Terindah)

Cah bagusku sedang kasmaran.” Bu Puspa membatin.  Ia menangis terharu saat membaca puisi cinta yang ditulis Rama.  Ternyata Rama jatuh cinta pula sebagaimana insan lainnya.

“Bu, Puteri berangkat kerja dulu ya,” pamit anak bungsu Bu Puspa. “Eh, ibu sedang baca apa? Kok nangis?”

Bu Puspa menyembunyikan Tab di belakang punggungnya.  “Tak perlu tahu, ini rahasia hati Mas-mu.”

Puteri mengikik geli sambil menarik tubuh ibunya keluar kamar.  “Puteri tahu, Mas Rama sedang jatuh cinta, bukan?”

Bu Puspa mengerutkan kening.  “Kok kamu tahu?”

“Tentu saja tahu.   Mas Rama naksir Dini.  Itu lho bu, teman SMA Puteri yang sekarang jadi bidan.   Sayangnya, Dini sudah bertunangan.”

“Oalah, kasihan sekali Rama.  Apakah dia tahu Dini sudah bertunangan?”

"Tahu, Bu. Sewaktu Mas minta informasi tentang Dini, Puteri katakan saja yang sebenarnya.   Puteri tak mau Mas terjebak angan-angan semu.”

“Puteri pamit lagi ya, Bu.  Supervisor yang baru amat disiplin.  Gajiku bakal dipotong kalau datang terlambat,” Puteri mencium tangan Bu Puspa sebelum bergegas mengendarai motor matic-nya. 

“Jangan buru-buru, alon-alon asal kelakon,” seru Bu Puspa dari ambang pintu ruang tamu.

Bu Puspa terdiam beberapa saat setelah Puteri menghilang di kelokan jalan.  Otaknya bersusah payah menyusun rencana.  Wanita setengah baya itu akan berupaya sekuat daya agar Rama bersatu dengan wanita pujaan hatinya.

*********
Air mata Bu Puspa tak kunjung surut membanjiri pipinya nan kisut.    Upayanya menyatukan Rama dengan pujaan hatinya ternyata berakibat fatal.  Dini mengembalikan seluruh puisi Rama beserta surat penolakan.  Penolakan yang menghancurkan hati tulus milik sang pemuda spesial.

Harapan hidup Rama sebagai penderita Cerebral Palsy hanya sepuluh tahun.  Namun kekuatan cinta dari keluarganya membuat Rama bertahan hingga usia duapuluh lima tahun.  Kini, bonus kehidupan Rama tampaknya akan mencapai tengat waktu.  Setelah penolakan menyakitkan dari Dini, kesehatan Rama menurun drastis.  Rama seolah bosan menghuni dunia yang kejam ini.

“Jangan menyesali semua yang terjadi.  Percayalah, kamu sudah  menjadi ibu yang hebat bagi Rama.  Aku sangat menghargai ketulusan hatimu. Kiranya almarhumah  berterima kasih padamu karena telah merawat anaknya dengan baik,” hibur Pak Tarjo sambil mendekap punggung isterinya.

Bu Puspa memandangi selang oksigen, pendeteksi detak jantung dan berbagai selang lainnya yang berseliweran di tubuh putera terkasihnya.  Hatinya mencelos.  Tangisnya kembali buncah. “Aku amat menyayangi Rama,  meskipun dia terlahir bukan dari rahimku.  Bahkan  Puteri pun belum tahu, dia dan Rama tidak satu ibu,”

“Seharusnya aku tak menemui wanita itu hingga ia tahu perasaan Rama kepadanya.  Semestinya aku biarkan saja Rama hidup dalam angan-angan indahnya bersama wanita itu.  Oh, alangkah bodohnya aku.”

“Sst, Bu! Ada tamu tuh.” Pak Tarjo mengedikan kepalanya ke arah pintu ruang isolasi.  Seorang gadis manis berdiri di sana sambil berurai air mata.  Bu Puspa harus membenarkan letak kacamatanya untuk meyakinkan diri bahwa penglihatannya masih sempurna.

“Dini, sampeyan mau datang kemari?” Bu Puspa belum mempercayai penglihatannya.

Dini menghampiri kedua orang tua itu lalu menciumi tangan mereka satu per satu.  “Ibu, Bapak, maafkan saya!  Akibat ulah saya, Mas Rama jadi begini.”

Pak Tarjo maupun Bu Puspa tak menanggapi permintaan maaf Dini.  Terlalu berat memberi maaf bagi seseorang yang telah meluluhlantakan perasaan putera terkasih mereka.

“Bapak, Ibu, ijinkan saya melantunkan tembang Asmarandana khusus untuk Mas Rama. Semoga Ibu dan Bapak berkenan mendengarkannya.”

Dalam keheningan ruang isolasi, suara bening Dini mengalun syahdu.  Tembang Asmarandana yang dilantunkan Dini, melangutkan hati para pendengarnya.

Gegaraning wong akrami
Dudu bandha dudu rupa
Amung ati pawitané
Luput pisan kena pisan
Lamun gampang luwih gampang
Lamun angèl, angèl kalangkung
Tan kena tinumbas arta


Daya magis dari kidung yang dinyanyikan Dini menggapai alam bawah sadar Rama.  Seolah ada tangan kuat yang mengembalikan jiwa Rama pada raganya.  Perlahan kaki Rama bergerak, diikuti lengannya, kemudian sepasang matanya membuka.  Sosok pertama yang dikenali Rama adalah Dini.

“Rama, jangan pergi lagi!  Aku akan selalu di sisimu,” gumam Dini di sisi pembaringan Rama.
**************
 “Saya tahu, kamu baru putus bertunangan akibat penyakit jantungmu.  Tunanganmu tak ingin punya anak cacat karena kamu harus mengkonsumsi obat seumur hidupmu, bukan?” cecar Bu Puspa. 

Dini menundukan kepalanya, tak berani bersitatap dengan Bu Puspa.

“Tak akan ada pria normal yang bersedia menikah dengan mu.  Kamu akan terpenjara dalam status lajang.”

Dini mulai berani menatap wajah Bu Puspa.  “Tolong jangan berkata seperti itu, Bu!  Bukankan jodoh di tangan Allah?”

“Kamu akan bahagia bila menikah dengan Rama, anak saya.  Saya tak peduli bila kamu melahirkan anak cacat akibat mengkonsumsi obat semasa hamil.  Bagi saya, anak cacat adalah karunia terindah.  Sekarang, ijinkan saya bertanya?  Adakah calon mertua di kampung ini yang sanggup menerima kecacatan seperti saya?”

Dini tergugu, tak sanggup menjawab pertanyaan Bu Puspa.

“Tolong dipikirkan kembali.  Laki-laki yang mencintai wanitanya dengan setulus hati sulit ditemui di jagad ini.  Beruntung sekali wanita yang dianugerahi lelaki langka itu.  Anakku, kamu sangat beruntung, Rama mencintaimu sepenuh hatinya.  Ingatlah itu!”

Bu Puspa berlalu dari rumah orang tua Dini.  Lega karena berhasil melepaskan seluruh beban yang menggelayuti hatinya.  Saat itu, ia tak berharap Dini bersedia menerima cinta Rama.  Dia hanya ingin Dini  mengetahui bahwa Rama amat mencintainya.

“Bu, kok melamun?” sapa seorang tamu yang hendak menyalami Bu Puspa. 

Bu Puspa tersadar dari kenangan yang terjadi beberapa bulan lalu, sebelum Dini menengok Rama di Rumah Sakit. Wanita matang itu memandangi sepasang pengantin di sisinya.  Rama duduk beralaskan bantal di pelaminan khusus.  Wajahnya yang tampan tampak bercahaya.  Di sisi Rama, Dini berdiri anggun dalam balutan busana pengantin jawa.   Tetamu yang hadir tersenyum sumringah.  Semua orang bisa merasakan kedahsyatan energi cinta yang menguar dari pelaminan. 

Bogor, 25 Desember 2014
Karya ini didedikasikan untuk
Seorang ibu tiri berhati mulia di DIY



Tidak ada komentar:

Posting Komentar