Rabu, 03 Desember 2014

Kesempatan Kedua


Karya Fiksi oleh Fabina Lovers.


Awal kisah, 1985

Namaku Maharani.  Orangtua menamaiku demikian agar jalan hidupku laksana maharani negeri dogeng.  Cantik, berkuasa, disanjung dan dipuja.  Dalam satu hal, harapan mereka terkabul.  Aku tumbuh menjadi wanita rupawan.  Kulitku kuning langsat, mulus tanpa noda.  Jerawat tak sudi menghampiri anatomi wajahku yang terpahat proporsional.  Postur tubuhku langsing, namun berisi pada bagian-bagian yang disukai kaum adam.

Ibu menjagaku dengan hati-hati seolah diriku ini kristal cantik nan rapuh.  Semenjak SD hingga SMA, aku diantar-jemput kendaraan pribadi.  Aku tidak diijinkan beraktivitas melebihi jam 17.00 petang.  Tak salah bila teman-teman menjulukiku ‘boneka barbie mama’.    Sebenarnya aku jengah mendapat julukan begitu.  Tapi, aku pandai menutupi perasaanku. 

Di sekolah, aku berteman dengan segelintir teman wanita.  Kami memiliki kesamaan sebagai predator buku.  Saat istirahat atau jam kosong, kami mengunjungi perpustakaan.  Kadang kami hanya berdiam diri di taman sekolah, sibuk dengan pikiran masing-masing.  Teman-teman sekolah pun menggelari kami, ‘the dumb gank’.  Sungguh, bukan gelar yang baik. 

Aku tak pernah akrab dengan pria hingga berusia delapan belas tahun.  Saat itulah aku jatuh cinta untuk yang pertama dan terakhir kalinya.

“Maaf, aku mengotori bajumu.” Pria itu dengan sigap menahan tubuhku yang oleng karena tertabrak olehnya, akibatnya soft drink yang dibawanya tumpah mengenai gaun putihku.  Jarak kami demikian dekat.  Saat itulah aku tak sengaja menatap wajahnya yang tampan.  Aroma parfum musk menguar dari tubuhnya yang tegap berotot.   Diam-diam aku memendam hasrat untuk bersandar di dadanya yang bidang.

“Ehem..ehem..tampaknya kalian sudah berkenalan.” Ayahku tiba-tiba sudah berada di dekat kami.

Sambil menunduk malu, aku menjauhkan diri dari pria menawan itu.   Mengapa aku membiarkan diriku berada dalam dekapan pria tak dikenal? Tentunya aku sudah mempermalukan orang tuaku di hadapan para tamu pesta pernikahan sepupuku ini.

“Apa kabar, Om Firman?” sapa pria itu seraya menyalami ayahku.  Rupanya mereka saling mengenal.

“Ah, Dendi.  Orang tua ini tak bisa dikibuli modusmu.  Kamu mau berkenalan dengan calon isterimu, bukan?” Ayahku tertawa renyah sambil mengedipkan sebelah matanya.

Aku terkesiap. “Calon isteri?” tanyaku, bingung bercampur takjub.

“Mudah-mudahan kalian berjodoh,” ujar ayah,” Nah, Rani! Perkenalkan Dendi, anak rekan bisnis Ayah.  Dia lulusan sekolah perhotelan di luar negeri.”

Dendi mengulurkan tangannya.  Aku menyambut uluran tangan Dendi dengan perasaan tak menentu.  Dendi pasti merasakan telapak tanganku yang berkeringat dingin.  Pipiku terasa panas.  Tentunya parasku kini memerah.

“Pernah ke  Taj Mahal?” tanya Dendi.

“Belum pernah,” jawabku malu-malu.

“Destinasi wisata kesukaanku.  Aku janji, kita akan berbulan madu ke sana.”

********
Kamar Kelas I RSUD Bandung,  2009

“Bila kau tiada, aku tak akan membangun monumen ala Taj Mahal seperti yang dilakukan Syah Jehan bagi mendiang isterinya. Karena aku akan segera menyusulmu menuju alam keabadian, ” suara parau Dendi membelai cuping telingaku.  Jemari kami bertautan, enggan terpisahkan. 

Ayah memutuskan jalinan jemari kami, lantas  mendorong Dendi keluar ruangan. “Pergilah kau, laki-laki busuk! Angkat kaki kotormu dari hadapan gadisku !” hardik ayah.

Aku menjerit histeris. “Jangan usir dia, Ayah!  Aku mencintai Dendi.  Aku mencintai Dendi..” Ruangan berpusing cepat.  Sayup-sayup aku mendengar suara ibu memanggilku.

“Rani, bangun! Hanya mimpi.  Bangunlah, Nak!”

Aku membuka mata perlahan.  Tak ada Dendi.  Hanya ada aku dan ibuku.  “Kemana Dendi?” tanyaku, lirih.

“Jangan sebut nama itu lagi!  Dia telah banyak menggores luka di hatimu. Ketahuilah, Nak.  Perih lukamu menyakiti ku berkali lipat dari jerihmu.” Ibu menatapku dengan mata berkaca-kaca.  Dadanya naik turun menahan gejolak emosi.

Seorang gadis berwajah manis memasuki ruang rawat inap.  Rambut sebahunya berhias bando rajutan warna salem. Serasi benar dengan rambutnya yang dicat cokelat gelap.

“Tiara bawa kue kesukaan mama,” kata gadis itu sambil meletakan kotak kue di atas nakas.  Hanya sepenggal kalimat itu yang dia ucapkan, selanjutnya dia duduk di sisi ranjangku, sibuk dengan HP barunya.  Watak pendiamku rupanya menurun pada puteri semata wayangku ini.

“Bagaimana kuliahmu?” tanyaku.

“Lancar, Ma.” Tiara menjawab singkat tanpa mengalihkan pandangannya dari  layar HP.  Tentunya ia tengah ber-facebook dengan teman-teman dunia mayanya.

“Tiara, sopan sedikit lah kalau bicara dengan Mamamu,” tegur ibuku.

Tiara menatap neneknya. ”Memangnya Tiara kurang sopan ya, Nek?” tanyanya, bingung.

Alih-alih menjawab, ibu malah meninggalkan kami berduaan di kamar.  Alasannya mau mencari udara segar.   Aku paham, ibu membiarkan kami saling melepas kerinduan.

“Betah tinggal dengan mereka?” pertanyaan itu muncul begitu saja.  Tiara tercekat demi mendengarnya.

“Kamu tampaknya betah tinggal dengan mereka, buktinya kamu jarang ke rumah Mama,” ucapku sambil menerawangi langit-langit ruangan.

Nostalgia masa lalu bermunculan di plafon ruang rawat inap, ibarat film layar tancap.  Tiara kecil tertawa ceria dalam balutan mantel musim dingin.   Hawa tokyo  masih dingin, sekalipun salju telah mencair. Aku menggendong Tiara, dan Dendi merangkul mesra pundakku.  Keluarga kecil kami menikmati panorama musim semi saat kelopak sakura merah jambu bermunculan dari pohon tak berdaun.

“Tiara betah tinggal dengan mereka karena butuh uang untuk kuliah,” lirih Tiara.  Gadisku menatapi ujung sepatu pantofelnya.  Mimik wajahnya datar.   Aku tak bisa menyelami perasaan mahluk yang  pernah menjadi bagian dari diriku ini.

Dering Hp Tiara mengejutkan kami.  Rupanya mantan suamiku menelpon anaknya. “Iya Pa, sebentar lagi Tiara pulang.   Tiara sedang di toko buku, mau cari buku buat bahan ujian semester,” kata Tiara, berbohong.

Hatiku mencelos.  Mantan suami melarang anakku untuk menengok ibu kandungnya yang dirawat di Rumah Sakit. Keterlaluan sekali dia. Rupanya si wanita pesolek telah berhasil mempengaruhi Dendi. Aku curiga, perempuan itu menggunakan energi superanatural untuk memikat Dendi.

“Tiara pulang dulu, Ma.  Udah sore nih,” pamit Tiara seraya mengecup lembut keningku.  Tiada yang mampu memutuskan jalinan kasih antara ibu dan anaknya.

 ************
Cluster Rubi ,Bandung, 2008


Sejak menderita lumpuh permanen, aku memiliki kebiasaan baru.  Duduk di belakang jendela untuk mengamati orang berlalu-lalang di muka rumah kami.  Setiap pagi, aku melihat pria-wanita berangkat kerja.

Beberapa tahun lalu, aku pun seperti mereka.  Pergi bekerja dengan gembira.  Aku amat mencintai pekerjaanku sebagai bendahara barang.  Belasan tahun aku menjadi bendahara barang.  Kerja kerasku tak sia-sia.  Aku mendapat predikat Pegawai Teladan.  

Piagam penghargaan sebagai pegawai teladan terpajang megah di ruang tamu, bersisian dengan foto keluarga.  Sebenarnya ibuku ingin menurunkan foto keluarga kami, tapi aku tidak mengijinkannya.  Foto keluarga adalah lambang pernikahan yang  aku pertahankan hingga titik darah penghabisan. 

“Rani, tadi staf kepegawaian dinas menelpon, katanya SK pensiun dini kamu sedang diproses,” tutur ibu.

“Syukurlah, Bu,” jawabku, singkat.  Aku menghela napas.  Pensiun dini tak pernah terlintas dalam benakku.  Hobiku adalah mengerjakan administrasi kantoran.  Saat terserang demam pun aku  tetap pergi bekerja. Bagiku, bekerja bukan sekedar memperoleh penghasilan, tapi memberikan kontribusi positif bagi kantorku.   

Suatu ketika aku terserang deman hingga sendi-sendi tubuhku terasa ngilu.  Semula aku memaksakan diri bekerja.  Tapi, penyakit aneh ini membuat aku sulit berkonsentrasi. Dokter menyarankan aku cuti selama seminggu, yang kemudian diperpanjang menjadi sebulan.  Aku tersiksa karena harus berbaring seharian di ranjang, namun penyakit aneh ini tak kunjung pergi.   Aku telah berobat ke berbagai tempat.  Secara modern, maupun tradisional.  Suamiku mengeluarkan dana puluhan juta rupiah demi kesembuhanku.  Tapi, bukan kesembuhan yang aku dapatkan, malah kelumpuhan mendera selama tiga tahun terakhir ini.

“Suamimu memang tak tahu diuntung. Sebenarnya dia berhutang budi pada keluarga kita. Tanpa rekomendasi almarhum ayahmu, suamimu tak akan menjadi GM Hotel seperti sekarang,” gerutu ibuku.

”Setahun belakangan ini, dia menelantarkan kita.  Hanya memberi nafkah secukupnya saja.   Padahal, kamu sedang butuh banyak biaya untuk berobat.  Prihatin sekali Ibu melihat nasibmu, Nak.  Ibu pikir, pernikahan kalian tak perlu dipertahankan lagi.  Mengenai biaya hidup, kamu tak perlu khawatir.  Kakak-kakakmu pasti mau membantu. ”

“Rani tak akan menuntut cerai, Bu.  Biarlah Dendi menikahi perempuan itu.  Semua  ini akibat Rani tak bisa melakukan kewajiban sebagai isteri,” gumamku sambil menahan air mata.

Ibu menatap nanar foto pernikahanku. “Tragis benar jalan hidupmu, Nak,” desah ibuku. 

“Pos...pos...” terdengar seruan tukang pos dari balik pagar depan.  Ibuku keluar untuk menemui tukang pos.  Sejurus kemudian, ibu masuk sambil membawa Amplop Cokelat dengan Kop Pengadilan Agama.  Ibu tergesa membuka surat itu, lalu membacanya.

“Rani, lelaki itu ingin menceraikanmu. Lusa kamu harus menghadiri sidang cerai kalian di Pengadilan Agama,”seru ibu penuh semangat. ”Ibumu benar, Nak.  Kalian memang harus bercerai.” 

Dunia terasa runtuh saat ibu membacakan surat dari Pengadilan Agama.  Dadaku sesak, seolah seluruh cadangan oksigen dihabiskan oleh mahluk tak kasat mata.  Aku lelah. Aku kalah. Aku tak bisa mengelak saat kegelapan menyergap tubuh ringkihku.

"Rani........”sayup-sayup aku mendengar suara jeritan ibuku.

*******

Ruang ICU, RSUD Bandung ,  2009

Mataku terkatup rapat namun telingaku mampu mendengar.  Aku tak lagi bisa berkomunikasi dengan orang-orang yang aku cintai.  Hanya kehadiran mereka yang aku rasakan.  Air mata menetes di pipiku sewaktu aku mendengar Tiara terbata-bata mengaji surat yasin.

“Rani, Rani....oh suster tolong anak saya!” suara ibuku terdengar panik.

“Jangan tinggalkan Tiara.  Mama, jangan tinggalkan Tiara,” ratap anak gadisku.

Aku tak berada di ruang ICU lagi melainkan di sebuah lorong panjang.  Keajaiban terjadi, aku bisa berjalan, bahkan berlari.  Aku tahu, bila aku telah menggapai penghujung lorong itu, maka aku akan merasakan indahnya syurga.

“Assalamualaikum, Rani.” Seorang pria tua berpakaian ihram telah menanti di penghujung lorong.

“Waalaikumsalam.  Apakah anda malaikat penjaga pintu syurga?” tanyaku, riang.

 Lelaki berwajah teduh itu tertawa.  “Yakinkah kamu akan masuh syurga?”

“Tentu saja.  Aku mengerjakan sholat dan puasa.  Aku pendiam, tak pernah membicarakan aib orang lain,” tukasku.

 “Oh, jangan terlalu percaya diri.  Mari aku perlihatkan hukuman yang akan menderamu.”  Pria itu mengibaskan tangannya dan segera saja dinding lorong berubah menjadi layar kaca.  Di layar kaca, aku melihat diriku sendiri digantung pada rambutku1).  Api berkobar tepat di bawah kakiku.  Tubuhku membara, dan cairan otakku mendidih.”

"Tidak mungkin, aku tidak akan mendapatkan hukuman seperti itu.  Sepanjang hidup aku selalu berbuat baik,” ratapku sambil berlutut.

“Rani, kamu tak pernah memakai hijab di hadapan laki-laki yang bukan mahrammu.  Kamu bahkan bangga tatkala para pria memuji rambut indahmu.  Bangga saat tubuh sintalmu berlekuk indah di balik pakaian olahragamu.  Benarkah begitu?”

Aku merasa ditelanjangi.  Rupanya pria tua ini bisa membaca isi hatiku.  “Tapi, aku pandai menjaga diri.  Tak seorang pun berlaku kurang ajar padaku,” kataku, membela diri.

“Yang jelas kamu sudah melanggar perintah Al Quran.  Padahal semua orang yang ingin masuk syurga harus berusaha melaksanakan perintah Al Quran.  Memakai hijab itu wajib, silahkan kamu lihat Al Ahzab ayat 59 dan An Nur ayat 31.”

Sambil menangis aku mencoba berargumentasi.”Apakah tak ada ampunan bagiku kalau aku tidak tahu berjilbab adalah kewajiban muslimah.  Bukankah aku masih memiliki banyak kebaikan?”

“Kebaikan apakah yang kamu dapatkan bila sepanjang hidup kamu hanya meratapi nasib malangmu? Kamu tidak berusaha menggali nilai kebajikan dalam agamamu.  Kebaikanmu hanya berdasarkan perasaanmu sendiri.”

Aku tak mampu lagi mencari alasan, semua yang dikatakan pria itu benar.  “Apakah..apakah masih ada kesempatan bagiku untuk memperbaiki diri?” tanyaku, cemas.

"Sayang sekali, kamu sebenarnya telah melewatkan kesempatan pertama,” jelas pria tua itu dengan mimik sedih.

“Kapankah kesempatan pertama itu? Mengapa aku tidak tahu?”

“Kesempatan itu datang saat berbagai persoalan hidup mendera mu.  Terserang penyakit aneh, lalu dijauhi anak dan suami yang sangat kamu cintai,”

Pria itu diam sejenak, berusaha agar aku mencerna kata-katanya.  Aku mengangguk dan memberi isyarat agar pria berwajah teduh itu meneruskan penjelasannya.

“Allah menimpakan penyakit aneh agar kamu keluar dari pekerjaan kotormu.”

 Aku terbelalak heran.  “Pekerjaan kotor bagaimana? Aku bekerja keras dari pagi hingga sore.  Tak pernah korupsi waktu,” protes ku.

“Secara kasat mata pekerjaanmu memang baik, tapi kamu melupakan substansinya.  Atasan sering memintamu membuat dokumen pembelian palsu demi kepentingan pribadi.  Kalian lantas menikmati hasil penipuan itu dengan sadar karena berpikir itulah imbalan jerih payah kalian, bukahkah demikian?”

Aku tergugu, untuk kesekian kalinya pria berbaju ihram ini mengungkapkan aibku di dunia.        

“Kemudian kamu biarkan suamimu menafkahi keluarganya dengan uang haram.”

“Maaf, suamiku bukan koruptor ataupun pencuri.  Dia bekerja tanpa mengenal libur untuk menafkahi keluarga kami.  Apakah itu diharamkan agama?” Aku kembali protes.

“Bukankah suamimu pernah bercerita, dia menyediakan minuman keras dan ‘wanita-wanita muda’ untuk menyenangkan tamu-tamu hotelnya?  Suamimu lantas mendapat imbalan besar karena berhasil memuaskan para tamunya.  Halal kah penghasilan semacam itu?”

Aku bersimpuh sambil menangis. “Ya Allah, tolong berikan kesempatan kedua bagi hambamu ini.  Hambamu ini benar-benar bodoh dan lalai,” isakku, pilu.

Tiba-tiba bergaung suara lain di lorong itu.  “Rani, kamu akan mendapatkan kesempatan kedua.  Kembalilah ke dunia! Bertobatlah, karena Allah Maha Penerima Tobat!  Lalu, perbaikilah kesalahanmu di masa lalu dengan mengkaji ayat-ayat Allah.”

*******

Masjid Al Ikhlas,Bandung, 2009

Tubuh ringkihku terperangkap dalam angin siklon yang menyedotku ke suatu tempat.   Aku tak berdaya melawan hempasan angin.  Tiba-tiba saja aku mendengar suara takbir.  Ketika membuka mata, aku tengah berada di dalam masjid.  Puluhan jamaah yang berdiri menghadap pembaringanku berteriak kaget.

"Mayat hidup, mayat hidup....”teriak beberapa jamaah seraya berlari keluar masjid.

Ustadz Jaelani, imam masjid kami, menghampiri pembaringanku.  “Masya Allah, rupanya kamu masih diberikan kesempatan hidup,Nak,” kata ustadz sepuh itu.

Ibuku yang masih mengenakan mukena tergesa-gesa menghampiriku. “Anakku, anakku, kau hidup lagi.  Alhamdulillah.”  Ibu memeluk tubuhku yang masih terbalut kain kafan.

“Rani ingin berjilbab.  Rani ingin mengkaji ayat Al Quran selama sisa hidup ini,” kataku dengan suara bergetar.  Ustadz dan ibuku pun menangis terharu.
___________________________________
Catatan kaki :
1)      Rasululloh SAW bersabda:
“Ada dua golongan penghuni neraka yang aku belum pernah melihatnya: Laki-laki yang tangan mereka menggenggam cambuk yang mirip ekor sapi untuk memukuli orang lain dan wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang dan berlenggak lenggok. Kepalanya bergoyang-goyang bak punuk onta. Mereka itu tidak masuk surga dan tidak pula mencium baunya. Padahal sesungguhnya bau surga itu bisa tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim)

Catatan :  Nama Tokoh dan Lokasi bukan yang sebenarnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar