Karya Fiksi oleh Fabina Lovers.
Awal kisah, 1985
Namaku Maharani. Orangtua menamaiku demikian agar jalan
hidupku laksana maharani negeri dogeng.
Cantik, berkuasa, disanjung dan dipuja.
Dalam satu hal, harapan mereka terkabul.
Aku tumbuh menjadi wanita rupawan.
Kulitku kuning langsat, mulus tanpa noda. Jerawat tak sudi menghampiri anatomi wajahku
yang terpahat proporsional. Postur
tubuhku langsing, namun berisi pada bagian-bagian yang disukai kaum adam.
Ibu menjagaku dengan hati-hati seolah diriku ini kristal cantik nan rapuh. Semenjak SD hingga SMA, aku diantar-jemput kendaraan pribadi. Aku tidak diijinkan beraktivitas melebihi jam 17.00 petang. Tak salah bila teman-teman menjulukiku ‘boneka barbie mama’. Sebenarnya aku jengah mendapat julukan begitu. Tapi, aku pandai menutupi perasaanku.
Di sekolah, aku berteman dengan segelintir teman wanita. Kami memiliki kesamaan sebagai predator buku. Saat istirahat atau jam kosong, kami mengunjungi perpustakaan. Kadang kami hanya berdiam diri di taman sekolah, sibuk dengan pikiran masing-masing. Teman-teman sekolah pun menggelari kami, ‘the dumb gank’. Sungguh, bukan gelar yang baik.
Aku tak pernah akrab dengan pria hingga berusia delapan belas tahun. Saat itulah aku jatuh cinta untuk yang pertama dan terakhir kalinya.
“Maaf, aku mengotori bajumu.” Pria itu dengan sigap menahan
tubuhku yang oleng karena tertabrak olehnya, akibatnya soft drink yang dibawanya tumpah mengenai gaun putihku.
Jarak kami demikian dekat. Saat
itulah aku tak sengaja menatap wajahnya yang tampan. Aroma parfum musk menguar dari tubuhnya yang tegap berotot. Diam-diam
aku memendam hasrat untuk bersandar di dadanya yang bidang.
“Ehem..ehem..tampaknya kalian sudah berkenalan.” Ayahku
tiba-tiba sudah berada di dekat kami.
Sambil menunduk malu, aku menjauhkan diri dari pria menawan
itu. Mengapa aku membiarkan diriku berada
dalam dekapan pria tak dikenal? Tentunya aku sudah mempermalukan orang tuaku di
hadapan para tamu pesta pernikahan sepupuku ini.
“Apa kabar, Om Firman?” sapa pria itu
seraya menyalami ayahku. Rupanya mereka
saling mengenal.
“Ah, Dendi. Orang tua ini tak bisa dikibuli modusmu. Kamu mau berkenalan dengan calon isterimu,
bukan?” Ayahku tertawa renyah sambil mengedipkan sebelah matanya.
Aku terkesiap. “Calon isteri?”
tanyaku, bingung bercampur takjub.
“Mudah-mudahan kalian berjodoh,” ujar
ayah,” Nah, Rani! Perkenalkan Dendi, anak rekan bisnis Ayah. Dia lulusan sekolah perhotelan di luar
negeri.”
Dendi mengulurkan tangannya. Aku menyambut uluran tangan Dendi dengan
perasaan tak menentu. Dendi pasti
merasakan telapak tanganku yang berkeringat dingin. Pipiku terasa panas. Tentunya parasku kini memerah.
“Pernah ke Taj Mahal?” tanya Dendi.
“Belum pernah,” jawabku malu-malu.
“Destinasi wisata kesukaanku. Aku janji, kita akan berbulan madu ke sana.”
********
Kamar Kelas I RSUD
Bandung, 2009
“Bila kau tiada, aku tak akan membangun
monumen ala Taj Mahal seperti yang dilakukan Syah Jehan bagi mendiang isterinya. Karena aku akan segera menyusulmu menuju alam keabadian, ” suara parau Dendi membelai cuping
telingaku. Jemari kami bertautan, enggan
terpisahkan.
Ayah memutuskan jalinan jemari kami,
lantas mendorong Dendi keluar ruangan. “Pergilah
kau, laki-laki busuk! Angkat kaki kotormu dari hadapan gadisku !” hardik ayah.
Aku menjerit histeris. “Jangan usir
dia, Ayah! Aku mencintai Dendi. Aku mencintai Dendi..” Ruangan
berpusing cepat. Sayup-sayup aku
mendengar suara ibu memanggilku.
“Rani, bangun! Hanya mimpi. Bangunlah, Nak!”
Aku membuka mata perlahan. Tak ada Dendi. Hanya ada aku dan ibuku. “Kemana Dendi?” tanyaku, lirih.
“Jangan sebut nama itu lagi! Dia telah banyak menggores luka di hatimu.
Ketahuilah, Nak. Perih lukamu menyakiti ku
berkali lipat dari jerihmu.” Ibu menatapku dengan mata berkaca-kaca. Dadanya naik turun menahan gejolak emosi.
Seorang gadis berwajah manis memasuki
ruang rawat inap. Rambut sebahunya berhias
bando rajutan warna salem. Serasi benar dengan rambutnya yang dicat cokelat
gelap.
“Tiara bawa kue kesukaan mama,” kata
gadis itu sambil meletakan kotak kue di atas nakas. Hanya sepenggal kalimat itu yang dia ucapkan,
selanjutnya dia duduk di sisi ranjangku, sibuk dengan HP barunya. Watak pendiamku rupanya menurun pada puteri
semata wayangku ini.
“Bagaimana kuliahmu?” tanyaku.
“Lancar, Ma.” Tiara menjawab singkat
tanpa mengalihkan pandangannya dari layar HP. Tentunya ia tengah ber-facebook dengan teman-teman dunia mayanya.
“Tiara, sopan sedikit lah kalau bicara dengan Mamamu,” tegur ibuku.
Tiara menatap neneknya. ”Memangnya
Tiara kurang sopan ya, Nek?” tanyanya, bingung.
Alih-alih menjawab, ibu malah
meninggalkan kami berduaan di kamar.
Alasannya mau mencari udara segar.
Aku paham, ibu membiarkan kami saling melepas kerinduan.
“Betah tinggal dengan mereka?” pertanyaan itu
muncul begitu saja. Tiara tercekat demi
mendengarnya.
“Kamu tampaknya betah tinggal dengan
mereka, buktinya kamu jarang ke rumah Mama,” ucapku sambil menerawangi
langit-langit ruangan.
Nostalgia masa lalu bermunculan di plafon
ruang rawat inap, ibarat film layar tancap.
Tiara kecil tertawa ceria dalam balutan mantel musim dingin. Hawa tokyo
masih dingin, sekalipun salju telah mencair. Aku menggendong Tiara, dan
Dendi merangkul mesra pundakku. Keluarga
kecil kami menikmati panorama musim semi saat kelopak sakura merah jambu
bermunculan dari pohon tak berdaun.
“Tiara betah tinggal dengan mereka
karena butuh uang untuk kuliah,” lirih Tiara.
Gadisku menatapi ujung sepatu pantofelnya. Mimik wajahnya datar. Aku tak bisa menyelami perasaan mahluk yang pernah menjadi bagian dari diriku ini.
Dering Hp Tiara mengejutkan kami. Rupanya mantan suamiku menelpon anaknya. “Iya Pa,
sebentar lagi Tiara pulang. Tiara sedang di toko buku, mau
cari buku buat bahan ujian semester,” kata Tiara, berbohong.
Hatiku mencelos. Mantan suami melarang anakku untuk menengok
ibu kandungnya yang dirawat di Rumah Sakit. Keterlaluan sekali dia. Rupanya si wanita pesolek telah berhasil mempengaruhi
Dendi. Aku curiga,
perempuan itu menggunakan energi superanatural untuk memikat Dendi.
“Tiara pulang dulu, Ma. Udah sore nih,” pamit Tiara seraya mengecup lembut keningku. Tiada yang mampu memutuskan jalinan kasih
antara ibu dan anaknya.
************
Cluster Rubi ,Bandung, 2008
Sejak
menderita lumpuh permanen, aku memiliki kebiasaan baru. Duduk di belakang jendela untuk mengamati
orang berlalu-lalang di muka rumah kami.
Setiap pagi, aku melihat pria-wanita berangkat kerja.
Beberapa tahun lalu, aku pun seperti
mereka. Pergi bekerja dengan
gembira. Aku amat mencintai pekerjaanku
sebagai bendahara barang. Belasan tahun
aku menjadi bendahara barang. Kerja
kerasku tak sia-sia. Aku mendapat
predikat Pegawai Teladan.
Piagam penghargaan sebagai pegawai teladan terpajang megah di ruang tamu, bersisian dengan foto keluarga. Sebenarnya ibuku ingin menurunkan foto keluarga kami, tapi aku tidak mengijinkannya. Foto keluarga adalah lambang pernikahan yang aku pertahankan hingga titik darah penghabisan.
Piagam penghargaan sebagai pegawai teladan terpajang megah di ruang tamu, bersisian dengan foto keluarga. Sebenarnya ibuku ingin menurunkan foto keluarga kami, tapi aku tidak mengijinkannya. Foto keluarga adalah lambang pernikahan yang aku pertahankan hingga titik darah penghabisan.
“Rani,
tadi staf kepegawaian dinas menelpon, katanya SK pensiun dini kamu sedang
diproses,” tutur ibu.
“Syukurlah,
Bu,” jawabku, singkat. Aku menghela
napas. Pensiun dini tak pernah terlintas
dalam benakku. Hobiku adalah mengerjakan
administrasi kantoran. Saat terserang demam
pun aku tetap pergi bekerja. Bagiku,
bekerja bukan sekedar memperoleh penghasilan, tapi memberikan kontribusi
positif bagi kantorku.
Suatu
ketika aku terserang deman hingga sendi-sendi tubuhku terasa ngilu. Semula aku memaksakan diri bekerja. Tapi, penyakit aneh ini membuat aku sulit berkonsentrasi.
Dokter menyarankan aku cuti selama seminggu, yang kemudian diperpanjang menjadi
sebulan. Aku tersiksa karena harus
berbaring seharian di ranjang, namun penyakit aneh ini tak kunjung pergi. Aku telah berobat ke berbagai tempat. Secara modern, maupun tradisional. Suamiku mengeluarkan dana puluhan juta rupiah
demi kesembuhanku. Tapi, bukan kesembuhan
yang aku dapatkan, malah kelumpuhan mendera selama tiga tahun terakhir ini.
“Suamimu
memang tak tahu diuntung. Sebenarnya dia berhutang budi pada keluarga kita. Tanpa
rekomendasi almarhum ayahmu, suamimu tak akan menjadi GM Hotel seperti sekarang,”
gerutu ibuku.
”Setahun
belakangan ini, dia menelantarkan kita. Hanya
memberi nafkah secukupnya saja. Padahal, kamu sedang butuh banyak biaya untuk
berobat. Prihatin sekali Ibu melihat nasibmu,
Nak. Ibu pikir, pernikahan kalian tak
perlu dipertahankan lagi. Mengenai biaya
hidup, kamu tak perlu khawatir.
Kakak-kakakmu pasti mau membantu. ”
“Rani
tak akan menuntut cerai, Bu. Biarlah
Dendi menikahi perempuan itu. Semua ini akibat Rani tak bisa melakukan
kewajiban sebagai isteri,” gumamku sambil menahan air mata.
Ibu
menatap nanar foto pernikahanku. “Tragis benar jalan hidupmu, Nak,” desah
ibuku.
“Pos...pos...”
terdengar seruan tukang pos dari balik pagar depan. Ibuku keluar untuk menemui tukang pos. Sejurus kemudian, ibu masuk sambil membawa
Amplop Cokelat dengan Kop Pengadilan Agama.
Ibu tergesa membuka surat itu, lalu membacanya.
“Rani, lelaki
itu ingin menceraikanmu. Lusa kamu harus menghadiri sidang cerai kalian di
Pengadilan Agama,”seru ibu penuh semangat. ”Ibumu benar, Nak. Kalian memang harus bercerai.”
Dunia
terasa runtuh saat ibu membacakan surat dari Pengadilan Agama. Dadaku sesak, seolah seluruh cadangan oksigen
dihabiskan oleh mahluk tak kasat mata.
Aku lelah. Aku kalah. Aku tak bisa mengelak saat kegelapan menyergap
tubuh ringkihku.
"Rani........”sayup-sayup
aku mendengar suara jeritan ibuku.
*******
Ruang ICU, RSUD Bandung , 2009
Mataku
terkatup rapat namun telingaku mampu mendengar.
Aku tak lagi bisa berkomunikasi dengan orang-orang yang aku cintai. Hanya kehadiran mereka yang aku rasakan. Air mata menetes di pipiku sewaktu aku
mendengar Tiara terbata-bata mengaji surat yasin.
“Rani,
Rani....oh suster tolong anak saya!” suara ibuku terdengar panik.
“Jangan
tinggalkan Tiara. Mama, jangan
tinggalkan Tiara,” ratap anak gadisku.
Aku
tak berada di ruang ICU lagi melainkan di sebuah lorong panjang. Keajaiban terjadi, aku bisa berjalan, bahkan berlari. Aku tahu, bila aku
telah menggapai penghujung lorong itu, maka aku akan merasakan indahnya syurga.
“Assalamualaikum,
Rani.” Seorang pria tua berpakaian ihram telah menanti di penghujung lorong.
“Waalaikumsalam. Apakah anda malaikat penjaga pintu syurga?”
tanyaku, riang.
Lelaki
berwajah teduh itu tertawa. “Yakinkah kamu akan masuh syurga?”
“Tentu
saja. Aku mengerjakan sholat dan puasa. Aku pendiam, tak pernah membicarakan aib
orang lain,” tukasku.
“Oh,
jangan terlalu percaya diri. Mari aku
perlihatkan hukuman yang akan menderamu.”
Pria itu mengibaskan tangannya dan segera saja dinding lorong berubah
menjadi layar kaca. Di layar kaca, aku
melihat diriku sendiri digantung pada rambutku1). Api berkobar tepat di bawah kakiku. Tubuhku membara, dan cairan otakku mendidih.”
"Tidak
mungkin, aku tidak akan mendapatkan hukuman seperti itu. Sepanjang hidup aku selalu berbuat baik,”
ratapku sambil berlutut.
“Rani,
kamu tak pernah memakai hijab di hadapan laki-laki yang bukan mahrammu. Kamu bahkan bangga tatkala para pria memuji
rambut indahmu. Bangga saat tubuh sintalmu
berlekuk indah di balik pakaian olahragamu.
Benarkah begitu?”
Aku
merasa ditelanjangi. Rupanya pria tua
ini bisa membaca isi hatiku. “Tapi, aku
pandai menjaga diri. Tak seorang pun
berlaku kurang ajar padaku,” kataku, membela diri.
“Yang
jelas kamu sudah melanggar perintah Al Quran.
Padahal semua orang yang ingin masuk syurga harus berusaha melaksanakan
perintah Al Quran. Memakai hijab itu
wajib, silahkan kamu lihat Al Ahzab ayat 59 dan An Nur ayat 31.”
Sambil
menangis aku mencoba berargumentasi.”Apakah tak ada ampunan bagiku kalau aku
tidak tahu berjilbab adalah kewajiban muslimah.
Bukankah aku masih memiliki banyak kebaikan?”
“Kebaikan
apakah yang kamu dapatkan bila sepanjang hidup kamu hanya meratapi nasib
malangmu? Kamu tidak berusaha menggali nilai kebajikan dalam agamamu. Kebaikanmu hanya berdasarkan perasaanmu
sendiri.”
Aku
tak mampu lagi mencari alasan, semua yang dikatakan pria itu benar. “Apakah..apakah masih ada kesempatan bagiku
untuk memperbaiki diri?” tanyaku, cemas.
"Sayang
sekali, kamu sebenarnya telah melewatkan kesempatan pertama,” jelas pria tua
itu dengan mimik sedih.
“Kapankah
kesempatan pertama itu? Mengapa aku tidak tahu?”
“Kesempatan
itu datang saat berbagai persoalan hidup mendera mu. Terserang penyakit aneh, lalu dijauhi anak
dan suami yang sangat kamu cintai,”
Pria
itu diam sejenak, berusaha agar aku mencerna kata-katanya. Aku mengangguk dan memberi isyarat agar pria
berwajah teduh itu meneruskan penjelasannya.
“Allah
menimpakan penyakit aneh agar kamu keluar dari pekerjaan kotormu.”
Aku
terbelalak heran. “Pekerjaan kotor
bagaimana? Aku bekerja keras dari pagi hingga sore. Tak pernah korupsi waktu,” protes ku.
“Secara
kasat mata pekerjaanmu memang baik, tapi kamu melupakan substansinya. Atasan sering memintamu membuat dokumen
pembelian palsu demi kepentingan pribadi.
Kalian lantas menikmati hasil penipuan itu dengan sadar karena berpikir
itulah imbalan jerih payah kalian, bukahkah demikian?”
Aku
tergugu, untuk kesekian kalinya pria berbaju ihram ini mengungkapkan aibku di
dunia.
“Kemudian
kamu biarkan suamimu menafkahi keluarganya dengan uang haram.”
“Maaf,
suamiku bukan koruptor ataupun pencuri.
Dia bekerja tanpa mengenal libur untuk menafkahi keluarga kami. Apakah itu diharamkan agama?” Aku kembali
protes.
“Bukankah
suamimu pernah bercerita, dia menyediakan minuman keras dan ‘wanita-wanita muda’
untuk menyenangkan tamu-tamu hotelnya?
Suamimu lantas mendapat imbalan besar karena berhasil memuaskan para tamunya. Halal kah penghasilan semacam itu?”
Aku
bersimpuh sambil menangis. “Ya Allah, tolong berikan kesempatan kedua bagi
hambamu ini. Hambamu ini benar-benar
bodoh dan lalai,” isakku, pilu.
Tiba-tiba
bergaung suara lain di lorong itu. “Rani,
kamu akan mendapatkan kesempatan kedua. Kembalilah
ke dunia! Bertobatlah, karena Allah Maha Penerima Tobat! Lalu, perbaikilah kesalahanmu di masa lalu
dengan mengkaji ayat-ayat Allah.”
*******
Masjid Al Ikhlas,Bandung, 2009
Tubuh
ringkihku terperangkap dalam angin siklon yang menyedotku ke suatu tempat. Aku
tak berdaya melawan hempasan angin.
Tiba-tiba saja aku mendengar suara takbir. Ketika membuka mata, aku tengah berada di
dalam masjid. Puluhan jamaah yang
berdiri menghadap pembaringanku berteriak kaget.
"Mayat
hidup, mayat hidup....”teriak beberapa jamaah seraya berlari keluar masjid.
Ustadz
Jaelani, imam masjid kami, menghampiri pembaringanku. “Masya Allah, rupanya kamu masih diberikan
kesempatan hidup,Nak,” kata ustadz sepuh itu.
Ibuku
yang masih mengenakan mukena tergesa-gesa menghampiriku. “Anakku, anakku, kau
hidup lagi. Alhamdulillah.” Ibu memeluk tubuhku yang masih terbalut kain
kafan.
“Rani
ingin berjilbab. Rani ingin mengkaji
ayat Al Quran selama sisa hidup ini,” kataku dengan suara bergetar. Ustadz dan ibuku pun menangis terharu.
___________________________________
Catatan kaki :
1) Rasululloh SAW bersabda:
“Ada dua golongan penghuni neraka yang aku belum
pernah melihatnya: Laki-laki yang tangan mereka menggenggam cambuk yang mirip
ekor sapi untuk memukuli orang lain dan wanita-wanita yang berpakaian namun
telanjang dan berlenggak lenggok. Kepalanya bergoyang-goyang bak punuk onta.
Mereka itu tidak masuk surga dan tidak pula mencium baunya. Padahal
sesungguhnya bau surga itu bisa tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim)
Catatan : Nama Tokoh dan Lokasi bukan yang sebenarnya
Catatan : Nama Tokoh dan Lokasi bukan yang sebenarnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar