
Karya Fiksi Fabina Lovers
Weni
berolahraga ringan di taman belakang rumahnya. Wajah mulusnya berkilau saat diterpa cahaya
matahari pagi. Ia masih terlihat bugar dan cantik di usia
mendekati empatpuluh tahun. Kecantikan nan
menggoda.
“Pagi, Ibu Cantik!
Saat mengamati kolam ikan yang bening di halaman kantorku, aku teringat matamu. Rumpun
semak yang berbaris rapi di sekitar kolam serupa alismu. Tahukah kamu? Tuhan telah mencurahkan segenap
upayanya sewaktu menciptakanmu. Hingga
dirimu begitu indah. Oh, aku
merindukanmu. Hanya bisa merindukanmu.”
Wanita
cantik itu tersipu saat membaca pesan WA yang baru diterimanya. Dengan jemari bergetar, ia menuliskan
balasannya.
“I miss you too (icon senyum dengan
pipi memerah).”
Pesan-pesan
dari kumbang penggoda kembali berdatangan.
“Bagaimana kalau kita menikmati
legitnya durian Medan hari ini? Aku tahu
tempat terbaik untuk menikmatinya. Sopirku akan membawamu ke bandara. Lalu, Kita akan naik pesawat pribadiku ke Medan. Kamu tak perlu antre di bandara.”
“Kita tak akan menginap. Aku jamin, sore kamu sudah bisa kembali ke
rumah. Kamu tetap bisa menyambut anak
dan suamimu.”
“Ayolah! Sekedar reuni. Mumpung waktuku senggang.”
Weni merasa gamang. Satu sisi ia ingin menikmati pertualangan
menyenangkan dengan seorang teman lama.
Tapi alarm tanda bahaya di kepalanya terus berdengung.
“Kok diam saja? Mau nggak ikut aku ke Medan?”
Akhirnya
Weni mengabaikan alarm tanda bahaya yang berdengung-dengung di kepalanya.
“Oke, jemput aku setengah jam lagi!”
Setengah
jam kemudian, sebuah mobil sport warna putih berhenti di muka rumah Weni. Seorang sopir berseragam turun dari mobil,
lalu membukakan pintu penumpang bagi Weni.
Ibu cantik itu buru-buru masuk ke dalam mobil. Menghindari tatapan curiga para tetangganya.
Mobil
bergerak cepat menuju bandara. Beberapa saat kemudian, mereka memasuki hanggar khusus untuk pesawat pribadi. Di
sana, Mike telah menunggunya.
“Wow, kamu nggak perlu ke salon untuk
tampil menawan.” Pujian Mike melenakan Weni.
“So, lets go to Medan!” Mike
membimbing Weni saat menaiki tangga pesawat.
Sejak
dulu, Mike adalah teman berbicara yang menyenangkan. Percakapan mereka berlangsung hangat dan
akrab. Sesekali mereka tertawa-tawa saat
membahas kejadian kocak di masa lampau.
Saat mereka masih kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta terkemuka.
Perjalanan
Jakarta-Medan terasa singkat. Kini
mereka telah menempati sebuah meja di Kedai Durian dengan dekorasi bernuansa
kuning dan hijau. Foto-foto para petinggi
negara terpampang di dinding kedai.
Rupanya kedai ini pernah dikunjungi pejabat penting.
“Sauna,
tunggu! Mama mau bicara!”
Seorang
wanita berusia empatpuluhan tampak mencekal lengan gadis usia duapuluhan yang
berusaha melarikan diri darinya.
“Nggak
perlu. Aku muak lihat Mama.”
Gadis
itu merengutkan tangannya dari genggaman ibunya, lalu berlari keluar kedai
sambil menangis. Para pengunjung,
termasuk Weni, merasa iba pada wanita setengah baya yang kini mengisak sambil
mendekapkan sepasang tangannya ke dada.
Karena
terdorong oleh perasaan iba, Weni menghampiri ibu malang itu, dan mengajaknya
duduk bersama mereka.
“Minumlah
dulu, Bu! Biar lebih tenang.” Weni mengangsurkan segelas teh hangat ke
hadapan wanita setengah baya itu.
Wanita
itu meminum seteguk teh, sekedar basa-basi atas tawaran tulus dari Weni. Kemudian ia mengambil tisu yang tersedia di
atas meja, dan mengusap air matanya.
“Maafkan,
bila kejadian tadi mengganggu kenyamanan Bapak dan Ibu,” kata wanita itu dengan
suara lirih.
“Pesan
saya, jagalah selalu keharmonisan rumah tangga Bapak dan Ibu. Jangan tiru kesalahan saya!”
“Kesalahan
apa, maaf, bolehkah saya tahu?” tanya Weni, penasaran.
“Saya,
saya meninggalkan Sauna dan Ayahnya untuk menikah dengan bekas teman sekolah
saya. Pernikahan itu tak bertahan lama.
Kini, saya tinggal sebatang kara.
Ayah Sauna sudah memaafkan saya. Tapi, Sauna tak mau ketemu saya. Oh, tak ada hal yang lebih menyedihkan daripada
dibenci anak sendiri.”
“Pertemuan
tadi tak sengaja. Agaknya, Sauna tak
tahu saya kerja di kedai ini.”
Setetes
air mata membasahi pipi wanita itu. Masih
tersisa gurat kecantikannya di masa muda.
Tapi kesedihan tak terperi nyaris memupuskan semua sisa kecantikannya
itu.
“Mike,
tampaknya aku harus pulang sekarang,” tegas Weni.
“Tapi,
pesanan kita baru saja datang,” kata Mike, bingung.
“Makan
saja sendiri. Aku mau pulang
sekarang. Sebelum telanjur salah.”
Weni
berlalu dari hadapan Mike dan wanita setengah baya yang belum ia ketahui
namanya. Namun pengalaman wanita itu telah
menyadarkan Weni akan kealpaannya menjaga kehormatan diri.
TAMAT
catatan : ilustrasi oleh model
Tidak ada komentar:
Posting Komentar