Kamis, 04 Juni 2015

Sebelum Telanjur

gambar wanita cantik banget

Karya Fiksi Fabina Lovers

Weni berolahraga ringan di taman belakang rumahnya.  Wajah mulusnya berkilau saat diterpa cahaya matahari pagi.   Ia masih terlihat bugar dan cantik di usia mendekati empatpuluh tahun.  Kecantikan nan menggoda.


“Pagi,  Ibu Cantik!  Saat mengamati kolam ikan yang bening di halaman kantorku,  aku teringat matamu.   Rumpun semak yang berbaris rapi di sekitar kolam serupa alismu.  Tahukah kamu? Tuhan telah mencurahkan segenap upayanya sewaktu menciptakanmu.  Hingga dirimu begitu indah.  Oh, aku merindukanmu.  Hanya bisa merindukanmu.”

Wanita cantik itu tersipu saat membaca pesan WA yang baru diterimanya.  Dengan jemari bergetar, ia menuliskan balasannya.

“I miss you too (icon senyum dengan pipi memerah).”

Pesan-pesan dari kumbang penggoda kembali berdatangan.

“Bagaimana kalau kita menikmati legitnya durian Medan hari ini?  Aku tahu tempat terbaik untuk menikmatinya. Sopirku akan membawamu ke bandara.  Lalu, Kita akan naik pesawat pribadiku ke Medan.  Kamu tak perlu antre di bandara.”

“Kita tak akan menginap.  Aku jamin, sore kamu sudah bisa kembali ke rumah.  Kamu tetap bisa menyambut anak dan suamimu.”

“Ayolah!  Sekedar reuni.  Mumpung waktuku senggang.”

     Weni merasa gamang.  Satu sisi ia ingin menikmati pertualangan menyenangkan dengan seorang teman lama.  Tapi alarm tanda bahaya di kepalanya terus berdengung.

“Kok diam saja?  Mau nggak ikut aku ke Medan?”

    Akhirnya Weni mengabaikan alarm tanda bahaya yang berdengung-dengung di kepalanya.

“Oke, jemput aku setengah jam lagi!”

Setengah jam kemudian, sebuah mobil sport warna putih berhenti di muka rumah Weni.  Seorang sopir berseragam turun dari mobil, lalu membukakan pintu penumpang bagi Weni.  Ibu cantik itu buru-buru masuk ke dalam mobil.   Menghindari tatapan curiga para tetangganya.

Mobil bergerak cepat menuju bandara. Beberapa saat kemudian, mereka memasuki hanggar khusus untuk pesawat pribadi.  Di sana, Mike telah menunggunya.

    “Wow, kamu nggak perlu ke salon untuk tampil menawan.” Pujian Mike melenakan Weni.

      “So, lets go to Medan!” Mike membimbing Weni saat menaiki tangga pesawat.

Sejak dulu, Mike adalah teman berbicara yang menyenangkan.  Percakapan mereka berlangsung hangat dan akrab.  Sesekali mereka tertawa-tawa saat membahas kejadian kocak di masa lampau.  Saat mereka masih kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta terkemuka.

Perjalanan Jakarta-Medan terasa singkat.  Kini mereka telah menempati sebuah meja di Kedai Durian dengan dekorasi bernuansa kuning dan hijau.  Foto-foto para petinggi negara terpampang di dinding kedai.  Rupanya kedai ini pernah dikunjungi pejabat penting.

“Sauna, tunggu!  Mama mau bicara!”

Seorang wanita berusia empatpuluhan tampak mencekal lengan gadis usia duapuluhan yang berusaha melarikan diri darinya.

“Nggak perlu.  Aku muak lihat Mama.” 

Gadis itu merengutkan tangannya dari genggaman ibunya, lalu berlari keluar kedai sambil menangis.  Para pengunjung, termasuk Weni, merasa iba pada wanita setengah baya yang kini mengisak sambil mendekapkan sepasang tangannya ke dada.

Karena terdorong oleh perasaan iba, Weni menghampiri ibu malang itu, dan mengajaknya duduk bersama mereka.

“Minumlah dulu, Bu!  Biar lebih tenang.”  Weni mengangsurkan segelas teh hangat ke hadapan wanita setengah baya itu. 

Wanita itu meminum seteguk teh, sekedar basa-basi atas tawaran tulus dari Weni.  Kemudian ia mengambil tisu yang tersedia di atas meja, dan mengusap air matanya.

“Maafkan, bila kejadian tadi mengganggu kenyamanan Bapak dan Ibu,” kata wanita itu dengan suara lirih.

“Pesan saya, jagalah selalu keharmonisan rumah tangga Bapak dan Ibu.  Jangan tiru kesalahan saya!”

“Kesalahan apa, maaf, bolehkah saya tahu?” tanya Weni, penasaran.

“Saya, saya meninggalkan Sauna dan Ayahnya untuk menikah dengan bekas teman sekolah saya. Pernikahan itu tak bertahan lama.  Kini, saya tinggal sebatang kara.  Ayah Sauna sudah memaafkan saya.   Tapi, Sauna tak mau ketemu saya.  Oh, tak ada hal yang lebih menyedihkan daripada dibenci anak sendiri.”

“Pertemuan tadi tak sengaja.  Agaknya, Sauna tak tahu saya kerja di kedai ini.”   

Setetes air mata membasahi pipi wanita itu.  Masih tersisa gurat kecantikannya di masa muda.  Tapi kesedihan tak terperi nyaris memupuskan semua sisa kecantikannya itu.

“Mike, tampaknya aku harus pulang sekarang,” tegas Weni.

“Tapi, pesanan kita baru saja datang,” kata Mike, bingung.

“Makan saja sendiri.  Aku mau pulang sekarang.  Sebelum telanjur salah.”

Weni berlalu dari hadapan Mike dan wanita setengah baya yang belum ia ketahui namanya.  Namun pengalaman wanita itu telah menyadarkan Weni akan kealpaannya menjaga kehormatan diri.


TAMAT
catatan : ilustrasi oleh model

Tidak ada komentar:

Posting Komentar