Sabtu, 13 Juni 2015

Selendang Tuhan


Karya Fiksi Fabina Lovers


“Hei Hasan, ngapo kau mau maen dengan si Ammar?  Tengoklah, badannya kurus dan dekil!  Hah, aku  bisa lihat masa depan si Ammar.  Pasti berantakan macam tampangnya.”  Seruan Uwak Ros menembus tirai kabut yang turun dari puncak Bukit Barisan.  Suaranya melengking tinggi seperti pluit kereta api di Stasiun Kertapati.

Udara pagi menggigilkan tulang karena energi matahari belum sempurna memanaskan bumi. Namun, beberapa lelaki dan perempuan dewasa telah mengurus kebun  mereka yang ditanami kopi atau kelapa sawit.  Ada pula wanita dewasa lainnya yang berangkat ke sungai untuk mencuci baju. 


“Uwak Ros tu besar kepala nian.  Aneh, kenapa Tuhan kasih dia semua kebaikan?  Punya berhektar-hektar kebon sawit.  Anak yang sukses dan berbakti pada orang tua.  Suami setia. Ah, dunia ini tak adil,” gerutu Nurlis yang mendengar seruan Uwak Ros.

“Iyo nian, dunia ini tak adil,” imbuh Siti.  Wanita muda itu berjalan bersisian dengan Nurlis sambil menjinjing seember pakaian kotor.

Hasan tak peduli dengan ocehan Uwak Ros, neneknya.  Sang Bocah berusia sembilan tahun menjemput Ammar ke rumahnya.  Rumah Ammar hanya berjarak sepelemparan batu dari rumah Uwak Ros.  Sejurus kemudian, kedua bocah yang berselisih usia setahun itu telah  asik bermain bola.

Hasan tak habis pikir, mengapa nenek melarangnya bermain dengan teman yang menyenangkan serupa si Ammar?  Ammar sangat lincah memainkan bola plastik.  Ia pun pandai menangkap udang air tawar yang menghuni sungai di dekat tempat tinggal mereka.  Udang yang mereka tangkap langsung di bakar di atas batu. Mau tahu bagaimana rasa udang bakar itu?  Hm, mengguncang indera perasa.  Padahal mereka memasak  udang tanpa bumbu dapur.  Gurih dan manisnya itu lho, terasa sangat alami. Menurut Hasan, udang bakar buatan mereka lebih lezat daripada menu seafood milik restoran langganan keluarganya di Ancol - Jakarta.

“Hei Hasan, kau belum beres menghapal juz amma.  Lepas maghrib nanti, Bakwo Rasyid akan menguji hapalanmu.   Awaslah kalau kau belum hapal!”  Uwak Ros berdiri sambil berkacak pinggang di antara Hasan dan Ammar.  Akibatnya permainan sepakbola mereka terhenti

“Setengah jam lagi aku pulang, Nek.  Biarkan aku olahraga dulu dengan Ammar.  Kata mama, aku harus banyak olahraga.  Biar badanku nggak kegemukan,” kata Hasan.  Ia berusaha mengambil bola yang tergeletak di dekat kaki neneknya.

“Eh, jadi anak jangan suka membantah!  Kau dulu tak begitu.  Pasti kau terpengaruh anak jadah itu.”  Nenek menudingkan telunjuknya ke wajah  Ammar dengan mimik marah.

Ammar ketakutan saat melihat ekspresi kemarahan Uwak Ros.  Biasanya kalau sedang ketakutan, ia kebelet pipis.  Anak itu sontak berlari ke rumahnya tanpa permisi.  Maklum, hajatnya ke kamar kecil tak tertahan lagi.

“Lihatlah, anak itu pergi tanpa permisi!  Benar-benar tak tahu sopan santun.  Pokoknya, kau tak boleh ketemuan lagi sama dia!  Lebih baik kau lewatkan liburanmu di sini dengan hal-hal berguna!” sergah Uwak Ros sambil mendelik sinis ke arah rumah Ammar.

Rupanya Hasan ditakdirkan untuk berpisah dengan Ammar.  Hingga senja menjelang, Ammar tak kunjung pulang ke rumahnya.  Konon tadi siang ia disuruh neneknya mencari kayu bakar di hutan lindung.  Mencari kayu bakar bukanlah pekerjaan sulit bagi Ammar.  Bocah itu telah melakukannya sejak berusia enam tahun. 

Ketika selimut malam menutupi bumi, serombongan pria dewasa mencari Ammar ke hutan.  Mereka membekali diri dengan senter enam batere, kentongan, obor dan peralatan P3K.  Babinsa yang bertugas di desa mereka juga ikut.  Ia membawa senapan berburu.  Sekedar antisipasi menghadapi serangan hewan buas.

“Benar ‘kan kata Nenek?  Bagusnya kau tak bersama si Ammar.  Kalau kau hilang di hutan, bisa berhenti napas nenek karena memikirkanmu.”  Uwak Ros mengelus rambut Hasan dengan mata berkaca-kaca.  Ia sangat menyayangi cucu dari anak semata wayangnya. 

“Semoga Ammar berhasil ditemukan.  Kasihan neneknya,” kata Hasan dengan suara lirih.

“Hah, wanita tua itu tak akan peduli.  Pastinya dia bersyukur.  Tak perlu lagi mengurus anak jadah.”

“Anak jadah itu apa sih Nek?  Kok Nenek selalu bilang Ammar itu anak jadah?”

Uwak Ros terkesiap saat mendengar pertanyaan cucunya.  Ia menyesali dirinya yang sering bicara sembarangan.

“Ya udah, nggak apa-apa kalau nenek nggak mau jelasin.  Nanti, aku mau tanya arti anak jadah sama mama.”

“Heh, heh, jangan kau tanyakan artinya pada mamamu!  Biar nenek yang kasih tahu.  Anak jadah adalah anak yang lahir tanpa ayah.”

“Memang, ayahnya sudah meninggal, ya?” Hasan mengerutkan kening karena tak mengerti penjelasan neneknya.

“Ayahnya tidak mau mengakui Ammar sebagai anak karena...ehm.” 

“Karena apa, Nek?”

“Karena ayah dan ibunya belum menikah.”  Nenek memijiti kepalanya yang mendadak pusing.

“Oo begitu.  Ceritanya mirip berita di koran.  Untung aja si Ammar nggak dibuang ke tempat sampah,” kata Hasan sambil manggut-manggut.

“Jadi, kau suka baca koran juga?” Uwak Ros menatap cucunya dengan wajah berbinar. 

“Iya dong, biar up to date.”

“Ap dit, ap dit, apa pula itu?  Ah, cucuku ini emang pintar.  Nenek yakin, kau akan sukses macam ayahmu.” Uwak Ros memeluk cucu kesayangannya.  Ia sangat bangga akan kepintaran Hasan.

*****

TIGAPULUH TAHUN KEMUDIAN

Sebuah mobil dinas TNI-AD berhenti di halaman Rumah Sakit Jiwa Panti Waluyo.  Sang Pengemudi buru-buru membuka pintu belakang kendaraan.  Ia tak lalai memberi hormat militer pada penumpang yang baru keluar dari mobil.

“Sudahlah Hasan, tak perlu formal macam itu.  Kita tidak sedang  berada di lingkungan militer.”  Letkol Ammar menepuk bahu Kapten Hasan sambil tertawa.

“Bagaimanapun, Anda atasan saya,” kata Hasan dengan gesture penuh hormat.

“Padahal, kita bersaudara, saudara biologis.”  Ammar menghela napas panjang seraya menundukan kepala.  Kejadian puluhan tahun silam kembali terbayang.

Ammar terjerumus ke dalam jebakan babi saat mencari kayu ke hutan.  Kakinya berdarah.  Apabila para pencari tidak menemukannya sampai pagi, pasti Ammar telah meninggal karena kehabisan darah. Untunglah, Tuhan masih berkenan memperpanjang sejarah hidup Ammar.  Adalah Pak Babinsa yang pertama kali menemukan Ammar.  Luka-luka Ammar segera dibersihkan dan dibebat oleh Pak Babinsa.  Pak Babinsa pula yang membopong tubuh kurus Ammar hingga tiba di rumahnya.

“Oi, kembali juga si anak jadah,” kata Uwak Ros yang berada di rumah Ammar.  Nenek Ammar sama sekali tidak membela cucunya.  Karena ia pun sebenarnya terpaksa merawat Ammar.

“Maaf Bu, dimana kamar Ammar?  Dia harus segera istirahat.  Kalau boleh, tolong buatkan teh manis hangat untuk penambah tenaga Ammar,” kata Pak Babinsa.

“Wah, tampaknya Bapak sayang nian dengan anak tu.  Kenapa nggak diangkat anak saja?” tanya Uwak Ros dengan nada sinis.

“Ya Pak, ambil saja dia!  Terserah mau dijadikan apa.  Saya takut, hidupnya terlunta-lunta bila saya meninggal nanti.  Mungkin Bapak sudah tahu? Mamaknya si Ammar pergi dari rumah.  Bapaknya entah dimana?  Saya pun tak tahu siapa bapaknya,” kata nenek Ammar.

Demikianlah latar belakang kepindahan Ammar ke rumah Pak Babinsa di kota kecamatan.  Kepindahan yang memperbaiki suratan nasib Ammar.  Berkat bimbingan Pak Babinsa, Ammar berhasil lulus tes masuk AKABRI. 

“Maafkan Nenek dan almarhum Ayah kita,” gumam Hasan.

“Oh, aku tak pernah menyesali nasibku.”  Ammar merangkul bahu saudaranya.  “Aku bersyukur karena ibuku ‘berhubungan’ dengan ayah kita.  Jadi, aku mewarisi semua keunggulan genetik ayah.   Hasilnya, sudah terlihat ‘kan?”

Dua bersaudara itu tertawa bersama.  Sikap formal Hasan meluruh.  Benar kata Ammar.  Mereka sekarang tidak sedang berada di lingkungan militer.  Bahkan mereka berdua sedang melewatkan waktu libur.

“Apakah kamu nggak terganggu kalau nenek bersikeras bahwa namamu Hasan?” 

Ammar menghentikan langkahnya. “Tak masalah.  Yang penting nenek senang melihat kehadiran kita.”

“Nenek malah panggil aku Ammar.  Katanya, si anak jadah sudah jadi orang.  Huh, ada-ada saja,” keluh Hasan.

Ammar tergelak.  Ia melanjutkan langkahnya.  “Yah, karena itulah Nenek kita harus dirawat di sini.”

“Kesombongan nenek membawa petaka,” kata Hasan setengah berbisik.

“Kesombongan adalah selendang Tuhan.  Begitulah isi ceramah agama yang pernah aku dengar.  Kau tahu,  pasti ada akibat buruknya bila seorang mahluk berani mengenakan selendang Tuhan,” tandas Ammar.

Dua bersaudara biologis melanjutkan perjalanan menuju kamar perawatan nenek mereka sambil berdiam diri.  Mereka menelisik hati masing-masing untuk mencari  butir-butir kesombongan yang mungkin bersemayam di sana.   Bila ternyata ada butiran itu, mereka akan segera mengenyahkannya. 

T A M A T

Keterangan :

Mohon koreksi bila saya salah menerjemahkan Bahasa Palembang

Ngapo = mengapa

Iyo nian = benar sekali

Bakwo = panggilan untuk lelaki yang lebih tua dari ayah kita

Stasiun Kertapati = stasiun di Kota Palembang

Babinsa adalah singkatan Bintara Pembina Desa.
Merupakan personil TNI-AD yang bertugas
membina masyarakat desa dalam aspek ketahanan desa.
Saat ini babinsa juga membina aspek pertanian.

HR. Muslim, Abu Dawud dan Ahmad :
Allah SWT berfirman sifat sombong itu selendang-Ku
dan keagungan itu pakaian-Ku.  Barang siapa
yang menentangku dari keduanya, maka...
aku masukan ia ke neraka jahannam.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar