Karya Fiksi Fabina Lovers
“Hei Hasan, ngapo kau mau maen dengan si Ammar? Tengoklah, badannya kurus dan dekil! Hah,
aku bisa lihat masa depan si Ammar. Pasti berantakan macam tampangnya.” Seruan Uwak Ros menembus tirai kabut yang
turun dari puncak Bukit Barisan. Suaranya
melengking tinggi seperti pluit kereta api di Stasiun Kertapati.
Udara pagi menggigilkan tulang karena energi matahari belum sempurna memanaskan bumi. Namun, beberapa lelaki dan perempuan dewasa telah mengurus kebun mereka yang ditanami kopi atau kelapa sawit. Ada pula wanita dewasa lainnya yang berangkat ke sungai untuk mencuci baju.
“Uwak Ros tu besar kepala
nian. Aneh, kenapa Tuhan kasih dia semua
kebaikan? Punya berhektar-hektar kebon
sawit. Anak yang sukses dan berbakti
pada orang tua. Suami setia. Ah, dunia ini tak adil,” gerutu Nurlis yang mendengar seruan Uwak Ros.
“Iyo nian, dunia
ini tak adil,” imbuh Siti. Wanita muda
itu berjalan bersisian dengan Nurlis sambil menjinjing seember pakaian kotor.
Hasan tak peduli
dengan ocehan Uwak Ros, neneknya. Sang Bocah
berusia sembilan tahun menjemput Ammar ke rumahnya. Rumah Ammar hanya berjarak sepelemparan batu
dari rumah Uwak Ros. Sejurus kemudian, kedua
bocah yang berselisih usia setahun itu telah asik bermain bola.
Hasan tak habis
pikir, mengapa nenek melarangnya bermain dengan teman yang menyenangkan serupa si Ammar? Ammar sangat lincah memainkan bola plastik. Ia pun pandai menangkap udang air tawar yang menghuni sungai di dekat tempat tinggal mereka. Udang
yang mereka tangkap langsung di bakar di atas batu. Mau tahu bagaimana rasa udang bakar itu? Hm, mengguncang indera perasa. Padahal mereka memasak udang tanpa bumbu dapur. Gurih dan manisnya itu lho, terasa sangat alami. Menurut Hasan, udang bakar buatan mereka lebih lezat daripada menu seafood milik restoran
langganan keluarganya di Ancol - Jakarta.
“Hei Hasan, kau
belum beres menghapal juz amma. Lepas
maghrib nanti, Bakwo Rasyid akan menguji hapalanmu. Awaslah kalau kau belum hapal!” Uwak Ros berdiri sambil berkacak pinggang di
antara Hasan dan Ammar. Akibatnya
permainan sepakbola mereka terhenti
“Setengah jam lagi
aku pulang, Nek. Biarkan aku olahraga
dulu dengan Ammar. Kata mama, aku harus
banyak olahraga. Biar badanku nggak
kegemukan,” kata Hasan. Ia berusaha
mengambil bola yang tergeletak di dekat kaki neneknya.
“Eh, jadi anak
jangan suka membantah! Kau dulu tak
begitu. Pasti kau terpengaruh anak jadah itu.” Nenek menudingkan telunjuknya ke
wajah Ammar dengan mimik marah.
Ammar ketakutan saat
melihat ekspresi kemarahan Uwak Ros. Biasanya
kalau sedang ketakutan, ia kebelet pipis.
Anak itu sontak berlari ke rumahnya tanpa permisi. Maklum, hajatnya ke kamar kecil tak tertahan
lagi.
“Lihatlah, anak
itu pergi tanpa permisi! Benar-benar tak
tahu sopan santun. Pokoknya, kau tak
boleh ketemuan lagi sama dia! Lebih baik
kau lewatkan liburanmu di sini dengan hal-hal berguna!” sergah Uwak Ros sambil
mendelik sinis ke arah rumah Ammar.
Rupanya Hasan ditakdirkan
untuk berpisah dengan Ammar. Hingga senja
menjelang, Ammar tak kunjung pulang ke rumahnya. Konon tadi siang ia disuruh neneknya mencari
kayu bakar di hutan lindung. Mencari
kayu bakar bukanlah pekerjaan sulit bagi Ammar.
Bocah itu telah melakukannya sejak berusia enam tahun.
Ketika selimut malam
menutupi bumi, serombongan pria dewasa mencari Ammar ke hutan. Mereka membekali diri dengan senter enam
batere, kentongan, obor dan peralatan P3K.
Babinsa yang bertugas di desa mereka juga ikut. Ia membawa senapan berburu. Sekedar antisipasi menghadapi serangan hewan
buas.
“Benar ‘kan kata
Nenek? Bagusnya kau tak bersama si
Ammar. Kalau kau hilang di hutan, bisa
berhenti napas nenek karena memikirkanmu.”
Uwak Ros mengelus rambut Hasan dengan mata berkaca-kaca. Ia sangat menyayangi cucu dari anak semata
wayangnya.
“Semoga Ammar
berhasil ditemukan. Kasihan neneknya,”
kata Hasan dengan suara lirih.
“Hah, wanita tua
itu tak akan peduli. Pastinya dia bersyukur. Tak perlu lagi mengurus anak jadah.”
“Anak jadah itu
apa sih Nek? Kok Nenek selalu bilang
Ammar itu anak jadah?”
Uwak Ros terkesiap
saat mendengar pertanyaan cucunya. Ia
menyesali dirinya yang sering bicara sembarangan.
“Ya udah, nggak
apa-apa kalau nenek nggak mau jelasin.
Nanti, aku mau tanya arti anak jadah sama mama.”
“Heh, heh, jangan
kau tanyakan artinya pada mamamu! Biar
nenek yang kasih tahu. Anak jadah adalah anak yang lahir tanpa ayah.”
“Memang, ayahnya
sudah meninggal, ya?” Hasan mengerutkan kening karena tak mengerti penjelasan
neneknya.
“Ayahnya tidak mau
mengakui Ammar sebagai anak karena...ehm.”
“Karena apa, Nek?”
“Karena ayah dan ibunya
belum menikah.” Nenek memijiti kepalanya
yang mendadak pusing.
“Oo begitu. Ceritanya mirip berita di koran. Untung aja si Ammar nggak dibuang ke tempat
sampah,” kata Hasan sambil manggut-manggut.
“Jadi, kau
suka baca koran juga?” Uwak Ros menatap cucunya dengan wajah berbinar.
“Iya dong, biar up to date.”
“Ap dit, ap dit,
apa pula itu? Ah, cucuku ini emang
pintar. Nenek yakin, kau akan sukses
macam ayahmu.” Uwak Ros memeluk cucu kesayangannya. Ia sangat bangga akan kepintaran Hasan.
*****
TIGAPULUH TAHUN KEMUDIAN
Sebuah mobil dinas
TNI-AD berhenti di halaman Rumah Sakit Jiwa Panti Waluyo. Sang Pengemudi buru-buru membuka pintu
belakang kendaraan. Ia tak lalai memberi
hormat militer pada penumpang yang baru keluar dari mobil.
“Sudahlah Hasan,
tak perlu formal macam itu. Kita tidak
sedang berada di lingkungan militer.” Letkol Ammar menepuk bahu Kapten Hasan sambil
tertawa.
“Bagaimanapun, Anda atasan saya,” kata Hasan dengan gesture penuh hormat.
“Padahal, kita
bersaudara, saudara biologis.” Ammar menghela
napas panjang seraya menundukan kepala.
Kejadian puluhan tahun silam kembali terbayang.
Ammar terjerumus
ke dalam jebakan babi saat mencari kayu ke hutan. Kakinya berdarah. Apabila para pencari tidak menemukannya
sampai pagi, pasti Ammar telah meninggal karena kehabisan darah. Untunglah,
Tuhan masih berkenan memperpanjang sejarah hidup Ammar. Adalah Pak Babinsa yang pertama kali
menemukan Ammar. Luka-luka Ammar segera
dibersihkan dan dibebat oleh Pak Babinsa.
Pak Babinsa pula yang membopong tubuh kurus Ammar hingga tiba di
rumahnya.
“Oi, kembali juga
si anak jadah,” kata Uwak Ros yang berada di rumah Ammar. Nenek Ammar sama sekali tidak membela
cucunya. Karena ia pun sebenarnya
terpaksa merawat Ammar.
“Maaf Bu, dimana
kamar Ammar? Dia harus segera istirahat. Kalau boleh, tolong buatkan teh manis hangat
untuk penambah tenaga Ammar,” kata Pak Babinsa.
“Wah, tampaknya
Bapak sayang nian dengan anak tu. Kenapa
nggak diangkat anak saja?” tanya Uwak Ros dengan nada sinis.
“Ya Pak, ambil
saja dia! Terserah mau dijadikan
apa. Saya takut, hidupnya terlunta-lunta bila saya meninggal nanti. Mungkin
Bapak sudah tahu? Mamaknya si Ammar pergi dari rumah. Bapaknya entah dimana? Saya pun tak tahu siapa bapaknya,” kata nenek
Ammar.
Demikianlah latar
belakang kepindahan Ammar ke rumah Pak Babinsa di kota kecamatan.
Kepindahan yang memperbaiki suratan nasib Ammar. Berkat bimbingan Pak Babinsa, Ammar berhasil
lulus tes masuk AKABRI.
“Maafkan Nenek dan
almarhum Ayah kita,” gumam Hasan.
“Oh, aku tak
pernah menyesali nasibku.” Ammar
merangkul bahu saudaranya. “Aku
bersyukur karena ibuku ‘berhubungan’ dengan ayah kita. Jadi, aku mewarisi semua keunggulan genetik
ayah. Hasilnya, sudah terlihat ‘kan?”
Dua bersaudara itu
tertawa bersama. Sikap formal Hasan meluruh. Benar kata Ammar. Mereka sekarang tidak sedang berada di
lingkungan militer. Bahkan mereka berdua
sedang melewatkan waktu libur.
“Apakah kamu nggak
terganggu kalau nenek bersikeras bahwa namamu Hasan?”
Ammar menghentikan
langkahnya. “Tak masalah. Yang penting
nenek senang melihat kehadiran kita.”
“Nenek malah
panggil aku Ammar. Katanya, si anak
jadah sudah jadi orang. Huh, ada-ada
saja,” keluh Hasan.
Ammar tergelak. Ia melanjutkan langkahnya. “Yah, karena itulah Nenek kita harus dirawat di
sini.”
“Kesombongan nenek
membawa petaka,” kata Hasan setengah berbisik.
“Kesombongan
adalah selendang Tuhan. Begitulah isi
ceramah agama yang pernah aku dengar.
Kau tahu, pasti ada akibat buruknya
bila seorang mahluk berani mengenakan selendang Tuhan,” tandas Ammar.
Dua bersaudara biologis
melanjutkan perjalanan menuju kamar perawatan nenek mereka sambil berdiam
diri. Mereka menelisik hati
masing-masing untuk mencari butir-butir
kesombongan yang mungkin bersemayam di sana. Bila ternyata ada butiran itu, mereka akan
segera mengenyahkannya.
T A M A T
Keterangan :
Mohon koreksi bila saya salah menerjemahkan Bahasa Palembang
Ngapo = mengapa
Iyo nian = benar sekali
Iyo nian = benar sekali
Bakwo = panggilan untuk lelaki yang lebih tua dari ayah kita
Stasiun Kertapati = stasiun di Kota Palembang
Babinsa adalah singkatan Bintara Pembina Desa.
Merupakan personil TNI-AD yang bertugas
membina masyarakat desa dalam aspek ketahanan desa.
Saat ini babinsa juga membina aspek pertanian.
Babinsa adalah singkatan Bintara Pembina Desa.
Merupakan personil TNI-AD yang bertugas
membina masyarakat desa dalam aspek ketahanan desa.
Saat ini babinsa juga membina aspek pertanian.
HR. Muslim, Abu Dawud dan Ahmad :
Allah SWT berfirman sifat sombong itu selendang-Ku
dan keagungan itu pakaian-Ku. Barang siapa
yang menentangku dari keduanya, maka...
aku masukan ia ke neraka jahannam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar